• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARTINI DALAM SASTRA HINDIA BELANDA

2. Kartini: Kolonialisme yang Berbeda

Membaca buku Mirror of The Indies: a History of Dutch Colonial Literature karya Rob Nieuwenhuys yang diterbitkan tahun 1982 memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa Kartini disebutkan di dalam bukunya sebagai seorang tokoh yang masuk dalam politik etis. Kartini hadir sebagai sosok yang berjuang untuk memperoleh kemerdekaan dan kebebasannya melalui surat-surat yang dituliskan untuk para korespondensinya. Kartini dalam hal ini tidak dipandang sebagai seorang pahlwan nasional. Terlepas dari itu Kartini merupakan sosok yang seharusnya menjadi bagian dari sejarah sastra Indonesia yang patut untuk diperbincangkan. Sebab kartini tidak sedang berjuang untuk melawan kolonial sebaliknya Kartini membangun hubungan baik dengan bangsa Belanda agar dapat belajar dari perempuan modern Belanda. Kartini menginginkan kebebasan. Kertini berjuang untuk

160

dapat berbahasa Belanda. Kartini membacakan buku-buku fiksi, tulisan-tulisan ilmiah maupun majalan dan koran.

Paparan pada bagian pertama di atas cukup jelas menunjukan betapa Kartini memiliki semangat untuk dapat menjalin hubungan dan dapat berbagi dengan orang Belanda yang menjadi korespondensinya. Jelas hal ini menunjukan sisi lain dari kolonialisme yang terjadi pada Kartini. Kartini berjuang secara individu agar dapat bebas dari aturan adat Jawa yang mengikat. Perempuan yang harus tetap di rumah dan bagi Kartini ibarat berada dalam penjara padahal di rumahnya sendiri. Perempuan Jawa tidak diperkenankan untuk meninggalkan atau keluar rumah sebelum usia dua belas tahu. Dan kalaupun keluar hanya ketika telah menikah. Hingga muncul tuan van Deventer yang mulai merasakan dengan hati nurani bahwa Indonesia sebagai negara bekas koloni perlu mendapatkan pembalasan yang setimpal dengan apa yang sudah didapatkan bangsa Belanda selama ini. Deventer merasa terpanggil untuk menyejahterakan penduduk pribumi. Sehingga ia menyurati pemerintah Belanda untuk melakukan pembayaran hutang budi kepada Indonesia. Akhirnya permohonannya diterima dan diumumkan oleh ratu Wihelmina pada waktu itu. Abendanon yang diutus untuk melaksanakan politik etis tersebut.

Kehidupan dan karya Kartini (1879—1904) tidak dapat dipisahkan dari gerakan etis ini. Posisi Kartini dalam sejarah adalah benar-benar berkat inisiatif direktur pendidikan etis saat itu J.H. Abendanon. Ia adalah Mentri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun 1900—1905. Ia ditugasi oleh Belanda untuk melakukan politik etis.

Kartini diumumkan sebagai pahlawan nasional setelah kematiannya. Namun orang bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika Abendanon tidak menganggapnya sebagai anak angkatnya, jika tidak melihat surat-surat Kartini, jika Abendanon tidak menjadi menteri pendidikan, atau jika tidak ada sekolah di bawa perlindungan namanya didirikan. Mungkin ia akan menjadi terkenal sebagai seorang putri bupati Jepara saja. Apa yang dipikirkan tentang Kartini, tentang perasaanya, keiinginannya, dan harapannya adalah berkat Abendanon. Kartini berangsurangsur tumbuh menjadi sosok legendaris terutama dimata orang Belanda penganut gerakan etis yang ingin melihatnya sebagai symbol kerjasama antara orang “putih” dan “coklat”. Mereka menganggap Kartini sebagai personifikasi gagasan mereka tentang harus menjadi modern.

Kartini mewakili wanita Jawa yang memperjuangkan hak-hak perempuan terhadap keegoisan laki-laki, menentang poligami dan prostitusi. Kartini menjadi symbol

161

kebangkitan bangsa Indonesia. Akhirnya berkembang menjadi pahlawan nasional sehingga agak sulit melihat Kartini yang asli. Melalui surat-suratnya Kartini dikenal sebagai orang Jawa yang cepat, sangat agresif, sangat cerdas, berani, dan tanggap dalam waktu dan situasi.

Hidupnya, hal-hal yang ia tulis, dan sikapnya menginspirasi rasa empati, hormat, dan iba kepadanya. Kami kasihan kepadanya untuk semua penolakannya, kami menghormati dan menyukainya karena keberaniannya dalam pertempuran diam-diam. Banyak hal di luar surat-surat Kartini yang tidak tersebutkan.

