• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEDUDUKAN NEGARA SEBAGAI KREDITOR PREFEREN

C. Utang Pajak Dalam Hal Kepailitan Pasca Putusan

2. Kedudukan Upah Buruh Pasca Putusan MK Nomor

Semua pihak menyadari bahwa pengupahan termasuk salah satu aspek penting dalam perlindungan pekerja atau buruh, hal itu secara tegas diamanatkan pada Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, bahwa setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak.211 Namun perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak selamanya mengalami pertumbuhan yang stabil. Sebuah perusahaan bisa saja mengalami kebangkrutan atau kepailitan. Jadi dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat dalam keadaan kondisi untung, dimana perusahaan terus berkembang, atau dalam keadaan rugi, dimana garis hidup perusahaan menurun.

Perusahaan yang berada dalam kondisi merugi, selain perusahaan harus membayar utang kreditor, perusahaan juga harus memenuhi hak-hak pekerja. Dengan terjadinya pailit atau dengan telah dinyatakannya pengusaha sebagai debitor pailit maka akibat hukum bagi pekerja atau buruh dapat berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sesuai denga Pasal 165 UU Ketenagakerjaan. Suatu perusahaan yang pailit dapat saja memang tidak mampu untuk membayar kreditornya sehingga dapat pula perusahaan tersebut mempunyai utang upah pula terhadap pekerjanya.

Sesuai Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan, pemenuhan hak-hak pekerja telah diatur dalam menyebutkan bahwa:

211Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal 74

“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.”

Sebagaimana dalam UU Kepailitan menyatakan kedudukan utang upah pekerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) yaitu bahwa utang upah pekerja merupakan utang harta pailit. Utang upah buruh merupakan utang harta pailit sehingga harus terlebih dahulu dikeluarkan dari harta pailit sebelum harta pailit dibagi-bagi kepada kreditor.

Sebagai salah satu kreditor dari suatu perusahaan yang telah dinyatakan pailit, pekerja dapat diklasifikasikan sebagai kreditor preferen, yang mempunyai hak untuk didahulukan dalam hal pembayaran piutangnya. UU Ketenagakerjaan menghendaki gaji atau upah serta hak-hak lainnya dari seorang pekerja dalam hal terjadinya kepailitan pada suatu perusahaan merupakan utang perusahaan yang harus didahulukan pembayarannya.

Namun ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan tidak dapat secara serta merta memposisikan pekerja sebagai satu-satunya kreditor yang harus didahulukan pembayaran haknya. Hal ini dikarenakan UU Kepailitan tidak secara tegas mengatur mengenai hak pekerja untuk didahulukan pembayaran utang upahnya dari kreditor lain dalam kepailitan. Mengenai utang upah pekerja diatur dalam Pasal 39 UU Kepailitan. Akan tetapi, dalam pasal tersebut hanya mengatur bahwa “upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.” Tidak adanya kejelasan kedudukan utang upah buruh

147

dalam UU Kepailitan tersebut tentu menimbulkan problematika dalam penyelenggaraan ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, mengingat pasal tersebut memiliki kaitan yang erat dengan UU Kepailitan.

Aturan-aturan dalam kepailitan belum jelas mengatur mengenai posisi utang upah pekerja atau buruh yang perusahaannya dinyatakan pailit. Buruhpada prinsipnya berhak atas imbalan dari pekerjaan yang telah mereka kerjakan. Tagihan upah buruh oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan sebagai utang yang lebih didahulukan pembayarannya daripada utang-utang lainnya.

Namun dalam proses penyelesaian utang upah pekerja ketika perusahaan dinyatakan pailit, UU Kepailitan tidak mengatur secara tegas mengenai hak pekerja untuk didahulukan pembayaran utang upahnya dari kreditor lainnya. Sehingga dalam UU Kepailitan, buruh atau pekerja digolongkan sebagai kreditor konkuren.

Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 telah mempertegas kedudukan utang upah pekerja sebagai kreditor preferen, yakni kreditor dengan hak istimewa. Melalui hak istimewa yang dimiliki oleh pekerja dalam hal terjadinya kepailitan, pembayaran terhadap utang upah pekerja didahulukan dari semua kreditor lainnya, termasuk dari kreditor separatis, tagihan hak negara, kantor lelang maupun badan umum yang dibentuk oleh pemerintah.

Walaupun sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-IX/2013 dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, maka upah dan hak-hak lainnya dari buruh/pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya, serta berdasarkan penjelasan

Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menyebutkan yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang-utang lainnya, namun tetap saja kedudukan tagihan upah buruh tidak dapat lebih tinggi dari kedudukan piutang kreditor separatis.

Oleh karena itu, 9 (sembilan) karyawan PT.Pertamina melakukan permohonan uji materi Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan ke Mahmakah Konstitusi. Mereka mengajukan permohonan dengan surat permohonan tertanggal 17 Juni 2013, kemudian oleh Kepaniteraan Mahmakah Konstitusi meregistrasi permohonan tersebut pada tanggal 17 Juni 2013 dengan Nomor 67/PUU-IX/2013, yang pada intinya didalam uji materi tersebut memohon agar Mahmakah Konstitusi memberi penafsiran terhadap frasa “didahukukan pembayarannya”.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang berhasil mengubah kaidah UU Ketenagakerjaan, sejauh ini jumlahnya ada delapan putusan, namun yang paling berpengaruh adalah putusan Nomor 67/PUU-XI/2013 yang diputus pada tanggal 11 September 2014 yang mengabulkan permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah membuat dua norma baru, yaitu:

a) Upah buruh/pekerja didahulukan pembayarannya dari segala jenis tagihan dan kreditor-kreditor lainnya, termasuk dari kreditor separatis dan tagihan pajak negara;

b) Hak-hak buruh/pekerja lainnya dibayar lebih dahulu dari segala macam tagihan dan kreditor-kreditor lainnya, kecuali jika debitor memiliki kreditor separatis. MK memberi kedudukan berbeda terhadap upah dan hak-hak pekerja lainnya. Upah ditempatkan pada posisi lebih utama dari pada hak-hak lainnya.212

212 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013

149

Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian yaitu Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sepanjang tidak dimaknai:

“pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak-hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis”; dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis”;213

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013, telah memperjelas bahwa pekerja memiliki kedudukan sebagai kreditor preferen dengan hak istimewa. Adanya hak istimewa tersebut menjadikan didahulukannya pembayaran gaji atau upahnya atas semua jenis kreditor, termasuk kreditor separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah.

Sedangkan pembayaran hak lainnya dari pekerja didahulukan pembayarannya terhadap hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali terhadap hak kreditor separatis.

Menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi, pekerja ditempatkan dalam urutan pertama yang harus diprioritaskan dari kreditor lainnya. Hal ini dikarenakan hak pekerja untuk memperoleh gaji atau upah atas kerja kerasnya semata-mata diperlukan

213 Ibid

untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi dirinya sendiri serta kehidupan keluarga dari pekerja yang bersangkutan. Berdasarkan berbagai pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi telah secara tegas memberikan perlindungan terhadap hak pekerja dengan memberikan kepastian hukum untuk memprioritaskan hak pekerja agar dapat memperoleh haknya sendiri dalam hal perusahaan yang bersangkutan mengalami kepailitan. Melalui putusan tersebut semakin menguatkan hak pekerja untuk memperoleh hak sebagai kreditor preferen dengan hak istimewa yang didahulukan dari semua jenis kreditor yang ada.

Walaupun Mahkamah Konstitusi telah memposisikan upah buruh diatas dari semua Kreditor, ada beberapa kondisi di mana buruh tidak mendapatkan hak atas pembayaran upahnya, yaitu :

1. Ketika terjadi insolvensi parah. Artinya, tidak ada lagi biaya yang dapat dibayarkan dari harta pailit atau harta pailit hanya cukup untuk membayar biaya-biaya perkara dan tagihan pajak. Dalam kondisi tersebut, mau tidak mau, pekerja tidak akan mendapatkan apa-apa;

2. Ketika harta pailit hanya berupa benda-benda yang dijaminkan kepada kreditor separatis. Apabila nilai tagihan kreditor separatis melampaui nilai benda-benda yang dieksekusi, maka otomatis tidak ada lagi yang tersisa dari harta pailit. Namun, apabila nilai eksekusi dapat menutup piutang pemegang hak jaminan, maka sisanya masih dapat dibagi.

