• Tidak ada hasil yang ditemukan

b Keterlibatan Masyarakat Adat

Dalam dokumen Kebijakan Daerah dan Tenure Masyarakat A (Halaman 99-103)

Seperti disinggung sebelumnya bahwa masyarakat adat bagian masyarakat lokal dan keterlibatan masyarakat lokal dalam pengurusan hutan tidak luput dari pengaruh bahwa pemerintah sebagai aktor utama /pelaku utama. Paling tidak ada 5 bentuk nyata keterlibatan masyarakat lokal dalam pengurusan hutan:

1. perolehan sejumlah hak yakni menikmati kualitas lingkungan hidup dan hak memanfaatkan hasil hutan.

2. mengetahui dan mendapatkan informasi mengenai rencana kehutanan. 3. memberikan informasi, pertimbangan dan saran.

4. terlibat dalam kegiatan perlindungan dan pengawasan 5. dilibatkan dalam kegiatan pemberdayaan.

Sekalipun pelaksanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung- gugat dan partisipatif (pasal 11 ayat 2), namun UUK tidak mewajibkan pelibatan masya- rakat dalam kegiatan pengukuhan kawasan hutan.

IV...b. Peraturan Pelaksana

Dengan tujuan mengelaborasi dan memperjelas materi-materi yang telah diatur oleh UUK, maka UUK memerintahkan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP), atau pen- delegasian kewenangan. Pendelegasian ini juga diperintahkan oleh UUK untuk dilakukan melalui keputusan menteri (sekarang peraturan menteri). Berikut materi-materi yang di perintahkan untuk diatur lebih lanjut dalam PP yaitu:

No Materi pengaturan Pasal

1 Kawasan tertentu sebagai hutan kota Pasal 9 ayat (2) 2 Inventarisasi hutan Pasal 13 ayat (5) 3 Penatagunaan kawasan hutan Pasal 16 ayat (3) 4 Tata cara perubahan kawasan hutan dan fungsi kawasan hutan Pasal 19 ayat (3) 5 Penyusunan kawasan kehutanan Pasal 20 ayat (3)

6 Tata hutan dan penyusunan pengelolahan hutan Pasal 22 ayat (5) 7 Pembatasan izin usaha pemanfaatan hutan Pasal 31 ayat (2) 8 Kewajiban pemegang izin usaha pemanfaatan hutan . Pasal 35 ayat (4) 9 Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan Pasal 39 10 Rehabilitasi hutan Pasal 42 ayat (3) 11 Reklamasi hutan Pasal pasal 44 ayat (3) 12 Reklamasi kawasan hutan Pasal 45 ayat (4) 13 Perlindungan hutan Pasal 48 ayat (6) 14 Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan Pasal 58 15 Pengawasan hutan Pasal 65 16 Penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah Pasal 66 ayat (3) 17 Masyarakat hukum adat Pasal 67 ayat (3) 18 Peran serta masyarakat Pasal 70 ayat (4) 19 Ganti rugi dan sanksi administratif Pasal 80 ayat (3)

Walaupun jumlah materi yang diatur sebanyak 19 hal, namun bukan berarti UUK memerintahkan pembuatan 19 PP. Lagipula, UUK ini mengatakan bahwa pengaturan mengenai inventarisasi hutan dan penatagunaan kawasan hutan dimasukkan ke dalam PP mengenai perencanaan kehutanan (penjelasan Pasal 13 ayat 5 dan penjelasan Pasal 16 ayat 3). Dengan cara begitu tentunya jumlah PP yang akan dibuat kurang dari 19 buah. Namun jumlah ini bisa dilampaui apabila pengaturan dipecah-pecah, karena dalam kae- dah teknik perundang-undangan memang tidak melarang hal ini.

Untuk keputusan menteri yang diperintahkan oleh UUK hanya disebutkan sekali yaitu yang berhubungan dengan pembinaan dan pengembangan pengelolahan hasil hutan (Pasal. 33 ayat 3). Berbeda dengan PP. UUK tidak merinci materi yang perlu dimuat dalam kepmen tersebut.

Dari 19 hal yang diperintahkan oleh UUK untuk diatur dalam PP, sampai kajian ini di susun, baru 3 buah PP yang di buat yaitu;

1. PP No.34/2002 sebagaimana dirubah dengan PP No.6 tahun 2007 tentang pe- nyusunan rencana pengelolahan hutan, pemanfaatan hutan, dan penggunaan kawasan hutan.

1. PP No. 35/2002 tentang dana reboisasi.

2. PP No. 44/2004 tentang perencanaan kehutanan.

• PP No. Tahun 00 Tentang Perencanaan Kehutanan.

PP ini untuk mengatur lebih lanjut ketentuan Bab IV UUK. UUK menyatakan bahwa perencanaan kehutanan harus dilakukan secara partisipatif. (pasal 11 ayat 2). Selain itu wilayah pengelolahan hutan tingkat unit pengelolahan dilaksanakan dengan memper- timbangkan kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat adat.

