• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Lingkungan Pamong Belajar

Berdasarkan skor pada setiap sub peubah pada lingkungan Pamong Belajar (Tabel 18) dapat diurutkan kategorinya dari yang tertinggi ke yang terendah adalah sebagai berikut: lingkungan sosial keluarga berkategori tinggi (skor = 3,16), organisasi kerja berkategori sedang (skor = 2,67), lingkungan kerja fisik berkategori sedang (skor = 2,35), dan kebijakan pemerintah berkategori rendah (skor = 1,99). Rata-rata kondisi lingkungan Pamong Belajar adalah berkategori sedang (skor = 2,54).

Berdasarkan urutan skor di atas, sub peubah kebijakan pemerintah adalah berkategori rendah dan mempunyai skor paling rendah (skor = 1,99). Sebagaimana terlihat pada Tabel 18, pendapat responden Pamong Belajar tentang kebijakan pemerintah, dominan adalah gradasi kurang (60 orang = 48,6%), diikuti gradasi sangat kurang (34 orang = 27,6%), gradasi cukup (26 orang = 20,6%), dan gradasi sangat cukup (4 orang = 3,2%). Pamong Belajar berpendapat bahwa aspek kebijakan pemerintah dalam hal pelaksanaan koordinasi program sangat kurang. Meskipun wilayah kerja sama luasnya dengan wilayah kerja sebuah Dinas, namun

tingkat eselonering Kepala SKB jauh lebih rendah (Eselon IVa) sehingga menyulitkan bagi Kepala SKB dalam berkoordinasi dengan lembaga atau instansi terkait yang setara dengan Kepala Dinas (Eselon IIb) atau Kepala Kantor (Eselon IIIa).

Kurangnya kebijakan pemerintah terhadap pengembangan Sanggar Kegiatan Belajar juga terlihat dari semakin berkurangnya anggaran rutin yang diberikan kepada SKB oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Meskipun Pemerintah Pusat selalu memberikan anggaran dalam bentu block grant untuk kebutuhan pelaksanan program, namun jumlahnya tidak memadai dan semakin berkurang dari tahun ke tahun, padahal anggaran pendidikan dalam APBN makin meningkat setiap tahunnya dan saat ini sudah mencapai 20 persen dari jumlah total APBN.

Tabel 18. Sebaran Kondisi Lingkungan Eksternal Pamong Belajar (N=124)

Sub Peubah Gradasi N % Skor Kategori

X4.1. Lingkungan Kerja Fisik

Sangat Kurang 24 19.8 2,35 Sedang Kurang 37 29.5 Cukup 58 46.9 Sangat Cukup 5 3.7 X4.2. Lingkungan Sosial Keluarga Sangat Kurang 1 1.0 3,16 Tinggi Kurang 5 3.6 Cukup 92 74.0 Sangat Cukup 26 21.4 X4.3. Organisasi Kerja Sangat Kurang 10 8.4 2,67 Sedang Kurang 39 31.3 Cukup 57 45.5 Sangat Cukup 18 14.7 X4.4. Kebijakan Pemerintah Sangat Kurang 34 27.6 1,99 Rendah Kurang 60 48.6 Cukup 26 20.6 Sangat Cukup 4 3.2

Kondisi Lingkungan Eksternal Pamong Belajar 2,54 Sedang

Keterangan :

Selang Skor : 1,00 - 4,00

Kategori Rendah = Skor 1,00 – 2,00; Sedang = Skor 2,01 – 3,00; dan Tinggi = Skor 3,01 – 4,00

Penghargaan dan perlindungan pemerintah daerah terhadap profesi Pamong Belajar juga dirasakan kurang. Hal ini terbukti dengan semakin menyusutnya jumlah Pamong Belajar, tidak ada lagi rekrutmen atau penambahan jumlah Pamong Belajar secara signifikan oleh Pemerintah Daerah, bahkan dikuatirkan lama kelamaan profesi Pamong Belajar akan punah. Setidaknya pemeritah daerah dapat pula mengangkat Pamong Belajar honor daerah sebagaimana yang diberlakukan pada guru di pendidikan formal. Penghargaan

terbatas kepada Pamong Belajar diberikan oleh pemerintah pusat dengan memberikan bantuan transportasi sekali enam bulan dan diikutkan lomba-lomba profesi di tingkat nasional meskipun kesempatannya sangat kecil.

Sub peubah yang mempunyai skor terendah kedua meskipun berkategori sedang adalah lingkungan kerja fisik (skor = 2,35). Sebagaimana terlihat pada Tabel 18, pendapat responden Pamong Belajar tentang kondisi lingkungan fisik pekerjaan, dominan adalah bergradasi cukup (58 orang = 46,9%), diikuti gradasi kurang (37 orang = 29,5%), gradasi sangat kurang (24 orang = 19,8%), dan gradasi sangat cukup (5 orang = 3,7%). Sejalan dengan itu, Pamong Belajar menganggap bahwa kebijakan pemerintah dinilai kurang dalam pengembangan sarana fisik SKB. Perhatian pemerintah justru lebih besar ketika SKB menjadi UPT Pemerintah Pusat dan berbanding terbalik dengan kondisi pada era otonomi daerah sekarang ketika SKB telah diserahkan ke Pemerintah Daerah dan menjadi UPT Dinas Pendidikan. Meskipun ada beberapa Pemerintah Kabupaten/Kota mengembangkan lingkungan fisik SKB tetapi tujuannya bukan untuk pengembangan tugas pokok dan fungsi utama SKB, namun digunakan untuk kepentingan lain, misalnya untuk keperluan gedung pertemuan umum, sebagai sarana olahraga bagi pejabat pemerintah daerah, atau tempat pelaksanaan diklat kedinasan bagi berbagai instansi yang umumnya tidak ada hubungannya dengan pendidikan nonformal, apalagi untuk kegiatan pembinaan industri kecil.

Pada aspek organisasi kerja, ditemukan fakta bahwa beberapa suasana kerja di SKB kurang kondusif karena belum adanya peraturan kerja dan pembagian wewenang secara jelas. Peran Kepala SKB lebih menentukan dalam mengatur keuangan dan pembagian kerja. Sampai saat ini belum ada pembaharuan Tupoksi SKB dan Tupoksi Pamong Belajar sejak diserahkan ke Pemda Kabupaten/Kota. Tupoksi SKB dan Pamong Belajar sepenuhnya mengacu kepada SK Mendikbud Nomor 023/O/1997 yang dianggap sudah kedaluarsa dan tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Kondisi ini membuat Pamong Belajar bekerja tanpa ada aturan yang jelas sesuai kondisi daerah, pengembangan karir tidak menentu, insentif atau remunerasi seadanya. Pada sisi lain, organisasi profesi Pamong Belajar berupa Ikatan Pamong Belajar seluruh Indonesia (IPBI) juga belum berperan dalam mewadahi kepentingan Pamong Belajar, terutama yang berkaitan dengan upaya memperoleh legalitas formal profesi Pamong Belajar dan kesejahteraannya. Dengan demikian segala aktivitas Pamong Belajar yang berkaitan dengan kegiatan pembinaan industri kecil tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Untuk

menjawab permasalahan tersebut diperlukan upaya yang serius dalam proses pembaharuan Tupoksi Pamong Belajar, penetapan standar kompetensi, dan proses sertifikasi Pamong Belajar yang status haknya sama dengan guru dan dosen.

Lingkungan Pamong Belajar pada aspek lingkungan sosial keluarga adalah berkategori tinggi (skor = 3,16). Sebagaimana terlihat pada Tabel 18, pendapat responden Pamong Belajar tentang kondisi lingkungan sosial keluarga, dominan adalah gradasi cukup (92 orang = 74,0%), diikuti gradasi sangat cukup (26 orang = 21,4%), gradasi kurang (5 orang = 3,6%), dan gradasi sangat kurang (1 orang = 1,0%). Hasil in-depth interview dengan Pamong Belajar juga menunjukkan bahwa Pamong Belajar umumnya dapat diterima dengan baik di masyarakat karena masyarakat merasa beruntung dengan adanya program pembinaan industri kecil. Pendekatan program lebih egaliter dan setara sehingga terjalin hubungan yang baik antara Pamong Belajar dengan kelompok sasaran. Pamong Belajar juga dapat berkomunikasi dengan baik dengan kelompok sasaran karena antara Pamong Belajar dengan kelompok sasaran menggunakan bahasa dan sistem sosial budaya yang sama. Keluarga Pamong Belajar juga mendukung karena menganggap profesi Pamong Belajar adalah tugas mulya dan tidak mempunyai resiko besar dalam menjalankan tugas, baik di lapangan maupun di kantor.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Lingkungan Pamong Belajar

Pada Tabel 19 disajikan besanya hasil uji korelasi antara peubah lingkungan Pamong Belajar dengan peubah lainnya. Berdasarkan hasil uji korelasi tersebut secara berurutan nilai koefisien hubungan antara lingkungan Pamong Belajar dengan faktor lain adalah sebagai berikut: (1) kompetensi Pamong Belajar berhubungan secara positif dengan lingkungan Pamong Belajar dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,442; (2) pengembangan diri Pamong Belajar berhubungan secara positif dengan lingkungan Pamong Belajar dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,421; (3) pendidikan dan pelatihan Pamong Belajar berhubungan secara positif dengan lingkungan Pamong Belajar dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,421; dan (4) kinerja Pamong Belajar berhubungan secara positif dengan lingkungan Pamong Belajar dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,371. Hubungan dengan nilai koefisien kecil terdapat antara lingkungan

Pamong Belajar dengan karakteristik individu Pamong Belajar (pendidikan formal, jenjang kepangkatan, masa kerja, umur, kursus, dan kekosmopolitan).

Besarnya nilai hubungan antara peubah lingkungan Pamong Belajar dengan peubah atau sub peubah lainnya secara berurutan ditandai dengan angka-angka yang terdapat pada kolom s pada Tabel 19. Hasil perhitungan korelasi lengkap dengan Program SPSS versi 13.0 dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 3.

Tabel 19. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Lingkungan Pamong Belajar (N=124)

Peubah/Sub Peubah Lingkungan

r s X1.1.Umur -.053 8 X1.2.Masa Kerja -.086 7 X1.3.Jenjang Kepangkatan .112 6 X1.4. Pendidikan Formal .150 5 X1.5. Kursus .031 9 X1.6. Kekosmopolitan .012 10

X2. Pendidikan dan Pelatihan .410 3

X3. Pengembangan Diri .421 2

Y1. Kompetensi .442 1

Y2. Kinerja .371 4

r = Nilai koefisien korelasi s = Ranking

Lingkungan fisik pekerjaan terkait dengan sarana dan prasarana yang mendukung pekerjaan Pamong Belajar, sedangkan lingkungan sosial atau kemanusiaan meliputi lingkungan masyarakat dan keluarga. Lingkungan yang lain adalah organisasi itu sendiri yang sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah. Tanpa adanya lingkungan fisik yang kondusif dan tersedianya sarana yang dibutuhkan mustahil Pamong Belajar dapat bekerja maksimal. Kendala utama dari aspek lingkungan yang sering ditemui Pamong Belajar adalah terbatasnya sarana transportasi, padahal untuk mencapai kelompok sasaran yang justru banyak terdapat di daerah terpencil dan tidak terjamah oleh hasil pembangunan memerlukan sarana transportasi yang lancar. Tidak semua Pamong Belajar mempunyai kendaraan pribadi dan tidak selalu ada sarana angkutan umum yang lancar ke lokasi program.

Terdapatnya hubungan antara lingkungan dengan pendidikan dan pelatihan, pengembangan diri, dan kompetensi dan kinerja dalam pembinaan industri kecil dibuktikan dengan hasil pengamatan dan in-depth interview. Kondisi lingkungan fisik dan organisasi kerja yang kurang kondusif dapat mempengaruhi semangat kerja Pamong Belajar. Anggaran dan sarana kerja yang terbatas sering dijadikan

alasan untuk tidak intensifnya kegiatan di kantor dan kegiatan pembinaan di lapangan. Lingkungan kerja yang kurang kondusif dinilai turut mempengaruhi lambannya proses pengembangan diri Pamong Belajar.

Sebaliknya, Pamong Belajar tampak lebih betah dan nyaman bekerja di kantor jika di lingkungan kantor SKB suasananya lebih kondusif. Misalnya hubungan kerja dengan pimpinan dan sesama rekan kerja yang lebih baik dan tersedianya sarana prasarana yang cukup dapat meningkatkan aktivitas pengembangan diri. Hal ini berimplikasi kepada peningkatan kompetensi dan kinerja Pamong Belajar. Dengan tersedianya sarana olahraga, tempat istirahat, ruang makan, dan berbagai sarana informasi lainnnya seperti TV dan internet, Pamong Belajar lebih betah di kantor dan bersemangat dalam melakukan berbagai aktivitas kegiatan pembinaan. Kinerja Pamong Belajar akan lebih baik lagi apabila pada suatu kegiatan tersedia anggaran yang layak dan diberikan kewenangan yang cukup dalam mengelola anggaran.

Adanya hubungan antara lingkungan eksternal Pamong Belajar dengan proses pengembangan diri Pamong Belajar juga terlihat dalam beberapa pengamatan dan studi dokumentasi di SKB. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah yang kurang jelas dalam menentukan peran sesungguhnya Sanggar Kegiatan Belajar. Dari aspek soft policy tampak kegamangan Pemeritah Daerah dalam menerapkan aturan hukum dan perundang-undangan untuk mengatur tata laksana SKB dan Pamong Belajar. Meskipun beberapa SKB telah ditetapkan Tupoksinya berdasarkan SK Kepala Dinas Pendidikan masing-masing, namun Tupoksi tersebut persis sama dengan Tupoksi menurut SK Mendikbud RI Nomor 023/O/1997 tanpa penyesuaian dengan perkembangan organisasi SKB dan konteks otonomi daerah.

Demikian juga dari aspek hard policy, pada umumnya pemerintah daerah belum menyediakan anggaran kegiatan yang cukup dan pembangunan sarana fisik yang lebih memadai. Kebijakan terhadap pengembangan SKB belum tampak dengan jelas dan sangat tergantung kepada cara pandang pengambil kebijakan di daerah tentang pemanfaatan institusi SKB. Keadaan ini dapat menurunkan semangat Pamong Belajar dalam pengembangan diri, langkah pengembangan karir, sekaligus berdampak terhadap semangat mereka untuk meningkatkan kompetesi dan kinerja dalam pembinaan industri kecil.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang Pamong Belajar diperoleh informasi bahwa beberapa orang Pamong Belajar bersikap pesimis

karena menganggap kesempatan pengembangan diri karir tertutup jika terus menekuni Jabatan Fungsioal Pamong Belajar. Karena itu mereka lebih mengutamakan pekerjaan sampingannya dan tidak fokus lagi pada tugas profesi Pamong Belajar yang diembannya. Pamong Belajar yang bersangkutan lebih sering berada di luar kantor meskipun alasannya adalah dalam rangka kegiatan pembinaan dan bersosialisasi dengan kelompok sasaran. Namun keberadaan Pamong Belajar tersebut di lapangan sulit dipantau oleh pimpinan SKB dan sering disalahgunakan untuk kepentingan pribadi Pamong Belajar yang bersangkutan.