Selain ke dua kondisi tidak menguntungkan di atas, masih ada beberapa masalah teknis yang bukan tidak mungkin dapat merugikan posisi buruh, seperti kurang

151

transparannya proses penentuan daftar urutan dalam pembagian harta pailit, serta kurang berfungsinya kurator dan hakim pengawas. Belum lagi, pihak-pihak yang berkepentingan belum tentu tahu tentang proses penyelesaian perselisihan terkait penentuan daftar pembagian harta pailit melalui pengadilan. Selain itu, jikalau dilihat dari sisi kepentingan kurator, Putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 mempermudah kurator dalam menjalankan tugasnya. Kurator tidak perlu berdebat lagi dengan pekerja, kreditor separatis maupun petugas pajak.

Singkatnya, putusan MK tidak menimbulkan masalah bagi kurator maupun debitor pailit. Debitor pailit dan kurator pihak yang patut gembira menyambut putusan MK tersebut. Ketika kurator membayar uang pesangon dan upah pekerja lebih dahulu dari kreditor lainnya, bagi debitor hal itu tidak masalah. Sebaliknya, bagi kreditor separatis tentu saja putusan MK itu bisa dinilai tidak menguntungkan.

Sesuai putusan MK, pembayaran tagihan negara dan kreditor separatis tidak lagi yang utama ketika pekerja mengajukan tagihan pembayaran upah. MK memposisikan pembayaran upah pekerja lebih utama dari semua jenis tagihan. Posisi upah mengalahkan tagihan negara dan kreditor separatis. Masalah yang tersisah adalah kompensasi PHK. MK mengatakan pembayaran uang pesangon diutamakan dari tagihan lainnya, tetapi dibelakangkan dari tagihan kreditor separatis. Oleh karena itu, kurator dapat membayar uang pesangon sebagai yang pertama, kalau debitor tidak mengikatkan diri dengan kreditor separatis.

Maka adanya putusan MK tersebut tidak serta-merta menghilangkan adanya ketidakpastian hukum disini muncul akibat tidak adanya aturan hukum yang khusus

mengatur mengenai penetapan antara utang pajak atau upah buruh yang seharusnya diprioritaskan sebagai kreditor preferen. Ditambah lagi dengan tidak adanya aturan teknis mengenai pembagian hasil harta pailit. Oleh karena itu, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit dimana negara sebagai kreditor preferen yang menimbulkan tidak terciptanya ketertiban dalam hubungan antara pemerintah dengan kurator.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian bab-bab tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kurator bertanggungjawab dalam pengurusan untuk menginventarisasi agar harta pailit tidak berkurang atau bertambah jumlah dan nilainya. Sedangkan dalam hal pemberesan harta pailit, kurator memulainya setelah debitor menyatakan pailit.

Kurator melakukan pemberesan dengan cara penagihan piutang debitor pailit (jika ada), menjual harta pailit dan melakukan pembayaran kepada kreditor sesuai daftar pembagian harta pailit yang disetujui Hakim Pengawas. Kurator dalam melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta pailit dapat dimintai pertanggungjawaban dalam kapasitas sebagai profesi kurator ataupun tanggungjawab pribadi.

2. UU Kepailitan tidak memuat aturan mengenai perlindungan terhadap kurator dalam hal melakukan pemberesan dan pengurusan harta pailit, akan tetapi selama kurator tidak melanggar ketentuan dalam kode etik profesi kurator dimana kurator bersikap independen dalam menjalankan tugas profesinya dan menjalankan tugasnya dalam hal pengurusan dan pemberesan harta pailit sesuai dengan UU Kepailitan maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena kurator tidak dapat dihukum apabila telah menjalankan tugasnya sesuai ketetapan Hakim.

3. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertentangan pengaturan antara UU KUP dan UU Ketenagakerjaan. Dimana UU KUP menempatkan utang pajak sebagai tagihan yang harus didahulukan pembayarannya sebelum tagihan lain, sementara UU Ketenagakerjaan yang ditafsirkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi menempatkan upah buruh yang terutang sebagai tagihan yang harus didahulukan atas semua jenis kreditor.

Dengan demikian, berdasarkan Putusan MK kedudukan Negara (utang pajak) bukan lagi yang didahulukan dalam kepailitan. Namun perlu diketahui bahwa pertentangan mengenai hak mendahului hanya timbul ketika terdapat tagihan utang upah buruh dan utang pajak sekaligus.

