• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaum Muslimin itu Fanatik

Seruan untuk mengadakan suatu blok yang akan menyelamatkan seluruh tanah air Islam dan imperialisme Barat yang penuh dosa dan yang akan menghambat aliran atheisme yang materialistis dan keji, dianggap oleh sebahagian orang sebagai suatu kefanatikan agama yang harus dijauhi dan yang risikonya harus dihindari.

Tanah air Islam yang diserukan orang untuk dikembalikan persatuannya dan dikembalikan kekuatannya, adalah satu-satunya tanah air dalam seluruh sejarah ummat manusia di mana toleransi agama adalah wataknya yang utama, di mana golongan minoriti diperlakukan dengan jiwa kemanusiaan yang murni, dan di mana golongan-golongan minoriti ini mendapat haknya dalam kebebasan beribadat, kebebasan beragama, kebebasan untuk memiliki harta benda, kebebasan untuk bekerja dan kebebasan-kebebasan lain yang sampai saat ini ada beberapa masyarakat bukan Islam yang belum memberikannya kepada orang-orang kulit berwarna, atau kepada pengikut pengikut agama-agama tertentu, di semua tempat.

Walaupun demikian orang-orang Islam itu di anggap fanatik.

Kita mendengar burung-burung beo yang menolak seruan kepada didirikannya blok Islam itu, dan menolak seruan untuk menegakkan sistem Islam. Apakah burung-burung beo ini tidak mendengar apa yang dilakukan orang-orang yang bukan Islam terhadap kaum Muslimin, di segala tempat di atas permukaan dunia ini, di abad ke-20 ini?

Marilah kita mulai dengan Ethiopia. Ethiopia adalah tetangga dekat kita yang pernah kita dirikan panitia-panitia untuk menolongnya dan kita kirimkan ke sana misi-misi para doktor, sewaktu ia diserang oleh orang- orang Itali tahun 1935, dan berhari-hari masalah itu kita tempatkan di surat- surat kabar kita, dan kita anggap masalahnya sebagai masalah kita sendiri. Marilah kita dengarkan apa yang terjadi. Marilah burung-burung beo itu mendengarkan apa yang di alami oleh kaum Muslimin di Ethiopia dewasa ini.

Sebuah missi al-Azhar yang terdiri dari dua orang ulama yang terkemuka, iaitu Abdullah al-Musyid dan Mahmud Khalifah, yang mana keduanya itu adalah mahaguru Fakulti Hukum Islam, telah mengunjungi Somalia, Eritrea, Aden dan Ethiopia untuk mempelajari keadaan kaum Muslimin di sana. Perjalanan missi itu memakan waktu tiga bulan, mulai

tanggal 26 Sya’ban 1370/1 Jun 1951 sampai tanggal 29 Dzulqaidah 1370/1 September 1951. Mereka telah menulis laporan yang terperinci sepanjang 160 halaman besar, dan laporan itu bersifat teliti, moderat dan realistik. Kendatipun demikian laporan ini juga mengandungi hal-hal yang amat mencengangkan tentang penindasan agama di abad ke-20 ini.

Inilah permulaannya

“Setelah kami selesai mengunjungi Burma salah satu daerah Somalia jajahan Inggeris, kami berniat untuk melanjutkan perjalanan ke Ethiopia, kerana waktu yang ditentukan untuk masuknya kami ke sana sudah hampir habis. Kami berangkat tanggal 26 July 1951 ke Jijija dengan kereta, iaitu kota Ethiopia yang pertama di bahagian tenggaranya, dan dianggap sebagai ibu kota Ogaden Somalia.

“Setelah kami masuk ke hotel dan beristirahat di sana selama satu setengah jam, kami diperintahkan untuk meninggalkan kota itu, dan tidak diizinkan bermalam di sana. Kami terpaksa kembali ke Herjisah malam itu juga. Setelah itu kami meninggalkan Herjisah menuju ke Aden, dan dari sana kami menuju ke Asmara. Setelah kami tinggal di sana dalam sepuluh hari, kami mendapat pemberitahuan dan Kedutaan Besar Mesir di Adis Ababa bahawa kami telah diberi izin oleh Kementerian Luar Negeri Ethiopia untuk masuk ke negeri itu. Kami berangkat dengan pesawat terbang ke Adis Ababa pada hari Khamis 16 Ogos 1951, dan kami tinggal di sana selama dua belas hari. Di waktu itu kami mencuba untuk mengunjungi perguruan-perguruan di ibu kota dan kota-kota besar lainnya, dan menghubungi kaum Muslimin di sana. Kami tidak dapat melakukan hal ini kerana hal-hal yang berada di luar kekuasaan kami.

