• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEDUDUKAN NEGARA SEBAGAI KREDITOR PREFEREN

B. Kedudukan Negara (Utang Pajak) dan Upah Buruh

1. Kedudukan Negara (Utang Pajak) Berdasarkan Perundang-

memberikan konsekuensi pengaturannya harus dilakukan melalui konstitusi negara.

Pasal 23A UUD 1945 setelah Perubahan Ketiga menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Pernyataan dalam konstitusi negara tersebut mengandung makna filosofis dan makna yuridis. Jadi setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus dipungut berdasarkan undang-undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang dipungut tidak dengan undang-undang. Pasal 23A UUD 1945 tersebut, yang merupakan sumber hukum formal dari pajak, didalamnya terdapat falsafah pajak yang mendalam.177 Falsafah yang dikandung dalam Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana dimaksud sama dengan falsafah pajak yang dianut di Inggris yang berbunyi “No Taxation Without Representation”178 dan falsafah pajak di Amerika Serikat yang berbunyi “Taxation Without Representation is Robery”.179

Makna filosofis artinya bahwa pernyataan dalam pasal tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi (uberpositiven werte:

177 Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, (Bandung: Eresco, 1992),hal 13.

178 Bersumber dari The New Encylopedia Britannica, Volume 2, dikutip di dalam Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hal. 14

179 Ibid., hal 15

111

Pancasila, masyarakat adil dan makmur).180 Kata-kata “pajak untuk keperluan negara” menunjukkan cita-cita hukum pemerintah memungut pajak untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Makna yuridis mempunyai pengertian bahwa pernyataan dalam pasal tersebut memenuhi persyaratan formal sesuai hierarki norma hukum.181 UUD 1945 sebagai konstitusi negara merupakan hukum positif tertinggi yang mempunyai wewenang untuk menjabarkan cita-cita hukum dari suatu bentuk norma hukum menjadi suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang positif dan nyata. Pajak dipungut dengan tujuan untuk membiayai pengadaan public goods, namun bisa juga pajak dipungut untuk membiayai tujuan tertentu yang telah

ditetapkan pemerintah.182

Lebih lanjut mengenai kedudukan pajak diatur dalam undang-undang perpajakan dan dalam UU Kepailitan sebagai berikut:

a. Menurut Undang-Undang Perpajakan

Keberadaan negara dalam perusahaan pailit yakni melakukan penagihan pajak yang menjadi hak negara. Penagihan pajak pada perusahaan pailit di lakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak ( DJP ), yang pelaksanannya berdasarkan aturan hukum yakni pada Undang-undang 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), dan Undang-undang 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU PPSP).

180 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hal 95.

181 Ibid.

182 Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2005), hal 67.

Penagihan pajak dan hak mendahului negara di atur pada Pasal 21 UU KUP yang menyebutkan :

1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak

2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.

3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

a) biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;

b) biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;

dan/atau

c) biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Ketentuan penagihan pajak pada pasal 21 ayat (1) UU KUP yang secara tegas menekankan bahwa negara memiliki hak mendahulu untuk utang pajak. Sehingga pasal ini memberi posisi atau status kepada negara sebagai kreditor prefren.

Ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU KUP ini dikaitkan dengan Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata, yang juga melakukan penekanan adanya hak istimewa yang mempunyai tingkatan lebih tinggi dari orang yang berpiutang lainnya karena adanya peraturan perundang-undangan. Kedudukan negara sebagai kreditor prefren ini dinyatakan mempunyai hak mendahului seperti yang diatur secara khusus pada UU KUP yang menyebabkan negara memiliki hak mendahulu atas barang-barang milik penanggun pajak dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kreditor separatis dan konkuren seperti yang telah diatur dalam UU Kepailitan.

Kemudian dalam Pasal 21 ayat (3a) UU KUP, wajib pajak yang dinyatakan pailit atau dilikusidasi, maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi

113

untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditor lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut. Pasal ini kembali menekankan agar badan atau orang yang melaksanakan tugas pada wajib pajak yang dinyatakan pailit atau dilikuidasi dilarang membagikan harta wajib pajak tersebut sebelum melakukan pembayaran utang pajak kepada negara.

Kedudukan hak negara dalam kepailitan ini juga dipertegas pada Pasal 19 ayat (5), dan (6) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa ( UU PPSP) yang menyebutkan Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan pembagian hasil penjualan barang dimaksud berdasarkan ketentuan hak mendahulu Negara untuk tagihan pajak.

Lebih lanjut dalam penjelasannya kedudukan Negara sebagai kreditor preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud, atau biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Hasil penjualan barang-barang milik Penanggung Pajak terlebih dahulu untuk membayar biaya-biaya tersebut di atas dan sisanya dipergunakan untuk melunasi utang pajak. Kedudukan negara ini sebagai kreditor prefren bukan berarti penagihan pajaknya tidak ada batasan waktu dalam penagihannya. Pasal 21 ayat 4 UU KUP menyatakan Hak negara dalam perusahaan

pailit dapat hilang setelah 5 tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Walaupun negara berstatus sebagai kreditor prefren, namun hak nya dapat hilang, jika negara dalam melakukan penagihan pajak terlambat melakukan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan pasal ini.

Berkaitan dengan kedudukan negara yang diistimewakan ini bukan tidak berdasarkan alasan yang mendasar mengapa negara harus mendapat pembayaran atau pelunasan utang pajak yang wajib didahulukan dibanding dengan kreditor separatis dan konkuren dalam kepailitan. Pembayaran pajak ini didahulukan karena pemerintah dalam melaksanakan tugasnya untuk mencapai masyarakat yang sejahtera adil dan makmur, membutuhkan anggaran yang besar. Dana yang didapat pemerintah digunakan untuk melakukan pembangunan infrastruktur, fasilitas pelayanan publik dan lainnya. Sehingga dengan dilakukannya pembangunan yang merata pada seluruh daerah, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dimana berdasarkan kepentingan publik ini sehingga kedudukan negara harus didahulukan untuk melakukan penagihan pajak pada perusahaan pailit dibanding dengan kepentingan pribadi atau individu ataupun perusahaan yang menjadi kreditor.183

183 Muhammad Djafar Saidi, Pembaharuan Hukum Pajak, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal 187

115

b. Menurut Undang-Undang Kepailitan

Kedudukan hak negara yakni melakukan penagihan pajak para perusahaan yang sudah dinyatakan pailit. Dalam kepailitan, kedudukan negara berada pada status kreditor prefren. Seperti yang sudah di jelaskan diatas bahwa, hak negara dalam melakukan penagihan pajak diistimewakan dan didahulukan pembayarannya dibanding para kreditor lainnya dalam perusahaan yang dinyatakan pailit.

Menurut Pasal 41 UU Kepailitan, dalam hal melakukan penagihan pajak pada debitor pailit atau kurator yang mewakili wajib pajak tersebut disebutkan sebagai berikut:

1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.

3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang.

Selanjutnya pada penjelasan pada Pasal 41 ayat (3) UU Kepailitan disebutkan bahwa perbuatan yang wajib dilakukan karena undang-undang misalnya kewajiban membayar pajak. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam UU Kepailitan mengakui tentang keberadaan negara pada perusahaan pailit untuk melakukan penagihan pajak pada wajib pajak yakni debitor pailit. Pasal ini menekankan bahwa kewajiban pajak

merupakan perbuatan yang wajib dilakukan pada perusahaan pailit. Sehingga keberadaan negara berada pada posisi sebagai kreditor prefren.

Kemudian terkait pajak yang dimaksud lahir karena undang-undang seperti pada penjelasan Pasal 41 ayat (3) UU Kepailitan memberi penegasan bahwa utang pajak hanya dapat timbul karena undang-undang dan tidak mungkin pajak timbul karena perjanjian. Jika undang-undang yang menjadi dasar untuk pemungutannya telah ada, maka selanjutnya harus dipenuhi syarat-syarat objektif yang ditentukan oleh undang-undang secara bersamaan. Syarat objektif dipenuhi apabila Tatbestand yang disebut oleh undang-undang dipenuhi. Tatbestand dapat berupa:

a) Perbuatan b) Keadaan atau c) Peristiwa.184

Selanjutnya terkait penjelasan Pasal 41 ayat (3) UU Kepailitan diatas, pada Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni pada Pasal 1352 KUH Perdata menyebutkan bahwa perikatan yang lahir karena undang, timbul dan undang-undang sebagai undang-undang-undang-undang atau dan undang-undang-undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Berdasarkan pasal ini dapat diartikan secara ajaran materil bahwa utang pajak menurut dasar itu timbul dengan sendirinya karena pada saat yang ditentukan oleh undang-undang (PPh pada ahkir tahun) sekaligus dipenuhi syarat subjek dan syarat objek. Artinya bahwa untuk timbulnya utang pajak itu tidak diperlukan campur

184 Rachmat Soemitro, Asas Dan Dasar Perpajakan 2, (Bandung : PT Refika Aditma, 1998), hal 2

117

tangan atau perbuatan dari pejabat pajak, asal syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang yang telah dipenuhi.

Sedangkan menurut ajaran formil, utang pajak timbul karena undang-undang pada saat dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh Direktorat Jendral Pajak.

Jadi selama belum ada SKP maka belum ada utang pajak dan tidak akan dilakukan penagihan walaupun syarat subjek dan syarat objek telah dipenuhi bersamaan.185 Kedua ajaran ini tetap digunakan di Indonesia, dimana dalam melakukan penagihan Pajak Pertambahan Nilai menggunakan ajaran materil, sementara untuk Pajak Bumi dan Bangunan menggunakan ajaran formil.186

Berkaitannya penjelasan kedudukan hak negara dalam kepailitan, baik menurut UU Kepailitan dan sejalan dengan UUD 1945 begitu juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, melihat bahwa aturan dalam hal melakukan penagihan pajak sudah jelas. Ini memperlihatkan bahwa Negara mendudukan hukum sebagai panglima tertingggi dalam suatu negara. Sehingga utang pajak yang timbul dari wajib pajak mucul karena undang-undang yang telah ada mengatur. Hal ini tentu saja memudahkan petugas untuk melaksanakan tugasnya dalam hal menagih pajak pada perusahaan yang telah dinyatakan pailit.

Sejak awal kemerdekaan, pemerintah Hindia Belanda telah mengatur mengenai permasalahan hukum untuk kondisi perusahaan penunggak pajak yang mengalami kepailitan, yaitu dengan mengeluarkan Staatsblad Tahun 1944 Nomor 17

185 Ibid., hal 3

186 Ibid., hal 4

Tentang Ordonantie Pajak Pendapatan. Pasal 19 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa

“Barang-barang wajib pajak, baik yang berupa benda tetap maupun benda bergerak, menjadi jaminan pembayaran pajak terutang, dan untuk pajak, negara mempunyai hak utama terhadap barang gerak dan barang tak bergerak tersebut”. Sekarang, hal tersebut diatur UU KUP. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) dan (3a) UU KUP bahwa:

(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak;

(2) Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditor lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang wajib pajak tersebut.

Pasal 41 ayat (3) UU Kepailitan juga memberikan perlindungan kepada kreditor piutang pajak (Negara) dalam memperoleh hak mendahulu (privilege) atas utang pajak perusahaan yang mengalami kepailitan, yang menyatakan bahwa,

“Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang”. Perbuatan yang wajib dilakukan karena undang-undang, misalnya kewajiban pembayaran pajak.

Namun begitu, perlu diketahui bahwa tidak semua perusahaan yang pailit memiliki utang pajak. Pada saat rapat para kreditor akan diketahui, apakah Negara mendaftar atau apakah suatu PT/pribadi memiliki utang pajak. Apabila tidak ada

119

utang pajaknya berarti Negara tidak ikut dalam proses kepailitan. Maka Negara tidak menjadi kreditor preferen dalam kepailitan tersebut.187

Apabila terdapat utang pajak, maka wajib pajak dapat bermohon Dirjen Pajak agar dapat memberi kebijakan agar dapat memberi dispensasi atau kelonggaran terhadap utang pajaknya. Selain itu, kurator pun dapat mewakili debitor untuk bermohon kepada Dirjen Pajak agar memberi kebijakan untuk mengurangi utang pajak tersebut.188