• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk memahami efektifitas dari suatu kegiatan pendidikan dan pelatihan perlu dipahami berbagai teori besar (grand theory) tentang belajar. Menurut Salkin (1985) ada beberapa teori belajar, misalnya teori belajar Stimulus Respon oleh Thorndike (1903) , teori belajar Learning Condition oleh Gagne (1968), teori belajar

Discovery Learning oleh Bruner (1966), teori belajar Cognitive Learning oleh Ausubel (1970), teori belajar Social Learning oleh Bandura (1977), dan Penyadaran Naif-Transitif–Kritis oleh Paulo Freire (Roger, 1969). Pendekatan belajar dalam pendidikan dan pelatihan yang tepat bagi Pamong Belajar adalah pendekatan belajar orang dewasa, bersifat humanistik, dan berfokus kepada pembelajar

(student centered learning. Rogers (Good dan Brophy, 1990:465) mengemukakan bahwa pada dasarnya manusia mempunyai potensi alami untuk belajar.

Pengertian Pendidikan dan Pelatihan

Pendidikan, pelatihan dan pengembangan merupakan kegiatan penting dalam suatu organisasi untuk mempertahankan, menjaga, dan memelihara pegawai dalam organisasi, kemudian meningkatkan keahlian serta kompetensi para pegawai untuk kemudian dapat meningkatkan produktivitas kerjanya.

Menurut Gilley dan Eggland (1989:7), pendidikan (education) diartikan sebagai pembelajaran yang diberikan untuk meningkatkan kinerja seseorang pada sebuah pekerjaan di kemudian hari atau untuk memungkinkan seseorang akan menerima tanggung jawab dan atau tugas-tugas baru, sedangkan pelatihan

(training) merupakan pembelajaran yang diberikan dalam pekerjaannya untuk meningkatkan kinerja pada pekerjaannya sekarang. Pengembangan (development)

merupakan pembelajaran yang tidak terkait dengan pekerjaan utama seseorang tetapi mempunyai pengaruh pada pekerjaannya di masa sekarang dan masa datang.

Menurut Rivai dan Sagala (2009:211), pelatihan merupakan bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang lebih mengutamakan pada praktek dari pada teori dan bentujuan untuk kebutuhan pekerjaan pada saat ini. Keterampilan yang dimaksud adalah physical skill, intelectual skill, social skill, managerial skill, dll.

Pelatihan merupakan upaya untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya (Bernadin dan Russel,

1993:297). Pelatihan secara bersamaan harus dirancang untuk mewujudkan tujuan organisasi dan tujuan pekerja secara individu, mencakup pengalaman belajar (learn experience), aktivitas-aktivitas terencana (be a planned organization) dan dirancang berdasarkan kebutuhan (Hersey dan Blanchard, 1990:78). Pada dasarnya indikator mutu seorang karyawan adalah derajad pendidikan, pengetahuan, sikap, dan keterampilan, dan motivasi karyawan yang bersangkutan (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007:69).

Manajemen Pendidikan dan Pelatihan

Menurut Azizy (2007:114), diklat Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus diubah dari diklat yang menekankan kepatuhan (compliance) menjadi diklat khusus yang menekankan keterampilan, pengetahuan, dan moralitas (karakter, integritas, mentalitas, dan dedikasi).

Mengacu kepada pendapat Bernadin dan Russel (1993:111-112) dan Gilley

dan Eggland (1989:29-31), ada empat aktivitas dalam program pelatihan, yaitu: (1) penilaian kebutuhan pelatihan (need assesment) yang bertujuan untuk

mengumpulkan informasi apakah program pelatihan dibutuhkan atau tidak, (2) pengembangan program pelatihan (development) yang bertujuan untuk merancang lingkungan pelatihan dan metode-metode yang dibutuhkan guna mencapai tujuan pelatihan, dan (3) evaluasi program pelatihan (evaluation) yang bertujuan untuk menguji dan menilai apakah program pelatihan telah dilaksanakan secara efektif dan mampu mencapai tujuan yang diharapkan, dan (4) kegiatan pengajaran (instruction).

Simamora (1996:48-49) mengemukakan bahwa tujuan pelatihan dan pengembangan adalah : (1) memperbaiki kinerja, (2) pemutakhiran keterampilan karyawan sesuai perkembangan teknologi, (3) mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru supaya menjadi kompeten, (4) membantu untuk memecahkan persoalan operasional, (5) mempersiapkan karyawan untuk promosi, dan (6) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi.

Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka kebutuhan pelatihan merupakan hal yang mutlak dikaji sebelum pelatihan dimuai. Kebutuhan pelatihan didefinisikan oleh Rae (1990:12); Halim dan Ali (1997:137); Mangkuprawira dan Hubeis (2007:85) yaitu sebagai kondisi kesenjangan atau kekurangan antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dikuasai saat ini dengan yang seharusnya dimiliki. Kesenjangan tersebut menjadi masalah yang mengawali

munculnya perbedaan antara kinerja yang diharapkan dengan kinerja yang ditampilkan. Menurut Davies (2005:34-35), latihan dibutuhkan karena ada masalah, tantangan, atau tuntutan pengembangan.

Hickerson dan Middleton (1975:13); Rae (1990:8); Boydell (Davies, 2005:119) menyatakan bahwa model latihan yang efektif terdiri dari tahapan analisis kebutuhan latihan, merancang tujuan latihan, merancang latihan, melaksanakan latihan, dan evaluasi (formatif dan sumatif). Gilley dan Eggland (1989:214) mengemukakan sembilan tahap latihan yaitu falsafah mengajar dan belajar, analisis kebutuhan, umpan balik, disain program, pengembangan program, implementasi program, manajemen program, evaluasi dan akuntablitas. Lebih ringkas dikatakan Irianto (2001:30) bahwa latihan mempunyai tahapan integratif yang terdiri dari tahap penentuan, tahap implementasi, dan tahap evaluasi.

Salah satu model yang ditawarkan Gilley dan Eggland (1989:209) untuk penentuan kebutuhan adalah individual appraisal models. Model ini terdiri dari dua jenis yaitu kolaboratif dan nonkolaboratif. Dalam model kolaboratif, karyawan dibantu orang lain untuk mengklasifikasikan kebutuhannya, sedangkan nonkolaboratif, karyawan menentukan sendiri kebutuhannya. Model non kolaboratif mengendung kelemahan, karena bisanya yang bersangkutan tidak cukup mengenali dan tidak memahami esensi kebutuhan belajar. Dengan demikian,

colaborative individual appraisal models lebih baik dalam penentuan kebutuhan pelatihan karena model ini dapat mengidentifikasi kebutuhan spesifik seseorang yang berkaitan dengan pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan agar mampu melaksanakan suatu pekerjaan (Halim dan Ali, 1997:137).

Untuk memperoleh efektivitas pelatihan, Hamalik (2007) menekankan perlunya dipahami beberapa hal, yaitu: (1) perencanaan pelatihan dan unit pembelajaran, (2) pengembangan kurikulum pelatihan termasuk perencanaan dan penyesuaiannya, (3) memilih metode pelatihan, (4) pemantauan dan penilaian pelatihan, (5) kompetensi dan profesionalisme pelatih, dan (6) tindakan pasca pelatihan.

Elemen kurikulum sebagai bagian penting dari pendidikan dan pelatihan harus dirancang dengan seksama dan tepat (Dimyati dan Mudjiono, 1995). Kriteria efektif yang digunakan untuk mengevaluasi pelatihan dan pengembangan harus berfokus pada proces dan out come (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007:97). Suparman (1994:63-64) mengatakan bahwa penyusunan kurikulum pendidikan harus didasarkan pada identifikasi kebutuhan instruksional yang bersumber kepada

tiga kelompok, yakni: (1) peserta didik (Pamong Belajar), (2) masyarakat (klien), (3) pendidik (instruktur), dan (4) pengelola program (pemerintah).

Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi (PPBK)

Untuk meningkatkan kinerja pegawai belakangan ini muncul istilah manajemen sumber daya manusia berbasis kompetensi (competency-based human resources management), yaitu pengelolaan pegawai atau karyawan secara optimal yang prosesnya didasarkan pada informasi tentang kebutuhan kompetensi dalam organisasi dan informasi tentang kompetesi individu. Peningkatan kompetensinya adalah melalui pendidikan dan pelatihan berbasis pada kompetensi yang berfokus pada hasil akhir (outcome).

Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi (PPBK) merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan secara khusus, untuk mencapai hasil kerja yang berbasis target kinerja (performance target) yang telah ditetapkan, sifatnya sangat fleksibel untuk memperoleh kompetensi dengan berbagai cara. Menurut Elam dan Fletcher (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007:74), model pelatihan berbasis kompetensi sangat menekankan kepada aspek pengetahuan.

Mengacu kepada pendapat Ryllat (1993:65), terdapat sembilan prinsip yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan PPBK, yaitu :

(1) Bermakna, praktek terbaik (meaningful, best practice)

(2) Hasil pembelajaran (acquisition of learning) yang berfokus pada kompetensi yang diharapkan seseorang, bukan bagaimana mereka memperolehnya.

(3) Feksibel (fleksible), artinya pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai cara dan metode, membaca, dan cara belajar lainnya.

(4) Mengakui pengalaman belajar sebelumnya (recognizes prior learning)

(5) Tidak didasarkan atas waktu (not time based).

(6) Penilaian yang disesuaikan (appropriate assessment) dengan kemampuan seseorang dalam menampilkan kompetensi tertentu.

(7) Monitoring dan evaluasi (on-going monitoring and evaluation) sejak dari masukan, proses sampai pada keluaran, yang hasilnya dihubungkan dengan standar nasional untuk memperoleh pengalaman (accreditation).

(8) Konsistensi secara nasional, artinya terdapat kompetensi yang secara nasional konsisten dengan kebutuhan industri dan konsisten pula antar lembaga lain.

(9) Adanya sistem akreditasi pembelajaran yang konsisten secara nasional diantara penyedia jasa pendidikan dan pelatihan dan instansi yang berkompeten.

Dubois (1996:71-73) mengembangkan model pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi lima tahap seperti yang terlihat pada Gambar 1. Model lima tahap tersebut sangat sederhana dan dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan dan hasil akhir pendidikan dan pelatihan yang diharapkan bagi Pamong Belajar.

Mengacu kepada teori perkembangan oleh Havigusrt, teori motivasi konvensional oleh Maslow, dan teori motivasi berprestasi oleh Mc Clleland, pada dasarnya manusia selalu ingin berkembang dan ingin berprestasi. Artinya perkembangan diri seseorang dapat dipacu sehingga mereka bisa lebih mandiri, berprestasi dan mampu melaksanakan tugas dan pekerjaannya sebagaimana mestinya. Dengan demikian konsep pengembangan diri merupakan penjabaran dari beberapa teori besar (grand theory) tentang kepribadian dan diperjelas dengan beberapa teori tentang motivasi tersebut.

Lingkungan luar

Lingkungan organisasi

Analisis Kebutuhan, Penilaian dan Perencanaan

Pengembangan model kompetensi Perencanaan kurikulum Perencanaan dan Pengembangan Intervensi Pembelajaran Evaluasi Tujuan Strategis, Sasaran, dan Rencana Organi- sasi Langkah 1 Langkah 2 Langkah 3 Langkah 4 Langkah 5

Gambar 1. Model Sistem Strategis untuk Menciptakan dan Mengelola Program Peningkatan Kinerja Berbasis Kompentensi (Dubois, 1996)