• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Daerah Sulawesi Tengah Dan Relasinya Dengan Konflik Tenurial Masyarakat Hukum Adat To Sinduru.

Dalam dokumen Kebijakan Daerah dan Tenure Masyarakat A (Halaman 168-173)

Bagian Ketiga

III.. Kebijakan Daerah Sulawesi Tengah Dan Relasinya Dengan Konflik Tenurial Masyarakat Hukum Adat To Sinduru.

Sekarang ini dalam wilayah adat To Sinduru terdapat banyak klaim hak. Masy- arakat hukum adat memberi respon dengan memperjuangkan hak berdasarkan sistem tenurial mereka. Penyelenggaraan otonomi daerah selama ini belum juga memberikan warna cerah pada hak-hak To Sinduru atas wilayah adat mereka secara khusus atas hu- tan. Berikut dua kasus tenurial yang pernah dihadapi oleh masyarakat hukum adat To Sinduru setelah masa otonomi daerah yaitu :

a. Konflik tenurial To Sinduru dengan CV. Satria Abadi, KUD Singgani dan To Bangga.

Konflik ini dimulai pada 2000. CV. Satria Abadi berkedudukan di Ibukota Propinsi Sulteng, Palu, sedang KUD Singgani sendiri berkedudukan di Ngata Bangga, Kecamatan Dolo, Kabu- paten Donggala. Mereka memperoleh legitimasi eksploitasi hutan melalui SK. Bupati Dong- gala No. 188.45/0307/BAG.PEM. dan No. 188.45/0310/BAG.PEM. Tanggal 11 Mei 1994 Ten- tang Pemberian Izin Mengolah Tanah Negara Bebas seluas 100 Ha untuk dua kelompok tani. Lokasi izin Sk Bupati di Desa (Ngata) Bangga. Kemudian dikuatkan kembali oleh SK Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Donggala No.400-57 Tanggal 6 November 1996 serta SK Ke- pala Kantor Wilayah Kehutanan Dan Perkebunan Propinsi Sulteng No. 354/kpls/kwl-3/2000 Tentang Izin Pemanfaatan Kayu Pada Lahan Perkebunan KUD Singgani di Desa Bangga Kec. Dolo, Kabupaten Donggala, Propinsi Sulteng.

Pada kenyataannya, kegiatan eksploitasi hutan yang dilakukan oleh CV. Satria Abadi dan KUD Singgani telah melanggar ketentuan Izin SK Bupati Donggala. Pembukaan hutan yang mencapai 800 Ha dan memasuki wilayah adat To Sinduru terbagi dalam tiga lokasi yaitu :

• Daerah Lalere. Pembukaan hutan seluas 500 Ha yang peruntukkannya untuk 10 Ke- lompok Tani (anggota Kelompok Tani berasal dari Ngata Bangga).

• Daerah Maope. Pembukaan hutan seluas 200 Ha dan ada 4 Kelompok Tani yang mengolah lahan tersebut (anggota Kelompok Tani berasal dari Ngata/Desa Bangga). • Daerah Tiwa’a. Pembukaan hutan seluas 100 Ha.

Sumber: 1. Pengetahuan periset selama terlibat dalam kasus ini. 2. Dokumen/arsip lembaga adat To Sinduru.

5

Lokasi pembukaan kawasan hutan yang dilakukan oleh KUD Singgani dan CV. Sa- tria Abadi di daerah Lalere, Maope dan Tiwa’a terletak di wilayah adat To Sinduru (sebe- lah barat Ngata Tuva). Pelanggaran wilayah adat yang dilakukan perusahaan dan kope- rasi tersebut membuat berang para Totua Ngata dan masyarakat hukum adat To Sinduru. Sekian lama mereka menjaga kelestarian hutan di wilayah itu, yang dipandang dan di- hormati sebagai bagian dari kehidupan mereka., mulai mengalami kerusakan. Rusaknya alam dapat berimplikasi langsung pada rusaknya tatanan kehidupan mereka. Yang pa- ling mengganggu adalah masuknya pihak-pihak tersebut tidak melalui permohonan izin kepada Totua Ngata atau masyarakat hukum adat To Sinduru. Di sinilah dilema hukum adat. Apa yang dilakukan oleh CV. Satria Abadi dan KUD Singgani, sudah melanggar atu- ran-aturan adat konsep kearifan lokal To Sinduru. Salah satu pelanggarannya, yaitu atu- ran adat Nepongko (merampas hak umum). Nepongko berisikan ancaman sanksi adat kepada siapa saja yang melakukan perbuatan :

- Mengambil hasil hutan tanpa sepengetahuan Lembaga Adat dan Pemerintah Ngata.

- Merambah hutan dan atau membuka lahan di daerah hutan adat atau hutan yang dilindungi.

Pelaku pelanggar aturan adat “Nepongko”, akan dikenakan sanksi adat berupa den- da “Rompulu (20 buah Dulang), Rongkau (2 kain adat Mbesa) dan Rongu Bengka (2 ekor Kerbau)”. Lembaga Adat juga melakukan penyitaan hasil-hasil hutan yang diambil oleh pelaku.

Namun di sudut lain, hukum adat To Sinduru tak mampu menyentuh atau mem- berhentikan aktifitas CV. Satria Abadi dan KUD Singgani. Sebab, landasan formal mem- benarkan mereka dalam mengeksploitasi hasil-hasil hutan. Selanjutnya, masyarakat hu- kum adat To Sinduru menjalankan aksi-aksi penolakan. Jalur diplomasi dan unjuk rasa dilakukan, agar Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah segera menghentikan aktifitas CV. Satria Abadi dan KUD Singgani di wilayah hutan adat To Sinduru. Konflik tenurial mulai meluas dan melibatkan masyarakat Ngata lain. Masyarakat To Bangga mengklaim daerah Lalere, Maope dan Tiwa’a, adalah wilayah adat To Bangga. Dengan dasar itu, pembukaan kawasan hutan yang dilakukan oleh CV. Satria Abadi dan KUD Singgani, sesuai izin dari Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah. Sifat konflik tenurial yang terjadi, bukan lagi akibat benturan nilai-nilai (conflict of values) atau benturan norma-norma (conflict of norms), te-

5

tapi memasuki benturan kepentingan (conflict of interest) antar masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat To Sinduru berasumsi, sejarah penguasaan wilayah adat mereka sangat jelas (lihat Bab II Huruf B, Nomor 1 Tentang Awal Penguasaan Dan Pemilikan Wi- layah Adat To Sinduru). Wilayah mereka pun mendapat legitimasi secara de facTo oleh lebih dari satu Masyarakat hukum adat yang berbeda (To Kulawi, To Sarudu). Sedang To Bangga berpendapat, wilayah adat To Sinduru merupakan pemberian To Bangga dan mempunyai persyaratan/aturan tersendiri (bagi hasil).

Di luar itu, riset ini juga melihat ada kecenderungan motif ekonomi (kebutuhan perluasan areal pertanian) oleh masyarakat To Bangga. Mungkin wilayah adat To Bangga mengalami nasib yang serupa dengan keadaan To Sinduru di mana sebagian besar ma- suk dalam penetapan kawasan hutan Negara dan klaim-klaim hak tertentu.

Pada 28 Februari 2001, diselenggarakan Molibu (musyawarah adat) antara masy- arakat To Sinduru dan To Bangga guna menyelesaikan sengketa batas wilayah adat. Mo- libu ini menghadirkan kedua masyarakat, Pemerintahan Desa Tuva dan Bangga, Camat Sigi Biromaru, Camat Dolo, Danramil, Kapolsek Kecamatan Sigi Biromaru dan Kapolsek Kecamatan Dolo. Tercapai kesepakatan dalam Molibu bahwa batas wilayah adat mereka adalah:

1. Di sebelah utara batas antara wilayah adat kedua komunitas adalah sungai Tiwa’a. Sebelah kiri aliran sungai Tiwa’a merupakan wilayah adat To Sinduru sedangkan sebelah kanan aliran sungai Tiwa’a menjadi wilayah adat To Bangga.

2. Di sebelah selatan, wilayah adat To Sinduru di batasi sungai Maope. 3. Di sebelah barat, wilayah adat To Sinduru sampai di Gunung Tutuvongi.

Dengan keluarnya hasil kesepakatan masyarakat hukum adat To Sinduru dan To Bangga dalam Molibu, maka gugurlah klaim hak CV. Satria Abadi dan KUD Singgani atas wilayah adat To Sinduru. Namun persoalan belum selesai. Sejumlah anggota dari 14 Kelompok Tani KUD Singgani sudah terlanjur menanam bibit tanaman coklat di areal seluas + 100 Ha. Atas pertimbangan-pertimbangan tertentu para Totua Ngata mem- perkenankan anggota-anggota Kelompok Tani tersebut untuk menetap dan mengolah lahannya dengan persyaratan tidak lagi melakukan perluasan lahan dan dilarang mem- perjual-belikan lahan pemberian masyarakat hukum adat To Sinduru. Bila ketentuan ini mereka melanggar, Lembaga Adat To Sinduru akan mengambil kembali lahan itu.

