• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODERASI ISLAM SEBAGAI UPAYA REEKSISTENSI KAMPUS

DAKWAH DAN PERADABAN

Arifah Millati A., M.H.I.

I

nstitut Agama Islam Negeri Tulungagung adalah kampus Islam Negeri yang terletak di kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Secara geografis kabupaten Tulungagung bersebelahan dengan Kabupaten Kediri, Trenggalek dan Blitar. Kota yang terkenal dengan penghasil marmer terbesar di Indonesia ini secara topografi dekat dengan permukaan laut dan dikelilingi pegunungan, dari barat terdapat pegunungan wilis dan liman, di tengah dan selatan adalah rangkaian pegunungan kidul. Oleh sebab itu, Tulungagung dikenal sebagai kota yang jauh dari hegemoni kehidupan masyarakat kota, penduduknya tidak disebut masyarakat kota atau urban society, namun sebaliknya, penduduknya cenderung dikenal dengan masyarakat pedesaan atau rural comunities. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa Tulungagung masih jauh dengan sebutan istilah civilized city atau kota berperadaban. Tentang peradaban, Arnold Toynbee memberi gambaran atau cirikhas kota berperadaban, meliputi tata ruang kota yang indah dan moderen, sistem pemerintahan yang memiliki aturan dan taat hukum, kesejahteraan masyarakat dilihat dari ragam pekerjaan dan keahlian, serta perkembangan aneka keilmuan. Dalam karyanya the disintegration of civilization, Arnold memaparkan istilah peradaban tidak mampu dipisahkan dengan kemajuan teknologi yang pesat, serta kebudayaan yang maju, karena peradaban adalah produk manusia yang mencakup segala hal, baik seni, budaya, nilai, aturan dan teknologi.

mengusung ide moral, intelektual dan spiritual, mampu merubah persepsi sederhana terhadap kota Tulungagung menjadi kawasan yang bermakna dan luar biasa. Gagasan tersebut bukan sekedar opini, visi IAIN cukup menjadi salah satu bukti autentik bahwa IAIN mampu merubah pandangan dan citra kabupaten Tulungagung, tidak hanya intern mahasiswa, namun masyarakat sekitar kampus ikut serta merasakan perubahan positif. Visi tersebut adalah “Terbentuknya masyarakat akademik

yang berlandaskan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, berakhlaq karimah, dan berjiwa Islam rohmatan lil›alamin”. Secara eksplisit,

kalimat yang tertuang dalam visi tersebut telah mengarah kepada ciri masyarakat madani, berperadaban dan membawa misi da’wah Islam.

Dalam tataran ideal moral, prinsip keilmuan dalam Islam adalah syarat mutlak sebuah bangsa untuk dapat disebut berperadaban. Dalam Islam, kekuatan intelektual diakui sabagai kunci utama kemajuan peradaban, alasan utamanya adalah mengacu kepada sumber daya manusia, dengan sumber daya manusia yang cukup, sebuah bangsa mamapu bersaing dengan bangsa lain di berbagai bidang. Untuk memastikanya, kita dapat menggunakan analisis kesejarahan. Peradaban era keemasan atau kejayaan Islam (‘ashr al-dhahabi li al-Islam

aw ‘ashr al-izdihar), dimasa ini intelektual menjadi bukti riil

sebagai primadona yang mampu meningkatkan peradaban, kejayaan Islam disaat itu ditandai dengan semangat ijtihad dan pengembangan intelektual diberbagai bidang keilmuan tanpa dikotomis, ulama muslim dan non-muslim bersatu untuk memajukan peradaban, tidak membedakan wilayah keagamaan untuk mewujudkan dan sekat keyakinan .

Peradaban Islam yang unik ini tidak hanya kreativitas ilmuwan muslim, tetapi juga kontribusi dari ulama non muslim antara lain yahudi, Nasrani dan Shabi’ah (ishamat ‘ulama ghayr

muslimin min musyrikin wa nashara wa yahudi wa al-shabai’in). Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid, beliau

mendirikan perpustakaan bayt al-hikmah dengan mengutus ilmuwan non muslim sebagai penterjemah teks-teks berbahasa Yunani, sebut saja nama Yohana bin Miswayh dan Hunayn bin Ishak, keduanya diberi penghormatan oleh raja sebagai non muslim yang berpartisipasi merawat ilmu pengetahuan pada saat itu. Pada masa yang lain, ilmuwan Yahudi ikut serta

IAIN Tulungagung Membangun Kampus Dakwah dan Peradaban

meramaikan dunia intelektual dalam peradaban Islam, nama Musa bin Maimun yang masyhur disebut maimondes, beliau dipercaya sebagai ahli bidang kedokteran dimasanya,Syammuel bin Yahuda dan Sahl bin Basyar sebagai pakar astronomi. Tidak hanya ulama Nashrani dan Yahudi, ulama dari agama shabi’ah turut berkontribusi mewujudkan peradaban Islam kala itu, Ibn Jarir al-Battani adalah salah satu sha’bi’n yang mengembangkan bidang mekanik dalam kebudayaan Islam. Dalam bidang sastra, nama Abu Husayn hilal bin al-Shabi’, Ibrahim bin sanan, Sa’id bin Ibrahim al-Tustari dan Ali bin Nashr al-nashrany mewarnai peradaban Islam yang mengembangkan sastra Arab.