Dari lima proses perencanaan hutan tidak satupun memberikan ruang yang besar bagi masyarakat lokal untuk terlibat. Misalnya dalam inventarisasi hutan, dimana dilaku- kan secara terpusat. Ada sejumlah hal yang membuktikan pola terpusat tersebut yaitu:

1. Hanya pemerintah yang boleh melakukan inventarisasi hutan, baik itu pada tingkat menteri, gubernur, bupati/walikota dan badan pengelola sebuah unit pengelolahan.

2. Inventarisasi dilakukan secara hirarkis. Inventarisasi hutan tingkat nasional men- jadi acuan bagi inventarisasi tingkat wilayah. Inventarisasi hutan tingkat wilayah kabupaten /kota harus mengacu inventarisasi tingkat wilayah propinsi. Inven- tarisasi hutan tingkat DAS dan unit pengelolahan harus mengacu pada inven- tarisasi tingkat nasional dan propinsi.

Dalam pengukuhan kawasan hutan keterlibatan masyarakat lokal hanya dimung- kinkan pada saat penataan batas kawasan hutan. Dikatakan bahwa penataan batas ha- rus menyelesaikan hak-hak pihak ketiga yang berada pada trayek batas dan di dalam kawasan hutan (Pasal 19 ayat 2 huruf c). Penyelesaian dilakukan oleh panitia tata batas kawasan hutan. Hasil penyelesaian tersebut harus di buktikan dengan berita acara pen- gakuan. Apabila penyelesaian hak-hak pihak ketiga tidak bisa diselesaikan oleh panitia tidak akan menjadi penyebab ditundanya penetapan kawasan hutan oleh menteri. Pene- tapan dalam kasus seperti ini cukup menjelaskan hak-hak yang ada di dalam kawasan hutan (pasal 22 ayat 2). Hutan-hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan ter- buka diketahui oleh masyarakat (Pasal 22 ayat 3). Dengan proses seperti ini masyarakat lokal tidak punya pilihan untuk menolak ditetapkannya sebuah area menjadi kawasan hutan. Begitu juga pada suatu areal atau wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan hutan oleh menteri.

• Keputusan menteri /peraturan menteri dan surat edaran.

Sejauh ini pengaturan tentang masyarakat adat/masyarakat lokal dalam penguru- san hutan dalam rangka melaksanakan lebih lanjut UUK, hanya bisa didapatkan di dalam Surat Edaran Menteri Kehutanan No. S.75/menhut.II/2004 perihal masalah hukum adat dan tuntutan kompensasi/ganti rugi oleh masyarakat hukum adat. Surat ini tertanggal 12 Maret 2004 dan ditujukan kepada seluruh gubernur dan bupati/walikota se-Indo- nesia. Kehadiran surat ini tidak bisa dilepaskan dari dua hal yang berlangsung secara paralel, yaitu macetnya pembahasan RPP Hutan Adat dan pada saat bersamaan tuntutan masyarakat adat atas ganti rugi atau kompensasi kawasan hutan yang berkonsesi HPH dan IUPHHK terus berlangsung dengan gencar.

Surat edaran isinya serupa dengan pengaturan RPP hutan adat. Pengaturannya hampir tidak ada perbedaan dengan RPP Hutan adat, yaitu;

1. pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat dilakukan dalam rangka penetapan hutan adat oleh menteri. (UUK tidak menegaskan bahwa penguku- han keberadaan masyarakat hukum adat dilakukan dalam rangka penetapan hutan adat.

2. penelitian dalam rangka memastikan keberadaan masyarakat hukum adat tidak hanya melibatkan pakar hukum adat tetapi juga tokoh masyarakat dan instansi terkait.

3. pengukuhan dan penghapusan keberadaan masyarakat hukum adat dilakukan melalui perda propinsi, bukan oleh perda kabupaten / kota seperti yang selama ini berlaku.

Tidak berlebihan apabila surat ini disebut sebagai penjelmaan dari RPP Hutan Adat di dalam surat edaran. Dalam surat edaran ini dipertegas ketentuan tentang hutan adat adalah hutan negara yang dikelola oleh masyarakat hukum adat, dan tentang unsur-un- sur keberadaan masyarakat hukum adat seperti yang telah ditetapkan dalam UUK.

IV... Kebijakan Daerah.

Dalam melihat kebijakan daerah dan hubungannya dengan hak ulayat (tenurial masyarakat adat) terhadap hutan, maka akan dibahas kebijakan tersebut dengan meli- hat dan memeriksa beberapa kebijakan daerah, baik itu pada tingkatan pemerintahan

5

propinsi maupun kabupaten yang berhubungan dengan hak ulayat terhadap hutan. Pembahasan ini dimulai dengan pengaturan tentang pemerintahan nagari yang bersinggungan dengan nagari sebagai basis kesatuan masyarakat hukum adat sekaligus nagari sebagai basis pemerintahan berdasarkan hak asal usul. Pengaturan tentang pe- merintahan nagari secara yuridis melalui sebuah peraturan daerah, baik itu pada tingka- tan propinsi maupun kabupaten.82

IV...a. Kambali Ka Nagari Peluang Atau Tantangan Dalam

Penguatan Hak Ulayat Atas Hutan, Sebuah Kajian Tekstual

Dalam dokumen Kebijakan Daerah dan Tenure Masyarakat A (Halaman 99-103)