• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEDUDUKAN NEGARA SEBAGAI KREDITOR PREFEREN

B. Kedudukan Negara (Utang Pajak) dan Upah Buruh

2. Kedudukan Upah Buruh Berdasarkan Perundang-

Buruh merupakan salah satu pihak pada saat suatu perusahaan dipailitkan, namun seringkali dalam proses kepailitan hak-hak konstitusional dari buruh terabaikan. Hal ini menunjukkan kedudukan buruh untuk mendapatkan haknya sangat lemah, padahal fungsi dan peranan buruh sangat penting guna kelancaran produksi dan pertumbuhan perusahaan.

Tagihan pembayaran upah buruh dikategorikan sebagai hak istimewa umum (Pasal 1149 KUH Perdata). Pasal 1149 KUH Perdata mengatur upah buruh sebagai tagihan dengan hak istimewa atas benda bergerak pada umumnya (general statutory priority). Sehingga termasuk dalam hak istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal

187 Hasil wawancara dengan Bapak Seven Rony Sianturi selaku kurator di Medan, tanggal 21 Agustus 2019.

188 Ibid

1131 KUH Perdata yang artinya pelunasan piutangnya harus didahulukan atau berkedudukan sebagai kreditor preferen.

Lebih lanjut mengenai kedudukan upah buruh diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan dalam UU Kepailitan sebagai berikut:

a. Menurut Undang- Undang Ketenagakerjaan

Perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak selamanya mengalami pertumbuhan yang stabil. Sebuah perusahaan bisa saja mengalami kebangkrutan atau kepailitan.Jadi dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat dalam keadaan kondisi untung, dimana perusahaan terus berkembang, atau dalam keadaan rugi, dimana garis hidup perusahaan menurun.

Perusahaan yang berada dalam kondisi merugi, selain perusahaan harus membayar utang kreditor, perusahaan juga harus memenuhi hak-hak pekerja. Pekerja merupakan salah satu faktor pendukung terpenting pembangunan nasional.

Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan, keadilan, serta kemakmuran yang merata baik secara materiil maupun spiritual.189 Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan) menentukan bahwa

“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

189 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hal.6

121

Penyelesaian utang upah buruh Debitor pailit diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dalam Bab X Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan.

Tagihan pembayaran upah buruh dikategorikan sebagai hak istimewa umum.

Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, yaitu:

“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”.

Posisi tawar buruh dalam memperjuangkan pembayaran upahnya sudah cukup kuat, karena (1) tagihan pembayaran upah pekerja adalah tagihan yang diistimewakan, (2) telah ada pengakuan undang-undang bahwa pembayaran upah menjadi utang harta pailit, dan (3) apabila terjadi perbedaan antara hitungan pekerja dengan daftar yang dikeluarkan oleh kurator, ada peran instansi pengadilan yang akan menengahi masalah tersebut. Artinya, posisi preferen (didahulukan) yang dimiliki oleh buruh tidak dapat begitu saja didahului.

Meskipun Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka upah buruh dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Penjelasan pasal ini menyebutkan yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang-utang lainnya. Kedudukan tagihan upah

buruh tetap tidak dapat lebih tinggi dari kedudukan piutang kreditor separatis karena upah buruh bukan merupakan utang kas Negara.190

Semua pihak menyadari bahwa pengupahan termasuk salah satu aspek penting dalam perlindungan pekerja atau buruh, hal itu secara tegas diamanatkan pada Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, bahwa setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak.191

Dengan terjadinya pailit atau dengan telah dinyatakannya pengusaha sebagai debitor pailit maka akibat hukum bagi pekerja atau buruh dapat berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sesuai dengan isi Pasal 165 UU Kepailitan. Suatu perusahaan yang pailit dapat saja memang tidak mampu untuk membayar kreditornya sehingga dapat pula perusahaan tersebut mempunyai utang upah pula terhadap pekerjanya.

Sesuai Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, maka pembayaran utang upah pekerja harus didahulukan dari utang lainnya, akan tetapi UU Ketenagakerjaan tidak menjelaskan utang upah buruh tersebut harus didahulukan dari utang yang mana karena dalam Undang-Undang tersebut hanya menyebutkan bahwa utang upah pekerja didahulukan dari utang lainnya. Oleh karena itu tidak dapat secara serta merta memposisikan pekerja sebagai satu-satunya kreditor yang harus didahulukan pembayaran haknya. Hal ini dikarenakan UU Kepailitan tidak secara tegas mengatur

190Hasil wawancara dengan Bapak Nurdin Sipayung selaku kurator di Medan, tanggal 21 Agustus 2019.

191 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal 74.

123

mengenai hak pekerja untuk didahulukan pembayaran utang upahnya dari kreditor lain dalam kepailitan.

b. Menurut Undang-undang Kepailitan

Permasalahan kedudukan utang upah pekerja dalam memperoleh haknya untuk didahulukan dari kreditor lain juga terjadi akibat adanya ketentuan dalam UU Kepailitan, khususnya yang terdapat dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) serta Pasal 138 undang-undang tersebut, karena tidak memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi pekerja/buruh.192 Ketentuan dalam undang-undang tersebut telah mengesampingkan kedudukan utang upah bagi pekerja sebagai kreditor preferen yang haknya harus didahulukan, dengan lebih mengutamakan kepentingan dari kreditor separatis. Pada saat pekerja dihadapkan dengan kreditor separatis, dimana dalam praktiknya hak kreditor separatis cenderung lebih diutamakan daripada pembayaran gaji atau upah dari pekerja yang berkedudukan sebagai kreditor preferen.193

Hal ini dikarenakan pekerja bukan satu-satunya pemegang hak istimewa, selain pekerja terdapat pula kreditor lain yang memiliki hak istimewa, misalnya negara dalam hal pemungutan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) UU KUP juncto Pasal 1137 ayat (1) KUHPerdata. Terlebih lagi dalam UU Kepailitan tidak mengatur mengenai hak seorang pekerja untuk didahulukan

192 Tri Budiyono, “Problematika Posisi Buruh Pada Perusahaan Pailit”, Vol.42. No. 3, 2013, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Semarang, hal. 416-425.

193 Ibid

pembayaran utang upahnya dari kreditor lain. Sehingga dalam menerima haknya, pekerja masih harus menunggu pembayaran hak negara serta hak dari kreditor separatis.

Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UU Kepailitan, ada dua kemungkinan yang terjadi terhadap nasib pekerja/buruh apabila perusahaan dinyatakan pailit, pertama pengusaha yang kewenangannya sudah beralih pada kurator, dapat memberhentikan pekerja/buruh, dan kemungkinan yang kedua adalah pekerja/buruh dapat memutus hubungan kerja, sehingga dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU Kepailitan bahwa konsekuensi dari pekerja/buruh dalam suatu perusahaan yang dianggap pailit adalah Pemutusan Hubungan Kerja. Pemutusan hubungan kerja tersebut paling singkat 45 (empat puluh lima) hari setelah pemberitahuan akan adanya pemutusan hubungan kerja.

Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UU Kepailitan, ketentuan mengenai besarnya hak yang diterima pekerja/buruh mengikuti ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan.

Oleh karena itu, apabila terjadi pemutusan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Kemudian pada Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan dijelaskan bahwa sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.

125

Menurut Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan dinyatakan bahwa sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Hal ini berarti apabila debitor perusahaan pailit tidak dapat membayar upah terutang, pesangon, dan hak-hak lain terhadap pekerja/buruh sesuai dengan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan maka kewajiban tersebut masuk dalam ketegori utang harta pailit, dan selanjutnya pekerja/buruh bertindak sebagai kreditor pailit. Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kedudukan pekerja/buruh sebagai salah satu dari kreditor pailit. Oleh karena itu, pembayaran atas hak-hak pekerja/buruh belum mendapat kejelasan khususnya mengenai urutan prioritas pemenuhan piutang pekerja/buruh tersebut. Dimana apabila harta pailit tidak cukup memenuhi jumlah utang yang ada dan sebagian besar kreditor adalah kreditor separatis atau kreditor pemegang hak jaminan kebendaan dan untuk memenuhi utang pajak, maka upah buruh bisa saja tidak dapat dibayarkan.

Oleh karena itu, menurut Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan, Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaaan, dan Pasal 1149 KUH Perdata, upah dan uang pesangon merupakan piutang yang diikat dengan hak istimewa. Walaupun sifat dari hak istimewa didahulukan, posisi pemegang hak istimewa masih berada di bawah pemegang hak gadai dan hipotek. Bahkan dalam barisan kreditor pemegang hak istimewa, pekerja/buruh berada di peringkat kelima setelah tagihan pajak, biaya perkara, biaya lelang, dan biaya kurator.

Namun berdasarkan Pasal 77 ayat (1) UU Kepailitan, setiap kreditor, termasuk pekerja/buruh dapat mengajukan surat keberatan kepada hakim pengawas terhadap perbuatan yang dilakukan oleh kurator atau memohon kepada hakim pengawas untuk mengeluarkan surat perintah agar kurator melakukan perbuatan tertentu atau tidak melakukan perbuatan yang sudah direncanakan. Pekerja/buruh dapat mengajukan keberatan apabila tindakan kurator dapat menyebabkan kerugian terhadap pekerja/buruh.

C. Utang Pajak Dalam Hal Kepailitan Pasca Putusan MK Nomor