• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep-konsep yang dikembangkan dalam kegiatan pembinaan masyarakat mengacu kepada konsep pemberdayaan masyarakat. Konsep pemberdayaan masyarakat merupakan paradigma pembangunan yang dilandasi oleh paradigma pembangunan sosial-demokrat dan menentang paradigma pembangunan neo- liberal. Menurut Syahyuti (2006:96), paradigma sosial-demokrat menekankan kepada adanya intervensi untuk peningkatan kapasitas individu (capacity building)

melalui proses pendidikan dan pelatihan agar terjadinya peningkatan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan individu dan masyarakat. Sebaliknya paradigma neo-liberal menekankan pada pasar bebas dan menyerahkan sepenuhnya perubahan tersebut kepada masyarakat dan mengurangi campur tangan pemerintah.

Cook dan Macaulay (1997:99) memandang bahwa dalam pemberdayaan hal yang vital untuk merealisaikan pemberdayaan ke dalam tindakan adalah pendidikan dan pelatihan. Dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan setiap orang yang diberdayakan mendapat keyakinan dan bertanggung jawab terhadap

keputusannya yang dalam pekerjaannya. Pengalaman membuktikan diperlukan investasi besar dalam pendidikan dan pelatihan sebagai bagian dari empowerment

yang berhasil.

Pengertian Pemberdayan Masyarakat

Istilah “empowerment” telah lahir semenjak pertengahan abad ke-17 dengan makna “to invest with authority, authorize.” Dalam pengertian umum adalah “to enable or permi” atau “leading people to learn to lead themselves.” Dari banyak batasan tersebut ada yang memfokuskan kepada pemberdayaan individu yaitu suatu proses untuk meningkatkan kemampuan individu. Seseorang dikatakan telah “empowered” ketika misalnya ia telah dapat memimpin dirinya sendiri.

Pranarka (Sulistiyani, 2004) mengatakan bahwa makna kata “pemberian” sebagai makna dari kata “to give power or authority” atau “to give ability to or enable” menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya/kemampuan/kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan lainnya. Pemberdayaan membahas tentang individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Intinya adalah “kemandirian”.

Dari sisi pembangunan ekonomi, pendekatan pemberdayaan memfokuskan kepada upaya untuk memobilisasi kemampuan sendiri golongan miskin, dibandingkan dengan menyediakan program kesejahteraan sosial untuk mereka. Dalam bidang politik pemberdayaan adalah perjuangan untuk menegakan hak-hak sipil serta kesetaraan gender. Hal ini berarti bahwa “pemberdayaan” adalah proses untuk meningkatkan asset dan kemampuan secara individual maupun kelompok suatu masyarakat. Masyarakat yang telah berdaya (empowered) diindikasikan oleh adanya pemilikan kebebasan dalam membuat pilihan dan tindakan sendiri (Syahyuti, 2006).

Menurut Sumodiningrat (1999:16-254), pemberdayaan masyarakat berarti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat, bukan hanya meliputi penguatan individu masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya, menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, sikap bertanggungjawab, memperkuat kelembagaan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana

keadilan sosial yang berkelanjutan. Dalam kerangka itu, pemberdayaan masyarakat dilakukan dalam tiga jurusan. Pertama, bagaimana menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling), kedua, penguatan potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering), dan ketiga, pemberdayaan berarti melindungi, artinya yang lemah harus dicegah untuk tidak menjadi makin lemah karena kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat.

Hubeis (2000:12) mengatakan bahwa pemberdayaan masyarakat

(community empowerement) adalah perwujudan capacity building masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumberdaya manusia melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat perdesaan seiring dengan pembangunan sistem sosial ekonomi rakyat, prasarana dan sarana, serta pengembangan Tiga-P (pendampingan, penyuluhan, pelayanan). Pendampingan dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat, penyuluhan dapat merespon dan memantau ubahan-ubahan yang terjadi di masyarakat, dan pelayanan berfungsi sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset sumberdaya fisik dan non fisik yang diperlukan masyarakat.

Pembinaan Industri Kecil

Industri kecil merupakan salah satu alternatif bentuk usaha yang dipilih oleh masyarakat pada negara-negara berkembang di samping sektor budidaya pertanian. Di Indonesia, industri kecil banyak ditekuni masyarakat perdesaan dan perkotaan yang dilaksanakan secara padat karya sehingga menyerap tenaga kerja cukup besar. Industri kecil juga memanfaatkan potensi sumber daya lokal berupa bahan baku, tenaga kerja, peralatan, metode, atau seni, dan budaya lokal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa industri kecil yang berbasis pada sumber daya lokal dan menerapkan indigenous technology ini berpotensi untuk dikembangkan secara partisipatif.

Menurut Pickle dan Abrahamson (1989:10), sebuah usaha dikatakan

sebagai usaha kecil apabila usaha tersebut mempunyai kriteria sebagai berikut : (1) manajemennya bebas (biasanya menejer juga sebagai pemilik), (2) dukungan

dan kepemilikan modal oleh seorang individu atau oleh sebuah kelompok kecil, (3) daerah operasinya pada daerah setempat dimana pekerja dan pemilik berada dalam satu anggota keluarga, dan (4) ukurannya relatif kecil.

Senada dengan itu Bantacut (Haeruman et al., 2001) mengartikan industri kecil sebagai badan usaha yang menjalankan proses produksi untuk menghasilkan

barang dan jasa dalam skala kecil. Apabila dilhat dari sifat dan bentuknya, maka industri kecil bercirikan: (1) berbasis pada sumber daya lokal sehingga dapat memanfaatkan potensi secara maksimal dan memperkuat kemandirian, (2) dimiliki dan dilaksanakan oleh masyarakat lokal sehingga mampu mengembangkan sumberdaya manusia, (3) menerapkan teknologi lokal (indigenous technology) sehingga dapat dilaksanakan dan dikembangkan oleh tenaga lokal, dan (4) tersebar dalam jumlah yang banyak sehingga merupakan alat pemerataan pembangunan yang efektif.

Menurut Basri (2002), industri mikro dan kecil sebagai bagian dari usaha kecil dan menengah (UKM) dapat bertahan malah semakin berkembang di masa kehancuran ekonomi Indonesia dewasa ini disebabkan oleh beberapa hal :

(1) Sebagian besar industri mikro dan kecil menghasilkan barang-barang konsumsi

(consumer goods), yang dicirikan oleh permintaan terhadap perubahan pendapatan (income elasticity of demand) yang relatif rendah, artinya peningkatan dan penurunan pendapatan masyarakat tidak berpengaruh terhadap permintaan barang. Dengan kata lain krisis ekonomi tidak mempengaruhi permintaan barang-barang yang dihasilkan industri mikro dan kecil

(2) Mayoritas industri mikro dan kecil mengandalkan pada non-banking-financial

dalam aspek pendanaan usaha. Oleh karena itu kehancuran perbankan nasional tidak mempengaruhi industri mikro dan kecil.

(3) Umumnya industri mikro dan kecil melakukan spesialisasi produksi yang ketat, artinya hanya memproduksi barang tertentu saja. Modal yang terbatas menjadi salah satu faktor yang melatarbelakanginya, struktur pasar yang dihadapi adalah struktur pasar yang sempurna (banyak produsen dan banyak konsumen), sehingga mereka terbiasa dengan persaingan yang sangat ketat.

Satria (1997:464) mengatakan bahwa industrialisasi terutama di pedesaan seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai upaya pembangunan industri secara fisik, tetapi juga pembangunan industri secara budaya. Pola-pola pengembangan usaha pertanian yang selama ini dilakukan masyarakat desa seyogyanya tidak terpaku pada proses budidaya semata tetapi hendaklah diarahkan kepada pengembangan nilai produk pertanian tersebut melalui industrialisasi, misalnya membuat berbagai produk makanan olahan.

Menurut Firdausy (1997:73), dalam pengembangan perekonomian rakyat, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, yaitu: (1) memberikan dorongan untuk

menciptakan kegiatan ekonomi, tidak hanya untuk kepentingan konsumsi sendiri, tetapi juga peningkaan pendapatan masyarakat itu sendiri (income generating program), (2) memberikan akses terhadap pasar dan fasilitas pemasaran (seperti pasar tradisional dan modern), (3) memberikan akses kepada fasilitas pembiayaan; (4) membangun kerjasama ekonomi baik berupa koperasi maupun kemitraan, dan (5) akses terhadap fasilitas non ekonomi seperti pendidikan, kesehatan, dan legalitas usaha. Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan latihan kewirausahaan dan manajerial sampai mereka dapat mandiri.

Firdausy (1997:70) mengatakan lebih lanjut bahwa dalam perbaikan kebijakan ekonomi daerah diperlukan peningkatan ekspor dan investasi di daerah. Dalam peningkatan ekspor di daerah fokus perhatian harus ditekankan pada sektor unggulan, sedangkan dalam sektor investasi ditekankan pada sektor andalan dan sektor unggulan. Selanjutnya, potensi yang dimiliki oleh masyarakat juga perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat meningkatkan kondisi sosial ekonominya.

Nangoi (2004:58) juga mengatakan bahwa dalam pembinaan masyarakat industri perlu dikembangkan paradigma masyarakat pengetahuan. Hal ini dapat mengacu kepada sesuatu yang terjadi sekarang yakni negara maju identik dengan negara industri, tentunya hal ini berbasis kepada pengetahuan yang dimiliki masyarakatnya.

Riyanti (2003:127) dalam penelitiannya mengiventarisasi beberapa indikator atau sifat yang mesti dikembangkan oleh seorang wirausahawan agar usahanya berhasil dengan baik, yaitu : sifat instrumental, sifat prestatif, keluwesan bergaul, kerja keras, keyakinan diri, berani mengambil resiko, swa-kendali, inovatif, dan mandiri. Utami (2007) menyimpulkan bahwa model pembinaan yang efektif bagi beberapa pengrajin kulit yaitu dengan peningkatan kualitas perilaku usaha dan kemandirian usaha, dan adanya kelembagaan usaha melalui dukungan dari pemerintah daerah, organisasi non pemerintah, dan berbagai lembaga penelitian/ Perguruan Tinggi.