• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDY GUNA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI DAERAH TERTINGGAL

Neni Wahyuningtyas

Universitas Negeri Malang, neni.wahyuningtyas@gmail.com, 082245491386

Abstrak

Beberapa wilayah di daerah terdepan, terluar, tertinggal, dalam penyelenggaraan pendidikan masih terdapat berbagai permasalahan. Rendahnya mutu pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi telah menjadi keprihatinan nasional. Mutu pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari standar mutu internasional. Tujuan artikel ini mencoba mendeskripsikan perilaku guru dalam memperbaiki dirinya dengan cara bersinergi dengan sesama guru (kolegial) melalui Lesson Study (LS) guna meningkatkan mutu pendidikan di daerah tertinggal. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan kondisi yang ada dalam situasi. Subyek dalam penelitian ini adalah peserta PPG SM-3T FIS UM. Dari hasil penelitian dapat diketahui jika kegiatan berbagi pengetahuan dengan sesama guru (kolegial) dalam LS sangat efektif untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan keprofesionalan guru. Pola kolaborasi kolegial terwujud saat kegiatan lesson plan dan refleksi, sekaligus nampak juga saat open lesson. Dengan kegiatan ini guru dapat memperoleh atau membagi ilmu baru dan merencanakan solusi dengan sesamanya dalam mengatasi permasalahan pembelajaran. Pada prinsipnya pembelajaran yang baik tidak bisa jika hanya dibuat oleh diri sendiri. Seseorang perlu mendapatkan bantuan dari orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang efektif. Selain itu dengan penerapan LS ini akan terjalin mutual learning antar sesama komunitas belajar.

Kata Kunci: Sinergi, Kolegialitas, Guru, Lesson Study, Pendidikan, Tertinggal.

PENDAHULUAN

Indonesia terdiri dari berbagai wilayah yang dipisahkan oleh selat dan laut, baik pulau-pulau terdepan dan terluar maupun daerah-daerah tertinggal (3T). Hal ini menjadi penyebab sulitnya upaya pemerataan pembangunan, karena jauhnya jarak yang harus ditempuh untuk mencapai pusat pemerintahan. Kondisi ini menyebabkan kualitas pendidikan tidak merata. Dengan demikian, sangat dibutuhkan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di pulau-pulau terdepan, terluar, dan daerah tertinggal.

Beberapa wilayah di daerah terdepan, terluar, maupun tertinggal, dalam penyelenggaraan pendidikan masih terdapat berbagai permasalahan. Kemendikbud (2012) menjelaskan beberapa permasalahan penyelenggaraan

64|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

pendidikan, utamanya di daerah terdepan, terluar, maupun tertinggal (3T) antara lain adalah permasalahan pendidik, seperti kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched) dsb.

Rendahnya mutu pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi telah menjadi keprihatinan nasional. Mutu pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari standar mutu internasional. Sebaliknya dampak globalisasi menuntut SDM yang berkualitas untuk menunjang daya saing bangsa. Dalam persaingan pasar bebas, hanya bangsa dengan daya saing yang tinggi yang akan mampu mengusai pasar dan memperoleh manfaat ekonomi. Sebaliknya bangsa dengan daya saing rendah akan tereksploitasi dan pada akhirnya harus tunduk pada kemauan bangsa yang yang berdaya saing tinggi.

Oleh sebab itulah guna mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha. Salah satu langkah yang ditempuh dengan meningkatkan profesionalitas guru melalui Program Pendidikan Guru (PPG) Pasca SM-3T. Hal ini menjadi sangat prinsipil mengingat guru memegang peranan sentral dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan.

Di Indonesia ada sekitar 12 Lembaga Pendidik Tenaga kependidikan (LPTK) yang ditunjuk pemerintah untuk melaksanakan PPG SM-3T, salah satunya adalah Universitas Negeri Malang. PPG SM-3T di UM diselenggarakan di enam Fakultas dan akan menggandeng 19 sekolah mitra yang dipilih UM sebagai lokasi praktik, mulai jenjang SD, SMP, hingga SMA dan SMK.

Berdasarkan hasil wawancara dengan peserta PPG SM-3T, diketahui jika menjadi guru di daerah tertinggal banyak sekali hambatannya. Selain aksesbilitas, sarana prasarana yang minim, membuat pembelajaran menjadi menarik susah sekali untuk dicapai. Pembelajaran dengan cara yang telah biasa dilakukan ternyata seringkali tidak efektif. Hal ini dapat diketahui dari hasil evaluasi ujian akhir dimana masih ada beberapa siswa yang tidak memahami materi pelajaran dengan baik.

