• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peraturan Daerah Sulawesi Tengah Nomor Tahun 00 Tentang Daerah Penyangga Taman Nasional Lore Lindu.

Dalam dokumen Kebijakan Daerah dan Tenure Masyarakat A (Halaman 184-190)

SEKITAR/DALAM KAWASAN HUTAN

IV.. Peraturan Daerah Sulawesi Tengah Nomor Tahun 00 Tentang Daerah Penyangga Taman Nasional Lore Lindu.

Pada 16 Oktober tahun 2006, Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah menetapkan sebuah Peraturan Daerah tentang Daerah Penyangga Taman Nasional Lore Lindu (Lem- baran Daerah Propinsi Sulteng 2006 No.6). Perda ini memandang TNLL sebagai salah satu kawasan konservasi sumber daya alam hayati yang memiliki multifungsi sehingga patut dilindungi kelestariannya. Oleh sebab itu, ditetapkanlah suatu wilayah yang men- jadi daerah penyangga TNLL. TNLL mempunyai luas wilayah 217.991,18 Ha yang melip- uti wilayah administratif Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala. Sedang penetapan daerah penyangga TNLL lebih luas lagi yaitu 503.738 Ha (termasuk lintas wilayah Ka- bupaten). Penetapan Perda tersebut malah menambah kerumitan masalah masyarakat hukum adat di Sulawesi Tengah terutama menyangkut keberadaan serta pengakuan hak mereka di sekitar dan di dalam kawasan hutan.

Daerah penyangga TNLL terletak di luar dari kawasan TNLL yang dapat berupa ka- wasan hutan lain, tanah Negara bebas maupun tanah yang dibebani hak (pasal 2 Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006). Ada kriteria suatu wilayah tergolong daerah peny- angga TNLL yaitu pertama, secara geografis mempunyai batas dengan kawasan TNLL. Kedua, secara ekologis dinilai bisa mempengaruhi keadaan kawasan TNLL (baik dari da- lam maupun dari luar kawasan TNLL). Ketiga, mampu membentengi/melindungi aneka ragam gangguan yang berasal dari dalam maupun dari luar kawasan TNLL (pasal 3 Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006).

Melihat pengertian dan kriteria daerah penyangga, timbullah suatu pertanyaan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak masyarakat hukum adat yang telah lama berdomisili di sekitar kawasan TNLL. Kebun-kebun, sawah atau tanah milik serta pemuki- man mereka, berdampingan dengan tapal batas TNLL. Di Ngata Tuva, kebun-kebun dan pemukiman mereka, begitu dekat dengan kawasan TNLL. Bila menyimak isi dari pasal 21 huruf d Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006 “pengakuan/perlindungan hak-hak keperdataan masyarakat setempat “, kekhawatiran akan hilangnya hak-hak masyarakat

hukum adat Sinduru menjadi tak beralasan. Namun kepercayaan terhadap pengakuan hak-hak keperdataan masyarakat setempat dimentahkan oleh penafsiran istilah “masy- arakat setempat” yang digunakan oleh pemerintah daerah Sulawesi Tengah. Menurut Perda ini (pasal 1 angka 18 Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006), “masyarakat se- tempat” adalah “orang seorang, kelompok orang yang berbadan hukum mendiami daerah penyangga TNLL”.

Jadi unsur-unsur masyarakat setempat terdiri atas : - Seseorang atau kelompok/kumpulan orang - Berbadan hukum

- Mendiami daerah penyangga TNLL.

Selanjutnya pasal 1 angka 19 Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006 menya- takan bahwa yang disebut “Badan hukum” adalah “sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, ba- dan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi yang sejenis bentuk usa- ha tetap dan bentuk badan lainnya”. Kalau pada pasal 1 angka 18, masih ada tempat bagi “orang seorang” untuk menjadi bagian dari badan hukum, tetapi pada pasal 1 angka 19 Perda yang sama menyatakan hanya “kumpulan/sejumlah orang dan atau modal “ yang dapat di sebut badan hukum. Sementara di satu sisi terdapat pengaburan pengertian tentang ‘masyarakat setempat’, di sisi lain ada pengertian masyarakat yaitu “sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat, yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama atau kumpulan individu yang menjalin kehidupan bersama seba- gai satu kesatuan yang besar, yang saling membutuhkan, memiliki ciri-ciri yang sama sebagai kelompok.”136

Bila berpegangan pada arti “masyarakat setempat” versi Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006, harus “berbadan hukum”, berarti selama masyarakat tersebut tidak berbentuk badan hukum (sesuai jenis badan hukum Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006) walau sudah sekian lama mendiami wilayah tertentu, dinilai bukan kategori “ma- syarakat setempat”

Drs. Peter Salim, MA. dan Yenny Salim, Bsc. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, hal 945 Edisi Pertama. Modern English Press,

Gambar XI.

Skema Alur Pemikiran Perda Propinsi Sulawesi Tengah No. Tahun 00

Perda No Tahun 00

Menambah lembaran baru konflik tenurial antara masyarakat hukum adat dengan pemerintah dan/atau

perusahaan serta sejenisnya

Hak masyarakat setempat :

a. mengetahui rencana pengelolaan daerah penyangga.

b. ikut serta dalam pengelolaan daerah penyangga

c. mendapat manfaat dari

pengelolaan daerah penyangga. d. pengakuan/perlindungan hak-

hak keperdataan masayarakat setempat (pasal )

Meniadakan Hak-hak keperdataan masyarakat melalui istilah “Masyarakat Setempat” dan “Badan

Bagaimana dengan keberadaan masyarakat hukum adat yang sejak lama tinggal berdekatan dengan kawasan TNLL? Apakah mereka tidak tergolong sebagai “masyarakat setempat”?

Berkaitan hak masyarakat setempat, pasal 21 Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006 huruf c dan d menyatakan bahwa “masyarakat setempat mempunyai hak menik- mati manfaat yang diperoleh karena imbas pengelolaan daerah penyangga TNLL” dan “mengakui atau melindungi hak perdata masyarakat setempat”. Kemudian pasal 11 hu- ruf c Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006, menyatakan “pengelolaan daerah peny- angga TNLL bermanfaat guna peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah penyangga”.

Timbul pertanyaan, masyarakat mana yang dimaksud pasal 11 dan 21 Perda Pro- pinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006? Apakah masyarakat yang benar-benar tinggal di sekitar lokasi penetapan daerah penyangga TNLL? Atau masyarakat pemodal (BUMN, BUMD, Koperasi, dan lain-lain) yang akan melakukan pengelolaan sumber daya alam daerah penyangga TNLL?

Kerancuan istilah “masyarakat setempat” oleh Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006 menyebabkan posisi masyarakat hukum adat di sekitar TNLL berhadapan dengan ancaman baru. Pada penjelasan perdea terseut dikatakan bahwa ada tiga jenis permasa- lahan daerah penyangga TNLL. Salah satu masalahnya, masyarakat yang berada di dae- rah penyangga termasuk masyarakat marginal. Danuntuk mendapatkan biaya hidup masyarakat tersebut terpaksa melakukan eksploitasi sumber daya alam hayati TNLL.

Secara jelas fokus permasalahan ini tertuju kepada masyarakat hukum adat. Sebab umumnya masyarakat yang berdomisili disekitar TNLL ialah masyarakat hukum adat. Memang benar tidak semua yang mengaku masyarakat hukum adat memiliki kon- sep kearifan lokal terhadap hutan. Akan tetapi tidak benar pula langsung mengambil kesimpulan kalau seluruh masyarakat hukum adat itu perusak hutan. Sangat penting Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah mendudukkan akar persoalan dengan jernih.

Dalam diskusi bulanan Perkumpulan Bantaya, yang menghadirkan anggota De- wan Propinsi Sulawesi Tengah, perwakilan Dinas Kehutanan Propinsi, beberapa NGO dan wakil-wakil masyarakat hukum adat, terungkap bahwa Perda Propinsi Sulteng No. 6 Ta- hun 2006 Tentang Daerah Penyangga TNLL telah dirancang sejak 2002.137 Kasus kerusa-

kan hutan TNLL di daerah Dongi-dongi lintas wilayah Kabupaten Donggala dan Poso (ja- Diskusi Bulanan Perkumpulan Bantaya, Palu (28 April 2007).

