• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia

Dalam dokumen Kebijakan Daerah dan Tenure Masyarakat A (Halaman 139-146)

Bagian Ketiga

Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia

No Status/Fungsi Luas (ha) Prosentase

I. 1 2 3 4 5 Kawasan Hutan.

Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Peles- tarian Alam (KPA)

Hutan Lindung

Hutan Produksi Terbatas (HPT) Hutan Produksi Tetap (HP) Hutan Produksi Konversi (HPK)

676.248 1.489.923 1.476.316 500.589 251.856 21,90 9,94 21,70 7,10 3,96 Jumlah I .. ,0 II 1

Non Kawasan Hutan.

Areal Penggunaan Lain (APL) 2.408.368 35,40

Jumlah II .0. 5,0

Jumlah I + II .0.00 00,00

Secara khusus untuk Kabupaten Donggala, luas kawasan hutan dan lahan adalah sebagai berikut:

No Status/Fungsi Luas (ha)

1 Kawasan Suaka Alam 592.085 2 Kawasan Pelestarian Alam 196.450 3 Hutan Lindung 395.635 4 Kawasan Budidaya 1.037.784 5 Hutan Produksi Terbatas 422.034 6 Hutan Produksi Tetap 342.091 7 Hutan Produksi Konversi 56,104 8 Areal Penggunaan Lain 525.555

Gambar I

Peta Kawasan Konservasi Sulawesi Tengah

Menurut catatan dokumen Lembaga Adat To Sinduru, mulai tahun 1970-an kon- flik-konflik tenurial silih berganti menimpa masyarakat hukum adat di Ngata Tuva. Be- berapa di antaranya 102:

1. Sekitar tahun 1971, terjadi pengambil-alihan tanah di Sisia (sekarang dusun II) dengan alasan demi kepentingan pembangunan daerah berupa taman bunga oleh Camat Kulawi. Sejumlah anggota masyarakat To Sinduru terpaksa pindah ke Dusun I.

2. Sekitar tahun 1980-an, pemerintah melalui Departemen Kehutanan menetap- kan kawasan Taman Nasional Lore Lindu (sebelah timur Ngata/Desa Tuva). Ban- yak kebun-kebun yang masih diolah atau tanah milik masyarakat hukum adat To Sinduru masuk dalam wilayah penetapan kawasan Taman Nasional disebabkan pemasangan tapal batas dilakukan secara sepihak, tanpa mengikut-sertakan anggota-anggota masyarakat To Sinduru. Di sisi lain, penetapan ini telah men- 0 Anonim. Kumpulan Dokumen Lembaga Adat Sinduru dan LPA Awam Green (Konflik Pengelolaan SDA)..

gambil sebagian besar wilayah adat To Sinduru di sebelah timur Ngata Tuva. To- tal luas wilayah Taman Nasional Lore Lindu ialah 217,991,18 Ha.

3. Sekitar tahun 1990-an, pemerintah menetapkan kawasan hutan Lindung Ga- walise (sebelah barat Ngata Tuva) tanpa sosialisasi terlebih dahulu kepada ma- syarakat hukum adat To Sinduru. Masyarakat mengetahui penetapan tersebut ketika tapal batas yang sudah terpasang dan sekitar 50% wilayah adat To Sin- duru masuk menjadi kawasan hutan lindung. Luas Hutan Lindung secara keselu- ruhan adalah 31.364,00 Ha. Sedang khusus di Ngata Tuva, tidak diketahui secara pasti berapa luasnya.

4. Sekitar tahun 1994.

- Seorang pejabat Kejaksaan Tinggi Palu, mengkapling wilayah Lalere (sebelah barat Ngata Tuva) seluas 104 Ha atas nama instansi Kejaksaan Tinggi Palu. Alasan pengkaplingan lahan adalah lahan tersebut diperlukan untuk pega- wai-pegawai Kejaksaan Tinggi Palu.

- Pembukaan lahan perkebunan seluas 100 Ha oleh perwira menengah militer berpangkat Letnan Kolonel (KOREM) di wilayah Lalere. Di balik itu terjadi ke- giatan illegal logging.

- Seorang perwira menengah militer (pangkat dan asal kesatuan sama dengan di atas), mengatasnamakan Kelompok Tani Maope Jaya (anggota Kelompok Tani berasal dari luar Ngata Tuva) mengkapling tanah seluas 42 Ha di wilayah Maope, sebelah barat Ngata Tuva. Terjadi pula kegiatan illegal logging.

5. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lain di tahun-tahun berikutnya seperti pen- curian kayu.

Bila diklasifikasi kasus-kasus tenurial To Sinduru dan keterlibatan para pihak di atas, maka terdapat dua sumber konflik yaitu :

1. Jalur resmi/formal.

a. Kebijakan Negara/Pemerintah Pusat dalam penetapan kawasan hutan Negara. Seperti telah dijelaskan, penetapan kawasan hutan Negara baik Taman Nasi- onal Lore Lindu (TNLL) maupun Hutan Lindung Gawalise, dilakukan tanpa sosialisasi terlebih dahulu dan tidak melibatkan masyarakat. Akibatnya ma- syarakat hukum adat To Sinduru kehilangan hak dan akses mereka terhadap sumber daya alam (hutan beserta kekayaan alamnya dan areal pertanian).

5

Penetapan kawasan TNLL dan Hutan Lindung Gawalise melibatkan instansi- instansi pemerintah yang terkait dengan kawasan hutan Negara (seperti De- partemen Kehutanan).

b. Penetapan tanah Negara. Kebijakan Negara /Pemerintah Pusat dan Kebijakan Daerah berkaitan dengan penetapan atau penyebutan tanah Negara (biasa pula disebut sebagai kawasan tanah Negara bebas), sangat merugikan ke- pentingan masyarakat hukum adat To Sinduru. Penetapan ini melibatkan instansi pemerintah dan para pengusaha yang mendapatkan kemudahan melalui SK Gubernur, SK Bupati dan lain-lain.

2. Jalur illegal/tidak resmi.

a. Secara terbuka. Biasanya dilakukan dengan cara mengatasnamakan instansi tertentu, memanfaatkan jabatan atau kedudukan dan penggunaan alasan pembenaran kegiatan ilegal logging. Jalur ini seringkali melibatkan multi pihak baik dari dalam Ngata/kampung (orang-orang pemerintah Desa, ang- gota masyarakat biasa), oknum pejabat pemerintah/petinggi militer dan pengusaha.

b. Secara terselubung/tersembunyi. Aktifitas yang dilakukan berupa pencurian kayu dengan melibatkan multi pihak baik dari dalam Ngata (orang- orang pemerintah Desa, masyarakat biasa), oknum petugas dan penyalur kayu.

Gambar II

Relasi Kebijakan Dan Peta Konflik Tenurial To Sinduru Sebelum Otonomi Daerah

Kebijakan Negara/Pemerintah Pusat Berupa :

. Taman Nasional Lore Lindu. . Hutan Lindung Gawalise . Kebijakan Lain.

Kebijakan Daerah Berupa :

. Menguatkan Kebijakan-kebijakan Pe- merintah Pusat melalui Perda, SK dan Kebijakan lain.

. Memberikan kesempatan pembukaan kawasan hutan kepada para pemodal.

Konflik Kawasan Hutan : - Benturan Nilai atau Norma. - Benturan Kepentingan

Keterangan

- Garis Komando Kebijakan = - Garis Obyek Pengaturan =

Masyarakat hukum adat : Mempertahankan Hak-hak Atas wilayah Adat Di Kawasan Hutan.

Pada 1999, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia. Pemberian hak dan kewenangan kepada daerah lebih luas dibanding- kan dengan dahulu guna meredam gejolak-gejolak kekecewaan masyarakat di daerah, melalui Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Pusat memberikan kewenangan kepada tiap-tiap daerah untuk mengatur dan mengu- rus urusan rumah tangga sendiri. Propinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai hak mene- tapkan kebijakan-kebijakan yang dinginkan masyarakat sesuai koridor hukum yang ber- laku.

Bagi masyarakat hukum adat di daerah Sulawesi Tengah, Undang-undang No. 22/99 mengandung arti penting bagi pengakuan keberadaan dan hak ulayat mereka, yaitu menjadi pedoman hukum untuk melakukan revitalisasi hukum adat beserta lem- baga adat, diantaranya :

• Pasal 1 huruf o Undang-undang No. 22/99 berbunyi, “Desa atau yang disebut den- gan nama lain selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat se- tempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten”.

• Pasal 111 ayat (2) berbunyi “ Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengakui dan menghormati hak, asal-usul dan adat istiadat Desa”.

Di Kabupaten Donggala, kegiatan-kegiatan semacam ini marak dilakukan oleh ko- munitas-Masyarakat hukum adat di sekitar/dalam kawasan hutan Negara, salah satunya di kawasan Taman Nasional Lore Lindu dan Hutan Lindung Gawalise. Kegiatan revitalisasi meliputi pengembalian fungsi dan hak lembaga adat ke posisi semula, pendokumen- tasian aturan-aturan adat/kearifan lokal dan penerapan secara bertahap aturan-aturan tersebut yang mulai terlupakan oleh anggota komunitas itu sendiri.

Para Totua Ngata Tuva (orang tua adat/orang tua kampung) menyambut gembira lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999. Secercah harapan adanya pengakuan hak atas wilayah adat mereka, seakan menampakkan titik terang. Kegembiraan ini disalurkan melalui keikut-sertaan mengikuti diskusi-diskusi tingkat kampung maupun diskusi yang difasilitasi para NGO pendamping.

Tak terasa, pelaksanaan Otonomi Daerah melewati angka lebih dari 7 tahun (Un- dang-undang No. 22 Tahun 1999 telah diganti dengan Undang-undang No. 32 Tahun

2004). Sudah banyak beredar kebijakan-kebijakan daerah Sulawesi Tengah yang berkai- tan erat dengan keberadaan dan hak ulayat masyarakat hukum adat di wilayah Kabu- paten Donggala. Namun masih ada pertanyaan mengenai sejauh mana pengakuan ter- hadap keberadaan dan hak masyarakat hukum adat. Dengan dasar itulah, kegiatan riset ini lebih mengfokuskan ke soal kebijakan-kebijakan pemerintah daerah Sulawesi Tengah dan adakah relasinya dengan beragam konflik tenurial yang dihadapi masyarakat hu- kum adat To Sinduru.

Berdasarkan konteks yang demikian, maka ada tiga pertanyaan kunci yang akan coba dijawab oleh riset ini. Pertama, bagaimana sistem tenurial asli di kawasan hutan yang berlaku pada masyarakat hukum adat Sinduru. Kedua, bagaimana gambaran ke- bijakan-kebijakan daerah Sulawesi Tengah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten, khususnya Kabupaten Donggala, tentang sistem tenurial masyarakat hukum adat To Sinduru pada kawasan hutan; dan Ketiga, sejauh mana implikasi dari penerapan kebi- jakan-kebijakan daerah Sulawesi Tengah, khusunya Kabupaten Donggala terhadap kon- flik-konflik tenurial di kawasan hutan di wilayah adat To Sinduru.

Dalam dokumen Kebijakan Daerah dan Tenure Masyarakat A (Halaman 139-146)