• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara teoretis, analisis lirik dalam makalah ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan diskursus sastra Mikhail Bakhtin yang memandang sastra sebagai ruang-ruang dialog antarsubjek. Bakhtin. Menurut Manshur (2020), landasan berpikir Bakhtin tentang dialog dan perbedaan itu kemudian diaplikasikan dalam metodologi yang disebut 'dialogism'. Konsep ini secara signifikan menawarkan tantangan untuk praktik otoritas wacana. Menurut Bakhtin, dialog, sebagai penangkal monologism, menghasilkan perbedaan dan sebagai akibatnya berpotensi untuk memperluas kapasitas lintas batas budaya dan individu (White, t.t.:2). Dalam konteks ini, individu itu bisa disebut sebagai self, sedangkan budaya bisa disebut sebagai other.

168

Bakhtin dalam teori dialogisme itu (bisa juga disebut teori dialogis) mengatakan bahwa other merupakan bagian tidak terpisahkan untuk membangun kesadaran akan self.

Relasi dialogis antara self dan other yang setara itulah yang membangun kesadaran akan diri kedua belah pihak. Self dan other bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan bersifat co-being bagi satu sama lain. Co-being ini menimbulkan konsekuensi munculnya answerability atau saling merespons kehadiran satu sama lain (Wibowo, 2010).

Other dalam teori dialogisme Bakhtin dibutuhkan karena self tidak pernah mampu melihat dirinya sendiri secara utuh. Keutuhan diri bisa terbentuk apabila ada orang lain yang ikut menunjukkan atau membantu mengungkapkan keutuhan diri. Oleh sebab itulah, keberadaan setiap individu hanya menjadi co-being sebab being baru muncul melalui relasi antara self dan other yang kemudian melakukan proses penciptaan self bersama (Wibowo, 2010).

Dalam usaha membangun teori sastra yang terpadu, Bakhtin merumuskan konsep mengenai eksistensi manusia tentang “orang lain” (other) yang memainkan peranan penting.

Menurut Bakhtin, manusia memuja dirinya dari titik pandang orang lain, ia mencoba memahami momen-momen kesadaran dan memerhitungkannya lewat orang lain. Pendek kata, manusia secara konstan dan intens meramalkan dan memahami refleksi-refleksi kehidupannya di dataran kesadaran manusia lain. Oleh karena itu, Bakhtin juga selalu mengatakan bahwa hidup berarti dialog. Konsep Bakhtin tentang “orang lain” ini didasarkan pada pemikiran antropologis filosofis (Faruk, 1994:140-141). Lebih lanjut, menurut Manshur, konsep “orang lain” inilah yang menjadi salah satu elemen utama teori dialogisme. Teori ini membuka ruang diskusi yang lebar tentang dialogisme yang berisi percakapan, wacana, dan pemikiran yang sarat makna yang harus diterjemahkan oleh pembaca. Untuk itu, dialogisme berpendapat bahwa semua makna itu relatif, dalam arti bahwa makna itu merupakan hasil hubungan secara simultan antara dua individu, tetapi berbeda ruang. Individu tidak hanya dalam pengertian fisik, tetapi juga dalam pengertian ideologi.

Bakhtin mengembangkan konsep- konsep yang menginformasikan banyak karyanya. Konsep 'polifonik' (dipinjam dari istilah musik) merupakan pusat dari analisis ini.

Bakhtin membaca karya Dostoevsky yang isinya mengandung banyak suara yang berbeda, kemudian suara-suara dicoba diarahkan ke dalam perspektif tunggal dan tidak tunduk pada

169

suara penulis. Masing-masing suara ini memiliki perspektif sendiri, validitas sendiri, dan narasi sendiri dalam karya sastra.

Meskipun konsep Bakhtin ini diaplikasikan pada analisis novel, bukan berarti puisi atau lirik lagu tidak memenuhi ketentuan keragaman wacana dialogis. Dalam kasus lirik-lirik lagu, justru dalam persoalan kepadatan lingusitik dan keragaman narasi dapat dianalisis karena di dalamnya berlangsung dialog-dialog polifonis yang sangat cair tentang co-being.

Dialog-dialog tersebut pun dapat berlangsung dalam ruang-ruang yang berbeda, termasuk ruang-ruang sejarah.

Analisis dalam makalah ini juga meminjam konsep kunci new historicism yakni yang memosisikan teks sastra berkaitan erat dengan praksis-praksis sosial, politik, dan ekonomi sebagai bagian integralnya. New historicism mengkaji paralelitas berbagai ragam teks dalam merepresentasikan persoalan zaman yang melahirkannya. Di dalam suatu zaman, sastra dan sejarah seperti jejaring yang rumit dan bukan pendulum. Dokumen sejarah tidak disubordinasikan sebagai konteks, melainkan dianalisis sebagai teks tersendiri, yang disebut “ko-teks” (teks ”dampingan”) dan bukan “konteks”.

Dalam kaitan dengan objek materi makalah ini, yakni lirik-lirik lagu populer Maluku mencerminkan perkembangan tematik tertentu sebagai manifestasi dialog antara self dan other, yakni individu sebagaimana dihadirkan oleh penulis, yakni subjek mama dan nona dalam relasi dengan other atau budaya dalam kerangka kolektivitas. Dengan demikian, perkembangan lirik lagu sebagai teks sastra populer dapat saja menjadi ruang pertemuan atau ruang dialog antarbermacam subjek dan relasi dalam teks.

PEMBAHASAN

a. Gambaran umum pergeseran tematis lirik lagu populer Maluku

Dalam pengamatan mengenai struktur tematis lirik-lirik lagu populer Maluku, ditemukan bahwa ada beberapa tema dominan, yakni: kerinduan pulang ke Ambon, persaudaraan, mama, nona, dan keindahan alam. Pergeseran tematik tersebut digambarkan dalam Latupapua (2011) melalui penjelasan komprehensif berdasarkan sebaran tema dalam teks yang diteliti. Pada era tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an, tema lirik lagu yang dominan muncul adalah tema cinta, nasionalisme terhadap tanah kelahiran. Lirik lagu-lagu dalam bangunan tematis demikian antara lain berisikan tangisan atau ratapan kerinduan,

170

puja-puji, dan pengagungan terhadap tanah Ambon atau Maluku, terutama dalam sudut pandang anak-anak rantau, atau mereka yang berada jauh dari tanah kelahirannya. Tema-tema tersebut mendominasi produksi lagu- lagu populer Maluku dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain tema-tema pengagungan terhadap tanah Maluku dan kerinduan untuk pulang, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tema lainnya yang muncul secara dominan, antara lain; cinta terhadap orang tua; terutama pengagungan terhadap kasih sayang ibu. Hal tersebut tampak misalnya dalam lirik lagu yang paling terkenal dalam khazanah musik populer Maluku, yakni Mama Bakar Sagu.

Tema pengagungan terhadap kasih sayang ibu, merupakan tema paling dominan muncul dalam lirik lagu-lagu populer Maluku, sepanjang sejarah perkembangannya. Dalam album-album musik populer Maluku yang diproduksi sepanjang dasawarsa 1970-an hingga 2000-an, tema kecintaan dan pengagungan terhadap ibu adalah tema yang paling sering muncul, dengan demikian, paling disukai atau digemari oleh masyarakat. Fakta tersebut membuktikan bahwa penghargaan terhadap ibu, selain puja-puji terhadap tanah Maluku dalam kerinduan terhadap tanah asal, merupakan salah satu ciri budaya orang Maluku, sebagaimana yang direpresentasikan dalam lirik-lirik lagu tersebut.

Dalam lirik lagu-lagu populer tersebut terdapat tema cinta muda- mudi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk tradisi dan budaya pesta dansa, pergaulan, dan perkawinan cukup banyak ditemukan pada kurun waktu tersebut. Tema dimaksud sebagaimana nampak alam lirik lagu Toki Gaba-Gaba, Dua Hati Ikat Cinta, dan Kaweng Lari,

Selanjutnya, pada periode tahun 1980-an hingga mendekati akhir tahun 1990- an, tema yang dominan dalam lirik lagu-lagu populer Maluku mulai bergeser meskipun tema-tema yang sebelumnya dominan tidak ditinggalkan sama sekali. Pada periode ini muncul tema-tema parodi dan seksualitas, baik secara tersamar maupun terang-terangan. Hal ini ditemukan dalam karya-karya Hellas, dll.