B. Saran

1. Pemerintah mensinergikan aturan hukum yang mengatur tentang siapa yang seharusnya diprioritaskan antara utang pajak atau upah buruh. Serta mengeluarkan aturan teknis mengenai pembagian harta pailit debitor agar terciptanya keadilan dan ketertiban dalam pembagian harta pailit.

2. Pemerintah seyogyanya mengeluarkan aturan hukum mengenai perlindungan terhadap profesi kurator, mengingat besarnya tugas yang diemban oleh kurator demi kepentingan debitor dan kreditor dalam kepailitan.

3. Putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 tidak dapat dijalankan sepenuhnya karena masih terdapat kendala dalam pelaksanaanya, maka hendaknya Hakim Pengadilan Niaga mempertimbangkan apabila merujuk pada putusan tersebut dalam menetapkan Negara sebagai kreditor preferen.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Anggara, Sahya, Hukum Administrasi Perpajakan, Bandung: Pustaka Setia, 2016 Apeldorn, L.J Van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1973 Arifin, Syamsul, Pengantar Hukum Indonesia, Medan Area: University Press, 2012 Arkisman, Pelaksanaan Tugas Kurator Dalam Mengurus Harta Pailit Berdasarkan

Pasal 72 UU. No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Jurnal Pro Hukum, Vol. IV, No.1, 2015.

Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta:

Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006

Atmosudirjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982 Ediwarman, Metode Penelitian Hukum, Panduan Penulisan Skripsi, Tesis dan

Disertasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2016

Fuady, Munir, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014

Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT.

Bina Ilmu, 1987

Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan Edisi Revisi, Malang: UMM Press, 2007

Hoff, Jerry, Undang Undang Kepailitan Indonesia, Penerjemah Kartini Mulyadi, Jakarta: PT. Tatanusa, 2000

Hoff, Jerry, Undang-Undang Kepailitan Di Indonesia (Indonesian Bankupcty Law), diterjemahkan oleh Kartini Mulja, Jakarta: Tatanusa, 2000

Huijbers, Heo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009

Johni, Ibrahim, Teori dan Metodelogi Hukum Normatif, Malang: Bayu Media Publishing, 2005

Khakim, Abdul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003

Kurde Nukthoh Arfawie, Teori Negara Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Lubis, M. Solly, Serba-Serbi Politik Hukum, Jakarta: PT. Softmedia, 2011

Lubis, M.Solly , Filasafat Ilmu dalam Penelitian Bandung: Mandar Maju, 1994 Manik Edward, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Mandar Maju, 2012

Marbun, B.N, Kamus Hukum Indonesia, Cetakan I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009

Maarzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2008

Mertokusumo, Sudikno , Penemuan Hukum, Bandung: Citra Sditya Bakti, 2009 Mertokusumo, Sudikno , Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,

2003

Nainggolan Bernard, Peranan Kurator Dalam Pemberesan Boedel Pailit, Bandung:

PT Alumni, 2014

Nating, Imran , Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004

Nur Dewata, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

Pane, Marjan, Permasalahan Seputar Kurator, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2002 Pudyatmoko, Y.Sri, Pengantar Hukum Pajak, Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2009 R , Ridwan H., Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011 Rahardjo, Satjipto , Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000

157

Rahardjo, Satjipto, Konsep Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996

Rajagukguk, Erman, “Latar Belakang dan Ruang Lingkup UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan”, dalam Rudy A. Lontoh (ed), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung:

Alumni, 2001

Ranuhandoko, I.P.M, Terminologi Hukum, Cetakan IV, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Ridwan, Metode & Teknik Penyusunan Tesis, Bandung: Alfabeta, 2006

Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2005

Saidi, Muhammad Djafar, Pembaharuan Hukum Pajak, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007

Sastrawidjadja, Man HS Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2006

Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Baktu, 2010

Sinaga, Syamsudin M, Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta: PT.Tatanusa, 2012 Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No.37

Tahun 2004 Tentang Kepailitan, cet. IV, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009 Soekanto, Soejono, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 1995

Soekanto, Soerjono, Pengantar penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005

Soemitro, Rochmat, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1992 Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cet. V,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994

Subhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik Di Peradilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014

Suggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997

Timur Sukirno, Tanggung Jawab Kurator Terhadap Harta Pailit dan Penerapan Actio Paulina, dalarn Rudhy A. Lontoh, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001 Sunarmi, Hukum Kepailitan, Jakarta: Softmedia, 2010

Sutendi, Adrian , Hukum Kepailitan, Jakarta: Ghalia, 2009

Usman, Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008 Wijayanti, Asri, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika,

2015

Zed Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008

B. Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek).

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 67/PUU-XI/2013

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang

159

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Republik Indonesia, Kode Etik Profesi Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia.

Republik Indonesia, Standar Profesi Kurator dan Pengurus Indonesia AKPI

Republik Indonesia, Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Rpublik Indonesia No 37 Tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Serta Penyampaian Laporan Kurator Dan Pengurus

Republik Indonesia, Peraturan Menteri no 11 Tahun 2016 tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus

Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 K/PDT/2014

C. Jurnal, Tesis dan Disertasi

Adi, Ida Bagus, dan Ida Ayu Sukihana, “Perlindungan Hukum Terhadap Kurator Dalam Melaksanakan Tugas Pengurusan dan Pemberesan Harta Debitor Pailit”, Jurnal Hukum Universitas Udayana, Bali, 2018

Astiti, Sriti Hesti, “Pertanggung jawaban Pidana Kurator Berdasarkan Prinsip Indepedensi Menurut Hukum Kepailitan”, Jurnal Disertasi Universitas Airlangga, Surabaya, 2015

Budiyono, Tri, “Problematika Posisi Buruh Pada Perusahaan Pailit”, Vol.42. No. 3, 2013, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Semarang.

Dwi, Kurnia Martini, “Status Hukum Peralihan Hak Atas Tanah Yang Diperoleh Dari Lelang Berdasarkan Hak Mendahulu Negara”, Fiat Justisia, Vol. 10, 2016.

Fernandez, “Tinjauan Yuridis Hak Mendahulu Pelunasan Utang Pajak Atas Harta Pailit dan Penyelesaian Utang Pajak Dalam Kepailitan”, Jurnal Universitas Indoneisa, 2012.

Fika, Maria Regina, Penyelesaian Utang Debitor Terhadap Kreditor Melalui Kepailitan, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang:

2007

Firmansyah, “Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit”, Jurnal Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2013.

Gatot, Danik dan Achmad Busro, “Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Kreditor Preferen Dalam Perjanjian Kredit Yang Dijaminkan Dengan Hak Tanggungan”, Jurnal Law Reform, PMIH FH UNDIP, 2014.

Hartono, Dedy Tri, “Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi I, Volume 4, 2016.

Irianto, Catur, “Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang(PKPU)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.4, No.3, November 2015.

Kurniawan, “Pemberesan Harta Pailit Pada Perusahaan Perorangan (Studi Kasus Pada PT.Sierad Produce Tbk)”, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 2007.

La Porta, Rafael, “Investor Protection and Corporate Governance”, Jurnal Of Financial Economics, No.58, 1999.

Manif, Abdul, Studi Mengenai Perikatan Dengan Syarat Batal Karena Wanprestasi Yang Diikuti Dengan Pengesampingan Pasal 1126 dan Pasal 1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Disertasi Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2016

Maria, Freisy, “Perlindungan Hukum Terhadap Profesi Kurator Dalam Perkara Kepailitan”, Lex Privatum, Vol. III, No. 2, 2015.

Mertokusumo, Sudikno, “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”, USU Law Journal, Vol.5 No.3

Mopeng, Andhika, “Hak-Hak Kebendaan Yang Bersifat Jaminan Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata”, Lex Privatum, Vol. V, No.9, 2017.

Morris, Calvin, “Analisis Pembagian Piutang Debitur Pailit Saat Kedudukan Boedel/Harta Pailit Tidak Cukup (Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga NO.57/Pdt.Sus-Renvoi/Prosedur/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst)”, Jurnal Magister Kenotariatas Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 2018.

Mutfi, Zulkarnain Al “Tanggung Jawab Kurator Dalam Penjualan Harta Di Bawah

Mutfi, Zulkarnain Al “Tanggung Jawab Kurator Dalam Penjualan Harta Di Bawah