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|65

Persoalan semacam ini tentunya memunculkan keinginan dari guru untuk memperbaiki dirinya sebagai seorang pengajar. Ada dua bentuk cara yang biasanya dilakukan untuk memperbaiki hal tersebut, bentuk pertama adalah upaya memperbaiki dengan cara-cara sendiri dan kedua adalah upaya memperbaiki diri dengan cara meminta bantuan dari orang lain sesama pengajar.

Pada umumnya sebagai guru kita cenderung akan mengandalkan diri sendiri untuk memperbaiki diri. Perasaan takut kehilangan reputasi sebagai pengajar profesional apabila meminta bantuan orang lain menghalangi guru meminta bantuan dari sesama guru. Tulisan ini akan mencoba melihat perilaku guru dalam memperbaiki dirinya dalam pembelajaran dengan cara bersinergi dengan sesama guru (kolegial) melalui Lesson Study (LS).

LS merupakan model pembinaan guru atau calon guru melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan. LS bukan metode atau strategi pembelajaran, melainkan kegiatan yang menerapkan berbagai metode/ strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi guru ataupun calon guru (Sumar, dkk, 2007: 9). Pada prinsipnya dalam LS ada berbagai kegiatan kolaboratif dari sekelompok komunitas (community) untuk belajar secara bersama-sama, yaitu: (1) merencanakan pembelajaran (plan), (2) melaksanakan pembelajaran di depan kelas dan mengamati jalannya proses pembelajaran (do), dan (3) melakukan refleksi atau melihat lagi pembelajaran yang telah dilaksanakan (see), guna menemukan dan memecahkan masalah pembelajaran yang mungkin muncul, sehingga pembelajaran berikutnya dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik dan efektif.

LS dipilih dan diimplementasikan karena beberapa alasan. Pertama, LS merupakan suatu cara efektif yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan guru atau calon guru dan aktivitas belajar siswa. Hal ini karena (1) pengembangan LS dilakukan dan didasarkan pada hasil “sharing” pengetahuan profesional yang berlandaskan pada praktik dan hasil pengajaran yang dilaksanakan para guru atau calon guru, (2) penekanan mendasar pada pelaksanaan suatu LS adalah agar para siswa memiliki kualitas belajar, (3) kompetensi yang diharapkan dimiliki siswa, dijadikan fokus dan titik perhatian

66|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

utama dalam pembelajaran di kelas, (4) berdasarkan pengalaman real di kelas, LS mampu menjadi landasan bagi pengembangan pembelajaran, dan (5) LS akan menempatkan peran para guru atau calon guru sebagai peneliti pembelajaran.

Kedua, LS yang didesain dengan baik akan menjadikan guru atau calon guru yang profesional dan inovatif. Dengan melaksanakan LS para guru dapat: (1) menentukan kompetensi yang perlu dimiliki siswa, merencanakan dan melaksanakan pembelajaran (lesson) yang efektif; (2) mengkaji dan meningkatkan pelajaran yang bermanfaat bagi siswa; (3) memperdalam pengetahuan tentang mata pelajaran yang disajikan para guru atau calon guru; (4) menentukan standar kompetensi yang akan dicapai para siswa; (5) merencanakan pelajaran secara kolaboratif; (6) mengkaji secara teliti belajar dan perilaku siswa; (7) mengembangkan pengetahuan pembelajaran yang dapat diandalkan; dan (8) melakukan refleksi terhadap pengajaran yang dilaksanakannya berdasarkan pandangan siswa dan koleganya, (Sukirman, 2006: 7).

LS memiliki beberapa manfaat sebagai berikut; (1) mengurangi keterasingan guru (dari komunitasnya), (2) membantu guru untuk mengobservasi dan mengkritisi pembelajarannya, (3) memperdalam pemahaman guru tentang materi pelajaran, cakupan dan urutan materi dalam kurikulum, (4) membantu guru memfokuskan bantuannya pada seluruh aktivitas belajar siswa, (5) menciptakan terjadinya pertukaran pengetahuan tentang pemahaman berpikir dan belajar siswa, dan (6) meningkatkan kolaborasi pada sesama guru (Lewis: 2002:96).

Berdasarkan analisis situasi tersebut di atas, diperoleh rumusan masalah yaitu bagaimanakah mendeskripsikan perilaku guru dalam memperbaiki dirinya dengan cara bersinergi dengan sesama guru (kolegial) melalui Lesson Study (LS) guna meningkatkan mutu pendidikan di daerah tertinggal.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku guru dalam memperbaiki dirinya dengan cara bersinergi dengan sesama guru (kolegial) melalui Lesson Study (LS) guna meningkatkan mutu pendidikan di daerah tertinggal.

