• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEDUDUKAN NEGARA SEBAGAI KREDITOR PREFEREN

C. Utang Pajak Dalam Hal Kepailitan Pasca Putusan

1. Kedudukan Negara (Utang Pajak) Pasca Putusan MK

1. Kedudukan Negara (Utang Pajak) Pasca Putusan MK Nomor 67/PUU-XI/2013

Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang paling potensial karena setiap kegiatan perekonomian tidak dapat dilepaskan dari pajak. Target penerimaan pajak dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Utang pajak timbul dari undang-undang dan bukan timbul sebagai akibat adanya hubungan hukum sehingga utang pajak termasuk utang publik karena diatur oleh hukum publik.194 Negara sebagai pemegang utang pajak mempunyai hak mendahulu dalam pelunasannya atas harta pailit sesuai dengan yang diatur dalam UU KUP, UU PPSP, dan UU Kepailitan sendiri.

194 Sahya Anggara, Op. Cit., hal. 127.

127

Berkaitan dengan kedudukan negara yang diistimewakan ini bukan tidak berdasarkan alasan yang mendasar mengapa negara harus mendapat pembayaran atau pelunasan utang pajak yang wajib didahulukan dibanding dengan kreditor separatis dan konkuren dalam kepailitan. Pembayaran pajak ini didahulukan karena pemerintah dalam melaksanakan tugasnya untuk mencapai masyarakat yang sejahtera adil dan makmur, membutuhkan anggaran yang besar. Dana yang didapat pemerintah digunakan untuk melakukan pembangunan infrastruktur, fasilitas pelayanan publik dan lainnya. Sehingga dengan dilakukannya pembangunan yang merata pada seluruh daerah, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.195

Menurut Pasal 21 UU KUP, negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak. Ketentuan dalam pasal ini menetapkan kedudukan Negara sebagai kreditor preferen yang mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak. Pembayaran kepada Kreditor lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Aturan tersebut juga didasari oleh Pasal 1137 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “hak didahulukan milik negara, kantor lelang dan badan umum lain yang diadakan oleh penguasa, tata tertib pelaksanaannya, dan lama jangka waktunya, diatur dalam berbagai undang-undang khusus yang berhubungan dengan hal-hal itu.”

195 Fernandez, “Tinjauan Yuridis Hak Mendahulu Pelunasan Utang Pajak Atas Harta Pailit dan Penyelesaian Utang Pajak Dalam Kepailitan”, Jurnal Universitas Indoneisa, 2012., hal. 81.

Pasal 21 ayat (2) UU KUP mengatur tentang hak mendahului sebagaimana dimaksud sebelumnya meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak. Selanjutnya pada ayat (3) pasal yang sama diatur bahwa hak mendahului untuk utang pajak melebihi segala hak mendahului lainnya, kecuali terhadap biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud, dan/atau biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Ketentuan mengenai hak mendahului utang pajak dalam hal kepailitan diperjelas pada Pasal 21 ayat (3a) yang menyatakan bahwa “dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditor lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.”196

Namun begitu tidak hanya utang pajak yang mendapatkan hak didahulukan pembayarannya dalam kepailitan. Berdasarkan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, upah dan hak-hak lainnya dari buruh/pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Walaupun tetap saja kedudukan tagihan upah

196 Kurnia Martini Dwi, “Status Hukum Peralihan Hak Atas Tanah Yang Diperoleh Dari Lelang Berdasarkan Hak Mendahulu Negara”, Fiat Justisia, Vol. 10, 2016., hal 156.

129

buruh tidak dapat lebih tinggi dari kedudukan piutang kreditor separatis. Kemudian terkait UU Ketenagakerjaan tersebut, telah dimohonkan uji materi (judicial review).

Pekerja PT. Pertamina dua kali menguji UU Ketenagakerjaan. Permohonan pertama terkait Pasal 155 ayat (2), sedangkan permohonan kedua terkait Pasal 95 ayat (4). MK mengabulkan permohonan pertama dan kedua, masing-masing dalam putusan No.

37/PUU-IX/2011, tanggal 19 September 2011, dan putusan No. 67/PUU-XI/2013, tanggal 11 September 2014. Putusan kontroversi No. 67/PUU-XI/2013 telah berhasil mengubah kaidah UU Ketenagakerjaan.

Pekerja PT. Pertamina di dalam uji materi itu memohon supaya MK memberi penafsiran terhadap frasa “didahukukan pembayarannya”. Frasa dimaksud terdapat dalam Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU/2013 atas perkara Pengujian Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bertujuan untuk menguji konstitusionalitas frasa

“yang didahulukan pembayarannya” dalam Pasal 95 ayat (4) undang-undang tersebut tentang pelunasan utang dalam hal perusahaan dinyatakan pailit. Dalam amar putusan atas perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi melakukan dua perubahan yang dapat terlihat cukup jelas, yaitu:

a. Membedakan upah pekerja/buruh dengan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh,dan meletakkan keduanya pada urutan kedudukan yang berbeda sebagai kreditor pada kepailitan.

b. Mengubah urutan kedudukan upah pekerja/buruh dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh atas kreditor separatis, utang pajak, biaya kepailitan dan fee kurator pada kepailitan.197

197 Amar dari Putusan MK No. 67/PUU-XI/2013

Berdasarkan penjabaran di atas, ditemukan adanya pertentangan pengaturan antara Pasal 21 ayat (3a) UU KUP dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. UU KUP menempatkan utang pajak sebagai tagihan yang harus didahulukan pembayarannya sebelum tagihan lain dibayar dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, sementara Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang ditafsirkan oleh Putusan MK No.

67/PUU-XI/2013 menempatkan upah buruh yang terutang sebagai tagihan yang harus didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa pertentangan mengenai hak mendahulu tersebut hanya timbul saat terdapat tagihan utang pajak dan tagihan upah buruh sekaligus. Hal tersebut berkaitan dengan Putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 yang hanya diujikan terhadap Undang tentang Ketenagakerjaan dan bukan terhadap Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sehingga dalam hal tidak terdapat tagihan upah buruh dan hanya utang pajak yang memiliki hak mendahulu sebelum kreditor separatis dalam suatu perkara kepailitan, maka tidak terjadi pertentangan dan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan urutan kedudukan kreditor.

Terdapat perundang-undangan yang bertentangan satu sama lain. Guna menentukan acuan hukum yang lebih tepat dapat digunakan asas-asas hukum sebagai acuan. Oleh karena kedua peraturan di atas kedudukannya setara dan mengatur hal

131

yang sama yaitu mengenai kedudukan kreditor yang harus didahulukan pada kepailitan.

Secara konstitusional, kedudukan buruh sejatinya telah mendapat perlindungan yang memadai. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan : “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, Sedangkan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan : “Setiap orang berhak atas pekerjaan serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.

Secara teoritis, buruh adalah “kreditor yang diutamakan pembayarannya (preferen/privilege), Namun kedudukan buruh masih berada dibawah kreditor preferen separatis”. Pada umumnya kreditor separatis adalah lembaga keuangan yang telah menyediakan pinjaman dengan jaminan aset-aset perusahaan. Kreditor separatis ini berhak melakukan eksekusi, untuk memenuhi pembayaran piutangnya, dari aset-aset perusahaan yang dijaminkannya. Ketika buruh dihadapkan pada kreditor separatis, persoalan etis menjadi sangat krusial. Buruh yang bekerja untuk mendapatkan upah sebagai penopang hidup keluarga terpinggirkan oleh kreditor yang memiliki kedudukan lebih tinggi (kreditor separatis).

Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 tahun 2003 mengatur tingkatan tagihan buruh atas pembayaran upah sebagai piutang yang didahulukan pembayarannya : “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”. Ketentuan ini sejatinya searah

dengan ketentuan Pasal 1149 KUH Perdata, yaitu sama-sama memposisikan buruh sebagai kreditor preferen. Namun demikian, UU Ketenagakerjaan tidak secara tegas mengatur pada urutan keberapa diantara kreditor-kreditor yang diistimewakan.

Kreditor yang demikian sejak awal diperjanjikan untuk diselesaikan tagihannya lebih dahulu dan secara terpisah (separate) dengan hak untuk melakukan eksekusi terhadap harta yang dijaminkan. Demikianlah kreditor yang dijamin dengan hipotek, gadai, fidusia, dan hak tanggungan lainnya. Dalam urutan berikutnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan, adalah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kemudian upah buruh. Walaupun pada penjelasan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan tersebut menyatakan, “Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya”.198

Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan MK tidak dapat disangkal bahwa kedudukan pekerja/buruh dalam perusahaan merupakan salah satu unsur yang sangat vital dan mendasar yang menggerakkan proses usaha. Unsur lain yang memungkinkan usaha bergerak adalah modal yang juga merupakan unsur yang esensial.

Masing-masing unsur tersebut diikat dengan perjanjian yang karena isinya menjadikan unsur-unsur tersebut tidak memiliki kedudukan yang sama dilihat dari ukuran kepastian, jaminan, dan masa depan jika timbul risiko yang berada diluar

198 Kutipan putusan N0.67/PUU-XI/2013 mengenai pertimbangan hakim mengenai pokok permohonan, hal. 40.

133

kehendak semua pihak. Pengakuan tetap harus mempertimbangkan kedudukan yang berbeda dan risiko dalam kehidupan ekonomi berbeda yang tidak selalu dapat diperhitungkan. Oleh karena itu, dalam membuat kebijakan hukum, hak-hak pekerja/buruh tidak boleh termarginalisasi dalam kepailitan, namun tidak boleh mengganggu kepentingan kreditor (separatis) yang telah diatur dalam ketentuan hukum jaminan baik berupa gadai, hipotek, fidusia, maupun hak tanggungan lainnya.

Apabila perusahaan diputus pailit, Mahkamah Konstitusi mengatakan upah pekerja didahulukan pembayarannya dari segala jenis tagihan dan kreditur-kreditur lainnya, termasuk dari kreditur separatis dan tagihan pajak negara. Selanjutnya hak-hak pekerja lainnya dibayar lebih dahulu dari segala macam tagihan dan kreditur-kreditur lainnya, kecuali jika debitor memiliki kreditur-kreditur separatis. Mahkamah Konstitusi memberi kedudukan berbeda terhadap upah dan hak-hak pekerja lainnya.

Upah ditempatkan pada posisi lebih utama dari pada hak-hak lainnya.199

Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/ PUUXI/2013 tersebut, maka memiliki dampak positif terhadap pekerja, debitor pailit dan kurator.

Kalau dilihat dari sisi kepentingan kurator, Putusan Mahkamah Konstitusi No.

67/PUU-XI/2013 mempermudah kurator dalam menjalankan tugasnya. Kurator tidak perlu berdebat lagi dengan pekerja, kreditur separatis maupun petugas pajak.

Sementara kedudukan biaya kepailitan dan fee Kurator, kreditor preferen, dan kreditor konkuren tidak berubah kedudukannya dan tetap sama seperti sebelum

199 Luthvi Febryka Nola, “Kedudukan Sita Umum Terhadap Sita Lainnya Dalam Proses Kepailitan”, Jurnal DPR, Vol. 9, No. 2, 2018., hal. 68.

adanya putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 karena putusan tersebut tidak menyatakan apapun mengenai ketiga Kreditor atau tagihan tersebut, sehingga urutannya tetap menjadi:

a. Biaya Kepailitan dan fee Kurator;

b. Kreditor Preferen;

c. Kreditor Konkuren.

Walaupun Indonesia sebagai negara berkembang sangat membutuhkan penerimaan pajak sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan tetapi tidak didukung oleh pemaksaan pajak dan penyelewengan dana pajak. Oleh karena itu pemenuhan pembayaran terhadap tagihan pajak harus didahulukan daripada pembayaran terhadap kreditor-kreditor lainnya dalam kepailitan guna memenuhi pendanaan kinerja pemerintah.

Perlu diketahui bahwa tidak semua perusahaan yang pailit memiliki utang pajak. Pada saat rapat para kreditor akan diketahui, apakah Negara mendaftar atau apakah suatu PT/pribadi memiliki utang pajak. Apabila tidak ada utang pajaknya berarti Negara tidak ikut dalam proses kepailitan. Maka Negara tidak menjadi kreditor preferen dalam kepailitan tersebut.200 Apabila harta pailit cukup maka kurator akan membaginya tetapi apabila tidak kurator akan bagi secara pro rata sesuai dengan haknya. Misalnya utang kepada kreditor separatis yang memiliki agunan debitor berupa anggunan senilai 10 Milyar, lalu utang pajak PT tersebut juga

200 Hasil wawancara dengan Bapak Seven Rony Sianturi selaku kurator di Medan, tanggal 21 Agustus 2019.

135

10 Milyar. Maka mana yang akan didahlukan? Tentu kreditor separatis yang pegang hak tanggungan tersebut tentu tidak terima jika habis hanya untuk membayar utang pajak.201 Jadi itu semua tergantung kebijakan mana yang didahulukan. Kebijakan tersebut berdasarkan ketetapan Hakim pengawas. Nanti diadakan atau diundang oleh Hakim Pengawas untuk rapat. Diberitahu bahwa harta di dapatkan itu sekian, kemudian berapa pembagian untuk masing-masing para kreditor. Jika ada keberatan dari kreditor lain dan dalam hal ini pajak sebagai kreditor preferen dapat menggugat karena pemilik barang sepenuhnya adalah kreditor separatis.202

Terhadap utang pajak, wajib pajak dapat bermohon Dirjen Pajak agar dapat memberi kebijakan agar dapat memberi dispensasi atau kelonggaran terhadap utang pajaknya. Kurator pun dapat mewakili debitor untuk bermohon kepada Dirjen pajak agar memberi kebijakan untuk mengurangi utang pajak tersebut.203 Namun bukan berarti upah buruh menjadi dianggap tidak penting. Ketenagakerjaan menjadi suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan nasional, karena tenaga kerja mempunyai peran dan kedudukan yang penting sebagai pelaku dari pembangunan nasional. Peranan tenaga kerja/buruh untuk kelangsungan perusahaan sangatlah penting. oleh karena itu buruh berhak atas upahnya.

Bapak Nurdin Sipayung berpendapat bahwa pajak dibayarkan demi kepentingan Negara namun bagaimana dengan pemenuhan hak buruh terkait

201 Ibid

202 Ibid

203Hasil wawancara dengan Bapak Seven Rony Sianturi selaku kurator di Medan, tanggal 21 Agustus 2019.

upahnya. Apabila 100 orang tidak mendapatkan upahnya, lantas bagaimana kelangsungan hidupnya, sedangkan pajak tidak hanya bersumber pada kepailitan saja melainkan terdapat berbagai sumber lainnya seperti tambang, dan lain-lain. Dengan demikian sebagai kurator berupaya melindungi hak buruh sesuai dengan UU Ketenagakerjaan dan Putusan MK yang mendahulukan pembayaran upah buruh.

Selanjutnya mengenai utang pajak debitor dapatlah dibicarakan dalam rapat untuk mencari jalan tengah berupa pengurangan utang pajak tersebut.204

Namun apabila kurator tidak mendahulukan pembayaran pajak, maka kurator dapat dipidana karena tidak mendahulukan pembayaran pajak kepada Negara sesuai dengan Pasal 38 UU Perpajakan yakni mengatakan bahwa:

“Setiap orang karena kealpaannya sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun”.

Oleh karena itu, sudah semestinya ada peraturan-peraturan yang jelas dan terperinci untuk mengatur tanggung jawab dan sanksi terhadap kurator agar kurator tidak menyalahi aturan dalam menjalankan tugasnya. Terdapat kendala-kendala yang dihadapi kurator dalam mengakomodasi hak-hak pekerja/buruh setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013 adalah sebagai berikut :

204 Hasil wawancara dengan Bapak Nurdin Sipayung selaku kurator di Medan, tanggal 21 Agustus 2019.

137

1. Kendala Yuridis, adanya ketentuan dalam UU No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mengatur jika kreditor separatis dapat menjual sendiri boedel pailit seolah olah tanpa adanya kepailitan. Pasal 55 UU Kepailitan menyatakan:

“Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”

Bahwa dengan adanya ketentuan tersebut maka kendala yang dihadapi kurator yaitu kreditor separatis dapat menjual sendiri boedel pailit dan hasil dari penjualan tersebut dapat digunakan untuk membayarkan tagihan kreditor separatis itu sendiri. Dengan demikian, tidak ada kewajiban bagi kreditor separatis untuk membagi hasil penjualan kepada pekerja/karyawan karena upah buruh adalah tanggung jawab perusahaan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para kurator selaku mengatakan memang belum ada payung hukum yang mengatur bagaimana upaya yang harus dilakukan apabila kreditor separatis melakukan penjualan boedel pailit dan mengambil seluruh hasil dari penjualan seluruhnya, maka perlu kreatifitas bagi kurator berkomunikasi bagus dengan perbankan selaku kreditor separatis, dan berkomunikasi bagus dengan calon pembeli lelang.205

205 Hasil wawancara dengan Bapak Jamaslin James Purba selaku kurator yang berdomisili di Jakarta, tanggal 11 Agustus 2019.

Perlu diperhatikan jika upaya kurator tersebut adalah berkaitan dengan praktik dan tidak diatur Undang-Undang. Proses pendekatan yang dilakukan kurator dapat dilakukan sebelum lelang dilaksanakan, dan kurator dilarang melakukan pendekatan kepada calon buyer waktu proses lelang. Jika masih ada kekurangan, kurator juga bisa melakukan pendekatan kepada perbankan sebagai kreditor separatis untuk membantu menyisihkan hasil penjualan boedel pailit untuk membayar upah buruh jika terdapat sisa penjualan boedel pailit.

Pada umumnya calon buyer dan kreditor separatis bersedia menyisihkan hasil penjualan boedel pailit untuk membantu kurator membayar upah buruh. Hal tersebut juga agar menghindari aksi buruh dalam mengganggu proses penjualan harta pailit jika ternyata upah buruh tidak terbayarkan. Bahwa kurator juga dapat menyisihkan fee nya untuk menambah kekurangan pembayaran upah buruh, namun hal tersebut tidaklah kewajiban Kurator dan merupakan keputusan masing-masing Kurator.206

2. Terdapat ketidaksinkronan dalam Undang-Undang Kepailitan yang menjadi dasar Kurator untuk mendahulukan pembayaran hak karyawan berupa upah tertunggak berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013.

Bahwa ketidaksinkronan dalam Undang-undang Kepailitan tersebut terdapat dalam pasal 55 yang bertentangan dengan pasal 60 ayat (2) UU No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bahwa Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menyatakan:

206 Ibid

139

“Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap 118 Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolaholah tidak terjadi kepailitan.”

Bahwa Pasal 55 tersebut di atas bertentangan dengan Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan menyatakan:

“Atas tuntutan Kurator atau Kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Kreditor pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan.”

Ketidaksinkronan Undang-Undang Kepailitan tersebut membuat kurator tidak dapat mendahulukan upah buruh/karyawan dari kreditor separatis. Kemudian terdapat kendala jika terbukti tidak ada sisa dari hasil penjualan boedel pailit yang dilakukan kreditor separatis untuk melunasi tagihannya, maka kurator tidak dapat membagi upah buruh/ karyawan yang mestinya harus didahulukan dari kreditor separatis berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUUXI/2013.

Berdasarkan pengalaman Bapak Jamaslin James Purba sebagai kurator, biasanya jika buruh melihat harta pailit satu- satunya hanya dimiliki oleh kreditor separatis dalam hal ini bank, maka buruh akan melakukan upaya seperti demonstrasi, menduduki pabrik, demo bank, mengadu ke hakim pengawas.

Belum ada aturan dalam Undang-Undang Kepailitan dalam praktek yang

ditempuh oleh para kurator jika terjadi kasus tersebut, maka upaya yang dapat dilakukan kurator yaitu melakukan kompromi dengan perwakilan pekerja dan dari pihak kreditor separatis. Jika kreditor separatis menyetujui agar kurator yang melakukan penjualan boedel pailit, maka kurator harus terlebih dahulu meminta izin dari Hakim Pengawas, dalam melaksanakan penjualan harta pailit. Izin dari Hakim Pengawas ini dituangkan dalam suatu penetapan. Izin penetapan ini diperoleh setelah kurator terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk melakukan penjualan harta pailit dan dapat dilakukan secara lelang di depan umum maupun secara di bawah tangan.207

Sehingga jika kurator yang melakukan penjualan boedel pailit, kurator dapat menyerahkan bagian dari hasil penjualan untuk membayar buruh/karyawan berdasarkan Pasal 55 UU Kepailitan, namun jika kreditor separatis menolak menyerahkan agunan kepada kurator, maka kurator tidak dapat berbuat apa-apa karena masalah tersebut belum diatur dalam UU Kepailitan. Untuk itu perlu adanya revisi UU Kepailitan dan PKPU agar terdapat kepastian hukum untuk mengatasi kendala tersebut.

3. Adanya Ketentuan yang mengatur jika tagihan pajak didahului dari hak mendahului lainnya. Bahwa berdasarkan Pasal 21 ayat 1 Ketentuan Umum Perpajakan menyatakan:

207 Hasil wawancara dengan Bapak Jamaslin James Purba selaku kurator yang beromisili di Jakarta, tanggal 11 Agustus 2019.

141

“Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.”

Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut menyatakan:

“Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditor preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada kreditor lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.”

Bahwa di dalam prakteknya seringkali pegawai pajak menggunakan Pasal 21 UU KUP tersebut untuk mempengaruhi kurator agar mendahulukan tagihan pajak lebih dahulu daripada tagihan upah buruh dalam melakukan pembagian harta pailit, sehingga hal tersebut membuat kurator menjadi dilematis apakah mendahulukan tagihan pajak ataupun tagihan upah buruh terlebih dahulu. Kurator harus dapat mengambil keputusan untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi karena jika

Bahwa di dalam prakteknya seringkali pegawai pajak menggunakan Pasal 21 UU KUP tersebut untuk mempengaruhi kurator agar mendahulukan tagihan pajak lebih dahulu daripada tagihan upah buruh dalam melakukan pembagian harta pailit, sehingga hal tersebut membuat kurator menjadi dilematis apakah mendahulukan tagihan pajak ataupun tagihan upah buruh terlebih dahulu. Kurator harus dapat mengambil keputusan untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi karena jika