• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat

F. Negosiasi bahasa

1. Perspektif Bahasa Sumber (kata mushtarak, kedekatan makna, subjek berulang).

Perspektif bahasa sumber dilihat dari kata mushtarak, misalnya bahasa sumber menggunakan kata ‘Allah’ dan bahasa sasaran memiliki dua makna, pertama ‘opu Alla taala (makna berdimensi islamik; sementara pemakaian makna ‘tuang-ala’ lebih cenderung ke makna katayang berdimensi kristiani. Sehingga terjadi perdebatan dengan para penerjemah untuk memilih kedekatanmakna, karena bahasa sumber lebih familiarmaka disepakati untuk dikembalikan ke bahasa sumber ‘Allah’. Sedangkan kata ganti orang misalnya ‘ale’, ‘ose’, ‘kamong’, terkadang penerjemah menggunakannya di dalam terjemahan dengansubjekberulang atau mungkin dalam posisi objek. Mislanya

‘ale’ pada saat tertentu berubah maknanya menjadi ‘kamong’, terutama ketika kata ganti tersebut berada pada posisi subjek atau pada posisi objek.

2. Perspektif Bahasa Sasaran (pola kalimat, transkriptik fonetik, Tingkatan bahasa).

Penerjemahan al-Quran dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran cenderung menggunakan pola kalimat pasif. Pola kalimat seperti pada umumnya terjadi pada bahasa sasaran. Bahasa sasaran mengguanakan pola seperti ini karena dipengaruhi oleh baahsa asing, seperti bahsa Belanda, bahasa Spanyol, bahasa Portugis yang cenderung menggunakan pola kalimat pasif sehingga bahasa Melayu Ambon sebagai bahasa sasaran juga menggunakan pola seperti. Namun demikian pun tetap sebagian terjemahan masih terpengaruh pada pola penerjemahan seperti digunakan oleh Kementerian Agama.

3. Equivalensi / Kesetaraan.

Konsep kesetaraan diyakini sebagai isu sentral dalam penerjemahan meskipun definisi, relevansi, dan penerapannya dalam bidang teori terjemahan telah menyebabkan kontroversi yang memanas. Beberapa teori tentang konsep kesetaraan telah dielaborasi dalam bidang ini dalam lima puluh tahun terakhir, seperti Vinay dan Darbelnet (1995), Jakobson (1959), Nida dan Taber (1982), Catford (1965), House (1977), dan Baker

115

(1992). Memang, '' Kesetaraan '' telah memberikan dasar teoritis dan pragmatis yang berguna untuk proses penerjemahan. Namun, gagasan equiv-alence juga telah dikritik sebagai '' asimetris, terarah, tanpa subjek, tidak sesuai mode, tidak tepat dan tidak jelas '' (Bolan ̃os, 2005; Snell-Hornby, 1988; Nord, 1997). Sejumlah pakar mensinyalir bahwa jika ekuivalensi adalah inti dari terjemahan, non-ekuivalensi merupakan konsep yang sah secara setara dalam proses penerjemahan. Alasan untuk posisi ini adalah bahwa bahasa mengartikulasikan atau mengatur dunia secara berbeda karena ''bahasa tidak hanya menyebutkan kategori yang ada, mereka mengartikulasikannya sendiri'' (Culler, 1976, hal 21). Selanjutnya, ketidaksetaraan dalam penerjemahan dibahas dan didukung oleh bukti dan contoh dalam proses penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Inggris, suatu hal yang belum dibahas secara memadai dalam penelitian yang berhubungan dengan kesetaraan. Banyak peneliti telah membahas kesetaraan dalam menerjemahkan terutama dari bahasa Inggris ke bahasa Arab (Ghazala, 2004). Kedua bahasa ini milik dua budaya yang berbeda dan karenanya, memberikan bukti yang baik untuk kemungkinan menerjemahkan apa yang kadang-kadang disebut sebagai ''tidak dapat diterjemahkan'' karena tidak adanya kesamaan atau kurangnya persamaan. Misalnya, bahasa Arab kaya akan istilah dan konsep khusus budaya yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris, terutama di dalam bahasa Melayu Ambon. Meski demikian, Bahasa Melayu Ambon tidak sama seperti bahasa Inggris, sejumlah istilah dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menggunakan salah satu strategi yang disarankan untuk menerjemahkan non-ekuivalen untuk menyampaikan makna konseptual dan budaya mereka kepada pembaca yang berbahasa Inggris (Baker, 1992).

Bentuk Kata A. Pola Kata Dasar

(1) Ekasuku dengan rumus: (K) (K) (K) V (K) (K) contoh: /jua/ 'juga', /mar/ 'tetapi', /par/

'untuk', /pa/ 'kepada’, ‘untuk',/deng/ 'dan’, ‘dengan', /prong/ 'hiasan' . Sedangkan di dalam bentuk (2) Dwisuku dengan rumus: (K) (K) (K) V (K) (K) V (K) contoh : /daong/ 'daun', /tipar/ 'sedap', /amper/ 'hampir, dekat', /ampas/ 'remah-remah', /sondo/ 'sendok',/sopo/

'sejuk',/sondor/ 'tidak ada',/sobat/ 'kawan'. (3) Trisuku dengan rumus KV (K) KV (K) KV contoh: /dodeso/ 'jerat', /kapista/ 'sangat, nakal', /kapadu/ 'kebiri', /kaskadu/ 'penyakit kulit', /kalabor/ 'pengacau', /kalesang/ 'teratur'. (4) Catur suku dengan rumus: KVKVK contoh:

116

/caparune/ 'sangat kotor', /cakadidi/ 'sangat genit', kalamumur/ 'ketombe', /paparipi/ 'cepat-cepat'.

B. Imbuhan

(1). Awälan bahasa Melayu Ambon berasal dari bahasa Melayu, yang dalam pemakaiannya sering mendapat perubahan. Hal itu dapat dilihat pada contoh berikut.

awalan sehingga menjadi digi, misalnya dia ada digi ruma 'dia berada di rumah'.

(2). Dalam bahasa Melayu Ambon hanya terdapat akhiran -an, sedangkan akhiran lain tidak ada. Akhiran -an itu senantiasa menjadi ang, misal-nya makanan menjadi makanang, minuman menjadi minumang. Demikian pula kata yang berakhir dengan m menjadi ng, misalnya kata/asam/ menjadi /asang/, kata /minum/ menjadi /minung/, dan kata /demam/

menjadi /damang/. Selain itu, terdapat juga akhiran lain, tetapi tidak memiliki arti khusus, yang fungsinya sebagai penghalus sebuah kalimat, contohnya mari pulang doloe 'mari pulang dulu'. Sering terjadi perubahan suku kata yang berakhir dengan suku katan dan m menjadi /ang/, misalnya kata/Ambon/ menjadi kata /Ambong/, dan kata /minum/ menjadi kata /minong/.

Sedangkan transkriptik fonetik bahasa sasaran masih hampir sama seperti fonetik bahasa Indonesia, karena bahasa Melayu Ambon sebagian besar kosa katanya meminjam kosa kata bahasa Indonesia dan berbagai kosa kata dari bahasa asing. Secara fonetik ada sedikit

117

perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Ambon. Perbedaan tersebut terjadi pada penghilangan atau penambahan bunyi fonetik pada kebanyakan kosa kata tertentu bahasa Indonesia ke dalam bahasa Melayu Ambon.

Bahasa Melayu Ambon tidak mempunyai ejaan. Oleh karena itu, penulisan menurut Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan mengalami beberapa catatan, yakni (1) huruf h ditulis jika ucapannya terdengar karena banyak kata-kata bahasa Indonesia yang sama dengan kata bahasa Melayu Ambon, tetapi dalam penulisan kata bahasa melayu Ambon banyak h yang dilesapkan, misalnya kata /suda/ dari kata 'sudah', (2) huruf k pada akhir kata tidak ditulis, misalnya kata /masu/daari kata 'masuk', dan (3) tekanan kata terdapat pada suku kedua dari belakang, misalnya kata /sasa/ dari kata 'sesak'.

Selanjutnya pendistribusian Fonem di dalama bahasa Melayu Ambon:

Fone m

Posisi

Awal Tengah Belakang

/i/ /ikang/ 'ikan' /ŋiri/ 'lebah' /kacili/ 'kecil'

118 5. Ayat-ayat sosio politik