• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pengembangan P. Batam sebagai Pilot Proyek Pusat Pertumbuhan di Wilayah Barat Pertumbuhan di Wilayah Barat

DAFTAR LAMPIRAN

INVESTASI BIDANG PERTANIAN

5) Sektor Perhotelan

4.3 Analisis Kebijakan Umum Pengembangan P. Batam

4.3.1 Kebijakan Pengembangan P. Batam sebagai Pilot Proyek Pusat Pertumbuhan di Wilayah Barat Pertumbuhan di Wilayah Barat

Dalam analisis terhadap kebijakan pengembangan P. Batam sebagai pilot proyek pusat pertumbuhan di wilayah Indonesia bagian barat, Batam tidak bisa hanya dilihat sebagai pulau kecil yang terletak di wilayah barat Indonesia. P. Batam harus ditinjau dan dilihat dari perspektif nasional.

Letak P. Batam yang strategis di Selat Malaka yang merupakan jalur lalu lintas perdagangan teramai di dunia, berseberangan dan hanya berjarak 20 km dari Singapura. Singapura sendiri merupakan negara pusat keuangan dunia, simpul distribusi dunia dan tujuan wisata dunia namun mempunyai keterbatasan lahan dan sudah mencapai titik jenuh sehingga harus memperluas ke arah laut.

Kondisi ini bisa menjadi rawan atau peluang terhadap P. Batam karena secara ilmiah kepadatan aktivitas dan kejenuhan akan meledak dan mengalir atau merembet ke wilayah sekitarnya. Kondisi menjadi rawan atau negatif apabila aliran ini memasuki P. Batam tanpa terkendali dan tidak ada yang menangani. Untuk menangkap peluang dan sekaligus mencegah kerawanan, P. Batam harus ditangani dengan rencana dan konsep yang matang.

Sebelum tahun 1970, P. Batam hanya merupakan pulau yang dihuni oleh + 6.000 jiwa dan merupakan bagian dari wilayah Kec. Belakang Padang. Kondisi ini tidak memungkinkan untuk bersaing dan menangkap peluang dan menanggulangi/mencegah kerawanan yang mungkin terjadi. Sebagai gambaran dapat dilihat dari data-data perbandingan antara Batam dan Singapura tahun1970.

Mensikapi kondisi ini, pada tanggal 19 Oktober 1970 Pemerintah Pusat melalui Presiden RI mengeluarkan Keputusan No. 65 tahun 1970 tentang Proyek Pembangunan Pulau Batam, yang isinya antara lain:

(1) Menetapkan P. Batam sebagai Badan Logistik dan Operasional untuk industri minyak dan gas bumi yang berkaitan dengan eksploitasi.

(2) Menunjuk Direktur Utama PN. Pertamina Dr. H. Ibnu Sutowo sebagai penanggung jawab.

(3) Segala biaya pembangunan proyek disisihkan dari anggaran PN. Pertamina.

Keputusan tersebut kemudian disusul dengan Keputusan No. 74 tahun 1971 tentang Pengembangan Pembangunan Pulau Batam dan ditetapkan sebagai daerah industri. Dalam pasal (2) disebutkan bahwa status daerah industri tersebut sebagai Entrepot Partikelir, dan dalam pasal (3) dan (4) disebutkan untuk mengkoordinir serta mengintegrasikan kegiatan-kegiatan dibentuk Badan Pimpinan Daerah Industri, dimana Badan Pimpinan tersebut merupakan penguasa dan bertanggung jawab kepada presiden.

Untuk meningkatkan dan memperlancar pelaksanaan pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Presiden RI kemudian mengeluarkan Keputusan No. 41 tahun 1973 yang isinya seluruh P. Batam dinyatakan sebagai daerah industri. Pembinaan pengendalian dan pengusahaan daerah industri P. Batam masing-masing diselenggarakan oleh dan dipertanggungjawabkan kepada Badan Pengawas Daerah Industri P. Batam, Otorita Pengembangan Daerah Industri P. Batam.

Untuk menjadikan P. Batam sebagai wilayah pertumbuhan maka dilakukan upaya untuk mempermudah masuknya industri baik dari luar maupun dari dalam guna mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menggairahkan kegiatan di semua faktor khususnya industri. Upaya ini didorong tekad pemerintah dengan menerbitkan Keputusan Presiden No. 33 tahun 1974 yang menentapkan Kawasan Batu Ampar Sekupang dan Kabil sebagai Bonded Warehouse yang selanjutnya berubah dengan Keputusan Presiden No. 41 tahun 1978 dan menentapkan seluruh wilayah P. Batam sebagai Bonded Area. Selanjutnya guna menunjang percepatan pertumbuhan P. Batam diterbitkan beberapa KEPPRES dan Surat Kepmen, antara lain:

(1) Surat Keputusan No. 1 tahun 1978 oleh Ketua Badan Koordinator Penanaman Modal tentang Pemberian Pelimpahan Wewenang Pengurusan dan Penilaian Permohonan Penanaman Modal di Daerah Bonded P. Batam kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.

(2) Surat Keputusan Presiden RI No. 22 tahun 1978 tentang Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran serta Pemindahan Barang Kedalam

dan Keluar Wilayah Usaha Bonded Warehouse di Daerah Industri P. Batam.

(3) Pada tanggal 8 Januari 1983, ditetapkan P. Batam sebagai daerah berstatus khusus di bidang keimigrasian dalam rangka menunjang pengembangan P. Batam sebagai daerah rawan industri, wilayah usaha bonded warehouse dan pariwisata.

(4) Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 70/kp/l/1983 tentang Pelimpahan Wewenang di Bidang Perdagangan dan Koperasi kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri P. Batam.

(5) Surat Keputusan Presiden No. 56 tahun 1984 tentang Penambahan Wuilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan penetapannya sebagai wilayah usaha Bonded Warehouse, atas Pulau Janda Berias, P. Tanjung Sauh, P. Ngenang dan Pulau Moimoi.

Hasil upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui Badan / Satuan Pelaksana Otorita Pengembangan Daerah Industri P. Batam dapat dilihat dari beberapa peningkatan beberapa indikator antara lain peningkatan jumlah penduduk, tenaga kerja, jumlah perusahaan, jumlah wisatawan, instansi pemerintah dan swasta, penerimaan devisa dan penerimaan PEMDA.

Lonjakan pertumbuhan 8 indikator tersebut dapat mencerminkan pertumbuhan di P. Batam. PRC (1998) menyatakan bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi di P. Batam sampai dengan 1998 adalah 17% pertahun.

Dari sudut pandang lain khususnya dari sektor sosial dan pemerintahan terjadi ketimpangan. Sejak tahun 1983 telah dirasakan tuntutan peningkatan adminstrasi pemerintah karena saat itu P. Batam masih ditangani oleh pemerintah tingkat kecamatan sedangkan investasi telah mencapai US$ 510 juta. Oleh karenanya melalui PP No. 34 tahun 1983 tanggal 7 Desember 1983, ditetapkan Kota Madya Batam di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau. Pada tanggal 24 Desember 1983 secara resmi didirikan Kota Madya Batam oleh Menteri Dalam Negeri.

Untuk menghindari tumpang tindih tanggung jawab, pada tanggal 23 Januari 1984 dikeluarkan Keputusan Presiden RI No. 7 tahun 1984 tentang

Hubungan Kerja Antara Kota Madya Batam dengan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Namun layaknya kapal apabila dinahkodai oleh dua orang maka akan sulit terjadi kesepahaman yang berarti mengganggu operasi dan jalannya kapal dalam mencapai tujuan.

Dari beberapa hal yang telah diungkapkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembangan P. Batam merupakan upaya menangkap peluang pertumbuhan yang tinggi di Selat Malaka. Indikasi ini dapat terlihat dari pertumbuhan ekonomi P. Batam setelah dilakukan pengelolaan secara khusus hingga rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 17% pertahun dengan pendapatan perkapita mencapai US$ 1.400, sehingga dapat dikatakan bahwa P. Batam merupakan pusat pertumbuhan baru untuk wilayah barat Indonesia. Namun demikian, perkembangan P. Batam yang pesat juga diiringi dengan masalah-masalah sosial yang timbul seperti kesenjangan pendapatan antara pelaku-pelaku ekonomi dan masyarakat asli, pendatang dan pemukim liar, selain kesenjangan dengan pulau-pulau lain disekitarnya yang belum terselesaikan dengan tuntans. Kesenjangan/konflik juga terjadi antara OPDIP Batam dengan Pemerintah Kota Madya Batam yang harus segera diselesaikan melalui pembagian tugas yang jelas disertai dengan dasar hukum yang tegas.