• Tidak ada hasil yang ditemukan

Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, titis.dewi26@gmail.com, 08983479782

Abstrak

Kemiskinan di Indonesia belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Imbas dari kemiskinan yang semakin tinggi ini adalah ketidaktercapaian pemenuhan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Salah satu kasus yang hangat mulai dari pelaksanaan MDGs hingga SDGs diluncurkan sejak tahun 2015 adalah tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Salah satu cara mengurangi tingginya AKI dan AKB diperlukan partisipasi aktif dari suami atau laki-laki dalam mendukung proses kehamilan hingga kelahiran yang dilalui sang istri melalui program suami siaga. Sebagai bentuk partisipasi aktif dalam PUG dan pelaksanaan SDGs, suami yang sadar terhadap keadilan serta kesetaraan gender dapat memahami kebutuhan perempuan selama hamil. Studi kasus yang menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis gender pada wilayah Kelurahan Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran, Kota Surabaya menunjukkan progres pencapaian SDGs, dilihat dari 3 (tiga) komponen melalui partisipasi aktif laki- laki yang menjadi salah satu penggerak ketercapaian SDGs pada sektor pemberantasan kemiskinan, pencapaian kesehatan yang baik, dan kesetaraan gender.

Kata kunci: kemiskinan, AKI dan AKB, gender, suami siaga

PENDAHULUAN

Kegagalan pada pelaksanaan MDGs (Millenium Development Goals) seperti belum mampu menurunkan angka kematian ibu, akses sanitasi dan air minum, serta penurunan prevalansi AIDS dan HIV menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia selaku pelaksana program. Ibaratnya menumpuk pekerjaan tambahan, SDGs justru menjadi momok paling menyeramkan bagi pengambil kebijakan terutama yang sektornya belum mampu mengatasi masalah pada target MDGs. Tahun 2016 ini diharapkan masyarakat bekerja sama dengan pemerintah mampu menyelesaikan permasalahan terkait pencapaian SDGs. Meski ke-17 poin belum pasti bisa dicapai, setidaknya dengan menyelesaikan permasalahan sebelumnya (tiga poin kegagalan MDGs di Indonesia) akan meningkatkan kepercayaan diri masyarakat dalam menyokong terselenggaranya derajat hidup yang baik sesuai standar dunia.

98|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

Angka kematian anak terkait dengan kemiskinan menurut ringkasan kajian UNICEF pada Oktober 2012 menunjukkan bila anak-anak dalam rumah tangga termiskin umumnya memiliki angka kematian balita lebih dari dua kali lipat dari angka kematian balita di kelompok kuintil paling sejahtera. Hal ini ternyata disebabkan oleh adanya keterbatasan akses pada fasilitas kesehatan, adanya praktek kesehatan yang tidak sesuai dengan standar seperti diobatkan pada dukun bayi, dan tingkat pendidikan orang tua yang rendah.

Derajat kesehatan perempuan dapat ditinjau melalui tingkat Angka Kematian Ibu (AKI) pada waktu persalinan maupun pasca persalinan, angka kematian ibu juga merupakan satu dari lima tujuan dari pembangunan milenium (MDGs – Millennium Development Goals) yakni meningkatkan derajat kesehatan perempuan dengan capaian target dapat mengurangi angka kematian ibu sampai ¾ pada tahun 2015. Survey terakhir pada tahun 2007 menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, dari tahun 1994-2015, data yang diperoleh SDKI tingkat kematian ibu berada pada 228 per 100.000 kelahiran hidup di Indonesia. Meski data menunjukkan penurunan namun angka 228 masih dalam tingkat tertinggi di Asia. (Stalker, 2008). Hal tersebut mendorong komitmen dan kerja keras harus diterapkan demi tercapainya tujuan pembangunan millinium (MDGs).

Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih tergolong tinggi, ditunjukkan dari hasil penelitian Woman Research Institute menyebutkan terdapat 13 provinsi di Indonesia yang mengalami angka kematian ibu tinggi, per tahun 2011 terdapat 307 per 100.000 kelahiran lahir. Kenyataan ini jauh tertinggal bila dibandingkan dengan target nasional tingkat AKI yakni 125 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia menunjukkan penurunan 35 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Meski begitu kerja keras dan komitmen yang kuat demi tercapainya tujuan pembangunan millennium saja, Indonesia belum mampu hal tersebut dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa realitas angka kematian ibu dan angka kematian bayi di Indonesia masih cukup tinggi.

Dalam dua rilis serupa dari Woman Research Institute, Bappenas memperkirakan bahwa pada tahun 2015, AKI di Indonesia masih akan berkisar di

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|99

angka 163. Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia dan Thailand yang angka AKInya masing-masing 30 dan 24,7 dan lebih mendekati tingkat AKI Vietnam (150), Filipina (230), dan Myanmar (380). Indonesia bila dibandingkan dengan ketiga negara tersebut dari segi fasilitas pelayanan kesehatan tentu lebih baik namun mengapa jumlahnya masih belum menunjukkan perubahan? Satu lagi masalah yang membelenggu adalah diterapkannya SDGs dengan target yang semakin tinggi dibanding MDGs.

Tingginya AKI dan AKB di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: kondisi sumber daya masyarakat yang rendah kemudian berpotensi pada status ekonomi yang rendah pula. Status ekonomi ini menjadikan ketidakmampuan bagi masyarakat dalam menikmati akses fasilitas kesehatan. Kultur masyarakat pun menjadi faktor penyebab tingginya AKI dan AKB. Pada budaya masyarakat tertentu terdapat pewarisan nilai-nilai budaya oleh generasi tua pada generasi selanjutnya, misalnya anjuran untuk lebih memilih pelayanan kesehatan pada dukun dibanding bidan maupun fasilutas kesehatan modern seperti rumah sakit. Hal tersebut dilakukan karena nilai yang diwariskan telah berlandaskan pengalaman oleh generasi tua. Padahal peningkatan kualitas pelayanan maupun fasilitas kesehatan di tingkat primary health care/puskesmas telah menjadi pemicu perubahan tingkat Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia.

Pada tulisan ini dibahas mengenai studi kasus pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh ibu untuk mengurangi AKI dan AKB sekaligus penulis akan menunjukkan alternatif berbasis pengarusutamaan gender untuk mengarahkan pencapaian SDGs di bidang kesehatan sekaligus meningkatkan peran laki-laki dalam kaitan pengurangan tingkat kemiskinan keluarga dan PUG dalam kajian pembangunan masyarakat.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif yang berusaha menggali, memahami, dan mencari fenomena sosial yakni kontruksi masyarakat pra sejahtera terhadap fasilitas kesehatan sekaligus menangkap beberapa kajian analisis gender dalam kegiatan suami siaga.

100|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa Tulisan ini menggunakan pendekatan berbasis analisis gender mengingat keterlibatan laki-laki sekaligus munculnya kesetaraan dalam pembangunan sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan pelaksanaan SDGs.

PEMBAHASAN

Pembentukan Suami Sadar Kerja dan Komunitas Suami Siaga

Menurut Henrik L. Blum dan E. A. Suchman, terdapat empat pendekatan untuk mengetahui pola perilaku kesehatan manusia antara lain perilaku itu sendiri, konsekuensinya, tempat atau ruang lingkup, dan variasi perilaku selama tahap- tahap perawatan medis. Pada tingkat permulaan sangat berperan penting dalam pengambilan keputusan karena terdapat tiga dimensi, pertama terjadi rasa sakit atau rasa yang tidak biasa dirasakan, kedua pengetahuan seseorang terhadap penyakit tersebut mendorong membuat penafsiran-penafsiran terhadap penyakit serta gangguan sosialnya, dan ketiga perlu diketahui bahwa kesimpulan pada tahap pengenalan gejala berbeda satu sama lainnya.

Pada awalnya dapat dianalisis terlebih dahulu mengenai perilaku itu sendiri, bagaimana kemudian seorang ibu dapat menentukan perilaku yang tepat untuk mengatasi beberapa gejala-gejala yang kemudian muncul ketika masa kehamilannya kemudian mengarah pada pengetahuannya terhadap rasa sakit dan jenis penyakit yang muncul untuk memberikan bentuk pengarahan pada bagian pemilihan pelayanan kesehatan. Barulah seorang ibu melakukan pengambilan keputusan berdasarkan latar belakang pilihan sebelumnya. Sedangkan untuk bahasan mengenai konsekuensi bisa dilihat dari efek pasca pengambilan keputusan, apakah mendukung atau justru menghambatnya. Barulah hal tersebut menciptakan variasi dalam pembuatan keputusan, termasuk dalam bahasan pengambilan keputusan akan pemilihan layanan kesehatan, antara medis dan tradisional.

Dulu, perempuan Kelurahan Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran memang tidak memiliki banyak pilihan kepada siapa dan dimana mereka akan melahirkan, yang ada ketika itu hanya dukun beranak dengan tingkat higienitas dan keselamatan ibu-bayi yang rendah. Kini, seiring perkembangan zaman dan

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|101

terbukanya cakrawala informasi serta pengetahuan mereka akan kesehatan, mereka lebih banyak menggunakan bidan desa dan puskesmas. Terlebih dukungan dari suami melalui kegiatan suami siaga (siap, antar, dan jaga) dengan ikrarnya, kami suami siaga dengan ini berikrar: (1) senantiasa mendampingi istri dalam pemeriksaan kehamilan, (2) bertindak waspada dalam melihat tanda bahaya kehamilan, (3) bersama istri menyiapkan persalinan, (4) selalu mendampingi istri selama kehamilan, saat, dan setelah persalinan, (5) senantiasa mendukung istri dalam memberikan ASI ekslusif, dan (6) bertanggung jawab atas istri dan buah hati.

Menjadi salah satu perwujudan pengarusutamaan gender dengan memasukkan keterlibatan laki-laki dalam mengurangi AKI dan AKB. Hal tersebut relevan dengan yang dibutuhkan oleh istri atau perempuan selama masa kehamilannya. Suami yang siaga akan mengurangi tingkat kematian pra dan pasca melahirkan karena suami selalu berusaha memenuhi kebutuhan istrinya.

Seiring berkembangnya pola pikir kesehatan masyarakat setempat, yang ditandai dengan bergesernya pola pemilihan fasilitas kesehatan dari dukun ke tenaga kesehatan (bidan), kebiasaan-kebiasaan yang harus dimiliki oleh ibu-ibu hamilpun tidak hanya sebatas pada tataran konsumsi. Melainkan juga pada aktivitas fisik seperti program senam ibu hamil. Namun, karena kelas senam ibu hamil ini terkendala kuota dan biaya yang cukup mahal dengan kondisi ekonomi keluarga nelayan pada tingkat subsisten (terbatas) sehingga tidak semua ibu hamil di kelurahan ini mengetahui keberadaan kelas ibu hamil. Dukungan yang dapat dilakukan suami dimungkinkan dengan tidak memberikan beban berat kepada istri selama masa kehamilannya. Misalnya, istri yang biasanya membantu membawa hasil tangkapan seusai melaut, bisa tidak diperkenankan untuk melakukan hal tersebut. Selain itu, munculnya program keluarga harapan (PKH) turut membantu meningkatkan perekonomian keluarga terutama untuk pemenuhan gizi ibu semasa kehamilannya.

Gangguan kesehatan Pilihan Pengobatan Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model) Cobb, Rosenstock

Pada awal pasca kelahiran, bayi memang rentan dengan segala gangguan kesehatan seperti demam, asma, muntah, batuk, pilek dan alergi pada susu (dalam

102|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa hal ini dapat berupa susu formula ataupun ASI). Ganguan-gangguan kesehatan yang dialami oleh bayi dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan, bawaan selama kehamilan, dan kondisi kesehatan sang ibu pasca persalinan. Kondisi lingkungan masyakat Tambak Wedi termasuk dalam kondisi lingkungan yang kumuh. Banyak sampah yang dibuang di sembarang tempat. Hal ini dapat mengakibatkan virus atau bakteri yang dapat menyebabkan bayi terserang gangguan kesehatan. Gangguan tersebut biasanya dapat berupa diare, mutaber, penyakit kulit dan asma.

Ibu-ibu di Kelurahan Tambak Wedi, pada saat hamil jarang memperhatikan makanan yang mereka konsumsi. Mengingat mereka termasuk pada masyarakat miskin sehingga tidak memungkinkan untuk membeli buah-buah ataupun susu ibu hamil dalam rangka pemenuhan gizi pada saat kehamilan. Hal ini tentunya akan berdampak pada kesehatan bayi pasca kelahiran. Apabila selama kehamilan ibu kurang mengkonsumsi makanan yang bergizi, bayi akan mudah terserang penyakit atau bahkan kecacatan pada saat pasca persalinan. Pemenuhan nutrisi pada bayi sangat dianjurkan pada ibu-ibu hamil karena pemenuhan nutrisi yang cukup dapat mempengaruhi tumbuh kembang bayi nantinya. Kemudian, kondisi kesehatan ibu pasca persalinan juga mempengaruhi kesehatan bayi.

Ibu-ibu di Tambak Wedi lebih memilih memberikan ASI kepada bayi dari pada susu formula. Bukan karena didukung oleh suami dalam rangka pelaksanaan suami siaga. Namun alasan utamanya adalah biaya untuk membeli susu formula yang cukup besar. Apabila ibu telah memilih ASI sebagai makanan pokok bayi, maka kesehatan ibu sangat mempengaruhi kualitas ASI. Sehingga dibutuhkan peran suami dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan bayi. Sebagian besar masyarakat Kelurahan Tambah Wedi memperoleh bantuan PKH dan seluruh pemanfaatannya memang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pendidikan dan kesehatan. Sedangkan kehidupan sehari-hari masih bertumpu pada hasil tangkapan yang diperoleh suami.

Seperti yang dikatakan oleh Peter L. Blum bahwa pola perilaku pencarian kesehatan berubah-ubah karena dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Ibu-ibu Tambak Wedi memilih untuk pergi ke bidan bukan karena kesadaran pribadi dan dukungan dari laki-laki (suami) namun akibat mulai sulitnya mencari dukun anak

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|103

yang awalnya menjadi rujukan ibu saat bayi sakit dan kendala biaya yang ternyata hanya bisa ditutup dengan keikutsertaan pada fasilitas kesehatan formal. Pandangan tersebut membawa masyarakat pada konsep Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model) Cobb, Rosenstock, yakni membentuk sebuah kepercayaan tersendiri oleh masyarakat kepada keberadaan Bidan Kelurahan.

Konstruksi Sosial, Peter L. Berger dan Nuansa PUG

Pada dasarnya Peter L. Berger menyatakan bahwa konstruksi merupakan produk manusia atas peristiwa-peristiwa yang dialami secara rutin oleh individu dan dialami bersama oleh orang lain dalam sebuah pola yang disebut taken for granted. Jika dikorelasikan dengan fenomena di atas maka konstruksi atas ketidakpahaman akan dunia kesehatan terlebih pada aspek terselenggaranya suami siaga dan penggunaan fasilitas kesehatan formal ternyata dilatarbelakangi oleh kebiasaan-kebiasaan sebelum mereka dibenturkan dengan kebijakan tersebut. Tingkat kultur yang masih terbilang ortodok terindikasi menjadi faktor utama yakni lebih mengutamakan dukun dibandingkan dengan tenaga kesehatan mengingat cara kerja dari seorang dukun terbilang baik dan pengobatannyapun terbilang alamiah.

Pada dasarnya kesehatan ibu ketika hamil tidak hanya penting bagi bayi yang berada di dalam kandungan namun juga bagi ibu itu sendiri, baik sebelum, ketika, dan sesudah proses persalinan. Pemeriksaan, perawatan, serta pertolongan menjelang proses kelahiran menjadi persoalan yang krusial. Tidak hanya karena pertolongan kelahiran membantu menekan angka kematian bayi namun juga dapat menekan angka kematian ibu. Pemilihan pelayanan kesehatan tersebut memang tidak hanya sebatas persoalan kepada siapa para ibu hamil tersebut akan meminta pertolongan namun juga ditentukan oleh kemampuan ekonomi dan kondisi sosiokultural dimana mereka berada. Sosiokultural sangat berperan besar dalam proses pengambilan keputusan oleh ibu hamil dalam memilih kemana ia harus berobat. Sesuai dengan konsep Henrik L. Blum tentang Perubahan Perilaku Pelayanan Kesehatan, keberadaan lingkungan memberikan pengaruh pada proses pengambilan keputusan tersebut.

104|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa Pandangan ibu-ibu Tambak Wedi mengenai bidan adalah orang yang dapat membantu mereka dalam menyembuhkan gangguan-gangguan kesehatan yang dialami oleh bayi. Tidak hanya gangguan kesehatan, melainkan juga kontrol mengenai tumbuh kembang bayi. Bidan di sini berfungsi sebagai konselor. Pelayanan yang diberikan membuat ibu-ibu yakin memilih bidan sebagai pengganti dukun yang tidak mempunyai dasar ilmu kebidanan secara pasti. Pandangan tersebut membawa masyarakat pada konsep Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model) Cobb, Rosenstock, yakni membentuk sebuah kepercayaan tersendiri oleh masyarakat kepada keberadaan Bidan Kelurahan.

Gambaran di atas merupakan sebuah proses riil terbentuknya sebuah konstruksi pada masayarakat Kelurahan Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran, Kota Surabaya. Inilah yang dimaksud oleh Alfred Schutz sebagai bentuk interpretasi subyektif atau seringkali disebut sebagai konstruksi subyektif masyarakat. Pemahaman yang kemudian menjadi sebuah penilaian terhadap sebuah realitas pelayanan kesehatan dan pola pencarian pengobatan sekaligus mempengaruhi pola perilaku dalam penetapan keputusan kepercayaan masyarakat.

Namun konstruksi sosial yang salah mengenai posisi dukun bayi telah dapat pula dikurangi dengan masuknya program pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan. Gender menjadi perbincangan paling hangat saat ini. Tidak hanya di Indonesia namun juga mancanegara. Adapun pengertian tentang gender misalnya menurut Nugroho (2011: 9), gender sebagai “pembedaan peran perempuan dan laki-laki di mana yang membentuk adalah konstruksi sosial, jadi bukan karena konstruksi yang dibawa sejak lahir”.

Jika “jenis kelamin” adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, maka “gender” adalah sesuatu yang dibentuk karena pemahaman yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Misalnya, perempuan bertugas membesarkan dan mengasuh anak dan laki-laki bekerja mencari nafkah adalah pembedaan yang bersifat “gender”. (Nugroho, 2011: 9)

Bila mengkaji masalah gender, tentu tidak akan habis membahasnya dalam satu kacamata saja. Gender meliputi konstruksi sosial dan kultural yang berhubungan dengan laki-laki dan perempuan. Seperti yang telah dipaparkan

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|105

sebelumnya bila gender, tidak lantas membahas tentang perempuan dan kondisinya di masyarakat namun lebih daripada itu, laki-laki turut ikut serta di dalamnya. Entah nanti akan berperan ke arah pendukung kesetaraan atau melanggengkan ketidakadilan, bergantung pada analisis sekaligus pembuktian yang rigid melalui penelitian mendalam. Inpres No 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional mengamanatkan agar setiap lembaga pemerintah memasukkan dimensi kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam setiap tahapan kegiatan pembangunannya, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Tujuannya adalah agar perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan dan berpartisipasi serta memiliki kontrol dan manfaat yang sama dalam pembangunan sehingga pada akhirnya dapat mengurangi ataupun mempersempit kesenjangan gender diberbagai bidang kehidupan.

Mengapa kemudian biasanya hanya perempuan saja yang hangat dibicarakan bila berhubungan dengan gender? Karena kerapkali perempuan menjadi nomor kesekian atau subordinate di masyarakat. Dalam tulisannya, Fakih (2008: 15) menyatakan “anggapan bahwa perempuan irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya perempuan pada posisi yang tidak penting”. Oleh karena itu, muncul istilah kesetaraan gender untuk memomosikan perempuan pada jenjang yang sama dengan laki-laki. Bahkan lebih daripada itu, di Indonesia telah diupayakan adanya Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Sosial melalui Inpres No. 9 tahun 2000 (Nugroho, 2011: 11). Sehingga kini perhatian gender tidak hanya “hak milik” perempuan namun juga milik bersama dan diatur oleh negara. Perhatian negara terhadap kepentingan sekaligus hak perempuan dalam pembangunan menjadi jelas melalui peraturan yang disepakati.

Negara yang dulunya hanya fokus terhadap pemberian bantuan dana untuk mengurangi tingkat kemiskinan yang ada di masyarakat, kini beralih dengan memberdayakan perempuan melalui program pemberdayaan ekonomi perempuan. Mengingat di wilayah Kelurahan Tambak Wedi, perempuan sudah tidak lagi diminta untuk membantu suaminya setelah selesai melaut bahkan mencari

106|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa penghasilan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup tentu membuktikan dari segi pemberdayaan atau untuk mengurangi ketidakberdayaan perempuan di luar rumah sudah tidak lagi terjadi.

Adapun fokus aktivitas pemberdayaan ekonomi perempuan di wilayah ini adalah dengan memberikan bantuan Program Keluarga Harapan (Bantuan langsung kepada perempuan, balita dan anak sekolah terkait kesehatan dan pendidikan). Hal ini justru lebih membantu daripada sekedar membuat pelatihan agar perempuan lebih berdaya dari segi perekonomian. Selain itu, mulai digalakkannya program Suami Siaga sebagai bagian dari keikutsertaan laki-laki dalam menyukseskan pelaksanaan SDGs dengan mengurangi angka kematian ibu dan bayi merupakan salah satu progress yang baik.

Dari kasus yang dibahas dalam tulisan ini, tiga poin target pencapaian SDGs dapat dicapai meski belum memberikan progress terkait jumlah dalam statistik. Namun secara konstruksi sosial, masyarakat telah berubah dan memberikan kontribusi aktif untuk menyelenggarakan SDGs di wilayah mereka. Apabila dilihat segi ekonomi, kemiskinan penduduk yang ditargetkan dapat semakin menurun hingga mencapai angka separuh dari jumlah laki-laki_, perempuan, dan anak-anak yang mengalami kemiskinan di tahun 2030.

Keterlibatan laki-laki dalam mendukung sekaligus memberikan stimulus baik bagi istri selama masa kehamilan tentu akan memberikan pencapaian target berkurangnya angka kematian ibu hingga 70 jiwa 100.000 kelahiran hidup atau kematian bayi dan balita yang dapat dicegah, dengan seluruh negara berusaha menurunkan Angka Kematian Neonatal setidaknya hingga 12 per 1.000 KH dan Angka Kematian Balita 25 per 1.000 KH sesuai target sistem kesehatan nasional yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2015.

Sedangkan bentuk kesetaraan gender yang dapat dimasukkan atau ditargetkan berhasil adalah adanya pemberian pengakuan dan nilai pada pelayanan tak berbayar dan pekerja rumah tangga dengan penyediaan kebijakan- kebijakan layanan umum, infrastruktur dan jaminan sosial, serta promosi pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga dan keluarga sesuai dengan kondisi nasional sesuai target sistem kesehatan nasional yang dibuat oleh

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|107

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2015. Sekaligus menciptakan kesadaran pada laki-laki apabila kehamilan sepenuhnya bukan hanya tanggung jawab perempuan atau istri. Suami pun perlu ikut serta dalam pencapaian kehamilan yang sehat. Dengan menjadi suami siaga, diharapkan selain memenuhi kebutuhan gizi, suami turut menjadi pendorong keikutsertaan perempuan dalam rangka pendidikan kesehatan ibu dan bayi maupun akses kesehatan formal seperti puskesmas.

Apabila suami yang menurutnya belum mampu memenuhi kebutuhan secara harafiah melalui pemberian nafkah yang sesuai dengan kebutuhan sehari- hari, suami dapat melakukan partisipasi aktif misalnya ikut serta dalam program keluarga harapan (PKH) dan tidak memanfaatkan dana yang ada tersebut sebagai kepentingan pribadi. Tidak jarang beberapa masyarakat di sana, memanfaatkan dana PKH tersebut sebagai “dana jagan” atau berjaga-jaga apabila ditagih hutang oleh tengkulak atau pemilik kapal. Namun bila kesadaran laki-laki untuk tidak