• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemahaman mengenai kompetensi sangat terkait dengan teori-teori dasar tentang kepribadian manusia yang membentuk perilaku seseorang. Kompetensi dan kinerja sebagai perwujudan perilaku seseorang dapat diimprovisasi melalui penerapan berbagai teori belajar. Teori belajar perilaku (behaviouristic theory) yang dikembangkan oleh Thorndike (1903), Watson (1925), dan Skinner (1954) mengatakan bahwa melalui proses interaksi antara stimulus dan respon dapat mengubah perilaku seseorang. Teori belajar kognitif yang dikembangkan oleh Piaget, Ausubel, dan Bruner pada dasarnya mengatakan bahwa proses belajar lebih penting dari pada hasil belajar itu sendiri. Proses belajar tersebut dibangun melalui interaksi antara diri pembelajar dengan lingkungannya secara terus menerus dan menyeluruh. Kemudian teori belajar humanistik yang dikembangkan oleh Roger (1969) dan Bloom (1964) menekankan kepada proses pembelajaran yang berpusat pada pribadi pembelajar (student learning centre) sehingga akan dapat lebih memanusiakan manusia itu sendiri.

Pengertian Kompetensi

Istiah “competencies”, “competence”, dan “competen” yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kompetensi, kecakapan dan keberdayaan merujuk pada keadaan atau kualitas mampu dan sesuai. Kamus bahasa Inggris mengartikan “competence” sebagai keadaan yang sesuai, memadai, atau cocok. Kompetensi ditempat kerja artinya kecocokan seseorang dengan pekerjaannya.

Menurut Palan (2008:5), ada dua istilah yang muncul dari pemikiran yang berbeda tentang konsep kesesuaian dalam pekerjaan, yaitu: (1) competency

(kompetensi), yaitu deskripsi mengenai perilaku, dan (2) competence (kecakapan) yang merupakan deskripsi tugas atau hasil pekerjaan.

Spencer dan Spencer (1993:9) mengatakan bahwa “competence is an underlying characteristic of an individual that is casually related to criterion- referenced effective and/or superior performance in a job or situation.” Artinya, kompetensi merupakan karakteristik dasar seseorang individu yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi serta bertahan cukup lama dalam diri manusia.

Mirip dengan itu Klemp (Lucia dan Lepsinger, 1999:2-3) dan Shermon (2005) menegaskan bahwa kompetensi yaitu “an underlying characteristic of a person which result in effective and or superior performance on his job”. Artinya, kompetensi adalah sifat dasar seseorang yang berpengaruh pada kinerjanya secara efektif dan sangat menonjol. Berdasarkan hasil konferensi di Johanesburg tahun 1995, Parry (Lucia dan Lepsinger, 1999:5) mengemukakan bahwa :

“a cluster of related knowedge, skills, and attitudes that affects a major part of one’s job (a role or responsibility), that correlates with performance on the job, that can be measured against well accepted standards, and that can be improved via training and development.”

Artinya, kompetensi adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang yang berhubungan satu sama lain yang mempengaruhi sebagian besar pekerjaan seseorang (peran dan tanggung jawabnya) yang berkorelasi dengan kinerja dan dapat diukur dan diterima sebagai suatu standar kinerja yang baik. Hal tersebut dapat diperbaiki melalui latihan dan pengembangan.

Senada dengan itu Ulrich (Hutapea dan Thoha, 2008:5-6) mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, atau kemampuan individu yang diperagakan (an individual’s demontsrated knowledge, skils, or abilities). Watson Wyatt (Ruky, 2006:108) menyimpulkan bahwa kompetensi sebagai kombinasi dari keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan sikap (attitudes) yang dapat

diamati dan diterapkan secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan prestasi kerja serta konstribusi pribadi karyawan terhadap organisasinya.

Berdasarkan pengertian di atas, penulis memandang bahwa kompetensi Pamong Belajar dapat diartikan sebagai kecakapan yang memadai yang dimiliki seorang Pamong Belajar untuk melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan pendidikan nonformal. Untuk melakukan kompetensi tersebut, seseorang Pamong Belajar memerlukan pengetahuan khusus, keterampilan proses, dan sikap, yang berbeda dari kompetensi yang satu dengan yang lainnya. Ada kompetensi yang lebih tergantung kepada pengetahuan dan ada yang lebih tergantung kepada proses. Kompetensi teknis relatif merupakan tindakan mekanis yang setiap kali diterapkan dengan menggunakan cara yang sama, sedangkan kompetensi profesional dituntut kreativitas serta kecakapan menyesuaikan pada keadaan yang berbeda-beda.

Komponen Kompetensi

Menurut Hutapea dan Thoha (2008:3-4), dalam organisasi, baik dalam maupun luar negeri pada awalnya hanya ada dua jenis definisi kompetensi yang berkembang pesat yaitu: (1) kompetensi teknis/fungsional (hard skill/ hard competency) dan (2) kompetensi perilaku (behaviour competencies) atau disebut juga soft skills/soft competencies. Konsentrasi kompetensi teknis ini adalah pada pekerjaan dan pada awalnya banyak berkembang di negara-negara Eropa (Inggris), sedangkan kompetensi perilaku lahir dan berkembang di Amerika Serikat yang dipelopori oleh Mc Clelland (1973), Boyatzis (1982), dan Spencer & Spencer (1993).

Dalam kaitannya dengan kinerja, Shermon (2005); Spencer dan Spencer (Ruky, 2006:106) membagi kompetensi atas dua jenis : (1) kompetensi ambang

(threshold competencies) yaitu kriteria minimal dan esensial yang dibutuhkan oleh pekerjaan, dan (2) kompetensi pembeda (differentiating competencies) yaitu kriteria yang dapat membedakan antara orang yang selalu mencapai unjuk kerja superior dan orang yang unjuk kerjanya rata-rata saja. Kemudian Spencer dan Spencer (1993:9-11) mengatakan bahwa ada lima komponen/elemen yang membentuk sebuah kompetensi, yaitu: (1) motif (motives), (2) karakter pribadi (traits), (3) konsep diri (self concept), (4) pengetahuan (knowledge), (5) keterampilan (skills), dan (6) gambaran diri (self image).

Menurut Shermon (2005), dari keenam tingkat kompetensi tersebut, skill dan

knowledge relatif lebih nampak sebagai karakteristik seseorang. Sementara itu,

social role, dan self image cenderung sedikit nampak dan dikontrol oleh perilaku dari luar. Sedangkan trait dan motive letaknya lebih dalam pada pusat kepribadian. Oleh karena itu skill dan knowledge lebih mudah dikembangkan dibanding kompetensi lain, misalnya melalui program pendidikan dan pelatihan. Trait dan

motive cukup sulit dinilai dan dikembangkan karena berada pada pusat kepribadian seseorang. Sedangkan social role dan self image berada di antara keduanya dan dapat dirubah melalui pelatihan dan terapi.

Prahalad dan Hamel (Sanchez dan Heene, 2004: 37) mengemukakan suatu gagasan perlunya core competence (kompetensi inti) dalam suatu organisasi. Ruky (2006:105) mengatakan bahwa kompetensi inti perlu diuraikan dengan kompetensi spesifik (specific job competencies) yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang spesifik yang diperlukan karyawan untuk pekerjaan dan jabatan tertentu.

Perreneud (Suparno, 2001) mengatakan bahwa kompetensi-kompetensi yang akan menghindarkan orang dari hidup belas kasihan orang lain yang memegang peran strategis dalam mengambil keputusan ialah :

(1) Mampu mengidentifikasi, menilai dan mempertahankan sumber-sumber, keterbatasan, dan hak-hak, serta kebutuhan-kebutuhan.

(2) Mampu secara mandiri maupun berkelompok membentuk dan melaksanakan proyek serta menyusun strategi.

(3) Mampu mengenali situasi, hubungan dan medan kekuatan secara sistematis. (4) Mampu bekerjasama, bertindak sinergik, berpartisipasi dan berbagi tugas

kepemimpinan.

(5) Mampu mengelola dan menyelesaikan konflik.

(6) Mampu mengurai atau menyusun dalam urutan dan bekerja berdasarka aturan- aturan.

(7) Mampu membangun aturan-aturan yang mengatasi perbedaan-perbedaan kultural.

Perreneud (Suparno, 2001), Hutapea dan Thoha (2008:16-19) dan Ruky (2006:107) menjelaskan beberapa alasan pentingnya penggunaan konsep kompetensi dalam manajemen sumber daya manusia, diantaranya :

(1) Untuk pembentukan pekerjaan (job design) yaitu untuk memperjelas standar kinerja, menggambarkan fungsi, peran, dan tanggungjawab pekerjaan sehingga dapat ditentukan keterampilan, pengetahuan dan karakteristik yang

dibutuhkan dalam pekerjaan dan apa saja perilaku yang mempengaruhinya untuk suksesnya suatu pekerjaan.

(2) Untuk evaluasi pekerjaan (job evaluation)

(3) Sebagai alat seleksi karyawan untuk memilih karyawan terbaik (recruitmen and selection)

(4) Pembentukan dan pengembangan organisasi (organization design and development)

(5) Pembentukan dan memperkuat nilai dan budaya organisasi (organization culture), yaitu untuk menyelaraskan perilaku kerja dengan nilai-nilai organisasi.

(6) Untuk manajemen prestasi (performance management)

(7) Pembelajaran organisasi (organization learning)

(8) Untuk memaksimalkan produktifitas dan karyawan melalui mobilisasi secara horizontal dan vertikal (productifity and mobilization)

(9) Sebagai dasar untuk pengembangan sistem remunerasi (imbalan) yang lebih adil (reward system).

(10) Untuk manajemen karir dan penilaian potensi karyawan (career management and employee’s assesment)

(11) Untuk memudahkan adaptasi terhadap perubahan yang sangat cepat

(adaptation and change)

Pengertian Kinerja

Kinerja adalah pencapaian atau tingkat keberhasilan semua hasil kerja yang dituntut oleh karyawan atau petugas yang berkaitan dengan jabatan atau tugas pekerjaannya dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu atau yang sudah disepakati bersama. Pencapaian kinerja seorang pejabat atau petugas akan menjadi ukuran tinggi atau rendahnya prestasi kerja pejabat tersebut dalam melaksanakan tugas pekerjaannya (Padmowihardjo, 1994:12 ; Rivai dan Basri, 2005:14-15).

Blumberg dan Pringler (Stoner dan Wankel, 1986) mengatakan bahwa kinerja merupakan fungsi perkalian dari kemampuan, motivasi, dan kesempatan untuk berprestasi dengan rumusan: performance = (ability x motivation x opportunity to performance). Maksud kesempatan untuk berprestasi adalah kesempatan untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi bila mendapatkan dukungan,

bantuan atau fasilitas dari luar seperti kondisi tempat kerja, peralatan kerja, teman kerja, informasi dan aturan kerja.

Menurut Ainsworth et al. (2002: 14), model kinerja sangat diperlukan dalam mengukur kinerja pegawai. Model kinerja adalah fungsi dari role clarity (kejelasan aturan), competence (kompetensi), environment (lingkungan), values (nilai-nilai),

preferences (pilihan-pilihan), reward (penghargaan), plus feedback (umpan balik). Kriteria penilaian kinerja individu menurut Robin (Rivai dan Basri, 2005:14-15) mengacu kepada tugas individu, perilaku individu, dan ciri individu.

Lusthaus et al. (2002:46) menghubungkan kinerja dengan empat aspek yaitu : (1) performance in relation to effectiveness (hubungan kinerja dengan efektifitas), (2) performance in relation to efficiency (hubungan kinerja dengan efisiensi), dan (3) performance in relation to ongoing relevance (hubungan kinerja dengan relevansi), dan (4) performance in relation to financial viability (hubungan kinerja dengan gairah keuangan).

Gilley dan Eggland (1989) menyimpulkan bahwa kinerja seseorang memiliki kaitan dengan kebutuhan, baik kebutuhan dasar (basic needs) maupun kebutuhan sekunder (psychologic dan sosiologic needs). Terpenuhi dan seimbangnya ketiga kebutuhan ini akan mendorong terjadinya kualitas sumber daya manusia yang baik yang ditunjukan dengan kinerja yang tinggi. Terkait dengan itu, Romiszowsky (Suciati dan Irawan, 2001:50) mengemukakan analisisnya bahwa kinerja

(performance) yang rendah dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berasal dari dalam dan luar diri seseorang. Berbagai faktor tersebut dapat digambarkan dengan kondisi sebagai berikut: (1) belum menguasai pengetahuan/keterampilan

tersebut, (2) sifat atau struktur tugas yang sulit atau tidak menyenangkan, (3) konsekuensi negatif pelaksanaan suatu tugas, dan (4) jarang berlatih menggunakan keterampilan tersebut.

Model Kompetensi dan Kinerja Pamong Belajar

Model dapat didefinisikan sebagai representasi realitas yang kompleks dari kenyataan atau fenomena sehingga lebih mudah dipahami. Jadi, model adalah miniatur dari realitas (Palan, 2008:33). Sedangkan kompetensi model atau kinerja model dapat diartikan seperangkat succes factors yang terdiri dari sejumlah perilaku kunci yang dibutuhkan untuk melaksanakan peran tertentu untuk menghasilkan kinerja yang memuaskan (Ruky, 2006:111).

Banyak ahli berpandangan bahwa kompetensi seseorang akan menghasilkan kinerja (competency=performance). Oleh karena itu membangun model kompetensi dalam organisasi sangat perlu untuk : (1) menyediakan sarana dalam menerapkan kompetensi sesuai tujuan organisasi, (2) memahami peubah- peubah yang menentukan kinerja dan korelasi di antara variabel tersebut, dan (3) menyebarkan kompetensi secara cepat dalam sebuah organisasi. Pada dasarnya sebuah model tersebut harus mampu mendefinisikan tuntutan inti semua karyawan, standar hanya pada tingkat atau peran tertentu dalam organisasi (Palan, 2008:24-35).

Ruky (2006:112) menjelaskan bahwa ada dua cara umum untuk membagun kompetensi model, yaitu :

(1) Membangun kompetensi model generik, bersumber dari Inggris yaitu dengan menyepakati kompetensi model tiap-tiap jabatan dan menetapkannya sebagai standar untuk berbagai keperluan

(2) Membangun kompetensi model Amerika, yaitu dengan cara menggunakan data yang dikumpulkan dari sejumlah sampel yang kemampuan dan prestasi kerja paling superior atau paling menonjol. Kemudian mereka diteliti untuk mengetahui apa yang mereka miliki atau lakukan, yang orang lain tidak, yang menyebabkan mereka mencapai kinerja unggul.

Model yang banyak digunakan dewasa ini adalah model Amerika. Model pengumpulan datanya dijelaskan lebih lanjut oleh Palan (2008:40-41) yaitu melalui : (1) panel ahli, wawancara kejadian perilaku karyawan unggul, dan (2) kamus kompetensi generik yang dibuat oleh konsultan. Masalahnya, model ini sulit direalisasikan bila pemegang jabatan dalam organisasi tersebut hanya satu orang. Berkaitan dengan upaya peningkatan kompetensi dan kinerja Pamong Belajar, model kompetensi dan kinerja merupakan kerangka acuan dalam pengembangan perilaku Pamong Belajar. Menurut Hutapea dan Thoha (2008:38- 42), untuk mengubah perilaku perlu digunakan pendekatan atau perlakuan

(treatment) yang dapat menyentuh persepsi dan nilai (value) yang dimiliki oleh seseorang yang terletak tersembunyi dalam dirinya. Oleh karena itu perubahan perilaku kerja produktif memerlukan waktu yang cukup panjang dan proses yang tepat. Menurut Skinner (Hutapea dan Thoha, 2008:38-42), perubahan perilaku ini dilakukan dengan mengkombinasikan tindakan penguatan (reinforcement), pengulangan (repetition), dan pengarahan (coaching). Tindakan penguatan dapat dilakukan melalui penegakan aturan organisasi, pemberian reward & punishment.

Pamong Belajar merupakan tenaga pendidikan nonformal yang dapat berfungsi sebagai penyuluh. Sebagai tenaga penyuluh dan agen perubahan dalam pembinaan industri kecil, maka Pamong Belajar dapat menerapkan beberapa prinsip sebagaimana yang dijabarkan oleh Lippitt et al. (1958:91–122), di antaranya: diagnosa masalah klien, motivasi, pemilihan alternatif, memilih peran yang sesuai, memelihara hubungan dengan klien, mengarahkan perubahan, dan memilih teknik yang spesifik sesuai prilaku klien.

PP Nomor 19 Tahun 2005 menyebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan harus memiliki kualifikasi dan potensi akademik, memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta mampu mewujudkan wajib belajar pendidikan nasional. Berdasarkan PP tersebut, Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal menetapkan standar kompetensi Pamong Belajar sebagai berikut: (1) kompetensi teknis, (2) kompetensi pengembangan profesi, (3) kompetensi akademik, (4) kompetensi personal dan profesional; dan (5) kompetensi budaya.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai agen pembaharu maka Pamong Belajar dalam melakukan kegiatan pembinaan perlu memahami sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Menurut Chambers (Kartasasmita, 1997), konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable"

Nangoi (2004:9-11) menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek utama dalam

strategi pembinaan industri kecil, yaitu: (1) pembinaan melalui training, (2) pembinaan melalui perbaikan manajemen, dan (3) pembinaan melalui

pendekatan latihan dan pengembangan.

Senada dengan itu, Hubeis (1997:45-46) mengatakan bahwa diperlukan lima aspek dalam strategi pembinaan industri kecil agar lebih profesional di era globalisasi, yaitu: (1) peningkatan pemahaman (cara berpikir) tentang proses pembuatan keputusan, (2) peningkatan kemampuan mengenali lingkungan untuk mencari dan menciptakan peluang usaha, (3) menciptakan keunggulan dalam persaingan, (4) memilih dan menjalin kerjasama usaha melalui berbagai jalur kemitraan, dan (5) peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pembinaan

(empowerment) dan pembinaan kelembagaan (pelatihan, magang, dan inkubasi bisnis).

Berdasarkan pendapat pakar di atas, maka dapat analogikan bahwa untuk suksesnya seorang Pamong Belajar dalam membina industri kecil perlu memiliki

model kompetensi dengan elemen-elemen sebagai berikut: (1) kemampuan menganalisis masalah usaha industri kecil, (2) kemampuan menganalisis kebutuhan industri kecil, (3) kemampuan menganalisis sumber daya pada industri kecil, (4) kemampuan berinteraksi sosial dengan industri kecil dan masyarakat di sekitarnya, (5) kemampuan dalam kegiatan instruksional, dan (6) kemampuan dalam mengakses teknologi informasi.

Berdasarkan pendapat pakar di atas juga dapat dirumuskan model kinerja

Pamong Belajar sehubungan dengan kegiatan pembinaan industri kecil, yaitu: (1) penyusunan disain kegiatan pembinaan, (2) penumbuhan dan pengembangan

produk, (3) penumbuhan jejaring dan kemitraan usaha, (4) pembentukan kelembagaan ekonomi, (5) pembentukan kemandirian dan kerberlanjutan usaha, dan (6) evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut kegiatan.

Antara model kompetensi dan model kinerja Pamong Belajar tersebut harus serasi dan singkron. Kompetensi menurut Palan (2008:123) bersifat enabler. Pada seseorang yang kompeten ia menjadi mampu (able) memberikan hasil sesuai standar atau model yang telah ditetapkan organisasi. Oleh karena itu tidak selalu kompetensi akan menghasilkan kinerja sesuai standar, karena kinerja juga akan dipengaruhi oleh tuntutan kerja, lingkungan, dan faktor lain.