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|67

METODE

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan kondisi-kondisi yang ada dalam situasi. Subyek dalam penelitian ini adalah peserta PPG SM-3T FIS UM. Dalam hal ini penulis berperan sebagai observer yang berkolaborasi dengan dosen pendamping PPG SM-3T untuk mengamati pelaksanaan dan merefleksi aktivitas peserta PPG SM- 3T dalam perkuliahan. Pengumpulan data dalam kegiatan ini dilakukan melalui metode observasi pelaksanaan LS.

PEMBAHASAN

Secara operasional, ada tiga tahapan PPG SM-3T UM. Tahapan pertama adalah workshop Subject Spesific Pedagogy (SSP). Tahap ini bertujuan untuk mempersiapkan peserta PPG SM-3T merancang kegiatan pembelajaran. Hasil workshop tersebut adalah rancangan pembelajaran yang berupa perangkat pembelajaran seperti silabus, RPP, bahan ajar, media pembelajaran, evaluasi pembelajaran dsb. Tahap kedua adalah PPL. PPL dilakukan selama satu semester di sekolah guna melakukan praktik reflective activity yang diterangkan dalam kegiatan PTK dan LS. Tahap pamungkas adalah uji kompetensi yang meliputi ujian tulis dan kinerja.

Sebelum melaksanakan PPL di sekolah, peserta PPG SM-3T UM dituntut untuk mengimplementasikan LS dalam pembelajaran di kelas melalui bimbingan dan arahan dari dosen pendamping. Dalam pelaksanaan LS mereka mereka melakukan beberapa tahapan yaitu: (a) tahap perencanaan, (b) tahap pelaksanaan mengajar, dan (c) refleksi. Pada tahap perencanaan, peserta PPG SM-3T dibagi dalam beberapa kelompok. Pembagian kelompok disesuaikan dengan lokasi tempat PPL mereka. Melalui kegiatan perencanaan ini, disepakati beberapa rencana umum, diantaranya perkiraan tanggal open lesson, mengidentifikasi Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar, membuat lesson design yang lebih aktual dan menyiapkan perangkat pembelajaran. Dalam tahapan ini terlihat jika masing- masing kelompok sangat antusias dalam mendiskusikan lesson design yang akan

68|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

digunakan untuk open lesson. Mereka seringkali saling bertukar pikiran dalam memecahkan setiap permasalahan yang muncul.

Untuk tahap berikutnya yaitu setiap kelompok mengembangkan perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang berhasil dikembangkan peserta PPG SM-3T selama tahap perencanaan adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dilengkapi dengan media pembelajaran, LKS, instrumen penilaian dan lembar observasi kegiatan belajar siswa.

Tahap pelaksanaan mengajar, pada tahapan ini peserta PPG SM-3T akan menjadi guru model secara bergantian dan mengajar secara peer teaching. Tahap ini merupakan implementasi dan observasi peserta PPG SM-3T yang telah ditunjuk sebagai guru model untuk melaksanakan pembelajaran dengan berpedoman pada RPP. Sebelum pembelajaran dimulai, dilakukan pertemuan antara guru model dengan komunitas belajarnya. Dalam pertemuan tersebut diinformasikan tentang lesson design yang akan dilaksanakan guru model. Dosen pendamping dan peserta PPG SM-3T yang lain melakukan observasi dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan. Observer mencatat hal- hal positif dan negatif dari siswa dalam proses pembelajaran untuk diutarakan dalam tahap refleksi.

Tahap refleksi, pada tahapan ini peserta PPG SM-3T yang tampil praktik mengajar (guru model) dan para observer dengan dibimbing oleh dosen pendamping sebagai pakar, mengadakan diskusi untuk refleksi tentang pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru model. Langkah pertama adalah memberikan kesempatan peserta PPG SM-3T (guru model) untuk menyatakan kesan-kesannya terutama tentang pengalaman berharga yang diperoleh selama melaksanakan pembelajaran, baik terhadap dirinya maupun terhadap teman sejawat yang berperan menjadi siswa. Langkah berikutnya, observer dan pakar/dosen menyampaikan hasil observasinya, terutama yang menyangkut kegiatan siswa selama pembelajaran berlangsung. Pada tahap terakhir, peserta PPG SM-3T (guru model) yang melakukan praktek mengajar diberikan kesempatan memberikan tanggapan balik atas komentar para observer. Hal yang penting dalam tahap refleksi ini adalah peserta PPG SM-3T (guru model) dapat

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|69

mempertimbangkan kembali rencana pembelajaran yang telah disusun sebagai dasar untuk perbaikan rencana pembelajaran berikutnya. Apakah pembelajaran tersebut telah sesuai dengan RPP dan dapat meningkatkan keaktifan siswa. Jika belum sesuai dengan RPP dan belum dapat meningkatkan keaktifan siswa, maka hal-hal yang belum sesuai tersebut harus diperbaiki baik dalam soal metode, model, materi, atau media. Pertimbangan-pertimbangan ini digunakan untuk perbaikan rencana pembelajaran selanjutnya.

Dari setiap tahapan kegiatan LS yang telah dilakukan oleh peserta PPG SM-3T, dapat diperoleh pembelajaran bermakna bahwa dengan pembelajaran LS dapat membantu peserta PPG SM-3T dalam mencapai tujuan pembelajaran yang berdimensi sosial yaitu mencipatkan komunitas belajar yang berlandaskan prinsip kebersamaan (kolegialitas). Hal ini sangat dimungkinkan mengingat dalam persiapan rencana pembelajaran selalu terjadi komunikasi intensif dan kemudian dilaksanakan secara bersama-sama (kolaboratif) antara peserta PPG SM-3T dan dosen pendamping. Menurut Hendayana (2007) jika prinsip kolaborasi akan memfasilitasi para guru untuk membangun komunitas belajar yang efektif dan efisien, sedangkan prinsip berkelanjutan akan memberi peluang bagi guru untuk menjadi masyarakat belajar sepanjang hayat.

Guru yang memiliki budaya belajar secara kolaboratif akan mampu menjadi guru profesional sehingga akan menunjang dalam peningkatan mutu pembelajaran. Menurut Goodsaon & Hargreaves (dalam Saito, dkk, 2015:25) dijelaskan melalui kegiatan dialog diantara sesama guru inilah terbentuk kolaborasi kolegial. Tentunya kolaborasi kolegial ini akan semakin berkualitas jika dialog melibatkan narasumber dari pakar pendidikan sesuai bidangnya, dalam hal ini adalah dosen pendamping.

Pada prinsipnya pembelajaran yang baik memang tidak bisa jika hanya dibuat oleh diri sendiri. Seseorang perlu mendapatkan bantuan dari orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang efektif. Senada dengan hal ini Sato, Masaaki (2006) dan Sato, Manabu (2006) berpendapat bahwa strategi kolaboratif dirancang agar tidak ada satupun pebelajar yang tidak dapat mencapai tujuan pembelajaran. Melalui usaha ini, ketidakberhasilan siswa dapat diperkecil.

70|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

Perencanaan yang dilakukan secara bersama-sama (kolaboratif) dapat menjadi modal utama untuk mewujudkan pembelajaran yang lebih efektif karena banyaknya aspirasi, saran, dan masukan dari berbagai pihak. Selain itu dengan penerapan LS ini terjalin mutual learning, dimana peserta kegiatan LS tidak boleh merasa superior (merasa paling pintar) atau inferior (merasa rendah diri) tetapi semua peserta LS harus memiliki niat untuk saling belajar. Peserta PPG SM-3T yang sudah paham atau memiliki pengetahuan lebih harus mau berbagi dengan peserta lain yang belum paham, sebaliknya peserta yang belum paham harus mau bertanya peserta yang sudah paham.

Senada dengan hal tesebut Susilo, dkk (2009) menjelaskan perlu ada perubahan bagi guru yang memiliki ego yang tinggi, merasa super, tidak mudah menerima masukan untuk perbaikan pembelajaran. Mindset guru perlu diperbaiki agar dapat berkolaborasi dan sharing dengan guru lain serta dapat terbuka untuk perbaikan pembelajaran. Pada pelaksanaan LS sangat diperlukan interaksi di antara guru yang terlibat dalam LS tersebut sehingga terwujud suatu kerjasama untuk perbaikan kualitas pembelajaran. Dengan demikian, guru dapat membangun learning community melalui kegiatan LS.

Dari hasil LS juga didapatkan temuan jika: (1) bagi guru kegiatan berbagi pengetahuan sangat diperlukan karena mereka sering dihadapkan pada masalah yang tidak dapat ia selesaikan dengan cara sendiri; (2) Anggota kelompok yang terlalu besar tidak menjamin adanya kerja belajar dan sharing yang efektif; (3) Setiap anggota kelompok memiliki rasa memiliki, kekompakan dalam kelompok, keberhasilan kelompok sangat ditentukan oleh kekompakan anggota-anggota dalam kelompok tersebut; (4) Diperlukan tanggung jawab masing-masing anggota kelompok, kesadaran tanggung jawab masing-masing anggota kelompok dalam belajar sangat mendukung keberhasilan kelompok misal dalam melakukan observasi aktivitas teman sejawat yang menjadi siswa; (5) Terdapat kegiatan komunikasi tatap muka yang baik antar anggota kelompok. Adanya komunikasi ini dapat mendorong terjadinya interaksi positip, sehingga akan lebih mudah dalam menghargai pendapat, menerima saran, kritik, menghargai perbedaan pendapat yang selalu terjadi dalam suatu komunitas; (6) Anggota kelompok dapat

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|71

saling asah, saling asih dan saling asuh; (7) Anggota-anggota kelompok berlatih untuk mengevalusi aktivitas pembelajaran, belajar menerima hasil evaluasi dari teman sesama anggota kelompok, pada akhirnya dapat menumbuhkan rasa toleransi pendapat dan bergaul dalam hidup bermasyarakat.

Pengalaman bermakna lainnya yaitu bahwa pembelajaran bukan hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa. Pemberian materi yang instan tidaklah efektif karena justru membuat siswa tidak belajar. Memberikan materi yang terlalu lengkap dan instan tidak akan menantang siswa untuk berpikir kritis dan pembelajaran yang diperoleh siswa cenderung akan tidak bermakna. Begitu juga disampaikan oleh Syamsuri dan Ibrohim (2008) kewajiban sebagai pendidik tidak hanya transfer ofknowledge, tetapi juga dapat mengubah perilaku dan memberikan dorongan yang positif, sehingga peserta didik termotivasi memberi suasana belajar yang menyenangkan agar kemampuannya dapat berkembang maksimal.

SIMPULAN

Beberapa wilayah di daerah terdepan, terluar, maupun tertinggal, dalam penyelenggaraan pendidikan masih terdapat berbagai permasalahan. Rendahnya mutu pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi telah menjadi keprihatinan nasional. Mutu pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari standar mutu internasional. Oleh sebab itulah guna mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha. Salah satu langkah yang ditempuh dengan meningkatkan profesionalitas guru melalui Program Pendidikan Guru (PPG) Pasca SM-3T. Kegiatan berbagi pengetahuan dalam LS yang dilakukan guru peserta PPG SM-3T sangat efektif untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan keprofesionalan guru. Dengan kegiatan ini guru dapat memperoleh atau membagi ilmu baru dan merencanakan solusi dengan sesama guru dalam mengatasi permasalahan pembelajaran. Pada prinsipnya pembelajaran yang baik tidak bisa jika hanya dibuat oleh diri sendiri. Seseorang perlu mendapatkan bantuan dari orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang efektif.

72|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

Selain itu dengan penerapan LS ini terjalin mutual learning, dimana peserta LS memiliki niat yang sama untuk menciptakan komunitas belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Hendayana, S. 2007. LS Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik. Bandung: FPMIPA UPI dan JICA.

Hord, Shirley, M. 1997. Professional Learning Communities: What Are They and Why Are They Important. http://www.ncrel.org/.

Kemendikbud. 2012. Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia melalui SM-3T. Jakarta: Kemendikbud

Lewis, C.C. 2002. What are the Essential Elements of LS? The CPS Connection. 2. 23(4): 15-18.

Saito, E., dkk. 2015. Lesson Study for Learning Community: a Guide to Suistainable School Reform. London: Routledge.

Sato, Manabu. 2006. Tantangan yang Harus Dihadapi Sekolah (Terjemahan). Tokyo: SITTEMS-JICA

Sato, Masaaki. 2006. Perlunya Pembelajaran Kolaboratif (Terjemahan). Tokyo: SITTEMS-JICA

Sukirman. 2006. Peningkatan Profesional Guru Melalui LS.Makalah Pelatihan LS Bagi Guru-Guru Berprestasi dan Pengurus MGMP Se-Indonesia.

Sumar H dkk. 2007. LS: Suatu Strategi Untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik (Pengalaman IMSTP-JICA). Bandung: FPMIPA UPI dan JICA. Susilo, H. 2010. LS Berbasis MGMP sebagaiSarana Pengembangann

Keprofesionalan Guru. Malang: Surya Pena Gemilang.

Syamsuri, I; Ibrohim, & Joharmawan, R. 2008. Studi Pembelajaran (LS): Sebuah Model Pembinaan Profesionalisme secara Berkelanjutan. Malang: FMIPA UM.

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|73

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PADA KOMUNITAS ADAT SENARU,