Kartini lahir pada tahun 1879. Ayahnya seorang bupati Jepara yang pertama tercerahkan untuk mengirim putrinya sekolah ke Belanda. Namun ia harus tunduk pada tradisi Jawa yang boleh menginjakkan kaki keluar setelah umur 12 tahun. Artinya mereka boleh menginjakkan kaki keluar dengan benar setelah menikah dan hanya boleh menikah dengan suami yang dipilih oleh orang tuanya. Kartini pernah menulis surat kepada temannya di Belanda bahwa “saya tidak tahu bagaimana melewati ini semua. Ayah telah tunduk pada tradisi suci dan tidak menyerah pada tekanan Eropa maupun pada air mata permohonan dari kesayangannya yang berusia dua belas tahun, “Ni Kecil”. Ayah mencoba untuk meringankan kesedihan saya dengan tidak pernah menolak buku-buku Belanda, atau hubungann dengan teman-temannya di Belanda. Ayah berusaha untuk memberinya banyak bacaan. Ia memanjakan saya dengan meberi hadiah buku” tulis Kartini.

Dengan semua buku, majalah, dan surat semangat untuk menikmati kebebasan dan kemerdekaan meningkat. Ia tidak bisa mentolerir fakta bahwa lingkungannya menuntut ketaatan penuh, ketergantungan, dan penaklukan. Ia menjadi pemberontak dan menuntut untuk didik dan dilatih. Ia ingin membangkitkan orang lain juga. Namun ia mendapat penolakkan dan mengalami kesulitan. Ia difitna. Kartini berada di anatara cinta dan kewajiban, di antara kemajuan dan tradisi. Dia akhirnya merasakan kegagalan dalam dirinya. Akhirnya ia kembali pada dunianya yang lama dan akrab. Pada tanggal 8 November 1903 ia menikah dengan Bupati Rembang yang jauh lebih tua, seorang duda. Ia meninggal pada 17 September 1904. Suratsurat Kartini yang ditulis dalam bahasa Belanda yang hampir sempurna adalah dokumen manusia yang tak tergantikan. Bukunya berjudul from darkness to light yang sekarang menjadi dari gelap terbitlah terang tidak dibahasa dalam buku ini.

Dalam hubungannya dengan sastra, apapun yang Kartini baca atau tulis didalamnya ada tradisi sastra Belanda. Di salah satu suratnya dia mengaku memiliki apresiasi sastra terhadap apa yang di abaca dan apa yang dia tulis. Dia menulis bahwa bacaannyalah yang mendidik

162

dan membentuknya. Kartini membaca tulisan the locomotive (de locomotief) from semarang, sebuah tulisan yang diedit oelh Brooshooft. Ia juga membaca The Guide,The New Guide (de nieuwe gids), bacaan ilmiahnya Wetenschappelijke Bladen dan bijdragen. surat-suratnya membuktikan bahwa ia membacanya dengan penuh nikmat. Kartini tidak hanya tertarik pada emansipasi wanita tetapi juga pada masalah-masalah sosial. Dia termasuk perempuan yang menujukkan ketertarikan pada kesetraan gender untuk mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan. Minat bacanya sangat luas. Sebelum berusia dua puluh tahun, ia membaca Max Havelaar, dan juga membaca dua kali buku Amatory Letters (Minnebrieven). Bahkan disebutkan bahwa pada saat dia putus asa dengan sembarang dia mengambil sebuah buku di raknya dan ternyata buku Amatory Letters. Bagian yang mengagetkannya dalam buku itu menurutnya merupakan ungkapan untuk dirinya yaitu

“ayah berkata bahwa mengetahui, memahami, dan menginginkan adalah dosa pada seorang gadis”. Kartini juga membaca Couperus. Bahkan telah tiga kali membaca novel feminis popular Hilda van Suylenburg yang ditulis oleh Goekoop de Jong van Beek en Donk, itu adalah buku yang bagus dan idah baginya. Kartini juga akrab dengan penyair De Genestet dan menikmati Little Johannes (Deleine Johanes). Ia juga membaca buku-buku terjemahan Belanda dari Lay Down Youri karya bertha von Suttner. Juga buku karya Bas Veth. Kartini sering memesan buku dari Belanda. Perdgangan buku di Hindia banyak kekurangannya sehingga ia kesulitan menemukan sastra kontemporer. Kartini sangat mengagumi Couperus bahwa bahasanya cukup cantik. Kartini juga menyebut Mulatatuli seorang jenius dia membacanya dengan menikmati. Kartini berambisi menjadi seorang penulis namun ia merasa tidak yakin dnegan dirinya yang berbahasa Jawa. Ia berlatih untuk menulis dengan sahabat peenanya di Belanda yang lebih muda dan yang lebih tua. Tulisannya semua didedikasikan untuk sastra. Mereka menulis untuk majalah wanita yang berjudul The Holland Lily (de Holllandsche lelie), kartini berlanggannya.

