• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pluralisme Hukum Adat To Sinduru

Dalam dokumen Kebijakan Daerah dan Tenure Masyarakat A (Halaman 146-149)

Bagian Ketiga

I.. Pluralisme Hukum Adat To Sinduru

Studi-studi antropologis tentang hukum, menemukan kenyataan berlakunya kema- jemukan (pluralisme) hukum dalam masyarakat. Selain berbentuk hukum negara (state law), hukum juga berwujud hukum agama (religious law), hukum kebiasaan (customary law) serta mekanisme-mekanisme pengaturan lokal pada suatu masyarakat. Pluralisme hukum sendiri secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi, di mana ada dua atau lebih sistem hukum, bekerja berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama, atau menjelaskan dua atau lebih sistem pengendalian sosial pada satu bidang ke- hidupan sosial (Griffiths 1986:1), atau menerangkan situasi dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker, 1975:3), atau suatu kondisi terdapat lebih dari satu sistem hukum atau institusi yang bekerja secara berdampingan pada ak- tifitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (F. Benda-Beckmann, 1999:6 dalam Nurjaya 2003: 9-10)

Apa yang sudah diutarakan di atas, terbukti ketika kita coba menyelami penge- tahuan masyarakat hukum adat tentang bagaimana cara mereka mengatur dan mener- apkan konsep kehidupan yang diinginkan bersama. Kenyataan ini sudah sejak lama dik- etahui, sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda. Tidaklah aneh bila van Vollenhoven,

seorang ahli hukum Belanda, sangat menentang usaha-usaha unifikasi hukum yang ber- laku di Indonesia. Bagi van Vollenhoven di dalam masyarakat Indonesia, “hidup suatu hukum yang memiliki jiwa dan sistem sendiri”(Muhammad: 1975).

Riset ini berpegang pada sebuah pengertian103, bahwa masyarakat hukum adat

adalah masyarakat yang menetap pada suatu wilayah dan mempunyai konsep kehidu- pan berdasarkan tata nilai ataupun pengalaman-pengalaman kehidupan sejak dahulu. Tata nilai inilah yang menjadi intisari dari pemberlakuan aturan-aturan hukum adat.

Pola kehidupan sosial seperti ini ditemukan dalam masyarakat hukum adat To Sin- duru. Untuk To Sinduru, konsep kehidupan mereka didapatkan dari pengalaman-pen- galaman hidup yang mempengaruhi pola berpikir baik saat menjalin hubungan sosial antar manusia ataupun dalam interaksi dengan lingkungannya.

Pada hakekatnya, hukum adat To Sinduru tidak mengenal pembagian hukum pida- na, perdata dan lain-lain seperti hukum formal negara. Walaupun cakupan hukum adat To Sinduru begitu luas dan kompleks, namun mereka tidak merasa kesulitan dalam men- gimplementasikan aneka ragam aturan-aturan hukum adat di masyarakat. Salah satu penjelasannya adalah bahwa isi dari aturan-aturan hukum adat Sinduru ialah hasil sin- tesa dan pembelajaran pengalaman hidup mereka sehingga kesadaran anggota-anggo- ta komunitas akan ‘boleh dan jangan’ dilakukannya suatu perbuatan sangat dipahami, karena sudah mengetahui efek negatif dari perbuatan tersebut. Hukum adat To Sinduru menampilkan sebuah produk hukum yang lahir dari kebiasan-kebiasaan masyarakat, di mana kebiasaan itu dikerangkakan dalam aturan-aturan adat dengan lebih menguta- makan harmoni kehidupan masyarakat.

Di tengah perkembangan dunia yang pesat, masyarakat hukum adat To Sinduru ti- dak melupakan asal-usul, sejarah, kebiasaan dan budaya. Mereka masih tetap berpegang pada asal usul dan budaya sebagai identitas orisinil komunitas, walaupun ada tantangan kuat dari luar, misalnya belum ada pengakuan oleh pemerintah atas hutan yang dimiliki masyarakat hukum adat. Bushar Muhammad berpendapat, “Hukum adat itu senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan hidup yang nyata, cara dan pandangan hidup dimana se- luruhnya ialah kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku”.(Muhammad 1975: 42)

Pengertian sistem tenurial telah banyak dirumuskan pada banyak literatur. Kata te- nure sendiri berasal dari bahasa latin, ”tenere” yang mencakup arti: memelihara, meme- 0 Hasil observasi dan interaksi periset (Pra Riset) dari tahun 2001-sekarang di masyarakat hukum adat To Sinduru.

0

gang dan menguasai (ELSAM 2000: 127). Berkenaan dengan sistem tenurial, beberapa literatur memberikan makna yang berkaitan dengan sistem penguasaan maupun pe- milikan suatu masyarakat hukum adat atas sumber daya alam di wilayah mereka. Salah satunya adalah Suraya Afiff yang menyatakan konsep tenure bersentuhan dengan per- soalan “kepemilikan dan akses”. Karena sistem tenurial merupakan sebuah sistem yang kompleks, maka seringkali para pengamat sosial melihatnya sebagai sekumpulan hak- hak (bundle of rights). Edella Schalager dan Elinor Ostrom (1992) menerangkan “bundle of rights” mencakup hak atas akses (rights of access), hak pengelolaan (rights of manage- ment), hak pemanfaatan (rights of withdrawal), hak untuk menentukan siapa yang dapat dan tidak dapat memperoleh akses (rights of exclusion). dan hak untuk memindahkan hak (rights of alienation) (Afiff 2004: 1-2). Sedang dalam sistem tenurial, terdapat tiga komponen yang terkandung di setiap hak yaitu (ELSAM 2000: 128):

1. Subjek Hak, sebagai pemangku hak atau pada siapa hak itu dilekatkan. Subjek hak dapat berupa individu, rumah tangga, kelompok, suatu komunitas, kelem- bagaan sosial-ekonomi sampai lembaga politik setingkat negara.

2. Objek Hak, berupa persil tanah, barang-barang atau juga benda-benda yang tumbuh di atas tanah, barang-barang tambang atau mineral yang berada dalam tanah, perairan, kandungan (barang-barang atau mahluk hidup) yang terdapat di dalam kawasan perairan, suatu kawasan atau wilayah udara tertentu.

3. Jenis Hak, dapat diartikan berupa batasan-batasan setiap hak (perbedaan anta- ra hak yang satu dengan yang lain), misalnya hak milik, hak sewa, hak pakai dan lain sebagainya, tergantung seperti apa masyarakat yang bersangkutan menen- tukannya.

Jelaslah bahwa berbicara tentang sistem tenurial tak bisa terlepas dari soal pen- guasaan atau kepemilikan, siapa yang mempunyai hak tersebut, dan siapa yang men- guasai sumber daya alam tersebut serta komponen-komponen yang termuat dalam ma- sing-masing hak.

Hutan, sebagai salah satu objek hak, mempunyai peranan penting untuk me- nunjang keberlangsungan hidup masyarakat hukum adat Sinduru, sebagai subjek hak. Banyak manfaat yang mereka rasakan dari hasil-hasil hutan dan keadaan tersebut me- munculkan pandangan akan manfaat dari keberadaan hutan dan alasan-alasan mengapa hutan harus di jaga kelestariannya. To Sinduru memiliki keunikan yang khas pada sistem

tenurialnya. Nilai Hintuvu (persaudaraan) dan Katuvua (kehidupan) kuat mempengaruhi corak sistem tenurial To Sinduru. Manusia dan alam (hutan) dipandang sebagai suatu lingkaran kehidupan yang saling membutuhkan saling terikat dan saling melengkapi. Menurut To Sinduru, kerusakan alam akan membawa dampak negatif kepada manu- sia. Bencana erosi, banjir, kekeringan dan sebagainya adalah wujud dari rusaknya alam (tidak tercapainya keseimbangan alam) yang menimbulkan kerugian kepada manusia. Oleh karenanya To Sinduru menempatkan alam bukan hanya menjadi bagian objek hak manusia, melainkan juga ditempatkan sebagai subjek hak dimana manusia mempunyai kewajiban untuk selalu menjaga kelestarian alam (hutan). Kategori subjek hak, objek hak dan jenis hak To Sinduru, terlihat dalam pembagian kawasan-kawasan hutan dan pem- berlakuan aturan-aturan hukum adat.

II. SISTEM TENURIAL MENURUT PANDANGAN TO SINDURU

Dalam dokumen Kebijakan Daerah dan Tenure Masyarakat A (Halaman 146-149)