• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYA MASYARAKAT DAN BERWAWASAN NASIONAL PADA DAERAH TERTINGGAL

Arif Purnomo

Universitas Negeri Semarang, arifpurnomo32@yahoo.co.id, 081325701065

Abstrak

Permasalahan yang muncul di daerah tertinggal, antara lain: akses sarana transportasi yang jelek, kurangnya kontrol dari pemerintah sehingga memungkinkan benih-benih terorisme dapat berkembang, dan kesenjangan pembangunan yang berakibat pada kesejahteraan masyarakat sehingga memunculkan keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI.Dalam bidang pendidikan, penanganan yang ekstra keras di daerah tertinggal diwujudkan melalui kiprah guru dalam mendidik, memotivasi, memfasilitasi, dan mendinamisasi masyarakat.Mereka dapat disetarakan sebagai Guru Garis Depan (GGD) yang langsung berhubungan dengan permasalahan di daerah tertinggal. Oleh karena itu, diperlukan pola pengembangan guru garis depan, sehingga guru yang bertugas memang menjadi ujung tombak yang tajam dalam mengatasi masalah.Metode pembahasan dilakukan dengan menggunakan teori pendidikan partisipatif. Pola yang dikembangkan adalah melalui pengembangan hardskill berorientasi potensi lokal daerah yang dilatihkan pada guru yang akan bertugas. Di samping itu perlu ada pembekalan tentang keterampilan mengembangkan wawasan kebangsaan penduduk di daerah tertinggal. Kegiatan ini dapat disetarakan dengan prajabatan bagi calon pegawai negeri sipil. Kemampuan ini pada akhirnya akan menjadi modal mengikatkan kembali simpul-simpul perekat integrasi bangsa sambil membangun ekonomi masyarakat melalui keunggulan potensi lokal.

Kata kunci: guru garis depan, wawasan nasional, pemberdaya masyarakat

PENDAHULUAN

Guru Garis Depan adalah mereka yang sudah mengikuti pendidikan profesi guru sehingga menyandang guru profesional. Dengan demikian, aspek metodologi pembelajaran dan substansi materi ajar sudah dikuasi. Mengutip istilah Shella Wright (2006), guru profesional yang menjadi GGD sudah memiliki jiwa “teacher as public art”.

Kemampuan untuk menggugah tugas dan kesadaran akan masa depan bagi mereka yang tinggal di daerah tertinggal juga dibutuhkan. “Tugas guru adalah memotivasi agar peserta didik memiliki mimpi-mimpi (cita-cita), seperti yang

84|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

telah digambarkan oleh Andreas Hirata, melalui novelnya yang kemudian difilmkan dengan judul Laskar Pelangi” (Warsono, 2015:3).

GGD mempunyai tugas yang “lebih” dibandingkan dengan guru-guru yang tidak berada di wilayah tertinggal. Peran yang dilakukan melekat dengan permasalahan yang ada di daerah tertinggal. Mereka tidak hanya memiliki peran mengajar dan mendidik peserta didik, akan tetapi mereka harus mampu menjadi inspirator, motivator dan dinamisator pembangunan di daerah tertinggal.

Peran ini sangat berat, karena menurut Sallis (2010:82) yang mengutip Lynton Gray, situasi pendidikan meliputi pengalaman emosi dan opini yang tidak bisa sama. Mengingat peran GGD sangat besar, sehingga perlu dilakukan pola penyiapan agar mereka mampu memenuhi keinginan dari program GGD tersebut. Penyiapan GGD haruslah tidak berorientasi pada kemampuan pedagogi dan profesional, akan tetapi berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Kemampuan pedagogi dan profesional GGD tampaknya sudah terasah melalui program pendidikan profesi guru (PPG), sehingga kemampuan pedagogi dan profesional GGD sudah tidak meragukan. Oleh karena itu, tulisan ini menyajikan pembahasan tentang pola penyiapan GGD untuk memberdayakan masyarakat dan berwawasan nasional pada daerah tertinggal. Dengan adanya tulisan ini, diharapkan dapat memberi masukan bagi kebijakan kementerian pendidikan dan kebudayaan dalam penyiapan GGD yang sedang dilakukan.

METODE

Permasalahan penulisan didasarkan pada kebijakan pemerintah tentang GGD yang mulai diberlakukan tahun 2015 dan masih berlangsung sampai tahun 2016, dan kemungkinan masih akan dilaksanakan selama permasalahan di daerah tertinggal yang menyangkut bidang pendidikan belum teratasi. Data-data tentang kebijakan GGD didasarkan pada website kemendikbud. Analisis masalah dilakukan dengan menggunakan teori pendidikan partisipatif. Dengan teori tersebut, didapatkan pola penyiapan GGD untuk pemberdayaan masyarakat di daerah tertinggal dan membentuk perilaku politik warganegara.