Selain nama Kartini yang berhubungan dengan Abendanon, nama Kartini juga dikaitkan dengan Van Deventer. Setalah Kartini wafat, van Deventer bertindak di

“semangat namanya”. Ia mencoba untuk mewujudkan gagasan Kartini untuk membuat pendidikan atau sekolah bagi perempuan pribumi. Pada tanggal 27 Juni 1913 berdirilah Kartini Foundation. Yayasan ini bermarkas besar di Belanda. Semua keperluan adminitrasinya diurus oleh nyonya van Deventer. Setelah suaminya meninggal ia berjuang seorang diri untuk yayasan tersebut. Menurut mantan murid-muridnya “tidak ada kehidupan

163

yang indah selain pesantren Van Deveter”. Nyonya Van Deventer meninggal pada umur 85 tahun di Jerman pada tahun 1942 dan meninggalkan wasiat bahwa dia meninggalkan ibu kota untuk Indonesia dan mendirikan yayasan Van Deventer Mas untuk orang Indonesia.

PENUTUP

Mengacu pada pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Kartini tidak hanya menjadi pahlawan nasional yang didasarkan pada fakta sejarah Kartini pada masa lampu Kartini tidak hanya berjuang untuk perempuan mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki. Lebih dari itu, Kartini melalui apresiasi sastranya akhirnya mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan sebagai perempuan. Bukan hanya untuk individual Kartini tetapi untuk semua orang. Sayangnya Kartini tidak menikmati perjuangannya untuk menyaksikan kebebasan yang sesungguhnya karena setelah kematiannya cita-cita luhurnya baru terwujud. Surat-surat Kartini yang sarat dengan sastra merupakan kekuatan besar untuk mendapat dukungan dari bangsa Belanda untuk dibukanya ruang dan kesempatan melalui pendidikan. Adapun sejumlah surat yang dituliskan oleh Kartini kepada kesepuluh orang korespondensinya mengandung nilai sastra. Surat-surat yang dituliskannya dinarasikan dengan diksi yang menarik. Baik yang disampaikan kepada Miss EH Zeehandelaa maupun kepada Mrs. Abendanon dan yang lainnya. Surat-surat Kartini ternyata memiliki kekuatan yang besar hingga pada akhrinya dibukuan oleh Abendanon dalam sebuah buku yang diindonesiakan berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku yang berisikan kumpulan surat-surat Kartini kepada sepuluh orang korespondensinya yang dituliskan selama lima belas tahu. Perjuangan Kartini bukanlah melawan kolonial, namun perjuangan melawan tradisi bangsnya sendiri untuk mendapatkan kebebasan. Inilah yang merupakan bentuk kolonialisme lain dari Kartini.

DAFTAR PUSTAKA

Beekman, E.M. (1988). Fugitive Dreams; an Anthology of Dutch Colonial Literature.

Amherst: The University of Massachusetts Press.

Robert Nieuwenhuys. (1982). Mirror of The Indies: a History of Dutch Colonial Literature.

Amherst: The University of Massachusetts Press.

Dolk, Liesbeth. E. M. Beekman. (1996). Troubled Pleasures: Dutch Colonial Literature from the East Indies, 1600 -1950. Oxford: Clarendon Press.

164

Sudibyo. (2002). Sang Lain di Mata Ego Eropa: Citra Manusia Terjajah dalam Sastra Hindia Belanda. Jurnal Humaniora Volume XIV nomor 2. 2002, 173—185 ,pp.

Faruk. (2000). Sastra Hindia Belanda, Mencari Sebuah Identitas. Majalah Tempo. Diakses pada hari Jumat, 2 oktober 2020.

Mustikawati, Citra. (2015). Pemahaman Emansipasi Wanitia. Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 1, Juni 2015

F. G. P. Jaquet, ed., Kartini. Brieven aan mevrouw R. M. Abendanon-Mandri en haar echtgenoot met andere documenten (Dordrecht: Foris Publications, 1987 , xxiii + 387 blz., ISBN 90 6765 225 3).

Sudrajat. Kartini: Perjuangan dan Pemikirannya. Jurnal UNY. (2020). Diakses pada hari Sabtu, 3 Oktober 2020.

Abendanon. J.H. (1911). Door Duisternis Tot Licht; GedachtenVan Raden Adjeng Kartini.

SGravenhage: N.V. Electrische Drukkerij "Luctor et Emergo"

165

ANTARA MAMA DENG NONA; NYAMAN DENG CINTA: DIALOG-DIALOG