• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

SELESAI PEMBANGUNAN

8. Fatwa Planologi

5.5 Pilihan Instrumen Kebijakan

Sampai dengan akhir tahun 1998, Otorita Batam dalam mebuat kebijakan didasarkan 2 hal,yaitu:

(1) Kebijakan terpusat (Top-down approach)

(2) Kebijakan yang bersumber dari masyarakat (Bottom-up approach).

5.5.1 Kebijakan Terpusat

Kebijakan ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan dari pimpinan. Kebijakan diterbitkan karema pimpinan melihat adanya situasi yang harus diaambil tindakan cepat untuk memperbaiki keadaan. Pada umumnya isi kebijakan sangat strategis dan membawa misi pemerintah pusat. Beberapa contoh kebijakan terpusat antara lain diterbitkannya Keppres seperti Keppres 41 Tahun 1973, Keppres No. 45 Tahun 1978, Keppres No. 56 Tahun 1994.

Kebijakan yang jenisnya terpusat tetapi dalam skala yang lebih kecil adalah kebijakan pembangunan seperti diterbitkannya kebijakan pembangunan 6 (enam) buah jembatan dan jalan yang menghubungkan P. Batam dengan P. Rempang dan P. Galang; pembangunan Bandara Internasional Hang Nadim; penetapan tariff lahan, dan lain-lain. Dalam pelaksanaannya, kebijakan terpusat juga memberikan perintah (mandate) kepada staf untuk mengolah dan memberikan masukan kepada pimpinan.

5.5.2 Kebijakan yang Berasal dari Masyarakat

Kebijakan ini berawal dari pengamatan staf yang melakukan tugas sehari-hari di lapangan. Dari hasil pengamatan diusulkan kepada pimpinan untuk dibuatkan kebijakan-kebijakan yang dapat memperbaiki kondisi atau kinerja di lapangan. Proses pengusulan kebijakan dilakukan seara bertahap dan berjenjang, melalui diskusi-diskusi dan pembahasan yang pada akhirnya dibuatkan usulan kepada pimpinan untuk dibuatkan kebijakan institusi. Beberapa contoh kebijakan yang berasal dari usulan masyarakat (bottom up) antara lain kebijakan perbaikan Rencana Detail Tata Ruang; Penetapan Baku Mutu Lingkungan; Kebijakan penarikan lahan yang telah dialokasikan; dan kebijakan pembongkaran pembangunan.

Kebijakan yang telah dikeluarkan, baik kebijakan terpusat (top down) maupun kebijakan yang berasal dari masyarakat (bottom up) tidak selalu menghasilkan output seperti yang diharapkan. Kebijakan bisa saja tidak berjalan, bahkan menimbulkan konflik atau kasus hukum sehingga memerlukan kajian yang lebih mendalam lagi untuk menyelesaikan kasus-kasus yang timbul tersebut. Contohnya adalah kebijakan pembangunan P. Rempang dan P. Galang yang hingga saat ini belum terwujud; dan beberapa pencabutan lahan yang telah dialokasikan berbuntut konflik hingga ke proses hukum.

Kegagalan kebijakan yang dikeluarkan bukan berarti kebijakan tersebut salah. Bisa saja kajian dan data serta analisis yang kurang mendalam. Faktor lain adalah adanya kebijakan lain dari pusat yang tidak sejalan dengan kebijakan yang di dikeluarkan oleh pihak otoritas P. Batam.

6.1 Kesimpulan

1. Dari 16.686,43 Ha lahan yang tersedia, sampai dengan akhir 1998 telah teralokasikan 14.545 Ha (87,17%) lahan, namun demikian investasi yang didapat tidak mencapai optimum karena hanya 21,18% dari tanah yang telah dialokasikan saja yang sudah dibangun. Kelambatan dalam pembangunan dipicu karena pemilik lahan tidak sungguh-sungguh akan membangun, sebagian besar dari mereka hanya berharap mendapat keuntungan dari selisih nilai lahan bila dijual kembali (spekulasi). Pemicu lain terlalu cepatnya pengalokasian menyebabkan ketidak siapan dari unsur penunjang seperti penyiapan infrastuktur dan ketersediaan detail desain di seluruh wilayah. 2. Pada Simulasi model 1,3 dan 4 tidak dapat mencapai optimal karena lahan

tersedia tidak memungkinkan, skenario 2 dan 5 dapat dioptimalkan dengan melakukan kebijakan penarikan dan mengonversikan lahan produktif. Namun demikian skenario 2 tidak dapat diaplikasikan karena kondisi di lapangan sudah tidak memungkinkan. Hasil optimalisasi lahan pada skenario 5 didapat nilai total investasi sebesar Rp. 387.253.622.654.871,60,-.

