• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mendadak terasa, tubuhku sewangi aroma cengkeh Hangat, menyerupai pelukan Ibu

Seketika mendekap, kuhirup aroma tubuhnya Barangkali, ibuku adalah cengkeh?

Ayah, bersemayam dalam tubuhku yang elepis langsing daun pala Fuli, semerah merona bibirku, mungare merana di sudut bumi

Kulitku sehitam manis biji pala yang ranum, mungare mendekap mesra.

- 45 - Ketika ia dekap.

Mungare membisik “Jujaro, dirimu sekokoh pohon pala!"

Di atas hamparan anggrek yang menua, hutan yang hijau Biji-biji berkah yang ditumbuhkan Ayah dalam rahim Ibu

Mereka telah sepakat menjatuh sauh, setelah sepekan berbulan madu, di bawah rimbun pohon kenangan, aku lahir

Langit semankin tua rekeng taong

Tatkala aku dilahirkan: rusa, kasuari, pombo, dan kakatua bersorak-sorai di Gunung Binaya

Jala ditenggelamkan ikan paus, di Laut Tenggara

Pasir putih di Jazirah Leihitu, Litimur, dan Selatan, menggubris senyum, seputih kapas yang berjuntai-juntai, di Taman Nasional Manusela.

Di mata penyair, Maluku itu tanah surgawi. Beragam tanaman rempah memang memupuk surgawi. Dengan campuran bahasa Indonesia dan Maluku, penyair mencoba mengangkat fenomena Maluku ke atas permukaan dunia. Aroma cengkeh itu mewujudkan sengatan estetis. Cengkeh adalah ibu bagi orang Maluku. Gambaran tubuh langsung, seperti daun pala melukiskan metafora botani sastra. Puisi tersebut membayangkan bahwa manusia lahir dari Rahim ibu tumbuhan.

Cengkih dan pala, seolah-olah orang tua. Seolah-olah orang Maluku lahir dari getaran rempah botani sastra itu. Rempah itu sebuah realitas khas Maluku. Jika belajar dari gagasan Strinati (2003:123 dan 258 ) ada dua macam realitas, yaitu: (1) realitas materiil (1) realitas maya. Cengkeh secara riil bisa diindera sebagai identitas rempah lokal Maluku.

Cengkih juga sekaligus menjadi realitasnya, setelah mendapat sentuhan sastrawan menjadi karya sastra. Botani sastra itu bisa jadi menjadi ibu orang Maluku, sebab mereka hidup dalam hamparan cengkih dan pala. Hal ini sejajar pula di Jawa dengan padi yang memiliki mitos sebagai ibu, yaitu Dewi Sri. Fenomena ini menunjukkan bahwa pengarang itu akan berekspresi sesuai dunia yang mengitarinya. Dunia botani atau pertanian sebagai esensi sastra. Puisi berikut pun berkisah tentang botani sastra orang Maluku:

- 46 - SEBATANG POHON TIKAR

Weslly Johannes

Sayangku,

Sebatang pohon tikar miring ke laut

helai-helai daunnya juntai dipermainkan angin lalu aku menangkap sekelebat bayangmu hitam rambutmu yang berombak-ombak tempat aku menenggelamkan hidungku;

mendapati wangi bunga-bunga rumput di sabana.

Lama aku tak pulang, sayang Aku terkepung bayang-bayangmu daun-daun tikar dan belai angin, wangi bunga-bunga rumput semua menjadi tak terbedakan

Aku merindukanmu, sayang

Juga hamparan kayu putih di pulau Buru liku-liku jalannya dan lekuk-lekuk tubuhmu, teluk besar yang jadi pekarangan, juga kaki bukit di belakang rumah kita. O, aku rindu!

Desember nanti,

sesudah hujan menyingkirkan debu dari bahu-bahu jalanan

Aku akan pulang, sayang

mendapati dirimu juga rumah kita dan belajar dari kaki bukit

untuk takkan beranjak dari sisimu.

Tanimbar, 12 Februari 2015

- 47 -

Puisi tersebut menyatakan kerinduan. Rindu pada seseorang, rindu pada suasana, menggunakan pohon tikar. Pohon yang menjuntai ke laut itu, mengingtkan berbagi alunan rasa, rasa itu memori indah. Getaran botani sastra yang penuh untaian estetik, memperindah puisi. Daun tikar yang beraroma mesra, digoyang angin membuka memori penyair. Dengan ucapan sayang, dibalut bunga-bunga rumput, telah menghidupkan puisi semakin menarik.

Getaran puisi itu telah mengangkat derajat pohon tikar. Pohon khas Maluku kemungkinan besar bisa berkibar. Itulah etnobotani Maluku, pohon yang sering tumbuh di pinggir lautan.

Mungkin itu pohon pandan, sebab yang sering dipakai tikar itu pohon pandan berduri.

Pohon ini memang hidupnya di pinggir sungai atau laut. Dalam perspektif botani sastra, menunjukkan bahwa penyair telah mengangkat suasan kehidupan pohon sebagai refleksi:

(1) kultur pertanian yang menjadi wahana ekspresi kerinduan, (2) kultur tumbuhan sebagai ungkpa memori kenangan, (3) tumbuhan sebagai wahana ekspresi estetis yang mewakili rasa tersembunyi. Kepaduan kasih sayang dengan pohon tikar serasi dengan bunga rumput, ternyata mampu menghadirkan sebuah fenomena yang mengasyikkan. Selain pohon tikar, yang tergolong etnobotani Maluku, yaitu pohon sagu. Pohon sagu selain sebagai tumbuhan, memang sekaligus menjadi makanan khas. Pantun tentang pohon sagu berikut ini merupakan wujud kreativitas tentang etnobotani sastra.

Pohon sagu jatoh di tebang Pohon duku di bikin sarang Jangan ragu jangan bimbang Cinta ku hanya untuk mu seorang.

31 Juli 2013

2. jalan jalan ke Maluku jangan lupa membeli sagu adik siapa yang minta sagu

beta kasi jurus seribu http://alikuniyo.blogspot.com/2017

Pantun bait satu dan dua itu merupakan fenomena etnobotani sastra. Pohon sagu termasuk tumbuhan etnik Maluku. Dengan berbekal pohon sagu, penyair mampu

- 48 -

menyampaikan pesan simbolik tentang cinta, terutama pada bait satu. Adapun bait dua lebih banyak menegaskan betapa hebatnya sagu bagi kultur Maluku. Hal ini mengingatkan pada pandangan Scopenhauer (Ratna, 2007:73) tentang fenomena sastra memang pantas direnungkan. Menurut dia, suatu gejala tidak harus dapat diamati dengan indera, tetapi juga secara rohani. Maksudnya, fenomena tentang etnobotani sastra itu kadang-kadang lebih bersifat simbolik. Simbol-simbol botani yang digunakan oleh sastrawan seringkali membutuhkan tafsir fenomenologis. Artinya, penafsiran yang menghubungkan antara bentuk-bentuk tumbuhan secara estetis. Rohani itu berarti intuisi. Oleh sebab itu, memaknai etnobotani sastra memerlukan kesadaran intuitif.

Kesadaran pengkaji etnobotani sastra akan melahirkan makna-makna baru.

Kesadaran itu sebuah fenomena kehidupan. Pengkaji sastra yang sadar bahwa realitas itu terbagi dua, yaitu:(1) realitas empiris, bisa teramati, dan (2) realitas imajinatif, yang hanya bisa diraih melalui kesadaran. Kedua wilayah feomena tersebut sering bercampur, sehingga mewujukan realitas yang unik.

C. Literasi Kearifan Ekomitigasi Sastra

Karya sastra itu akan dekat dengan suasana ekologisnya yang mengitari sastrawan tentang gempa, tentu muncul sastra gempa. Getaran sastra gempa tentu muncul mitigasi sastra atau sastra mitigasi. Mitigasi, yaitu upaya tanggap terhadap bencana. Maluku itu mirip di Jawa, memiliki kemungkinan terjadinya gempa. Entah gempa apa saja, sangat mungkin terjadi. Seperti puisi berikut ini, pantas diapresiasi, sebuah gambaran ekomitigasi sastra luar biasa.

AMBON MANANGISE