• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Konflik Tenurial Menurut Hukum Adat To Sinduru.

Dalam dokumen Kebijakan Daerah dan Tenure Masyarakat A (Halaman 164-168)

Bagian Ketiga

II... Penyelesaian Konflik Tenurial Menurut Hukum Adat To Sinduru.

Konflik adalah suatu fenomena sosial yang bersifat universal, sehingga telah men- jadi bagian yang integral dan esensial dalam kehidupan masyarakat. Konflik tidak perlu di- pandang sebagai indikasi yang menimbulkan suatu kekacauan dalam kehidupan masyara- kat sebab setiap komunitas mempunyai kapasitas untuk menciptakan norma-norma dan mekanisme tertentu guna menyelesaikan konflik-konflik yang timbul berhubungan dengan interaksi sosial anggota-anggota masyarakat” (Nader 1968; Coser 1968; Roberts 1979; Moo- re 1978).130

Tidak diketahui secara pasti apakah metode penyelesaian konflik tenurial yang sekarang lazim dipraktekkan oleh masyarakat hukum adat To Sinduru merupakan murni 0 Dr. I Nyoman Nurjaya SH.MH. “Konflik Dan Budaya Penyelesaian Konflik Dalam Masyarakat; Perspektif Antropologi Hukum”, hal 2.

(Makalah dipresentasikan dalam Lokarya Belajar Bersama Mengelola Konflik Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam) Diselengga- rakan oleh LATIN dan BSP-KEMALA, tanggal 10-13 Maret 2000 di Hotel Jember Indah, Jember, Jawa Timur.

warisan turun-temurun dari dahulu. Namun selalu ada peluang bahwa apapun peruba- han yang terjadi pada suatu masyarakat hukum adat, tidak serta merta akan menghapus nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat mereka (hal yang sama dengan periset juga ditegaskan oleh Bushar Muhammad tentang perubahan dalam masyarakat hukum adat).131 Masyarakat hukum adat To Sinduru umumnya mengenal dua cara penyelesaian

konflik tenurial, yaitu:132

a. Pertama, penyelesaian konflik tenurial di luar mekanisme hukum dan peradilan adat (khusus kawasan Hohora Ku/dikuasai secara individu). Tidak ada tata cara penyelesaian khusus metode ini. Penyelesaian diluar mekanisme hukum adat dapat digolongkan dalam dua bentuk :

- Penyelesaian konflik tenurial secara kekeluargaan (negosiasi). Konflik tenu- rial yang diselesaikan secara kekeluargaan tercipta atas inisiatif sendiri dari pihak-pihak yang berkonflik. Biasanya konflik ini melibatkan orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga/persaudaraan. Kadangkala pihak yang merasa bersalah (pelaku) membawa ganti-rugi kepada si korban. Pertemuan dilakukan tanpa ada pihak lain yang memfasilitasi dan ketika si korban me- nerima pemberian ganti-rugi, maka konflik dinilai selesai. Tapi bila si korban menolak, pelaku atau korban dapat menghubungi tokoh-tokoh adat untuk memfasilitasi penyelesaiannya atau langsung melapor ke lembaga adat. - Penyelesaian konflik tenurial melalui pihak ketiga (mediasi). Proses ini sering

dilakukan ketika muncul konflik tenurial yang melibatkan antar keluarga, an- tar warga/kelompok masyarakat. Tokoh adat/tokoh masyarakat yang dihu- bungi, akan menentukan tempat pertemuan pihak-pihak yang berkonflik se- kaligus memfasilitasi alur penyelesaiannya. Bila tercapai kesepakatan perda- maian, dibuatlah sebuah surat hasil kesepakatan itu yang menyatakan kalau masalah mereka telah selesai dengan disaksikan Tokoh-tokoh adat setempat. Apabila cara ini masih belum membuahkan solusi yang baik, selanjutnya da- pat dilimpahkan kepada lembaga adat To Sinduru.

b. Kedua, penyelesaian konflik tenurial melalui mekanisme hukum/persidangan adat (meliputi kawasan Hohora Ku dan Hohora Ta milik atau dikuasai secara ber- Bushar Muhammad menyatakan “perubahan dalam masyarakat merupakan hal yang wajar namun tidak sekaligus merombak

secara fundamental”. Prof. Bushar Muhammad SH. Loc.cit Hal 44.