3. Nilai skenario 5 adalah hasil optimal dari investasi positif yang didapat ; nilai ini 11.72 kali lipat dari nilai total investasi bila tidak dilakukan kebijakan (skenario 3). Skenario 5 juga berhasil menurunkan investasi pemerintah yang semula 23% dari total investasi menjadi 12.1% dari total investasi. Investasi negatif juga berhasil diturunkan menjadi 1.1% dari total investasi; sebagai pembanding investasi negatif pada skenario 4 adalah 9.6% dari total investasi. Penurunan investasi negatif dipacu dengan pengolahan limbah dan optimalnya pemanfaatan lahan dan juga berarti berkurangnya erosi dan kerusakan lingkungan. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa sektor yang dapat menarik investasi positif terbesar secara berurutan adalah industri, jasa, perumahan, pariwisata dan pertanian.

4. Nilai lahan di Pulau Batam meningkat 720%, yang semula Nilai Asli Lahan (TEV) Rp 27.409,-/m2 menjadi Rp 197.533,7,-/m2 pada tahun 1998. Nilai ini akan meningkat tajam sebesar 8490% pada 10 tahun mendatang bila dilakukan optimalisasi sesuai skenario 5 atau nilai lahan menjadi

Rp.2.237.245,33,-/m2. Peningkatan nilai lahan dan investasi di Batam sangat tergantung pada kepastian dan penegakan hukum di Pulau Batam. Salah satunya adalah kepastian penerapan kawasan berikat atau kawasan perdagangan bebas di Pulau Batam. Peningkatan investasi dan kestabilan iklim usaha di Pulau Batam juga akan terbantu bila Pulau Rempang dan Pulau Galang segera dikembangkan. Hal ini akan menjadi alternatif investasi dan mengurangi tekanan terhadap Pulau Batam.

6.2 Rekomendasi

1. Berdasarkan kecenderungan pasar dan Analisis SWOT untuk mengonversikan lahan-lahan yang tidak produktif, maka perlu segera melakukan evaluasi Master Plan dengan mengikuti standar penataan ruang, khususnya standar lingkungan dan ditetapkan dengan kekuatan hukum yang memadai seperti melalui Undang-undang, PERDA atau Kepres, sehingga alokasi yang sudah sesuai dengan Master Plan tidak mudah diubah-ubah.

2. Sektor-sektor yang sulit berkembang dan mempunyai nilai lahan yang kecil per m2-nya, segera diambil kebijakan untuk diberhentikan pengalokasiannya dan secara bertahap dikonversikan peruntukannya menjadi sektor yang diminati pasar dan mempunyai nilai lahan yang tinggi per m2-nya, seperti dari sektor pertanian dikonversikan menjadi sektor industri. Segera menarik lahan-lahan yang sudah dialokasikan tetapi belum dibangun dengan target 10% setiap tahunnya dan memberikan insentif bagi investor yang berprestasi.

3. Mengupayakan percepatan pertumbuhan dengan pengalokasian lahan yang tepat sasaran kepada investor yang benar-benar mau membangun. Investor harus diseleksi dengan cermat, dipioritaskan pada investasi dengan kegiatan yang padat modal, sedikit menghasilkan limbah dan dapat meningkatkan investasi positif secara signifikan.

4. Segera memperbaiki lahan-lahan yang rusak akibat penyerobotan, perambahan dan pembukaan lahan, merencanakan dan membangun pengolahan limbah agar mengurangi dampak negatif di daerah pesisir dan terjaga keseimbangan lingkungan.

5. Segera dibuatkan mekanisme dan wadah untuk membantu meningkatkan standar hidup penduduk yang ekonominya lemah dari hasil pembangunan guna membantu masyarakat tersebut dalam bidang pendidikan, kesehatan dan menciptakan lapangan kerja yang sesuai.

6. Harus segera dibuat kebijakan untuk mengatur / mengurangi pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat dan tidak terkendali, khususnya yang disebabkan dari migrasi, sehingga pertumbuhan penduduk dapat ditekan di bawah 2%/th.

7. Peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang telah diterbitkan dan diberlakukan harus dilaksanakan dengan tegas terutama dalam memberikan sangsi. Bila perlu status hukum dan peraturan ditingkatkan kelasnya, untuk menghindari spekulasi, penyerobotan lahan dan kesewenang-wenangan dalam memanfaatkan lahan.

8. Meningkatkan koordinasi dan pembagian tugas serta payung hukum yang jelas antara Otorita Batam dan Pemerintah Daerah baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II.