5

Konflik tenurial To Sinduru dengan KUD Singgani dan CV Satria Abadi merupakan dampak dari lemahnya kebijakan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah dalam pengelo- laan sumberdaya alam. Kelemahan-kelemahan ini dapat dilihat dari:

1. Pembagian batas wilayah administratif Desa-desa di wilayah Propinsi Sulawe- si Tengah, belum rinci dan jelas. Hal itu sangat krusial, sebab undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 Nomor 12 me- nyebutkan, “Desa atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah ke- wenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sesuai asal-usul dan adat istiadat setempat, yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Bagaimana Desa mampu menjalankan amanat yang diemban dari Undang-undang No. 32/2004, apabila soal batas-batas wilayah kewenangannya saja, masih kontradiktif dengan wilay- ah kewenangan Desa lain/tetangga. Konflik To Sinduru dengan KUD Singgani dan CV. Satria Abadi yang lalu melibatkan masyarakat To Bangga, merupakan contoh kaburnya batas wilayah Ngata Tuva dan Ngata Bangga. Pendekatan seja- rah atau adat berkaitan dengan teritorial suatu Ngata sebagai solusi pemecahan masalah ini tidak dipergunakan secara maksimal. Belajar dari Molibu yang da- pat menyelesaikan sengketa wilayah, perlu kiranya Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah mengambil langkah-langkah kongkrit yang memberi prioritas bagi ma- syarakat-masyarakat hukum adat dalam menetapkan batasan wilayah mereka. Pengabaian sejarah dan adat akan mempersulit jalan penyelesaian sengketa wi- layah administratif desa-desa di Propinsi Sulawesi Tengah.

2. Kontrol yang lemah terhadap proses kegiatan pembukaan kawasan hutan oleh pihak ketiga berdasarkan ijin dari instansi-instansi Pemerintah namun kemudian bertindak menyimpang di lapangan.

SK Bupati No.188.45/0307/BAG.PEM dan No.188.45/0310/BAG.PEM. Tang- gal 11 Mei 1994, mengizinkan KUD Singgani mengolah tanah seluas 100 Ha. Pada pelaksanaannya dilapangan, hutan yang terbuka mencapai 800 Ha. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang peran Dinas Kehutanan dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap aktifitas-aktifitas pembukaan kawasan hutan. Tak ada tanggapan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah terhadap laporan masyarakat hukum adat To Sinduru terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh CV.

5

Satria Abadi dan KUD Singgani. Hal ini semakin membangun persepsi umum bahwa hukum formal Negara selalu memihak para pemodal (yang punya uang) dan tidak dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.

3. Status wilayah adat khususnya kawasan hutan yang belum ditata dengan pasti. Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi mengartikan tenurial security sebagai “kepastian penguasaan dan pemanfaatan tanah dan segala hasil olahan di atas tanah. Bagi komunitas-komunitas lokal, isu ini memiliki dimensi hukum yang sangat kompleks. Pada intinya diperlukan jaminan bagi komunitas lokal dalam menguasai sumber daya alam saat pemerintah memberikan hak baru kepada suatu perusahaan untuk menguasai dan mengeksploitasi hasil hutan tersebut”.134 Tiadanya jaminan itulah yang dialami Masyarakat hukum adat To

Sinduru. Hilangnya akses masyarakat hukum adat terhadap sumber daya alam mereka (tanah, hutan, dan lain-lain) ketika muncul hak-hak baru yang diberikan pemerintah kepada pihak ketiga menyebabkan keadaan perekonomian masy- arakat hukum adat setempat bertambah sulit. Hasil-hasil kebijakan Daerah Su- lawesi Tengah lebih cenderung bersifat ambigu, di satu sisi seolah-olah menga- kui hak-hak masyarakat hukum adat mengelola aset-aset kekayaannya sedang di sisi lain sangat membatasi hak mereka. Salah satu bentuk pengakuan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah yaitu Peraturan Daerah Kab. Donggala No. 13/2001 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian Dan Pengembangan Adat Istiadat Dan Lembaga Adat. Perda ini mengakui hak dan kewenangan in- stitusi lokal/Lembaga Adat mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik (Pasal 7 ayat (1), huruf B). Namun pengakuan tersebut menjadi fata- morgana semata. Sebab kejelasan identifikasi atau jenis hak dan meliputi apa saja hak mereka atas wilayah adat sama sekali tidak termuat dalam Perda No. 13/2001. Konflik tenurial To Sinduru dengan CV. Satria Abadi dan KUD Singgani menunjukkan lemahnya tenurial security To Sinduru secara legal formal.

Noer Fauzi dan I Nyoman Nurjaya. Sumber Daya Alam Untuk Rakyat (Modul Lokakarya Penelitian Hukum Kritis-Partisipatif Bagi

55

Gambar VII

Alur Konflik Tenurial Kasus I

Sumber Konflik:

Kebijakan Daerah melalui Sk Bupati, Sk, IPK, dan lain-lain dari Instansi-instansi Pemerintah

Masyarakat hukum adat To Sinduru :

- Klaim wilayah adat berdasarkan sejarah penguasaan dan pemilikan.

- Secara de facto mendapat pengakuan dari

Masyarakat hukum adat lain

Sumber Konflik :

Klaim hak CV. Satria Abadi Dan KUD Singgani Atas wilayah adat To Sinduru (Maope, Lalere, Tiwa’a)

Sumber Konflik :

Klaim hak Masyarakat To Bangga Atas wilayah adat To Sinduru menurut sejarah perjanjian.

Konflik

Dalam dokumen Kebijakan Daerah dan Tenure Masyarakat A (Halaman 168-173)