“Tetapi hal itu tidak menghalangi kami untuk mengetahui banyak masalah-masalah yang dihadapi kaum Muslimin di Ethiopia. Dalam laporan ini akan kami kemukakan sebahagian daripadanya yang dapat kami kemukakan, dengan maksud untuk diketahui oleh pihak yang bertanggungjawab.”

Kemudian laporan itu menyebutkan suatu peristiwa yang aneh yang hampir tidak diketahui siapapun. Jumlah kaum Muslimin di Ethiopia pada umumnya tidak kurang dan 65% dan seluruh penduduk. Di beberapa daerah sampai mencapai 85% dan beberapa daerah lagi ada yang hanya 25%. Tetapi pada umumnya mereka merupakan majoriti yang pasti. Yang lainnya terdiri dan Kristian, Yahudi dan penyembah berhala. Laporan ini berdasarkan sensus yang dilakukan Itali dengan teliti tahun 1936, dan statistik-statistik yang ada pada konsulat-konsulat asing di Ethiopia. Kenyataan ini aneh sekali, seperti telah saya kemukakan. Keanehan ini bertambah lagi kalau kita ketahui bahawa unsur Islam ini tidak diperhatikan sama sekali dalam bidang kepegawaian, pendidikan dan kehidupan, dan kaum Muslimin tidak diberi hak-haknya sebagai warganegara.

Kemudian laporan itu menyebutkan fakta-fakta yang menyedihkan dan aneh ini:

1. Setelah penjajahan Itali berakhir, Pemerintah Ethiopia telah merampas dua pertiga hak milik tanah kaum Muslimin dan diberikan kepada penduduk yang beragama Kristian, sedangkan pajak yang berat selalu dibebankan kepada kaum Muslimin, dengan tujuan untuk memiskinkan dan menghancurkan mereka.

2. Pemerintah Ethiopia memberikan perlindungan dan perhatian kepada missi-missi dakyah Kristian, dan dalam pada itu orang Islam dilarang untuk pergi dan suatu daerah ke daerah lain untuk memberikan pengarahan dan pendidikan kepada kaum Muslimin. Semua usaha yang mengarah ke sana dilarang. Disebutkan dalam laporan itu bahawa missi-missi Kristian itu mungkin untuk mengkristiankan seluruh kaum Muslimin di daerah-daerah ini dalam jangka waktu lima tahun, kerana mereka bodoh dan miskin. Tidak ada orang memberikan pelajaran agama Islam kepada mereka atau mendorong mereka untuk berpegang teguh kepada aqidah kepercayaan mereka.

3. Orang Islam di Ethiopia yang paling besar perhatiannya untuk menyebarkan ilmu-ilmu agama adalah kaum Muslimin yang tinggal di bahagian Kafa, Jima, Lilo Wohrer. Di Jima sahaja dahulunya terdapat lebih dan 60 sekolah untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak kaum Muslimin. Tetapi setelah daerah itu dinyatakan dimasukkan ke dalam Kekuasaan Ethiopia dan rajanya Amir Abdullah bin Sultan Mahmud ibn Daud yang terkenal dengan nama Abu Ja’far, ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, sekolah-sekolah ini dikuasai oleh pemerintah Ethiopia dan kebanyakannya ditutup. Mana yang masih ada, kurikulumnya diubah, dan bahasa Arab dan pendidikan agama Islam dihilangkan.

4. Penguasa Ethiopia berusaha keras untuk menyebarkan ilmu pengetahuan di kalangan anak-anak yang beragama Kristian di negara, semampu sumber kewangan yang mereka miliki. Untuk itu didirikan kira-kira 200 sekolah dasar dan menengah untuk putra dan putri, dan dari jumlah murid yang ada kaum Muslimin tidak mencapai 3%, iaitu orang-orang yang pemerintah Ethiopia terpaksa menerimanya kerana keadaan-keadaan tertentu. Walaupun pertambahan penduduk di kalangan kaum Muslimin lebih cepat daripada di kalangan penduduk yang beragama Kristian, makä dana yang disediakan untuk pendidikan kaum Muslimin hanya berjumlah tidak lebih dan lima persen dan seluruh anggaran pendidikan. Ini di samping kenyataan bahawa dalam kurikulum sekolah pemerintah tidak tersedia tempat untuk bahasa Arab maupun untuk agama Islam, walaupun di daerah-daerah yang penduduknya hanyâ terdiri dan kaum Muslimin sahaja.

5. Orang Islam telah mendesak kepada Kementerian Pendidikan untuk di daerah-daerah ini agar ditetapkan pelajaran agama Islam dan bahasa Arab di sekolah-sekolah. Di beberapa sekolah memang telah di angkat guru-guru untuk mengajarkan mata pelajaran agama Islam, tetapi pelajaran bahasa Arab ditolak. Guru-guru agama Islam itu dipilih dan orang-orang yang tidak mengerti agama Islam sedikit juga. Untuk mata pelajaran agama Islam ini tidak disediakan jam tertentu, seperti keadaannya dengan bahasa Amhari, bahasa Ingeris, dan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lain. Guru agama Islam disuruh mengumpulkan murid-murid di waktu istirehat, di mana ketika itu diajarkan tidak lebih dan waktu-waktu sembahyang, jumlah raka’at, rukun dan syaratnya, dan hal-hal yang serupa dengan itu. Jadi guru-guru itu tidak dapat mengumpulkan anak-anak di waktu istirehat sehingga ia tidak dapat mengajar. Kadang-kadang dalam satu tahun ia tidak pernah mengajar sekalipun.

6. Tahun yang lalu pemerintah telah memilih missi-missi yang terdiri dan tamatan beberapa sekolah, dan dikirim ke berbagai perguruan di luar negeri, dan bila mereka telah kembali diberi kedudukan- kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan. Di antara mereka yang dikirim ke luar negeri itu terdapat dua orang Islam kerana nilai yang mereka capai amat tinggi. Tetapi sampai sewaktu akan berangkat ke luar negeri, kedua orang itu tidak dapat berangkat, kerana alasan alasan yang tidak diketahui.

7. Kaum Muslimin mempunyai lapan sekolah dan sekolah-sekolah itu diajarkan bahasa Arab dan pendidikan agama Islam. Wang masuk sekolah itu berasal dan sumbangan-sumbangan dan pemberian- pemberian yang dikumpul melalui organisasi-organisasi yang didirikan untuk tujuan ini. Sekolah-sekolah ini mendidik 3000 anak- anak kaum Muslimin. Walaupun banyak hambatan-hambatan, sekolah-sekolah ini tetap melaksanakan kewajipannya sampai tahun 1949. Pemerintah memaksa sekolah ini menganut kurikulum di mana bahasa Arab dan pendidikan agama tidak diajarkan. Sewaktu para pengurus sekolah itu menolak untuk mengikuti kemahuan pemerintah, maka pemerintah mulai memperlakukan organisasi- organisasi pendukung sekolah itu sedemikian rupa sehingga orang- orang yang tadinya memberikan sumbangan dan bantuan, sekarang tidak lagi memberikan bantuannya. Pada akhirnya tiga dari sekolah- sekolah itu terpaksa dikuasai pemerintah, dan mata pelajaran agama Islam dan bahasa Arab dihapuskan.

8. Sekolah-sekolah lain yang masih tinggal juga sedang menuju nasib yang sama dengan ketiga sekolah yang disebutkan di atas. Pada waktu missi meninggalkan Ethiopia, sekolah keempat sedang mengalami pengalaman yang sama.

9. Salah satu sekolah yang masih tinggal meminta kepada Kementerian Pendidikan agar guru-guru Mesir diizinkan untuk mengajar di sana di

waktu lapang mereka, kerana sekolah itu memerlukankan guru-guru yang memenuhi syarat, tetapi permintaan ini ditolak.

10. Buku-buku berbahasa Arab tidak diizinkan masuk ke Ethiopia, tidak boleh diperedarkan. Harian dan majalah berbahasa Arab diizinkan masuk, tetapi mendapat pengawasan yang amat ketat.

Inilah fakta-fakta yang amat menyakitkan hati yang terjadi di abad ke- 20, dan beginilah situasi yang dialami oleh 65% penduduk Ethiopia, bukan kerana apa-apa, hanya kerana mereka beragama Islam.

Kalau kita tambahkan lagi apa yang saya dengar dan sumber yang dapat dipercayai bahawa kaum Muslimin di Ethiopia tidak boleh menduduki jabatan-jabatan pemerintahan Ethiopia, dan bahawa mereka juga tidak dibolehkan menjadi tentera, agar jangan ada tentera dan kalangan kaum Muslimin, dan bahawa kaum Muslimin sampai baru-baru ini kalau berhutang dan tidak mampu membayar hutangnya, maka ia diperjual- belikan sebagai budak, jika ia berhutang kepada seorang Kristian. Praktik- praktik yang keji seperti ini baru dihapuskan tahun 1936 oleh orang orang Itali.

Jika kita ketahui fakta-fakta yang menyakitkan ini jelaslah bagi kita tanpa keraguan sedikitpun, bahawa kaum Muslimin itu adalah orang fanatik yang paling fanatik.

Bukankah demikian hai para burung beo, yang merasa amat takut sekali kalau orang-orang Islam itu bersatu di bawah bendera agama?