• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemahaman tentang karakteristik individu terkait dengan teori-teori dasar

(grand theory) di bidang psikologi kepribadian. Beberapa teori kepribadian yang relevan menurut Salkind (1985:11-19) adalah teori perkembangan oleh Gesell (1920) dan Lorenz (1940), kemudian teori psikoanalisis yang dikemukakan oleh Freud (1930) dan Erikson (1955). Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) dan Spencer dan Spencer (1993), secara definitif, karakteristik pribadi/individu merupakan bagian dari individu yang melekat pada diri seseorang yang mendasari

tingkah laku orang tersebut yang dibutuhkan dalam suatu kriteria atau situasi tertentu.

Karakteristk pribadi meliputi umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, motivasi, status sosial, dan agama (Mardikanto, 1993:213). Umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan, dan sikap mempengaruhi proses inovasi seseorang (Slamet, 2003:16). Menurut Freud (Salkind, 1985:11-19), ada tiga komponen dalam kepribadian manusia, yaitu : id, ego, dan super ego. Dengan bertambahnya umur, pengalaman atau proses belajar yang panjang, orang sudah mampu mengalahkan id, ego, dan superegonya. Havigusrt (1972) dengan teori perkembangannya mengatakan bahwa dengan mempelajari masa perkembangan kita dapat mengetahui siap-tidaknya seseorang untuk belajar, sehingga dapat dihindari terjadinya kegagalan belajar. Pada saat tertentu, keinginan untuk belajar seseorang akan sangat besar atau bisa menurun.

. Umur

Baron dan Greenberg (1990:169) mengatakan bahwa umur dan masa kerja seseorang berpengaruh tehadap kinerjanya. Kepuasan kerja akan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur (Schultz dan Schultz, 1994:277). Tingkat kepuasan kerja pegawai yang lebih muda cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pegawai yang lebih tua karena pegawai yang lebih muda sering kali mempunyai harapan yang tinggi ketika memasuki dunia kerja (Luthans, 1989:181), namun menurut Padmowihardjo (1994), umur sendiri bukan merupakan faktor psikologis, tetapi hal-hal yang diakibatkan oleh umur itu adalah faktor-faktor psikologis dalam belajar. Umur 25 tahun adalah umur yang optimal untuk belajar. Pada umur 46 tahun kemampuan belajar mulai menurun dan akan menurun drastis setelah umur 60 tahun.

Hasil perpaduan antara karakteristik dengan pengalaman belajar menjadikan perbedaan yang sangat besar pada kemampuan setiap orang (Lionberger dan Gwin, 1982;8). Hasil penelitian Sachie (Salkind, 1985:32) menunjukkan bahwa pebedaan umur membawa perbedaan dalam kematangan. Disimpulkan oleh Salkind (1985:31) bahwa umur krononologis merupakan acuan untuk mengetahui tingkat perkembangan individu. Hal itu karena umur krononologis mudah dan akurat ditentukan sehingga tingkat perkembangan individu dapat diamati dengan menggunakan kriteria munculnya kinerja atau kemampuan tertentu dalam umurnya.

Masa Kerja

Rakhmat (1999:21) mengatakan bahwa pengalaman adalah satu-satunya jalan kepemilikan pengetahuan (aliran filsafat empirisme). Secara psikologis seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience).

Sejalan dengan itu, Padmowihardjo (1994:19) menjelaskan bahwa pengaturan pengalaman yang dimiliki seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha menghubungkan hal-hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam proses belajar. Pengalaman yang menyenangkan dan memuaskan akan berdampak pada hal positif bagi perilaku yang sama dan akan diterapkan pada situasi berikutnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masa kerja terkait dengan pengalaman. Pengalaman merupakan sumber belajar bagi seseorang yang dapat digunakannya untuk mengatasi berbagai persoalan dalam pekerjaan. Khusus bagi Pamong Belajar pengalaman yang berkaitan pengelolaan usaha yang dilakukan sendiri akan berpengaruh terhadap kemampuannya dalam mengelola program pembinaan industri kecil.

Pendidikan Formal

Program pendidikan yang baik akan membuat perbedaan besar dalam standar hidup, kebudayaan, dan kebebasan suatu bangsa. Pelayanan publik yang baik hanya dapat terwujud apabila didukung oleh pendidikan yang baik. Sejalan dengan itu, Slamet (2003:12) mengungkapkan bahwa masyarakat perlu dipersiapkan melalui program-program pendidikan agar mampu menerima dan berpartisipasi secara aktif dalam setiap usaha pembangunan.

Menurut Gonzales (Jahi, 1988), pendidikan juga merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan dan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, ada kecenderungan semakin tinggi pula pengetahuan, sikap, dan keterampilan, efisiensi bekerja, dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik dan lebih menguntungkan (Slamet, 2003:40; Mardikanto, 1993:213).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang semakin luas pengetahuannya dan semakin kuat pula daya pikirnya.

Pendidikan Nonformal

Menurut Buchori (1994:8), terdapat dua proses pendidikan yaitu yang disengaja dan terencana, dan yang tidak disengaja dan tidak direncanakan. Pendidikan formal dan nonformal merupakan pendidikan yang disengaja sehingga hal itu dapat dikatakan sebagai suatu upaya, sedang pendidikan informal (termasuk pendidikan di lingkungan keluarga) merupakan pendidikan yang tidak disengaja dan tak terencana sehingga lebih merupakan suatu kejadian/peristiwa.

Perpaduan pendidikan formal, non formal dan informal menjadi penting dalam meningkatkan kualitas belajar seseorang (Ranaweera, 1994). Pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan pendidikan di luar sistem pendidikan formal yang diorganisasikan dan sistematis, yang dilaksanakan di luar jaringan sistem formal untuk menyediakan tipe pelajaran yang dipilih untuk sub kompok tertentu dalam masyarakat, baik bagi orang dewasa mapun bagi anak-anak (Blanckenburg, 1988:17). Pendidikan nonformal berorientasi pada ciri-ciri warga belajar dalam mencapai tujuan pendidikannya (Ruwiyanto, 1994:65).

Pendidikan nonformal dalam penelitian ini adalah pendidikan nonformal yang didapatkan Pamong Belajar melalui pelatihan, magang, kursus, penataran, dan berbagai pendidikan keterampilan teknis lainnya yang dapat meningkatkan kemampuannya dalam kegiatan pembinaan ekonomi masyarakat atau pengrajin industri kecil.

Kekosmopolitan

Mardikanto (1993:350) mengemukakan bahwa kekosmopolitan merupakan hubungan seseorang dengan lingkungan luar di luar sistem sosialnya yang dapat dilihat dari frekuensi dan jarak kegiatan bepergian maupun pemanfaatan media massa. Bagi masyarakat yang memiliki tingkat kekosmopolitan tinggi akan cenderung lebih mudah mengadopsi inovasi di banding dengan masyarakat yang tingkat kekosmopolitannya rendah (lokalit). Orang yang kosmopolitan relatif tinggi lebih terbuka terhadap ide, gagasan, pengetahuan dan informasi dari luar. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kekosmopolitan adalah sikap keterbukaan Pamong Belajar dalam menerima informasi melalui hubungan mereka dengan

berbagai sumber informasi, frekuensi bepergian ke luar daerah, maupun dalam pemanfaatan media massa.

Persepsi pada Pekerjaan

Persepsi adalah sebuah proses pengamatan, seleksi, dan pengorganisasian rangsangan yang diterima secara konstan dan pembuatan interpretasi atas rangsangan tersebut (Lewis, 1987:107-109). Persepsi dapat sebagai penghambat dan mempermudah dalam berkomunikasi, dapat berupa persepsi langsung dan persepsi tak langsung. Menurut Heider (Aloliliweri, 1991:176), persepsi langsung terkait dengan pemaknaan objek fisik, sedangkan persepsi tak langsung terkait dengan komunikasi antar pribadi yang dipengaruhi oleh peubah individu maupun kondisi komunikasi. Oleh karena persepsi bersifat kompleks, kita cenderung memperhatikan salah satu stimuli tertentu dari seseorang, padahal seseorang tersebut makhluk hidup cenderung mengalami perubahan sehingga persepsi pun menjadi mudah salah (Rakhmat, 1999:81).

Menurut Litterer (Asngari, 1984:12-23), persepsi adalah :

”the understanding or view people have of things in the world around them. One of the basic factors in perception is the ability of people to take a limited number of facts and pieces of information and fit them into a whole picture. This proces of closure plays a central role in perception.

Persepsi orang itu dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta, atau tindakan. Orang bertindak sebagian dilandasi oleh persepsi mereka pada suatu situasi. Walaupun seseorang hanya mendapat bagian-bagian informasi, dia dengan cepat menyusunnya menjadi suatu gambaran yang menyeluruh. Ada keinginan atas kebutuhan manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidup, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. Karena itu, individu perlu mengerti dengan jelas tugas dan tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya.

Persepsi seorang pegawai pada pekerjaan akan mempengaruhi komitmennya pada pekerjaan tersebut. Menurut Schatz dan Schatz (1986), komitmen yang tinggi biasanya ditunjukkan dengan loyalitas dan kemampuan kerja yang tinggi pula. Menurut Steers dan Porter (Djati, 2002:25), loyalitas tersebut bukan loyalitas pasif, tetapi juga loyalitas yang melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi kerja untuk keberhasilan organisasi bersangkutan dalam menjalankan misinya.