Tidak hanya non muslim, ulama Muslim par exellent yang diyakini kapabelitasnya tidak tertandingi oleh ulama fikih di berbagai zaman, melakukan gencatan semangat ijtihad pada masa kejayaan Islam, mereka adalah pakar-pakar pemilik

magnum opus yang hingga kini madzhabnya tetap eksis, mereka

adalah pemilik gelar mujtahid muthlaq mustaqil (mujtahid independen) yang terdiri dari Imam Hanafi, Maliki, Syafi’iy dan Hanbali. Dimasa setelahnya, peradaban Islam di tunjukkan oleh keindahan ragam agama dan kepercayaan yang saling mengisi satu sama lain, banyak ilmuwan non muslim yang berguru kepada ulama muslim. Roger Bacon misalnya, belajar kepada Ibn Firnas seorang berkebangsaan Spanyol yang ahli dalam merangkai pesawat terbang di tahun 800-an.

Berbeda dengan masa kejayaan, masa keterpurukan dan kegelapan Islam (dark ages) atau dalam sejarah Islam disebut dengan ‘ashr inkhithat wa al-taraju’ (masa keterpurukan dan kemunduran), menunjukkan bahwa faktor penyebab utamanya adalah dikotomisasi keilmuan, keilmuan tidak terintegerasi, dan para ulama muslim kebanyakan telah puas dan terlena dengan kegemilangan ulama sebelumnya. Jika pada masa sebelumnya para ulama menciptakan karya monumental, pada saat ini ulama hanya merasa cukup dengan membuat sebuah ringkasan (muktashar) penjelasan (syarah) dan hasyiah. Selain itu, pada era ini fanatisme golongan dan agama menjadi faktor paling dominan yang menyebabkan kemunduran Islam. Pengkafiran dengan sesama muslim, tidak mengapresiasi hasil karya orang lain, saling memperebutkan tampuk kekuasaan yang mengatasnamakan agama, mewarnai kemelut mundurnya Islam hingga jauh dari peradaban.

Jika disimpulkan, Islam dimasa kejayaan melakukan pengembangan ilmu multi disipliner, tidak hanya fikih oriented, namun juga mengembangkan teknologi, tata bahasa atau linguistik, filsafat, tasawwuf, algoritma, sosiologi, hermeneutika, arsitektur dan lain-lain, namun dimasa kemunduran Islam hanya berkutat pada anti kepercayaan lain, saling mengkafirkan satu sama lain dan berebut kekuasaan. Kenyataan ini jelas tidak sinergis dengan pernyataan Ali bin Abi Thalib, yang menyebut ilmu adalah kebijaksanaan, agama Islam adalah agama ilmu pengetahuan, harta karun umat Islam yang bisa didapatkan dari manapun, Islam bahkan memberikan kebabasan belajar, baik kepada muslim maupun non muslim.

IAIN Tulungagung sebagai satu-satunya icon kampus negeri di Tulungagung, mengusung prinsip keilmuan , akhlaq karimah dan Islam rahmatan li ‘alamin mampu mewujudkan tradisi keilmuan sebagaimana masa kejayaan Islam yang universal dan egaliter. Sebagai kampus yang menuju kepada pusat da’wah dan peradaban, IAIN terus melakukan pengembangan dan berbenah diri. Keilmuan multi disipliner menjadi kajian utama kampus ini. Hukum Islam misalnya, dalam berbagai sudut pandangnya diwarnai dengan pemikiran-pemikiran hukum mutakhir dari insider dan out sider, dari pandangan ulama orientalis dan oksidentalis, menggunakan analisis teks klasik serta modern. Hal yang sama terjadi pada ragam keilmuan yang lain, fakultas ushuluddin dalam kajian tafsir-hadits nya telah menyapa hermeneutika Derrida, Emilio betti , Gustav Flugel dalam karyanya corani textus Arabicus, Theodor Noldoke dalam Geschicte des al-Quran, hingga Arthur Jeffery, ilmuwan barat yang mendekonstruksi mushaf Utsmani berdasar kitab al masahif karya al-Sijistani, disamping juga melakukan pendalaman tafsir klasik Islam seperti Jarir al-Thabari dengan karyanya jami’ al-bayan, Fakhr al-din al-Razi, al Quthubi, Zamakhsyari, al-Baidhawi, Muhammad Rasyid Ridha dan Ibn Katsir. Artinya, dalam rangka menuju kampus da’wah dan peradaban, IAIN Tulungagung menggunakan semangat moderasi Islam untuk dapat menjembatani antara barat dan timur, antara radikal dan liberal, sehingga visi rahmatan lil

‘alamin yang diusung IAIN Tulungagung dapat tersampaikan

dengan sempurna.

IAIN Tulungagung Membangun Kampus Dakwah dan Peradaban

memperjuangkan semangat da’wah Islam. Da’wah dalam pengertian ini adalah da’wah terhadap berbagai disiplin keilmuan dengan mengusung nilai moderasi Islam yang Universal bukan radikal. Da’wah Islam yang dilakukan IAIN Tulungagung mencakup da’wah fardhiyah atau individu, dan

‘amiyah yang melibatkan beberapa orang masyarakat tanpa

keterlibatan langsung antara da’i dan masyarakat secara personal, metode da’wah ini terangkum dalam Kuliah Kerja Nyata mahasiswa yang mendekai masyarakat secara langsung, melakukan tanya jawab dengan masyarakat terkait beberapa problematika, dan pengajian, seminar atau sharing dibeberapa tempat yang minim akses pengetahuan seperti LAPAS. Da’wah moderasi yang dimaksudkan disini adalah da’wah Islam yang membawa nilai perdamaian, sebagaimana seseorang memeluk Agama, pengertian memeluk disini adalah memperlihatkan etika seseorang dalam beragama dengan “memeluk” penuh cinta kasih, bukan memaksakan kehendak ibarat seseorang memperkosa lawan jenis.

Metode da’wah yang ideal juga dikampanyekan oleh Imam Ibn Malik dalam karyanya alfiyah ibn Malik, ilmuwan asal Andalus ini tidak hanya menjelaskan gramatikal nahw atau

sharaf namun secara tersirat, nadhzam-nadzmanya memiliki

makna yang sangat mendalam, metode da’wah misalnya, untuk mencapai kesuksesan berda’wah, ibn Malik menjelaskan ada beberapa cara yang tersurat dalam bab al kalam , yaitu :

لصح زيتم مس لال دنسمولاو ادنلاو نيونتلاو رلجاب

Dalam berda’wah, seseorang hendaknya memulai dengan

al jar (menunduk atau tawadhu’), sikap ini perlu dikembangkan

bagi seseorang dalam menyampaikan pesan-pesan Islam, menyampaikan nilai Islam tidak dengan show of force atau unjuk kebolehan dengan memamerkan label atau atribut keagamaan, namun dengan cinta kasih dan kelembutan, kemudian al tanwin yaitu niyat, meluruskan tujuan utama da’wah untuk mencapai Islam rahmatan li al ‘alamin , nilai Islam dapat diterima semua lapisan umat, bukan memaksakan kehendak untuk menjalankan syari’at. Selanjutnya adalah al nida (panggilan), dalam berda’wah perlu metode komunikatif dengan masyarakat,

komunikasi yang baik adalah dengan mengedepankan sikap menghargai antar individu, tidak dengan doktrin sepihak, yang membenarkan pendapat pribadi dan tidak mendengar pendapat orang lain. Kemudian “al “, kata ini dalam gramatikal bahasa Arab dikenal sebagai tanda sebuah kalimat disebut

ma’rifat (dikenal identitasnya) , dalam berda’wah mengetahui

seluk beluk masyarakat yang dihadapi sangat penting, baik latarbelakang keluarga, kepercayaan atau agama, berbicara dihadapan non muslim, harus mengedepankan sisi objektifitas dibanding subjektifitas agar tetap terjaga sikap toleransi antara umat beragama, berbicara dihadapan bangsawan harus dibedakan dengan masyarakat kelas akar rumput, terakhir adalah musnad yaitu beramal secara nyata, bagian ini adalah puncak dari metode berda’wah, da’wah dalam ranah idealis harus mengamalkan pesan positif yang pernah disampaikan, tidak hanya berhenti pada wilayah teoritis, namun terlaksana pada tingkatan praktis, tidak hanya menyebarkan Islam dengan keindahan kulit, namun juga menjalankan substansi-substansi Islam.

Tahun 2017 adalah awal IAIN Tulungagung mendengungkan semarak menuju kampus da’wah dan peradaban, doa indah dan usaha positif tergulirkan dari seluruh civitas akademika kampus, untuk mewujudkan kampus da’wah dan peradaban, sebagaimana kegemilangan Islam di zamanya, kejayaan Islam dimasanya yang menjadi referensi seluruh penjuru dunia, maka IAIN Tulungagung akan menjadi kampus da’wah yang menjunjung semangat moderasi, mengayomi seluruh lini masyarakat dan mencetak genarasi pembawa pesan Islam damai dan berperadaban.

*Arifah Millati Agustina, M.H.I, lahir di Nganjuk pada

15 Agustus 1987. Menghabiskan masa studi pada tingkat menengah di Pondok Pesantren Tambak Beras-Jombang pada program Muallimin-Muallimat, pada kurun tahun 2000 hingga 2006. Melanjutkan studi sarjana di UIN Malang dan lulus pada tahun 2010 dengan label mahasiswa berprestasi Fakultas Syariah UIN Malang. Keinginan untuk memperdalam wawasan dalam bidang Hukum Islam mengantarkanya pada studi lanjut di UIN Sunan Kalijogo-Jogjakarta, kali ini dengan label cumlaude dan lulusan tercepat pada tahun 2012.

10

DAKWAH VERBAL: