• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU KECIL

Heru Setiawan1; Dian Ayu Larasati2

1Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar;

Email : hiero_81@yahoo.com; Hp. 081390623630

2Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya;

Email : dianayularasati@gmail.com; Hp. 081230772224

Abstrak

Ekosistem mangrove sebagai bagian dari ekosistem pesisir memiliki peranan yang sangat penting dalam menunjang kehidupan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kontribusi ekosistem mangrove dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir dan pulau kecil. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi pustaka. Wawancara dilakukan dengan responden kunci menggunakan teknik purposive sampling. Observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke dan berbagai aktifitas masyarakat dalam memanfaatkan mangrove. Analisis data dilakukan secara diskriptif kualitatif, dengan tahapan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan, kontribusi langsung ekosistem mangrove bagi masyarakat Pulau Tanakeke diantaranya adalah sebagai penghasil arang dan kayu bakar, tiang pancang rumput laut, usaha pembibitan mangrove untuk kegiatan rehabilitasi dan digunakan sebagai bahan pembuatan paropo sebagai salah satu metode penangkapan ikan tradisional. Kontribusi mangrove secara tidak langsung bagi masyarakat Pulau Tanakeke diantaranya adalah daerah tangkapan untuk komoditas udang dan kepiting, pelindung tambak dan pemukiman dari banjir ROB, menghasilkan sedimentasi dan tanah timbul, mengendalikan laju intrusi air laut, melindungi pulau dari abrasi akibat gelombang pasang dan angin kencang.

Kata kunci : Sumberdaya mangrove, pembagunan, masyarakat, pulau tanakeke

PENDAHULUAN

Pada beberapa tahun belakangan, muncul beberapa isu global yang menjadi fokus perhatian masyarakat dunia yaitu pemanasan global (global warming), perubahan iklim (climate change), dan kelangkaan energi, pangan, dan air (energy, food, and water scarcity). Sidang umum Perserikatan Bangsa– Bangsa (PBB) pada 25 September 2015 lalu di New York, Amerika Serikat, secara resmi telah mengesahkan Agenda Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai kesepakatan pembangunan global. SDGs berisi 17 Tujuan, salah satu tujuan yang disepakati dan berlaku bagi seluruh bangsa tanpa terkecuali adalah "Melestarikan dan arif memanfaatkan

154|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa samudra, laut dan sumber daya kelautan untuk pembangunan berkelanjutan”. Sejalan dengan Nawacita dan SDGs, pemerintah telah menetapkan program prioritas nasional yang salah satu diantaranya adalah kemaritiman dan kelautan, dimana ekosistem pesisir dan pulau kecil termasuk di dalamnya.

Indonesia merupakan negara kepulauan, terdiri dari 17.504 pulau dengan luas laut diperkirakan sekitar 5,8 juta km2 dan bentangan garis pantai sepanjang

81.000 km (Dahuri et al., 1996). Dengan garis pantai yang panjang tersebut dan posisinya yang berada pada daerah khatulistiwa sangat menunjang berkembangnya hutan mangrove. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai- pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nontji, 1987; Nybakken, 1992).Luas hutan mangrove di Indonesia adalah yang terluas di dunia dengan luasan mencapai 3.112.989 Ha dengan persentase 22,6% dari total luasangan mangrove di seluruh dunia (Giri et al., 2011). Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir.

Masyarakat Pulau Tanakeke sebagai masyarakat pesisir merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai interaksi yang tinggi dengan ekosistem mangrove. Interaksi yang intensif antara masyarakat dengan ekosistem mangrove tersebut tidak lepas dari tingginya peranan mangrove dalam menopang kehidupan mereka, baik dari segi ekologi maupun ekonomi. Kondisi ekosistem mangrove yang mengalami degrasi,secara langsung maupun tidak langsung, berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat pesisir. Hal yang paling dirasakan masyarakat adalah degradasi mangrove membuat penghasilan masyarakat pesisir menjadi ikut berkurang, terutama masyarakat pembuat arang dan kayu bakar. Para petani tambak juga merasakan langsung dampak degradasi mangrove, karena rusaknya tanggul pada tambak yang berdampak pada semakin berkurangnya hasil panen. Dengan semakin berkurangnya pendapatan masyarakat akibat rusaknya ekosistem mangrove, menjadikan kesadaran masyarakat akan kelestarian ekosistem

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|155

mangrove semakin meningkat. Munculnya alternatif pekerjaan lain, misalnya sebagai petani rumput laut, juga turut menjaga kelestarianekosistem mangrove. Tulisan berikut merupakan hasil penelitian dalam bentuk kajian terhadapperanan mangrove dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir,terutamadalam segi ekologis maupun sosial ekonominya.

METODE

Kegiatan penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli – September 2015 di Pulau Tanakeke, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Propinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis, pulau ini terletak pada 119° 14’ 22” – 119° 20’ 29” BT dan 5° 26’ 43” – 5° 32’ 34” LS. Bahan yang digunakan diantaranya adalah responden kunci yang merupakan tokoh masyarakat, tetua adat dan kelompok masyarakat pegiat mangrove di desa-desa di Pulau Tanakeke, dan kondisi tegakan mangrove sebagai obyek penelitian. Alat-alat yang digunakan antara lain daftar panduan pertanyaan, alat perekam, alat tulis, kompas, GPS dan kamera.

Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu : teknik observasi dan teknik wawancara. Teknik observasi digunakan untuk melihat kondisi umum lokasi penelitian, yang meliputi kondisi tegakan dan ekosistem mangrove secara keseluruhan dan kondisi sosial masyarakat. Teknik wawancara digunakan untuk mendapatkan data mengenai model pengelolaan ekosistem mangrove oleh masyarakat serta kearifan lokal masyarakat dalam mengelola mangrove. Teknik wawancara dilakukan secara semi structured interview yakni wawancara yang pelaksanaannya lebih bebas dan menggunakan panduan pertanyaan terbuka yang dilakukan terhadap masyarakat yang sehari-hari berinteraksi dengan ekosistem mangrove maupun dengan responden kunci.

PEMBAHASAN

Kondisi Hutan Mangrove

Provinsi Sulawesi Selatan dengan dengan panjang garis pantai mencapai 1.937 km dan jumlah pulau 299 buah, merupakan habitat yang potensial bagi

156|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa tumbuh dan berkembangnya ekosistem mangrove. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014, luas mangrove di Propinsi Sulawesi Selatan mencapai 28.954 ha. Dari luasan tersebut, Kabupaten Bone adalah kabupaten yang mempunyai hutan mangrove terluas yaitu 8.367 ha. Dari total luasan hutan mangrove di Sulawesi Selatan, hanya 5.238 ha termasuk dalam kategori baik, 5.248 ha termasuk dalam kategori rusak, dan 17.328 ha termasuk dalam kategori sangat rusak. Persentase kerusakan mangrove di Sulawesi Selatan mencapai 60%. Kerusakan mangrove di Sulawesi Selatan lebih disebabkan oleh alih fungsi mangrove menjadi tambak atau untuk penggunaan lainnya. Selain itu, kerusakan mangrove juga disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak terkendali.

Kawasan mangrove di Pulau Tanakeke merupakan yang terluas di Provinsi Sulawesi Selatan yang dalam kondisi baik dengan luasan mencapai 951,11 ha (Akbar, 2014). Adanya alih fungsi, penebangan mangrove yang tidak terkendali dan manajemen pengelolaan yang tidak tepat membuat hutan mangrove di Pulau Tanakeke telah mengalami degradasi yang cukup tinggi. Pada tahun 1970 an, luasan ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke mencapai 2.500 ha. Pada periode 1990 an, luasan mangrove hampir berkurang setengahnya menjadi 1.300 ha. Menurut Rahayu (1994), penyusutan luas hutan mangrove antara lain bersumber dari kegiatan manusia yang mengkonversi areal mangrove menjadi pemukiman, kegiatan komersial/industri, pertanian dan eksploitasi yang berlebihan terhadap vegetasi mangrove menjadi kayu bakar.

Pengelolaan kawasan mangrove di Pulau Tanakeke dilakukan secara perseorangan. Hal ini tidak terlepas dari adanya kenyataan bahwa hutan mangrove di kawasan ini telah dibagi dan dimiliki secara pribadi oleh masyarakat dan telah diwariskan secara turun-temurun. Dari keseluruhan mangrove yang ada di Pulau Tanakeke, hanya terdapat satu kawasan hutan mangrove yang ditetapkan sebagai area perlindungan dan tidak dimiliki oleh perseorangan. Kawasan hutan bakau tersebut disebut “Bangko Tapampang” dengan luas mencapai 50,5 ha.Kesepakatan bersama masyarakat Pulau Tanakeke yang diwakili oleh tokoh masyarakat dan kelima kepala desa yang ada di Tanakeke telah menyepakati

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|157

kawasan Bangko Tapampang dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona inti, zona penyangga dan zona rehabilitasi.

Jenis mangrove di Pulau Tanakek didominasi olehRhizophora stilosa.Selain itu juga dijumpai jenis Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Avicennia sp, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonertia alba.Hutan mangrove di Pulau Tanakeke sudah menyatu dengan masyarakatnya yang mayoritas bermatapencaharian sebabagi nelayan. Kehidupan masyarakatnya tidak bisa dilepaskan dari hutan mangrove karena sehari-hari berinteraksi dengan mangrove. Dengan semakin terdegradasinya hutan mangrove di daerah ini berdampak pula pada kehidupan nelayan. Hal ini dikarenakan hutan mangrove sudah tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Agar hutan mangrove dapat kembali bermanfaat secara optimal, maka masyarakat baik secara individu maupun berkelompok tergerak untuk melakukan rehabilitasi mangrove pada areal yang terdegradasi.

Kontribusi Mangrove dalam Bidang Ekonomi

1. Arang Bakau

Pemanfaatan kayu mangrove untuk industri arang sudah dilakukan masyarakat Pulau Tanakeke secara turun-temurun. Arang bakau telah menjadi primadona masyarakat karena mempunyai panas yang tinggi. Menurut Hilal dan Syaffriadi (1997), kayu mangrove memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu 4.000–4.300 Kkal/kg. Harga arang per karung di tingkat pengrajin mencapai Rp. 60.000,- sampai Rp. 75.000. Harga ekspor arang mangrove sekitar US$ 1.000/10 ton, sedangkan harga lokal antara Rp 400,- - Rp 700,-/kg. Jumlah ekspor arang mangrove tahun 1993 mencapai 83.000.000 kg dengan nilai US$ 13.000.000 (Inoue et al., 1999).

2. Kayu Bakar

Secara umum masyarakat di Pulau Tanakeke sudah menggunakan kompor gas untuk kebutuhan memasak. Penggunaan kayu bakar hanya dilakukan untuk kebutuhan tertentu, misalnya memasak air, memasak dalam jumlah besar untuk keperluan pesta dan untuk membakar ikan. Terdapat beberapa kelompok masyarakat yang memanfaatkan kayu bakar untuk dijual guna menambah

158|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa perekonomian keluarga. Penjualan kepada tengkulak biasanya dilakukan dengan sistem per ikat dengan harga mencapai Rp 30.000,-. s/d Rp 50.000,- tergantung besar kecilnya batang. Berdasarkan hasil wawancara, tidak ada masyrakat yang membeli kayu mangrove untuk kayu bakar, sehingga pasar utama kayu bakar adalah untuk dibawa ke luar pulau, biasanya langsung ke Kota Makassar.

3. Aset keluarga

Berdasarkan keterangan dari masyarakat Pulau Tanakeke, sudah menjadi kesepakatan yang telah ditetapkan sejak zaman nenek moyang bahwa tegakan mangrove yang dimiliki masyarakat merupakan aset kekayaan yang dapat diwariskan secara turun-temurun. Sebagian masyarakat yang mempunyai tegakan mangrove bahkan menjadikannya untuk mahar pernikahan. Hal ini tidak terlepas dari tingginya nilai ekonomi mangrove. Harga tegakan mangrove per hektar berkisar 20 - 30 juta, tergantung besar kecilnya batang dan kerapatan pohonnya. Tegakan mangrove ibarat ladang bagi petani di daratan, yang dapat dijadikan aset tidak bergerak bagi keluarga nelayan. Dengan tingginya nilai ekonomi tegakan mangrove, sebagian besar masyarakat tergoda untuk menjualnya ke pengusaha arang.

4. Tiang pancang rumput laut

Usaha pertanian rumput laut telah menjadi komoditas primadona bagi warga Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar. Puncak produksi rumput laut biasanya terjadi pada Bulan Juni sampai Desember. Harga rumput laut kering di tingkat petani per kilogram mencapai Rp 4.000 s/d Rp 7.000. Kebutuhan akan tiang pancang berbahan kayu mangrove semakin tinggi seiring dengan semakin meningkatnya luasan pertanian rumput laut. Sebagian masyarakat yang memilki tegakan mangrove menebangnya untuk dijadikan tiang pancang rumput laut. Bagi masyarakat yang tidak mempunyai tegakan mangrove akan membelinya dengan harga mencapai Rp 3.000/batang dengan ukuran panjang 3 meter.

5. Usaha pembibitan mangrove

Peluang usaha pembibitan mangrove juga dilakukan oleh masyarakat Pulau Tanakeke dengan membentuk kelompok masyarakat. Salah satu kelompok masyarakat yang bergerak dalam usaha pembibitan mangrove adalah “Women

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|159

Group”. Sesuai dengan namanya, kelompok ini beranggotakan ibu-ibu/istri nelayan. Harga jual bibit mangrove di lokasi ini adalah Rp 1.000/batang. Dengan adanya usaha ini, merupakan perwujudan peran serta ibu dan istri nelayan turut meningkatkan pendapatan keluarga. Selain bergerak dalam usaha pembibitan mangrove, kelompok ini juga melakuka aksi rehabilitasi mangrove secara swadaya.

6. Bahan pembuatan paropo

Paropo merupakan salah satu metode penangkapan ikan yang dilakukan nelayan di Pulau Tanakeke. Paropo merupakan kayu mangrove yang disusun sedemikian rupa yang berfungsi sebagai tempat ikan untuk berkumpul dan bersembunyi. Sistem kerjanya adalah ketika air dalam keadaan surut, ikan akan tinggal di dalam paropo sehingga memudahkan nelayan untuk menangkapnya. Sebagian besar nelayan memanfaatkan metode ini untuk menangkap ikan, terutama ikan kerapu. Jika kayu mangrove telah banyak yang lapuk, maka nelayan akan menggantinya dengan yang baru.

Kontribusi Mangrove dalam Bidang Ekologi

1. Daerah tangkapan untuk komoditas udang dan kepiting

Secara tidak langsung, mangrove berperan dalam meningkatkan pendapatan nelayan. Hamparan mangrove meruapakan tempat yang baik bagi berkembangnya udang dan kepiting, yang dimanfaatkan nelayan sebagai tempat berburu kepiting dan udang. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan di Pulau Tanakeke, rata-rata hasil tangkapan kepiting bakau per harimencapai 2-3 ekor kepiting, sedangkan udangnya berkisar 25 – 100 ekor.Harga kepiting bakau bervariasi, tergantung besar kecilnya kepiting. Kepiting yang mencapai berat 1 kg per ekornya harganya mencapai Rp 150.000,-, tetapi jika ukuran kecil per kilogramnya dihargai Rp 60.000,-. Untuk hasil tangkapan udang, jika ukurannya besar akan langsung dijual ke pengepul dengan harga mencapai Rp 80.000,-, tetapi jika tangkapan udang masih kecil maka akan dilakukan pembesaran di tambak. Berdasarkan hasil wawancara, pada saat ini populasi kepiting sudah jauh berkurang. Hal tersebut dikarenakan semakin banyaknya masyarakat nelayan yang berburu dan juga karena adanya degradasi mangrove.

160|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa 2. Pelindung tambak dan pemukiman dari banjir rob

Bentuk daratan Pulau Tanakeke yang menjari dengan pemukiman nelayan berada diujung daratan membuat kawasan pemukiman rawan terkena banjir ROB. Hal tersebut sudah sering terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, dahulu sebelum mangrove dikonversi menjadi tambak, tidak pernah terjadi banjir ROB yang sampai pemukiman, tetapi setelah mangrove di konversi menjadi tambak, banjir ROB yang menggenangi pemukiman sering terjadi. Kerugian semakin dirasakan masyarakat karena tanggul tambak menjadi sering hancur karena tidak ada penghalangnya. Dampaknya pendapatan nelayan tambak menjadi menurun. Dengan merasakan langsung pengalaman tersebut, banyak warga yang merasakan langsung manfaat mangrove dalam melindungi pemukiman mereka dari banjir ROB, sehingga secara swadaya banyak masyarakat yang menanami kembali tambak mereka dengan mangrove.

3. Menghasilkan sedimentasi dan tanah timbul

Vegetasi mangrove dengan ciri khas akarnya mempunyai kemampuan dalam menjerap sedimen yang kemudian menjadi tanah timbul. Hasil wawancara dengan masyarakat Pulau Tanakeke yang mempunyai tegakan mangrove, mangrove di areal yang dimilikinya semakin lama akan semakin luas karena adanya anakan baru yang tumbuh. Lama kelamaan anakan tersebut akan tumbuh dan berbuah yang selanjutnya akan menghasilkan anakan baru yang tumbuh di depannya. Dengan demikian, areal mangrove lama-lama akan menjadi semakin luas. Berdasarkan penelitian Anwar (1998), laju akumulasi tanah akibat adanya tegakan mangrove mencapai 9 mm/th.

4. Mengendalikan laju intrusi air laut

Manfaat mangrove secara tidak langsung yang dirasakan warga adalah mangrove turut mengendalikan laju intrusi air laut. Intrusi air laut adalah masuk atau menyusupnya air laut kedalam akuifer di mana air laut akan menggantikan atau tercampur dengan air tanah tawar yang ada di dalam akuifer. Berdasarkan penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air sumur pada berbagai jarak dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada jarak 1 km untuk wilayah

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|161

Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrove-nya yang relatif baik, masih tergolong baik, sementara pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa Tengah sudah terintrusi pada jarak 1 km.

5. Melindungi pulau dari abrasi akibat gelombang pasang dan angin kencang Sebagai pulau sangat kecil dengan luasan yang hanya 43 km2, Pulau

Tanakeke sangat rawan akan bahaya abrasi yang timbul akibat gelombang pasang dan angin kencang. Pada saat musim angin barat atau angin timur dengan kecepatan yang tinggi tentu akan sangat berbahaya bagi lingkungan daratan terutama di daerah pinggiran pantai. Dengan adanya hutan mangrove yang menjadi barier atau pelindung pada pesisir pantai, kuatnya angin laut yang bertiup ke darat akan dapat ditahan dan diserap. Hasil penelitian Suryana et al. (1998) melaporkan bahwa daya jangkauan air pasang berkurang sampai lebih dari 60 % pada lokasi dengan lebar hutan mangrove 100 m. Bahaya abrasi dapat mengancam pemukiman warga yang tinggal di kawasan pantai dan berbatasan langsung dengan laut seperti di Desa Tompotana dan Desa Rewataya. Berdasarkan laporan dari BBC (2014), tingkat abrasi air laut yang terbesar terjadi di Desa Bedono Kabupaten Demak dengan Luas kawasan yang terkena erosi mencapai 2.116,54 ha yang menyebabkan garis pantai mundur sepanjang 5,1 kilometer yang terjadi dalam kurun waktu 20 tahun. Dengan demikian, hamparan hutan mangrove di Pulau Tanakeke berfungsi juga dalam menjaga kestabilan garis pantai dari abrasi dan menjaga kelestarian ekosistem pantai.

SIMPULAN

Secara umum, kondisi ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke masih cukup bagus, walaupun masih ada kerusakan di beberapa tempat. Kontribusi ekosistem mangrove dalam pembangunan kawasan pesisir dan pulau kecil sangat dirasakan masyarakat. Kehidupan sehari-hari masyarakat sudah sangat tergantung dengan keberadaan ekosistem mangrove, baik dari segi ekonomi (manfaat langsung) maupun dari segi ekologi (manfaat tidak langsung). Peranan mangrove dari segi ekonomi bagi masyarakat Pulau Tanakeke diantaranya adalah sebagai penghasil arang dan kayu bakar, tiang pancang rumput laut, usaha pembibitan

162|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa mangrove untuk kegiatan rehabilitasi dan digunakan sebagai bahan pembuatan paropo sebagai salah satu metode penangkapan ikan tradisional. Kontribusi mangrove secara tidak langsung bagi masyarakat Pulau Tanakeke diantaranya adalah sebagai daerah tangkapan untuk komoditas udang dan kepiting, pelindung tambak dan pemukiman dari banjir ROB, menghasilkan sedimentasi dan tanah timbul, mengendalikan laju intrusi air laut, melindungi pulau dari abrasi akibat gelombang pasang dan angin kencang.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar A.S, M. 2014. Geospatial Modeling of Vegetation Cover Changes on A Small Island - Case Study: Tanakeke Island, Takalar District, South Sulawesi. Graduate School Bogor Agricultural University, Bogor. (Not Published).

Anwar, C. 1998. Akumulasi tanah di Bawah Tegakan Mangrove. Prosiding Expose Hasil Penelitian BTPDAS Surakarta, Februari 1998: 105-115. BTPDAS Surakarta, Solo.

Dahuri R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita.

BBC. 2014. Desa Bedono di Demak terancam tenggelam akibat abrasi. http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151212_indo

nesia_demak_abrasi”. Diakses tanggal 17 Juni 2016.

Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999. Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan JICA. Jakarta.

Giri, C. E. Ochieng, L. L. Tieszen, Z. Zhu, A. Singh, T. Loveland, J. Masek and N. Duke. 2011. Status and Distribution of Mangrove Forests of the World using Earth Observation Satellite Data. Global Ecology and Biogeography, 20, 154–159.

Hilal, H dan Syaffriadi. 1997. Pemanfaatan Sumber Energi untuk Mendukung Pembangunan berkelanjutan. Jurnal Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung Vol. 1 No. 2. Bandung.

Rahayu, S. 1994. Mengikutsertakan Masyarakat Pedesaan dalam Proyek Pembangunan Hutan Berskala Kecil. Journal of Forestry Research and Development IX (2) : 73 –79.

Sukresno dan C. Anwar. 1999. Kajian Intrusi Air Asin pada Kawasan Pantai Ber- lumpur di Patai Utara Jawa Tengah. Bulletin Teknologi Pengelolaan DAS V (1) : 64-72. Balai Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta, Solo.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Nybakken, J .W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|163

CSR DAN UPAYA PEMBANGUNAN ALTERNATIF: REFLEKSI ATAS

PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG