• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika pendidikan di daerah tertinggal

SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PENDIDIKAN DI DAERAH TERTINGGAL

1. Problematika pendidikan di daerah tertinggal

Penyediaan pelayanan pendidikan secara kuantitas terlebih secara kualitas dihadapi oleh banyak negara di dunia utamanya negara-negara sedang berkembang. Masalah anggaran yang relatif kurang, sumber daya manusia yakni kecukupan guru dan tenaga kependidikan, kurangnya sarana prasarana dan tingkat kesadaran masyarakat akan pendidikan yang rendah sampai pada hal-hal yang bersifat akademik seperti kurikulum, ketersediaan buku, kesempatan bersekolah bagi wanita dan sebagainya meupakan problem yang dihadapi negara sedang berkembang ( Sedisa, 2008, Ndandiko.2009).

Bagi Indonesia sebagai negeri yang demikian luas wilayah dan keanekaragamannya sungguh merupakan tantangan besar dan luar biasa dalam pelayanan pendidikan di seluruh tanah air. Tantangannya tidak hanya dalam menyediakan jasa pendidikan dalam kuantitas juga kualitas. Tantangan akan kuantitas pendidikan menyangkut ketersediaan infrastruktur pendidikan, seperti gedung, sarana prasarana, peralatan pembelajaran dan tenaga guru juga tenaga kependidikan pada semua wilayah. Hal ini menyangkut isu antara wilayah barat

34|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

dan wilayah timur, pedesaan dan perkotaan dan daerah terpencil, terpencar dan termiskin serta terluar. (Untari.2014).

Potretpendidikan di Indonesia pada umumnya, yang sekaligus sebagai perwujudan persoalan pendidikan yang dihadapi di daerah tiga T dapat dilihat dari empat komponen utama: fasilitas sekolah, siswa, tenaga pendidik dan kurikulum. Secara umum, dengan merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS 2015), terdapat 71 ribu desa yang memiliki fasilitas sekolah dasar, sedangkan di seluruh Indonesia terdapat lebih dari 80 ribu kelurahan/desa, jadi konkritnya ada 10.895 desa yang belum memiliki sekolah dasar. Hal ini menunjukkan suatu indikasi bahwa masih banyak masyarakat di desa yang belum mendapat kemudahan dalam mengakses atau mengenyam pendidikan dasar. Angka partisipasi sekolah nasional untuk anak umur 7-12 tahun pada tahun 2014 boleh dibanggakan.

Menurut BPS, persentase anak umur 7-12 tahun yang belum pernah sekolah hanya 0,87 persen dan persentase anak putus sekolah pada umur tersebut adalah 0,21 persen. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan sepertinya sudah tertanam dengan baik. Meskipun demikian berdasarkan data di lapangan, masih dijumpai jutaan anak yang belum dapat merasakan nikmatnya pendidikan. Hal tersebut sangatlah bertentangan dengan target SDGs untuk memberikan kesempatan kepada seluruh anak merasakan pendidikan dasar. Jumlah tenaga pendidik di Indonesia sebenarnya sudah sangat mencukupi. Pada tahun 2014, rasio guru dan siswa mencapai 1:20 yang berarti satu guru hanya harus mengurus kurang dari 20 siswa tingkat sekolah dasar (BPS.2015).

Potretburam pendidikan di Indonesia hingga saat ini terus dibenahi agar empat komponen utama dapat terus ditingkatkan sesuai dengan standar pendidikan yang telah ditetapkan pemerintah (1) fasilitas sekolah, upaya secara bertahap melengkapi fasilitas sekolah, berupa infrastruktur, peralatan, laboratorium dan sebagainya telah dilaksanakan, meskipun belum secara merata. (2) siswa, dilaksanakan dengan memberikan kesempatan mengenyam pendidikan bagi anak-anak usia 7-15 mengikuti wajib belajar 6 tahun dengan biaya dari pemerintah, persoalannya sekalipun telah digratiskan belum menjamin seluruh anak Indonesia mengambil haknya (3) tenaga pendidik, selain dilakukan

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|35

rekruitmen guru juga peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru melalui berbagai kegiatan pendidikan dan latihan dan (4) kurikulum, dilakukan penyempurnaan, perubahan seiring dengan tuntutan jaman. meskipun demkian berlakukan kurikulum yangtidak seragam dimana ada daerah/sekolah yang menggunakan Kurikulum Tingkat satuan pendidikan (KTSP) , Kurikulum 13, Kurikulum 13 perubahan. menambah semakin carut marutnya wajah pendidikan di tanah air. Sekalipun angka partisipasi sekolah nasional untuk anak umur 7-12 tahun pada tahun 2014 boleh dibanggakan, tidak berarti banyak bagi penyelenggaraan pendidikan di daerah 3T. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan sepertinya masih perlu terus ditanamkan dengan baik, sehingga layanan pendidikan di daerah 3 T dapat berkembang seiring dengan daerah lain di Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara para alumnus SM3T , data di lapangan menunjukkan pembenahan empat komponen utama pendidikan belumlah memadai, masih dijumpai anak yang belum dapat merasakan nikmatnya pendidikan. Jumlah tenaga pendidik di daerah 3 T sangat kurang, tidak heran terdapat kelas yang berbeda dirangkap oleh guru yang ada.

Suatu yang umum melihat sekolah dasar dengan gedung permanen, dinding berkeramik, meja kursi bagus, halaman berpafing, taman tertata rapi, almari data siswa, dengan segala pajangan hasil karya siswa yang bagus, tempat ibadah yang representatif, peralatan laboratorium lengkap: komputer, bahasa, IPA, IPS di DKI Jaya, Surabaya, Malang, Palembang, Denpasar dan di wilayah perkotaan lainnya, tidak demikian di pelosok NTB, NTT, Maluku, Papua, siswa di daerah itu mungkin harus puas dengan sekolah dengan atap tua yang senantiasa bocor, meja kursi kurang, dinding yang bolong sana sini yang ditutup peta Indonesia, atau peta dunia yang tidak relevan dengan kebutuhan pembelajaran di kelas tersebut, almari data kalaupun ada tidak cukup bagus, dinding yang retak siap ambruk kapanpun, lantai dengan plester ala kadarnya, dan banyak hal yang tidak mendukung terselenggaranya proses pembelajaran yang kondusif untuk siswa mencapai kompetensinya, kamar mandi atau WC yang kotor dan “pesing”. Siswa di banyak wilayah timur atau di pedesaan tidak pernah kenal isi laboratorium, tidak bebas bermain di halaman karena saat hujan halaman becek

36|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

bak sawah. Bahkan banyak di kecamatan Sulawesi Utara, Lampung, Papua, NTT, murid sekolah dasar pada kelas yang berbeda harus masuk pada kelas yang sama karena terbagi hanya 3 atau 4 kelas sebab mereka tidak memiliki cukup guru, atau bahkan satu kelas dipergunakan untuk 2 kelas yang berbeda tingkatnya (kelas rangkap).(Untari.2014)

Berdasarkan kondisi sebagaimana dijelaskan di atas, menunjukkan betapa potret pendidikan di daerah 3T memiliki masalah yang lebih kompleks. Berbagai keterbatasan yang dialami oleh sekolah, murid, guru dan kurikulum di daerah tersebut. Daerah 3T, yang mayoritas berada di luar pulau Jawa, belum merasakan pemerataan pembangunan.Hasil wawancara dengan informan yakni peserta PPG FIS UM tahun 2016 menjelaskan tentang sekolah-sekolah di pedalaman yang ambruk saat terjadi bencana alam seperti banjir atau puting beliung. Akses menuju sekolah pun terkadang terbatas karena jarak yang jauh atau rute yang tidak aman karena harus menyeberangi sungai, menaiki sampan sederhana yang pada saat arus deras sangat berbahaya. Menurut Ahmad (2009) fakta-fakta lapangan yang demikian tentunya bertentangan dengan upaya untuk melaksanakan pendidikan untuk semua sekaligus bertentangan dengan salah satu target dari tujuan pendidikan SDGs adalah memberikan keamanan peserta didik dari rumah mereka menuju sekolah.