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|85

PEMBAHASAN

Peratuan Presiden No. 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019 menyatakan bahwa daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yangwilayah serta masyarakatnya kurang berkembangdibandingkan dengan daerah lain dalam skalanasional. Suatu daerah dinyatakan tertinggal dengan kriteria: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, sarana prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibiltas, dankarakteristik daerah.

Daerah tertinggal masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan masyarakat luas. Permasalahan yang ditemui pada daerah tertinggal yang menyangkut peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan dapat diatasi dengan program GGD. Sementara itu, permasalahan pendidikan di daerah tertinggal antara lain adalah kekurangan guru, distribusi guru yang tidak seimbang, kualifikasi guru yang di bawah standar, kurang kompetensi, dan ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang studi yang diampu.Permasalahan lain adalah angka putus sekolah masih tinggi, dan angka partisipasisekolah masih rendah serta sarana dan prasarana yang belum memadai.Pandangan masyarakat di daerah tertinggal pun cenderung lebih berorientasi pada materi, yaitu lebih menyukai jika anak-anaknya bekerja membantu orang tua daripada harus belajar di sekolah.

Beberapa permasalahan lain yang menyangkut daerah tertinggal dalam bingkai negara kesatuan adalah kemungkinan rentannya jalin persatuan. Beberapa kasus tentang bergesernya patok di perbatasan dan upaya beralihnya kewarganegaraan penduduk perbatasan merupakan indikatornya.

Pola Penyiapan Guru Garis Depan Sebagai Pemberdaya Masyarakat Dan Berwawasan Nasional

Guru Garis Depan memiliki tugas tambahan sebagai pemberdaya masyarakat. Oleh karena itu, GGD harus memiliki kemampuan dalam mengenal potensi daerah penugasan untuk mengatasi masalah daerah tertinggal. “Sekarang ini dibutuhkan lapis pemikir intelektual yang mampu berpikir untuk membebaskan bangsa dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan” (Salim, 2004:115).

86|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

Mochtar Buchori (2000) menyatakan bahwa ada dua hal yang diperlukan dalam membentuk visi yang realistik mengenai masa depan. Pertama, pengenalan mengenai potensi lingkungan, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, dan kedua, pengenalan aspek kesejarahan. Pada lingkup yang lebih luas, pandangan yang kedua dapat diartikan sebagai citizenship education. Dalam pandangan yang lain, Butin (2005:77), juga menekankan perlunya dimiliki social and ecological justice, sebagai relasi antara manusia dan lingkungan sekitarnya. Terkadang juga ada yang menyebutkan konsep ini sebagai earth democracy. Oleh karena itu, mengacu pada pendapat di atas, sebelum penugasan ke daerah tertinggal, GGD harus dibekali dengan pelatihan yang menyangkut dua aspek, yaitu:pemberdayaan ekonomi masyarakat dan mengembangkan civic culture, yang menjadi bagian penting pendidikan (Azra, 2006: 167), yang meliputi nasionalisme dan budaya politik dalam konteks masyarakat demokratis. Dua keterampilan tersebut menjadi penting untuk mengatasi masalah di daerah tertinggal. Dua permasalahan tersebut juga menjadi permasalahan mendesak dalam konteks membangun masyarakat Indonesia Baru (Tilaar, 2002: 87-90). Hal ini juga sesuai dengan nafas pendidikan, yang pada dasarnya mempersiapkan generasi yang mampu menjadi warganegara yang produktif dan mampu berkontribusi terhadap kesejahteraan kehidupan bangsa (Hasan, 2015: 1).

Landasan ontologis pengembangan dua kemampuan bagi GGD didasarkan pada teori besar pendidikan berbasis yang ada. Agus Salim (2004: 117-118) dengan mengutip pendapat Russell (1993) menyatakan bahwa terdapat tiga teori yang mempunyai basis pendukung yang kuat. Teori pertama menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyediakan peluang bagi pertumbuhan masyarakat dan menyingkirkan pengaruh-pengaruh yang merintangi. Teori kedua menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membudayakan individu dan mengembangkan kapasitas secara maksimal, dan teori ketiga menyatakan bahwa pendidikan harus lebih mempertimbangkan hubungannya dengan komunitas daripada hubungan dengan individu. Dalam hal ini bagaimana melatih individu menjadi lebih berguna sebagai warganegara.

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|87

Pemberdayaan ekonomi masyarakat di daerah tertinggal oleh GGD menjadi penting mengingat tingkat pendapatan ekonomi yang minim. Muara dari pemberdayaan ekonomi adalah munculnya jiwa keterampilan memanfaatkan hasil alam sehingga memiliki nilai tambah. Oleh karena itu, GGD perlu memahami secara utuh kondisi alam daerah sasaran dan diberi pelatihan pengolahan sumber daya alam yang melimpah di daerah tersebut. Dengan demikian pola penyiapan GGD didasarkan pada karakteristik daerah sasaran. Pada wilayah yang menjadi penghasil durian misalnya, GGD dapat diberi pelatihan tentang cara pengolahan ampas durian menjadi briket, pada daerah penghasil pisang, GGD dapat diberi pelatihan tentang pengolahan batang kulit pisang menjadi aneka kerajinan tangan, dan sebagainya. Dengan cara ini, GGD dapat menularkan pada penduduk di daerah tertinggal. Pada lingkup yang luas, akan tumbuh jiwa wirausaha dari penduduk di daerah tertinggal yang akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebab, tingginya pengangguran dan rendahnya kesejahteraan di Indonesia dipengaruhi oleh kecilnya jumlah wirausahawan (entrepreneur). Menurut David McClelland, suatu negara akan menjadi makmur apabila memiliki wirausahawan sedikitnya 2 % dari jumlah penduduk (Purnomo, 2012:3).

Pelatihan pada GGD juga dilakukan dengan memberikan keterampilan tentang pemberdayaan masyarakat tentang civic culture, yang meliputi nasionalisme dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam politik. Permasalahan pertama terkait dengan permasalahan rajut kebangsaan di daerah tertinggal yang sangat rentan, sedangkan permasalahan kedua terkait dengan tuntutan terhadap kehidupan masyarakat di abad XXI.

Pemahaman nasionalisme yang ditanamkan pada GGD tidak sekedar rentetan sejarah bangsa ini, akan tetapi juga menyangkut bagaimana pemahaman tersebut dipahamkan pada masyarakat di daerah tertinggal. Hal yang sama juga berlaku pada peningkatan partisipasi dalam politik.

Dua bentuk kurikulum pelatihan GGD dapat diberikan pada GGD sebelum penugasan yang disetarakan dengan jumlah hari pelaksanaan pra jabatan saat calon PNS akan menjadi PNS. Dengan cara ini, GGD tidak perlu lagi

88|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

melaksanakan pra jabatan dimana mereka harus meninggalkan daerahnya menuju tempat pelaksanaan pra jabatan.

SIMPULAN

Daerah tertinggal adalah daerah yang perlu penanganan secara serius. Pemberdayaan masyarakat menjadi prioritas pengembangan daerah tertinggal. GGD merupakan aktor yang dapat memainkan peran secara maksimal untuk memberdayakan masyarakat melalui upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, GGD menjadi alat ampuh untuk memberikan peningkatan kesadaran akan upaya meningkatkan integrasi masyarakat di daerah tertinggal dalam bingkai NKRI. Oleh karena itu, pelatihan sebelum GGD ditempatkan mutlak dilakukan dengan kurikulum pada dua aspek penekanan tersebut. Pelatihan ini dapat disetarakan dengan prajabatan, yang menyangkut jumlah waktu pelaksanaan. Dengan cara ini, GGD yang dikirim sudah siap mengajar, memberdayakan masyarakat, dan turut meningkatkan jalinan persaudaraan dalam NKRI terjaga.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 2006. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas. Buchori. Mochtar. 2000. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.

Butin, Dan W. Ed. 2005. Teaching Social Foundation of Education, Context, Theories, and Issues. Mahwah, New Jersey: Lawrance Erlbaum Ass. Inc. Hasan, S. Hamid. 2015. “Pendidikan Sejarah dalam Mempersiapkan Generasi

Emas”. Prosiding. Seminar Nasional dan Pertemuan APPS, 27-28 Nopember. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat, hal. 1-23. Purnomo, Arif. 2012. Model Pengembangan Pembelajaran Kewirausahaan

Melalui Pendidikan Sejarah. Tidak dipublikasikan. Laporan Penelitian. Semarang: Unnes.

Sallis, Edward. 2010. Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan. Yogyakarta: IRCiSoD.

Tilaar, H.A.R. 2012. Perubahan Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Warsono. 2015. “Arah dan Kebijakan Kurikulum dalam Memperkuat Jati Diri FIS

sebagai LPTK untuk Mempersiapkan Generasi Emas Tahun 2045”, makalah dalam Seminar Nasional dan Silaturahmi pimpinan FIS/FPIPS LPTK Se Indonesia, Unima Manado, 2 Oktober.

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|89

PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI DAERAH MADURA: POTRET

PERMASALAHAN DAN SOLUSI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI