• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nyanyian korban adalah luka-luka adalah duka-duka adalah lara-lara

- 53 - adalah lari-lari

adalah kosong-kosong adalah bolong-bolong adalah bungkam-bungkam adalah makam-makam semua yang berbunyi kembali kepada sunyi Ambon, 26 Januari 2013

Puisi itu melukiskan betapa dahsyatnya bencana Ambon tahun 2013 lalu. Penyair memberikan kesaksian bahwa bencana itu telah mengubah suasana. Lautan duka, laras, kesunyian campur aduk memenuhi duni Ambon. Sejak saat itu pula, orang Ambon harus berlarian, mencari keselamatan. Penyair menggarap puisi ini menggunakan kata pendek-pendek, tetapi tetap kental makna.

Puisi itu mengingatkan saat Thomas Madilis menciptakan puisi. Puisi sebagai ekspresi spontan atas kunjungan Nikita Mirzani yang peduli korban gempa Ambon di pengungsian. Menurut Beritabeta.Com, kunjungannya ke Kota Ambon, Sabtu (12/10/2019) membuat warganet menjadi kagum kepadanya. Saat berada di salah satu desa terdampak gempa bumi berkekuatan 6,8 magnitude di Pulau Ambon, Nikita menjadi trending dibicarakan warga Ambon di media sosial. Banyak yang tidak menyangka, di balik sifatnya yang kerap menimbulkan kontroversi, ternyata Nikita Mirzani memiliki hati yang tulus dan putih bersih. Bahkan, ada warganet dari Maluku menulis status berisi puisi di Facebook memuji sikapnya itu dengan judul Cinta dari Walang untuk Nikita.

Pada bagian postingan yang diunggah akun dengan nama Thomas Madilis, Minggu (13/10/2019) itu, dia menulis “Nona…Ale Sagu, Ale Maluku, Samua Tau Itu,”. Kehadiran artis kelahiran Jakarta 17 Maret 1986, ini juga membuat warganet asal Ambon menjadi nyinyir kepada artis-artis asal negeri seribu pulau ini. Mereka banyak membandingkan sikap yang ditunjukan Nikita dengan para artis asal Maluku. Semua yang disampaikan kepada Nikita memang berupa ekspresi dan apresiasi warganet di Maluku. Dalam bait Thomas Madalis juga tertuang kalimat berbahasa Ambon kental “Gampa susulan su lebih dari

- 54 -

seribu, ada rumah yang su rubuh, ada yang meninggal tagepe batu, tapi ale seng taku. Ale seng pastiu, justru ale tetap badiri par kas hilang rasa taku,”.

Di paragraf kedua puisi itu Thomas menulis “Ale pung hidop sosial lebih tinggi dari sensasi. Ale pung rasa sayang seng ada yang bisa lawan, demi basudarah ditenda deng walang di hutan. Ale datang bawah senyum par kashidup harapan”. Pujian warga Maluku kepada Nikita bukan tanpa alasan. Ibu dari Laura Meizani Nasseru Asry ini saat tiba di Ambon langsung menuju lokasi pengungsian di Desa Waai, Kecamatan Salahutu menengok para korban gempa. Ia bahkan menuangkan pertemuan dengan warga pengungsi itu di akun Instagramnya. Dalam unggahan tersebut, tampak Nikita Mirzani tengah berada di antara korban gempa yang mengungsi di tenda-tenda pengungsian. Hal tersebut juga diperkuat dengan keterangan foto yang menyertai unggahan Nikita Mirzani.

Nikita juga menulis di akun istagramnya, “Beda agama bukan berarti kita bukan saudara. Melihat senyum kalian membuat saya dan semua rombongan dari Jakarta bahagia. Tetap semangat walapun saya tau rasanya sulit. Tuhan lindungin semua saudara saya di Ambon,”.Di postingan yang lain Nikita juga menulis “Kita semua saudara walapun tidak sedarah. Apa yang kalian rasakan saya pun bisa merasakan. Saya & ibu Fitri.Mendoakan semoga bencana alam ini segera berlalu.Dan kalian segera pulang ke rumah masing-masing. Amin”.

Gayung bersambut antara kepedulian artis dengan penyair serta warga Ambon.

Bencana itu memang peristiwa yang sering membuat duka. Peristiwa yang dahsyat itu sering menyisakan masalah baru. Berbagai hal sering muncul pascagempa. Maka, mitigasi sastra menjadi salah satu tawaran estetis dan kultural. Sastrawan sering menjadikan gempa sebagai pengalaman tragis, sehingga muncul getaran mitigatif. Penanganan gempa lewat keindahan karya sastra justru semakin memantik memori. Memori sastrawan sering tergerak untuk melakukan mitigasi sastra, memberi pertolongan sesuai kapasitasnya. Gempa itu bencana yang sering tiba-tiba, sehingga membutuhkan mitigasi yang arif. Mitigasi sastra menawarkan kearifan lokal yang pantas mendapat perhatian.

- 55 - D. Rempah Sastra

Rempah sastra adalah perspektif memahami karya-karya sastra yang bernuansa rempah. Rempah berarti kehangatan, rempah juga bermakna tumbuhan yang bernuansa obat. Menurut hemat saya, rempah sastra itu bisa muncul pada setiap karya sastra yang memuat stimulus untuk menghangatkan suasana. Puisi Maluku yang dilagukan untuk perpisahan berikut ini, saya kira juga termasuk rempah sastra. Sebab puisi ini, memuat upaya menghangatkan suasana agar tetap bertemu kembali dalam suasana segar bugar.

(1)

Rasa sayange..rasa sayang sayange..

Ku lihat dari jauh rasa sayang sayange..

Rasa sayange..rasa sayang sayange..

Ku lihat dari jauh rasa sayang sayange..

(2)

Kalau ada sumur di ladang Boleh kita menumpang mandi Kalau ada umurku panjang Bolehlah kita berjumpa lagi

(3)

Kalau kita pergike Ambon Jangan lupa pohon pala Mari kita slalu memohon Jangan sampai kena corona

Puisi bait satu dan dua yang berlagu tersebut, sesungguhnya juga sebuah pantun yang sering dilagukan ketika ada acara perpisahan apa saja. Pantun itu tentu khas Maluku.

Pada bait sesungguhnya saya arasemen atau kreasi sendiri, agar terkait dengan fenomena wabah yang sedang membuat dunia kacau-balau ini. Pantun yang dilagukan itu mampu memberikan dorongan bagi siapa saja. Pantun estetis tersebut memuat rasa kasih sayang terhadap sesama. Biar pun harus berpisah jauh, masih ada harapan ‘rempah’ hangat untuk

- 56 -

berjumpa. Pertemuan itu menjadi idola, terlebih lagi saat pandemik korona ini, seolah-olah pertemuan telah dirampas. Padahal naluri manusia itu jelas saling bertemu satu sama lain.

Pertemuan itu sebuah kehangatan, menyehatkan, dan mungkin sekali memperpanjang umur.

Pantun dan lagu Maluku itu menyimpan rempah hangat. Maka bukan heran kalau puisi itu sering berkibar dalam berbagai arena. Bahkan kegiatan Pramuka juga sering memanfaatkannya. Hal ini berarti Maluku telah memiliki andil luar biasa untuk menggairahkan bangsa ini. Kekayaan rempah Maluku, banyak mengilhami para pencipta sastra. Pantun berikut juga berkisah tentang rempah-rempah Maluku yang tersohor itu.

(1)

merahnya fuli di buah pala

harum aroma cengkih dan kayu manis biar kami jauh di Belanda

rindu ambon tak pernah habis

(2)

Jalan-Jalan ke Pulau Banda, Tak lupa membawa manisan pala, biar nona besar di Belanda, jangan lupa tuang papeda

(Helmina Kastanya, kantor Bahasa Maluku, 22 September 2020)

Pantun dua bait itu, memberikan informasi penting tentang rempah sastra di Maluku.

Beragam tanaman rempah menghiasi hidup rakyat Maluku. Tanaman rempah yang paling banyak mewarnai kehidupan orang Maluku, yaitu cengkih, kayu manis, dan pala. Rempah-rempah tersebut telah mewarnai karya sastra dan seni. Bahkan Hartono (1989:1-3) menginformasikan bahwa di Maluku, tanaman rempah, khususnya cengkih dan pala, tidak saja tetap ramai menjadi mata dagangan primadona sejak 500-an tahun lalu, untuk kuliner hingga obat-obatan, tetapi juga menjadi sumber inspirasi para pelaku seni budaya yang jejaknya bisa kita jumpai di tengah-tengah masyarakat. Lihatlah pada pakaian tradisi yang dipakai para lelaki maupun perempuan Ambon misalnya. Di atas warna-warna lembut hingga cerah, terdapat motif cengkih dan pala, terutama di bagian dada, leher, dan lengan.

- 57 -

Motif tersebut disulam dengan mesin bordir, menggunakan benang yang dijual umum di toko-toko dengan motif berulang. Ada kalanya motif “cengkih-cengkih-cengkih”, ada pula

“pala-pala-pala”, tetapi ada juga perpaduan cengkih dan pala, tanpa maupun dengan sulur-sulur. Puisi rempah berikut menunjukkan kesaksian hebatnya Maluku di mata dunia.

BETA ALE PARLENTE