0

lan trans Palu-Palolo-Napu) melatar belakangi pembuatan Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006. Menurut salah seorang peserta diskusi wakil dari Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah, dana penggodokan Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006 berasal dari dana CSIDP (Project Central Sulawesi Integrated Area Conservation Development Program). Tugas penyusunan draftnya, diserahkan kepada sebuah lembaga di Universi- tas Tadulako. Karena penyusunan draft Raperda tidak berjalan dengan baik, tugas ini di ambil-alih oleh sebuah LSM. Lagi-lagi rencana penyusunan draft terhambat, sehingga akhirnya DPRD Propinsi, Dinas Kehutanan serta beberapa pihak lain menyelesaikan tu- gas penyusunan Draft Raperda tersebut pada tahun 2006 (jangka waktu penyusunan selama 2 bulan).138

Kesan terburu-buru dalam proses penyusunan Perda Propinsi Sulteng No. 6 Ta- hun 2006, jelas tertangkap. Karena menggunakan dana proyek CSIDP untuk membiayai penyusunan Perda (dari tahun 2002), maka penggunaan dana ini harus dipertanggung- jawabkan dengan menyelesaikan draft Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006 atau menanggung beban pengembalian dana CSIDP disebabkan target yang tidak tercapai. Tingkat partisipasi masyarakat dalam perumusannya pun hampir tidak terlihat. Seorang anggota DPRD Propinsi Sulawesi Tengah selaku narasumber diskusi bulanan Bantaya menyatakan, bahwa Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006 bukanlah produk hukum yang bersifat baku. Pencabutan Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006 dapat saja ter- jadi, jika memang ada acuan sesuai Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi termasuk ada tawaran konsep yang lebih baik sebagai masukan ke DPRD Propinsi, demi penyempurnaan Perda Propinsi Sulteng No. 6 Tahun 2006.

Tabel . Kontradiksi antar Pasal-Pasal Perda Propinsi Sulteng No. Tahun 00

Di Satu Sisi Menguntungkan Di Sisi Lain Merugikan

- Meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah penyangga TNLL (pasal 11 huruf c)

- Perlindungan terhadap cagar budaya dan adat masyarakat yang tinggal di daerah penyangga (pasal 15 huruf a).

- Peningkatan ekonomi dan pemberdayaan ma- syarakat yang tinggal di daerah penyangga dan enclave yang disesuaikan dengan potensi sum- ber daya alam dan kondisi geografis setempat (pasal 15 huruf d).

- Mengetahui secara terbuka rencana pengelo- laan daerah penyangga (pasal 21 huruf a). - Menikmati manfaat yang diperoleh akibat pen-

gelolaan daerah penyangga (pasal 21 huruf c) - Pengakuan/perlindungan hak-hak perdata ma-

syarakat setempat (pasal 21 huruf d).

- Setiap orang atau badan hukum yang melaku- kan kegiatan sebagaimana dimaksud pada pas- al 23 berlaku sanksi adat setempat (pasal 24).

- Masyarakat setempat adalah orang seorang, ke- lompok orang yang berbadan hukum mendiami daerah penyangga (pasal 1 angka 18).

- Badan hukum adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perse- roan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan ben- tuk apapun, firma, kongsi, dana pensiun, perse- kutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi sejenis bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya (pasal 1 angka 19).

- Lembaga lainnya adalah lembaga yang mem- punyai program di TNLL serta daerah sekitarnya (pasal 1 angka 21).

- Kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama nirlaba antara pihak pengelola Daerah Penyangga den- gan pihak lain dalam rangka optimalisasi fungsi TNLL dan Daerah Penyangga.

V. PENUTUP: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dalam dokumen Kebijakan Daerah dan Tenure Masyarakat A (Halaman 184-190)