Meskipun pada periode ini tema-tema yang dominan adalah seperti yang disebutkan di atas, tema-tema cinta tanah, orang tua, dan muda-mudi masih tetap ada, dan masih tetap digemari oleh masyarakat hanya mengalami pergerakan atau pergeseran ke pinggiran, sementara tema-tema baru bergerak menduduki pusatnya. Lagu-lagu lain yang cukup terkenal yang liriknya menceritakan tentang kecintaan terhadap Kota Ambon atau Maluku

171

Seiring dengan merebaknya tragedi kerusuhan Maluku, 19 Januari 1999, terjadi perubahan-perubahan dalam kecenderungan tematis lirik lagu-lagu populer Maluku. Pada periode awal tahun 2000-an, tema-tema yang dominan muncul adalah tema-tema perdamaian yang berisi ajakan untuk bersatu dan mengakhiri konflik melalui eksploitasi nilai-nilai tradisional Pela Gandong, dalam lirik lagu-lagu semisal Sampe Jua, Pela e, Acang deng Obet, dll.

Pada periode sepuluh dasawarsa terakhir ini, tema mengenai mama tidak terlalu menonjol sebagaimana sebelumnya. Justru tema-tema mengenai percintaan muda-muda menjadi tema dominan. Konstruksi konsep perempuan Maluku dalam kerangka percintaan dan romantisisme muda-mudi menggeser hamper semua tema lain hingga berada pada posisi periferi. Tampaknya, bahasa pengungkapan tentang relasi muda-mudi, perkawinan, laki-laki dan perempuan telah secara perlahan mengalami perubahan dari yang bersifat kaku dan tersamar menjadi banal, terus-terang, dan eksplisit.

b. Dialog tematik polifonik mama dan nona 70-an hingga 2000-an

Kecenderungan pergeseran tematik dalam kurun waktu panjang adalah efek dialog polifonik antarsubjek dalam teks. Dialog antarsubjek menghadirkan realitas historis, sosial, budaya masyarakat dalam diskursus naratif yang membentuk representasi struktur dan kelas sosial pada kurun waktu tertentu, sekaligus memberikan gambaran yang jelas tentang relasi antara self dan other.

Antara tahun 1970-an hingga 1990-an, subjek mama-lah yang paling banyak muncul berkaitan dengan representasi alienasi subjek dan ideologi romantisisme yang membelenggu oleh gelombang-gelombang migrasi ke Belanda, Pulau Jawa, bahkan ke bagian-bagian lain di Indoensia dan dunia. Subjek nona juga muncul dalam bentuk romantisisme yang “tidak nakal”, “belum tipikal-milenial”, dan “sopan”. Dialog-dialog dalam bentuk tangisan dan bahkan jeritan tentang kasih sayang mama, sama intensitasnya dengan Ambon sebagai tanah leluhur, sebagai formasi ideal dari other yang ingin dijangkau secara sungguh-sungguh oleh aku-lirik.

Fenomena itu ditemukan dalam begitu banyak lirik lagu populer yang mengidentifikasi dialog ulang alik antara rindu Ambon, rindu mama, serta ingin pulang.

172

Betapa tangisan tentang mama adalah wujud alienasi dan keterasingan self di tanah rantau.

Lirik lagu Mama Bakar Sagu telah secara eksplisit menunjukkan hal ini: Sio mama e, beta rindu mau pulang e… Sio mama e, mama su lia kurus lawange… Beta balong balas mama, mama pung cape sio dolo e… Sio Tete Manis e, jaga beta pung mama e… Dalam lirik-lirik dengan tema paralel dengan lirik tersebut, kecenderungan membentuk pola relasi co-being terus muncul dalam bentuk dialogis antara mama sebagai subjek narasi dengan tafsir pembaca atau pendengar sebagai objek. Inilah yang membentuk konstruksi kontrakdiktif orang Maluku yang melankoli tetapi garang, yang liyan tapi melawan.

Kemudian, dalam periode yang sama, wacana nona secara tematis dalam lirik lagu-lagu populer berpusat para romantisisme yang tidak banal, anti-erotisme, dan terlihat menjunjung tinggi kepatutan dan kewajaran artikulatif di ruang publik. Lirik-lirik lagu populer yang terkenal seperti Enggo Lari, Toki Gaba-Gaba, dll, memosisikan self dalam dialog yang kaku dengan other, sebagaimana pola yang ditujukan oleh subjek mama.

Berdasarkan penelusuran konteks, sejarah masyarakat Maluku pada periode ini memang lekat dengan migrasi sebagian kecil orang, marginalisasi, ketertinggalan pembangunan, keterjangkauan yang beku. Hal ini masih diperkuat dengan konstruksi ideologi Orde Baru yang memang berupaya menyamarkan wacana seksualitas dan erotisme di belakang penguatan ideologi Pancasila serta nilai-nilai religius yang melekat di dalamnya. Sehingga, teks-teks yang diproduksi dengan tendensi erotisme dalam konteks Maluku justru tidak dapat dijumpai secara terbuka. Demikian pula dengan latar lingkungan music Ambon, Maluku, dan Indonesia memang tidak sama terbuka dan cair sebagaimana saat ini. Tema-tema yang “nakal” dan memicu kontroversi cenderung dihindari oleh para penulis lirik, secara sungguh-sungguh.

Periode selanjutnya dalam pergeseran kecenderungan dialogis antara mama dan nona dapat ditandai dengan menguatnya sistem produksi lirik dan musik lokal sebagai wujud kebebasan berekspresi dan pemerataan sistem produksi yang tidak lagi Jawa sentris, secara perlahan-lahan. Selepas tragedi Maluku 1999, sekita akhir dekade 2000-an, lirik-lirik lagu dengan subjek nona mulai berani melahirkan jejaring seksualitas secara eksplisit dan terang-benderang. Berbagai bentuk artikulasi idiomatik seperti kaweng bini dua, asam tinggi, pusa manyala. Tema mama sebagai suatu bentuk dialog perlahan-lahan mulai terpinggirkan, diganti dengan gelombang kemunculan teks dengan kecenderungan dialogis nona dalam pertempuran wacana yang demikian.

173

Keadaan itu, secara bawah sadar, membawa kesan lunturnya nilai-nilai yang dianggap mapan dan luhur. Tema mama yang digeser oleh nona berpeluang memicu jarak antargenerasi. Semua yang konservatif akan berhadapan dengan arus milenial yang makin terbuka dan liberal. Generasi yang mengalami dampak residual diskursus mama akan memandang nona sebagai “gangguan” terhadap kepatutan, sedangkan generasi milenial kontemporer akan berkutar dalam “kenakalan” yang semakin memperlebar jarak ideologis.

Fenomena serupa di atas muncul dalam berbagai intensitas hingga menguat pada periode lima tahun terakhir. Hal serupa ini dapat dilacak jejaknya dalam kontroversi lagu Bustik : Bustik, butuh suntikan kasih sayang, bukan untuk dipermainkan, bustik, butuh suntikan kasih sayang, bukan rasa atau angan yang sering terbayang. Penggunaan akronim metaforis yang membentuk konsep seksualitas yang banal di kalangan pendengar atau pembaca lirik menyebabkan terjadinya semacam benturan dalam proses dialog mama dan nona, meski nona tidak disebutkan secara eksplist dalam teks tetapi tidak bisa dibantah sebagai wujud representasi subjek dialog sebagai self.

Diskursus polifonik ini memang berujung pada perspektif terhadap perempuan yang direpresentasikan dalam teks-teks. Perempuan (nona) menjadi subjek sekaligus self namun representasi perempuan dalam konteks budaya menjadi other, terutama jika dikaitkan dengan benturan ideologis antarkelas dan antargenerasi. Generasi tua dan terdidik secara otomatis memandang lirik-lirik serupa itu sebagai ancaman terhadap kemapanan dan konservatisme ideologis yang membentuk pikiran kelas mereka selama beberapa generasi.

Lirik lagu yang eksplisit menyodorkan wacana nona yang berbeda dari sebelumnya adalah wujud ancaman dan pemberontakan terhadap kenyamanan dan superioritas kelas, sekaligus meruntuhkan selera kelas dengan pengagungan mutlak terhadap kapitalisme sebagai lokomotif produksi teks-teks, termasuk teks dalam bentuk lirik lagu populer yang

“merakyat” dan antimapan. Hal serupa itu juga ditemukan dalam lirik mama, beta bilang beta kaweng bini dua, kalua mama sudah tua harus punya mantu dua… adalah pemberontakan yang terang-terangan terhadap supremasi pernikahan dalam kelas sosial yang lazim sebagai pranata yang sakral dengan konsep monogami absolut.

Dengan demikian, dalam periode-periode waktu yang lebih baru, tampaknya nona sebagai subjek representasi perempuan dalam teks mulai kukuh menggantikan supremasi mama sebagai wacana dominan dalam wujud dialog polifonis yang semakin jauh berbeda:

174

yang satu semakin bising dan yang lain semakin senyap. Yang terjadi hanyalah pengulangan tema-tema lama pada kelas-kelas sosial yang menyempit dan terbatas. Sedangkan pada sisi yang lain, liberalisme, kapitalisme, perubahan gaya hidup dan tingkat ekonomi, persepektif budaya yang makin bergeser menyebabkan wacana nona secara perlahan-lahan akan bergerak semakin bebas dan liar dalam dialog-dialog yang secara pelan-pelan akan melenyapkan gaung mama sebagai subjek yang tadinya dominan.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, tampaknya dialog antara perempuan, nona dan mama sesungguhnya merupakan wujud dari tarik-menarik ideologi antarkelas dan antargenerasi. Keduanya adalah subjek perempuan sekaligus menghadirkan perempuan sebagai salah satu unsur dari co-being yang dikonsepsikan oleh Bakhtin sebagai wujud sentral dialog polifonis dalam teks. Dalam rentang waktu tertentu, kedua subjek ini, secara bergantian menandai kemunculan dan kelenyapan ideologi tertentu sebagai being dalam fungsi mereka sebagai self yang merepresentasikan pengarang dan pandangannya.

PENUTUP

Demikianlah, baik nona maupun mama, keduanya akan tetap hidup dalam dialog yang polifonis akan tetapi berwujud berbagai rupa tema selama pengarang/komposer masih menjadi bagian dari struktur sosial. Tanggung jawab untuk menjadikan diskursus nona tetap dalam nilai didaktis sebagaimana yang ditimbulkan oleh mama akan selalu berbenturan dengan liberalisme dan kapitalisme pasar yang membuat rupa tematik lirik lagu populer

“liar” dan “nakal” semakin tak terhindarkan. Pada sisi yang satu, kelas sosial yang sebelumnya mapan dengan konstruksi ideologis akan terombang-ambing dalam kebingungan menyaksikan kemapanan mereka digerus dengan dekonstruksi dan kemunculan diskursus nona yang makin profan dan tak terkendali. Sedangkan, pada generasi yang lebih muda, memproduksi lirik yang mengikuti arus dominan, dengan resiko kontroversial sekalipun, akan menjadi bentuk dialog sekaligus perlawanan yang, tanpa disadari, akan semakin membentuk nona sebagai symbol kebebasan, anti kemapanan, perjuangan memerdekakan diri dari peminggiran kelas, serta rekonstruksi konsep feminism yang tadinya seakan telah mapan di kelas sosial dan generasi yang lain.

175 DAFTAR PUSTAKA

Dewojati, Cahyaningrum. (2019). Sastra Populer Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Faruk dan Suminto A. Sayuti. (1997). Sastra Populer. Jakarta: Universitas Terbuka.

Latupapua, Falantino E. (2011). Inferioritas Pribumi dan Mimikri: Kajian Poskolonial Terhadap Lirik Lagu-Lagu Populer Maluku Periode Tahun 2000-2010. Tesis pada Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan.

Leasiwal, Axel. (2019). Minat Baca Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Pattimura. Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Pattimura: tidak diterbitkan.

Manshur, Fadhil M. (2017). Teori Dialogisme Bakhtin dan Konsep-Konsep Metodologisnya. Dimuat dalam Jurnal SASDAYA, Vol. 1, No. 2, Mei 2017. Diakses dari https://jurnal.ugm.ac.id/sasdayajournal/article/view/27785/16995, 10 Oktober 2020.

Wearulun, Matelda dan Yurulina Gulo. (2020). The Special is Women: Suatu Ritual Adat Masuk Minta di Tanimbar Provinsi Maluku. Dimuat dalam Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology) ISSN 2460-4585 (cetak) ISSN 2460-4593 (daring) diakses dari http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/anthropos, 10 Oktober 2020.

176

RAHAN TELLI: ARSITEKTUR TRADISIONAL MASYARAKAT TANIMBARKEI,