• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemasalahan Pemanfatan Lahan (1) Master Plan

DAFTAR LAMPIRAN

INVESTASI BIDANG PERTANIAN

5) Sektor Perhotelan

4.3 Analisis Kebijakan Umum Pengembangan P. Batam

4.4.4 Pemasalahan Pemanfatan Lahan (1) Master Plan

Bila dibanding dengan wilayah lain, maka P. Batam bisa dikatakan lebih maju dalam merencanakan pengembangan wilayahnya. Sejak awal (1978) Pulau Batam sudah menyiapkan master plan untuk seluruh pulau dan dilakukan revisi setiap 5 tahun. Pada kurun waktu tersebut wilayah lain masih sedikit yang mempunyai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara menyeluruh.

Master plan yang diterbitkan tahun 1978 masih belum dapat diaplikasikan dengan baik karena masih sangat makro dan bersifat konsep. Dalam master plan ini sudah ditetapkan bahwa kebijakan pemanfaatan lahan adalah 40% lahan yang boleh dibangun sedang 60% merupakan daerah tidak terbangun, yang digunakan sebagai reserve area, daerah tangkapan hujan, hutan lindung, lahan kritis dan hijau kota.

Dengan tumbuhnya ekonomi di P. Batam dan derasnya permohonan permintaan lahan, maka pada tahun 1986 master plan P. Batam direvisi. Master plan ini masih dikatakan cukup idealis dan masih sangat memperhatikan lingkungan. Beberapa catatan penting yang dapat digunakan sebagai pedoman antara lain:

1) Keseimbangan daerah terbangun dan tidak terbangun masih baik, yaitu 40:60%. Hal ini berarti lahan kritis, daerah tangkapan air, hutan lindung dan daerah hijau lainnya masih sangat diperhatikan dan keseimbangan lingkungan relatif tidak terganggu.

2) Zoning dan peruntukkan tiap-tiap setor masih jelas konsepnya dengan memperhatikan dan mengikuti kondisi alam seperti topografi untuk aliran air dan kesesuaian muka lahan (kelandaian lahan).

3) Daerah pesisir/tepatnya garis pantai, masih dipertahankan keasliannya untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Daerah-daerah yang dibuka/dibangun adalah daerah-daerah yang benar-benar dibutuhkan seperti untuk pelabuhan dan wisata pantai. Daerah lainnya dibiarkan asli sesuai dengan kondisi alam (hutan bakau dan pantai relatif terjaga). 4) Penempatan waduk dan daerah tangkapan air hujan sangat

diperhatikan dan diamankan dengan adanya kawasan lindung, rencana drainase dan pembuangan limbah.

5) Penyebaran hijau di tiap sub-wilayah sampai dengan hijau diperkotaan sangat diperhatikan dan direncanakan dengan baik.

6) Adanya peruntukkan yang dipaksakan yaitu kawasan industri di Muka Kuning. Namun secara teknis diberikan persyaratan yang sangat ketat khususnya dalam pembuangan limbah. Salah satu persyaratan adalah selain limbah harus diolah, buangannya juga harus dialirkan ke laut agar tidak mengganggu Dam Duriangkang.

Tingginya pertumbuhan ekonomi dan derasnya permohonan/permintaan lahan menyebabkan master plan di evaluasi pada tahun 1991. Peruntukkan lahan untuk daerah terbangun berbanding daerah tidak terbangun yang pada master plan 1986 adalah 40:60 berubah menjadi 40,11:59,89 (walaupun perbandingan hampir tidak berubah namun kondisi daerah tidak terbangun menjadi berubah, misalnya lapangan golf bukan daerah terbangun). Perbandingan ini walaupun menurut standar penataan ruang masih memungkinkan (>70:30), namun demikian berdasa kondisi alam setempat dan rencana penggunaan lahan seperti untuk waduk dan daerah tangkapan airnya, perubahan lahan terbangun dan tidak terbangun terlihat sangat dipaksakan dan dapat berdampak merusak keseimbangan. Beberapa perubahan yang terlihat dipaksakan adalah:

1) Perubahan peruntukkan dari hijau menjadi perumahan. Perubahan ini mengganggu daerah tangkapan waduk Sei Harapan karena perubahan peruntukkan mengakibatkan aliran air dari perubahan menuju ke waduk Sei Harapan secara topografi juga membahayakan karena yang dirubah adalah perbukitan yang cukup terjal.

2) Penimbunan laut di teluk Sanimba yaitu yang semula laut dirubah peruntukkan menjadi peruntukkan pariwisata dan perumahan. Perubahan ini tidak mempunyai konsep yang kuat.

3) Merubah seluruh garis pantai di Tanjung Ucang hampir sepanjang 11 km, yang semula dibiarkan sesuai dengan kondisi alam, berupa hutan bakau dan rawa dirubah menjadi daerah industri dan hampir seluruhnya adalah industri perkapalan. Perubahan ini juga berdampak besar termasuk akibat penimbunan ke laut yang mengakibatkan perairan di sekitar Tanjung Uncang menjadi keruh bahkan dengan adanya pasang surut telah menyebar jauh ke selatan. Dari hasil penelitian PRC (1996) diungkapkan banyaknya terumbu karang yang mati dan tangkapan ikan menjadi berkurang. 4) Perubahan daerah Tiban Kampung. Perubahan ini mengakibatkan

perambahan lahan yang meluas sampai merusak daerah tangkapan air waduk Muka Kuning.

5) Merubah daerah di sekitar Muka Kuning dan Duriangkang yang semula peruntukkan hijau dirubah menjadi kawasan olah raga. Permasalahannya, seluruh wilayah tersebut aliran airnya menuju ke waduk Duriangkang. Kalau tidak ada pengaturan yang ketat dan pengolahan limbah maka semua limbah yang dihasilkan akan mengalir dan mencemari Waduk Duriangkang. Bahkan kenyataanya saat ini peruntukkan tersebut telah dimanfaatkan untuk industri dan perumahan. Perubahan-perubahan tersebut di atas tidak seluruhnya berdasarkan perhitungan akademis dan analisis yang matang. Beberapa pertimbangan yang mendasari perubahan tersebut antara lain:

1) Permintaan dan tekanan yang kuat dari pasar. 2) Tanah/lahan tersebut sudah terlanjut dialokasikan. 3) Lahan diserobot oleh masyarakat.

4) Kurang mendalami dampak yang akan terjadi.

Hasil overlay antara Master Plan 1986 dan 1991 dapat dilihat pada

Gambar 23 yang menggambarkan penyimpangan Master Plan 1991 terhadap Master Plan 1986; dan Gambar 24 yang merupakan hasil overlay penyimpangan pengalokasian lahan di Pulau Batam.

Pada Gambar 23 terlihat bahwa penyimpangan yang terjadi hanya pada kawasan reserve area yang berubah pengalokasian menjadi kawasan industri; sedangkan pada Gambar 24terlihat penyimpangan yang terjadi meliputi perubahan garis pantai (mangrove) menjadi hilang, adanya penimbunan/reklamasi di sekitar Teluk Senimba dan pemutihan Tiban Kampung.

Perijinan

Penyimpangan bisa juga terjadi karena kebijakan institusi/pimpinan. Penyimpangan biasanya terjadi bila ada investor yang besar dan berkualitas menginginkan lahan tertentu dengan luasan yang besar namun lahan tersebut tidak tepat peruntukkannya. Dengan berbagai pertimbangan keuntungan dan kerugiannya, bila ternyata lebih besar keuntungannya pada saat itu maka akan dikeluarkan kebijakan untuk menerima usulan dari investor dan biasanya untuk pengamanan akan diberikan peryaratan yang ketat kepada investor agar lingkungan tidak rusak (contoh Kawasan Industri Muka Kuning).

Penyimpangan di tingkat pimpinan juga bisa terjadi bila arahan pimpinan salah diterjemahkan. Penyimpangan berawal bila investor yang memohon lahan kebetulan mempunyai hubungan dengan pimpinan. Kondisi seperti ini biasanya pimpinan memberikan persetujuan prinsip atas permintaan investor. Arahan pimpinan apabila ada persetujuan prinsip maka staf wajib menelaah dan memberikan masukkan yang obyektif. Persetujuan prinsip bisa didukung apabila hasil telaahan positif (sesuai dengan master plan dan persyaratan lainnya). Namun bisa juga persetujuan prinsip tidak berlaku bila hasil telaahan menyimpulkan penyimpangan dari master plan atau akan menimbulkan dampak negatif yang besar. Penyimpangan terjadi bila persetujuan prinsip yang seharusnya ditolak tetapi usulan dari staf tetap mendukung/menyetujui. Penyimpangan pengalokasian lahan akibat perijinan akan dibahas tersendiri pada sub-bab 4.4.5, sedangkan peta penyimpangan pengalokasian lahan akibat perijinan/kebijakan dapat dilihat pada Gambar 25.

(2) Peran investor

Penyimpangan seringkali disebabkan oleh permintaan investor yang memaksakan keinginannya untuk menguasai/menyewa lahan yang dimohonkan (Gambar 26 Beberapa alasan yang diajukan untuk mendesak mendapatkan lahan tersebut antara lain: