MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
D. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah dalam Perspektif Teoretik
Konsep manajemen berbasis sekolah sebenarnya didasarkan pada self
DUMMY
kelompok orang memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan sendiri, maka orang atau kelompok tersebut akan memiliki tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan dan melibatkan diri dan kelompoknya. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat tumbuhnya rasa memiliki (self belongness) seseorang atau kelompok orang terhadap apa yang mereka putuskan. Karena itu dalam MBS pemberdayaan semua warga sekolah dan peningkatan partisipasi dan kepedulian mereka terhadap sekolah merupakan hal yang sangat strategis untuk ditumbuhkembangkan. Dengan demikian semua orang akan peduli dan merasa memiliki sekolah sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Manajemen berbasis sekolah bergerak ke arah keseimbangan
(re-balancing) struktur kekuasaan, penciptaan birokrasi yang kecil dan efektif, transfer pengambilan keputusan dan sumber daya dari kontrol pemerintah ke institusi di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan.
Di negara-negara maju reformasi pendidikan khususnya reformasi manajemen pendidikan selama 40 tahun terakhir terus berporos pada model desentralisasi, seperti di Amerika yang sudah mulai sejak tahun 1960-an gerakan reformasi manajemen pendidikan.
Konsep manajemen berbasis sekolah apabila kita cermati dari referensi tampak berawal dari referensi tentang desentralisasi seperti:
1. The New Progressive Era (tahun 1960) yang diungkapkan oleh para ahli manajemen pendidikan seperti Neale, Fullman, McLaughlin, Bruce Joyce. 2. School Effectiveness Studies (tahun 1970-an), yang dikembangkan oleh
beberapa ahli seperti: Edmunds, Brookover, Cohen, Cuban dan Austin 3. National Report (tahun 1980-an) seperti diungkap oleh Bell, Wood dan
Sizer yang menekankan pemberdayaan sekolah.
4. Public School by Choice, sebagai produk dari para pakar dari Universitas Minnesota dan Iowa.
Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa manajemen berbasis sekolah telah menjadi pendekatan baru dalam restrukturisasi dan reformasi sistem pendidikan di banyak negara meskipun istilah yang digunakan sangat bervariasi. Kecenderungan penggunaan pendekatan manajemen berbasis sekolah dengan variasi istilah tersebut dapat dilihat dari kasus beberapa negara sebagai berikut: 1. Kanada menggunakan istilah School-site Decision Making, untuk
menggambarkan pendekatan manajemen berbasis sekolah
2. Inggris menggunakan istilah Local Management of School dan
DUMMY
3. Victoria Australia menggunakan istilah The Schools of the Future dan Better
School
4. Australia Barat menyebutnya dengan penggunaan istilah Better School sebagai gambaran apa dan bagaimana manajemen berbasis sekolah 5. Selandia Baru memberikan nama Tomorrow’s School
6. Amerika Serikat lebih banyak lagi istilah yang mereka gunakan yaitu:
Site-Based Management, School-Based Leadership, Administrative Decentralization
dan Local Control
7. Sedangkan Hongkong memberi nama School Management Initiative sebagai istilah untuk manajemen berbasis sekolah.
Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi dan Daerah Otonom serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 yang mengatur tentang Kewenangan Daerah dan Provinsi dalam Bidang Pendidikan, maka otonomi penyelenggaraan pendidikan mulai diterapkan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Seiring dengan konsep desentralisasi pendidikan ini, telah dilakukan uji coba pemberdayaan sampai pada tingkat sekolah, yaitu melalui manajemen berbasis sekolah/sekolah inovasi. Pendekatan ini pada dasarnya memberikan otonomi yang luas kepada sekolah untuk mengembangkan program pengembangan sekolah (School Development) berdasarkan kebutuhan nyata sekolah, memberdayakan sekolah secara lebih optimal sesuai dengan potensi sekolah masing-masing, sehingga diharapkan sekolah akan lebih cepat dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya masing-masing.
Keberhasilan manajemen berbasis sekolah dalam meningkatkan mutu lulusannya, pada dasarnya masih ditentukan oleh berbagai faktor baik faktor struktural maupun non struktural. Faktor struktural mencakup: komitmen politik pemerintah daerah dan peran pemerintah daerah dan kota (Dinas Pendidikan) dalam penataan dan pembinaan kelembagaan, peraturan pemerintah daerah tentang pendidikan, kemampuan pemerintah daerah dalam mengakomodasi aspirasi masyarakat daerah akan pendidikan, kurikulum dan keuangan sekolah (anggaran belanja yang tersedia untuk pendidikan). Sedangkan faktor non strukural mencakup: tersedianya anggaran sekolah, sarana dan pra sarana sekolah, kelembagaan sekolah, manajemen sekolah dan manajemen kepala sekolah, SDM sekolah yang tersedia (termasuk kualitas SDM yang ada), partisipasi orangtua siswa dan
DUMMY
masyarakat lingkungan sekolah, pelaksanaan proses pembelajaran serta kultur masyarakat lingkungan sekolah.
Manajemen berbasis sekolah, pada dasarnya memberikan kewajiban bagi sekolah untuk melaksanakan berbagai kegiatan sebagai berikut:
1. Berusaha meningkatkan kemampuan dibidang manajemen dan kepemimpinan sekolah;
2. Berusaha mengembangkan kemampuan profesionalisme guru dan memberdayakan mereka dalam setiap kegiatan sekolah;
3. Melakukan inovasi pembelajaran secara terus-menerus. Untuk itu semua guru harus dipacu dan dipicu untuk menggunakan pendekatan, model, strategi, dan metode pembelajaran yang dapat merangsang tingkat kreativitas dan inovasi siswa;
4. Bersikap terbuka terhadap berbagai pembaruan bagi kemajuan dan peningkatan mutu sekolah;
5. Melakukan konsultasi kepada para ahli (berbagai pihak yang berkompeten) dalam rangka memajukan dan meningkatkan mutu sekolah;
6. Membangun kemitraan yang sinergis dengan berbagai pihak untuk memajukan dan kemajuan sekolah.
Dari uraian tugas dan tanggung jawab manajemen berbasis sekolah tersebut di atas, tampak bahwa pada dasarnya MBS, memberikan kepada sekolah otonomi penuh untuk merencanakan, memikirkan, dan mengaplikasikan pengembangan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Ini berarti sekolah yang mengaplikasikan pendekatan majanemen berbasis sekolah (mBS) diberikan otonomi luas pada institusi sekolah dalam pemberdayaan sekolah secara lebih optimal, meskipun demikian bukan berarti kebebasan bagi sekolah berbuat sekehendaknya tanpa mengindahkan aturan-aturan dan standar kualitas yang ditetapkan baik oleh kabupaten/kota maupun provinsi dan pusat.
Manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk alternatif sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan yang ditandai oleh adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi, tetapi masih dalam kerangka kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh daerah dan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah dapat lebih leluasa mengelola semua sumber daya dengan mengalokasikan sesuai dengan prioritas kebutuhan nyata sekolahnya. Dengan demikian, sekolah akan memiliki kepekaan dan tanggap terhadap berbagai kebutuhan sekolah dan kebutuhan masyarakatnya. Di sisi lain masyarakat diharapkan memiliki kepekaan terhadap kebutuhan
DUMMY
sekolah, sehingga mereka dapat berpartisipasi secara penuh dalam membantu dan mengontrol proses pengelolaan sekolah. Dengan demikian, sebagai pelaksanaan MBS, maka sekolah akan memiliki accountability baik terhadap masyarakat maupun kepada pemerintah.
MBS menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para siswa. Adanya otonomi dalam pengelolaan sekolah merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung pada masyarakat dan meningkatkan pemahaman mereka terhadap kebutuhan pendidikan.
Secara umum memberikan otonomi kepada sekolah memberi banyak manfaat bagi sekolah sesuai dengan pendapat Cranston (1993) dan Rizvi (1994) seperti yang dilaporkan oleh Wayan Koster (2000) bahwa MBS dengan otonomi sekolah dapat meningkatkan manajemen sekolah untuk membebaskan pengalokasian sumber daya dari kepentingan yang bersifat administratif kepada kepentingan yang bersifat edukatif. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan otonomi sekolah akan menyelesaikan semua persoalan yang melilit pendidikan sekarang ? Koster menyatakan Tidak, bahkan dapat menimbulkan masalah baru sepanjang kriteria yang ditetapkan tidak dilakukan sebagaimana mestinya.
Hasil evaluasi pada tahun 2000, 2002, 2005 oleh Kemendikbud menunjukkan bahwa program pembinaan MBS memberikan dampak positif, antara lain: (1) peningkatan manajemen sekolah yang lebih transparan, partisipatif, demokratis dan akuntabel; (2) peningkatan mutu pendidikan; (3) menurunnya tingkat putus sekolah; (4) peningkatan implementasi pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan strategi Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM); dan (5) peningkatan peran serta masyarakat terhadap pendidikan di sekolah dasar.
Pada tahun 2010 program Creating Learning Communities for Children (CLCC) mengadakan monitoring dan evaluasi implementasi MBS di Indonesia. Hasil monitoring dan evaluasi tersebut antara lain:(1) Tim MBS ditiap-tiap daerah bervariasi (latar belakang personelnya, kepemilikan program kerja, dan kesolidan dalam bekerja sama); (2) partisipasi daerah dalam memberikan dana untuk implementasi MBS beragam, yang rentangannya mulai miliaran rupiah sampai dengan tidak mengalokasikan sama sekali; (3)gugus sekolah memiliki struktur organisasi yang jelas, tugas dan fungsi direncanakan dengan baik, dan melaksanakan program kerja secara rutin; (4) MBS di sekolah yang dijadikan pilot project, diimplementasikan 95% untuk tingkat sekolah, 91% kepala sekolah, 80% guru dan 35% anggota komite sekolah; (5) terkait dengan manajemen sekolah, mayoritas sekolah memiliki rumusan visi dan misi yang
DUMMY
bisa dimengerti anggota komite sekolah, memiliki perencanaan sekolah dan memiliki persentase yang tinggi dalam melaksanakan rencana tersebut, dan memiliki rencana program semester, silabus, dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk tiap standar kompotensi dan kompetensi dasar (SKKD); (6) dalam implementasi PAKEM, guru-guru kurang memahami cara mengimplementasikan PAKEM, melakukan pertemuan kerja kelompok untuk mendiskusikan bermacam-macam model, strategi dan metode pembelajaran, penggunaan media pembelajaran, perencanaan pembelajaran dan manajemen kelas; keterampilan guru dalam mengevaluasi proses belajar kurang baik, pengorganisasian siswa kurang baik, buku-buku sumber belajar banyak yang tidak berkualitas, pembelajaran individual kadang-kadang kurang diminati siswa; dan (7) terkait partisipasi masyarakat, prinsip kerja sama telah diimplementasikan mayoritas sekolah, sekolah rata-rata tidak memiliki penyediaan air bersih, dan toilet yang baik, Komite Sekolah memiliki kinerja yang baik dan dapat berperan sebagai advisor, supporter, controller and supervisor, partisipasi orangtua memiliki kontribusi terhadap pembelajaran siswa, dan orangtua yang memiliki tingkat sosial ekonomi rendah umumnya masih salah interpretasi terhadap sekolah gratis.
Berdasarkan monitoring dan evaluasi tentang implementasi MBS di SD, maka dapat dinyatakan bahwa SD di Indonesia bervariasi dalam implementasi MBS, baik kuantitas maupun kualitasnya, serta terdapat berbagai masalah dan kendala implementasi MBS. Oleh karena itu, program MBS di Indonesia yang telah berjalan perlu dilanjutkan dan dimantapkan.
Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam aplikasi MBS di sekolah adalah kesiapan sekolah yang sangat ditentukan oleh para pelaku yang ada di sekolah seperti: Kepala sekolah, guru-guru, siswa, orangtua murid/masyarakat/
BP3 serta staf pendukung sekolah lainnya. Faktor kunci keberhasilan sekolah
dalam menerapkan MBS adalah kesiapan kepala sekolah untuk menjadi kepala sekolah yang efektif di sekolahnya.
Bagaimana kepala sekolah dapat dikatakan sebagai kepala sekolah yang efektif tersebut dapat dilihat dan disimak dari uraian-uraian berikut ini:
Kepala sekolah dalam suasana apa pun adalah individu yang sangat penting dan berpengaruh di sekolahnya. Kunci sukses suatu sekolah sangat terletak pada kepala sekolah, bahkan seorang ahli menyatakan tidak ada sekolah yang baik tanpa kepala sekolah yang baik (De Roche, 1987). Kepemimpinannya dalam kelompok guru-guru merupakan kunci, apakah sekolahnya akan menjadi sekolah unggul, favorit, bermutu, atau bahkan menjadi sekolah yang menduduki urutan terakhir dalam mutu. Hal ini dikarenakan pada kepala sekolah yang baik akan muncul guru-guru yang profesional, karena