sama). Banyak tahapan yang harus dilewati dalam persidangan adat . Tahapan ini merupakan ketentuan dalam hukum acara adat To Sinduru. Penyelesaian ini di- tempuh anggota-anggota masyarakat To Sinduru ketika jalur kekeluargaan dan mediasi tidak mampu menyelesaikan persoalan mereka. Salah satu pihak yang bersengketa mesti melapor ke lembaga adat (biasanya pelapor adalah pihak yang merasa dirugikan). Setelah menerima laporan tersebut, para Totua Ngata berkumpul dan membicarakan tentang kasus itu sekaligus mencari waktu te- pat mengadakan persidangan adat. Topotangara (hakim adat) yang memimpin jalannya persidangan, tidak boleh mempunyai hubungan kekerabatan dengan salah satu pihak berkonflik. Tujuannya agar keputusan sidang adat dapat mem- berikan jaminan keadilan bagi anggota-anggota masyarakat To Sinduru. Khusus kawasan Hohora Ta (milik umum), lembaga adat tidak memerlukan laporan dari anggota-anggota masyarakat. Sebab pelaku yang melakukan kesalahan di ka- wasan Hohora Ta dianggap sudah merugikan kepentingan seluruh masyarakat. Pilihan penyelesaiannya hanya tertuju pada mekanisme peradilan adat. Berat- ringannya sanksi adat tergantung pada kategori pelanggaran seperti di kawa- san hutan mana, efek dari pelanggaran misalnya erosi, dan segala tingkah-laku dan tutur-kata pelaku selama persidangan, pengakuan kesalahan serta alasan mengapa pelaku melakukan perbuatan tersebut.

Persidangan adat To Sinduru memiliki tiga tingkatan dalam menyelesaikan seluruh jenis konflik ialah : 133

1. Motangara Ada (Persidangan adat) tahap awal. Setelah persidangan adat meng- eluarkan keputusannya, para Totua Ngata memberi kesempatan bagi kedua pi- hak atau pihak yang diputuskan bersalah untuk mempertimbangkan keputusan mereka. Jika masih terdapat keberatan, dipersilahkan mengajukan peninjauan kembali kasus itu ke lembaga adat.

2. Motangara Ada (Persidangan adat) lanjutan. Para Topotangara (hakim adat) kembali memeriksa konflik tenurial yang terjadi dan mendengarkan alasan-ala- san keberatan pihak yang mengajukan peninjauan kembali kasusnya. Keputu- san adat bisa saja berubah (sanksi adat berkurang atau bertambah) dan tetap. Ibid.

3. Tahap terakhir dengan menggunakan gane-gane, yaitu sumpah adat. Masyara- kat hukum adat To Sinduru sangat percaya kekuatan magis dari sumpah itu yang bisa menyebabkan kematian secara mendadak bagi orang-orang yang melaku- kan sumpah adat palsu. Pembacaan gane-gane dilakukan oleh salah seorang Totua Ngata pada sebuah lokasi tertentu, di mana beliau akan meminta kepada Yang Maha Kuasa untuk menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah serta memohon agar pihak yang menutupi kesalahannya diberikan azab secara langsung.

Sayangnya dua metode penyelesaian konflik tenurial di luar dan melalui meka- nisme hukum adat yang lazim dipakai masyarakat hukum adat To Sinduru, tak dapat digunakan menyelesaikan konflik-konflik tenurial yang melibatkan pihak-pihak dari luar Ngata Tuva karena pertentangan norma-norma hukum formal dan hukum adat To Sin- duru.

Gambar VI

Rumah Adat To Sinduru

Keterangan:

Rumah adat ini berfungsi sebagai tempat Molibu (musyawarah) masyarakat hukum adat To Sinduru dan sekaligus tempat pelaksanaan Motangara Ada (sidang adat).

50

III. PENGARUH KEBIJAKAN DAERAH SULAWESI TENGAH TERHADAP

Dalam dokumen Kebijakan Daerah dan Tenure Masyarakat A (Halaman 164-168)