• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Negeri Surabaya, email: riyadi.unesa@gmail.com, Hp. 085647073468 Eko Satriya Hermawan

Universitas Negeri Surabaya, email: ekosatrio.unesa@gmail.com, Hp. 08563170312 Agus Trilaksana

Universitas Negeri Surabaya, email: agusreog67@yahoo.com, Hp. 081335737996

Abstrak

Batik berasal dari Jawa meskipun di wilayah lain di Nusantara terdapat kerajinan berbahan dasar kain dengan motif yang sekilas mirip batik. Batik dalam konsepsi Jawa

berasal dari kata “tik”, yang dalam bahasa Jawa berarti sesuatu yang kecil. Dalam bahasa Jawa ditemukan istilah lain, yakni “klitik”. Penggunaan kata “tik” juga dijumpai dalam

pabatik” yang dalam istilah Suku Dayak di Kalimantan berarti ”tato”. Dan “bitik” yang

berarti menggambar atau menulis. Di Minahasa dijumpai kata “mahapantik” yang berarti menulis. Dengan demikian kata “ambatik” berasal dari kata “tik” yang berarti menulis atau melukis sesuatu yang kecil. Dalam konteks ini dipersepsikan bahwa batik adalah kerajinan merangkai atau menghubungkan dari titik-titik satu ke titik-titik yang lain, sehingga menjadi pola tertentu mengikuti pakem baku dalam seni membatik. Batik tumbuh dan berkembang selaras dengan kultur, sehingga bagi orang Jawa batik selalu mewarnai sejak kelahiran yang dijemput dengan baik sampai meniinggal yang juga ditutup dengan batik. Kelekatan batik ini tidak membedaan linta etnisitas, termasuk juga

etnis Tionghoa yang ”terjebak” dalam budaya Jawa di Solo. Dalam penelitian ini

digunakan metode sejarah berusaha menggali aktivitas usaha batik masyarakat Tionghoa di Solo. Hasil yang diperolah yakni eksistensi batik yang lekat dengan keraton, membuat batik berkembang pesat seiring fungsi keraton juga sebagai pusat kebudayaan dan kesenian sehingga usaha batik inipun diikuti masyarakat di luar istana. Batik dengan begitu cepat memiliki potensi ekonomis yang begitu besar juga dimanfaatkan etnis Tionghoa yang membawa transformasi identitas sebagai orang Jawa.

Kata Kunci: Batik, Tionghoa, Solo

PENDAHULUAN

Mengapa kehidupan orang Tionghoa selalu identik dengan aktivitas perniagaan serta bagaimana perkembangan aktivitas ekonomi tersebut mampu menjadi perekat sosial antara Tionghoa dengan orang Jawa? Apakah terjadi pergeseran yang berarti pada aktivitas ekonomi Tionghoa di Balong seiring perubahan rezim di Indonesia pada paruh kedua abad ke-20? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu memerlukan pemahaman tentang kegiatan ekonomi

184|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa masyarakat Tionghoa mulai periode yang lebih awal ketika komunitas ini menetap di Surakarta.

Dimulai pada abad ke-20, kegiatan perdagangan yang dilakukan orang Tionghoa di Balong semakin memegang peran penting dalam sistem ekonomi masyarakat Surakarta yang ketika itu digunakan lebih dari satu sistem ekonomi, mulai dari kolonial, kerajaan, hingga swasta. Diantara ketiga sistem itu, swasta jauh lebih pesar berkembang sedangkan kolonial sudah mulai mendekati masa- masa kebangkrutan dan sistem kerajaan semakin tergerus modernisasi sehingga tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam kondisi demikian para pelaku ekonomi Tionghoa mulai membentuk kongsi-kongsi kecil yang didasarkan pada dua hal yaitu, suku asli serta jenis bidang usaha yang dilakukan. Sesama anggota kongsi ini memiliki solidaritas yang kuat untuk membangun jaringan ekonomi yang lebih luas. Sebagai contoh, sub etnis Tionghoa terbesar di Surakarta yaitu Hokkian yang umumnya memiliki usaha pada bidang hasil bumi dan toko besi. Sub etnis Hokjia sebagai pedagang tekstil di Pasar Klewer, sub etnis Hakka sebagai pedagang kelontong dan alat-alat rumah tangga, pada kelompok sub etnis yang lebih kecil seperti Hinhua sebagai pelaku ekonomi pada bidang usaha otomotif, sedangkan Hok Ciu pada bidang usaha perhiasan emas, Kwong Fu pada bidang usaha mebelair, furnitur dan elektronik, dan yang terakhir sub etnis Hope sebagai ahli gigi.1 Masyarakat Tionghoa di Balong ataupun Surakarta tidak ada yang

menjadi petani, hal ini yang menunjukkan perbedaan dengan Tionghoa di wilayah Surakarta dengan wilayah lain.2

Sejak awal, aktivitas ekonomi etnis Tionghoa di Surakarta sudah menjalin hubungan dengan pelaku ekonomi orang Jawa.3 Yang dimaksud pelaku ekonomi

1 M. Hari Mulyadi, “Sejarah Peranan dan Potensi Masyarakat Etnis Tionghoa di

Surakarta”, dalam Kalimatun Sawa’, Vol. 02, No. 02, 2004, hlm. 33-34.

2 Bukan tanpa alasan etnis Tionghoa banyak melakukan aktivitas ekonomi di kota, karena kota dianggap memiliki potensi hubungan multi etnik yang lebih kompleks dengan tingkat persaingan yang lebih tajam, meskipun demikian proteksi keamanan juga lebih mudah didapatkan di kota. Potensi yang dimiliki kota itulah yang menarik perhatian pengkaji masalah sosial, politik dan budaya. Lebih lanjut lihat Ahmad Habib, Konflik Antar Etnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Tionghoa-Jawa, (Yogyakarta: Lkis, 2004), hlm. ix-xiii.

3 Benedict Anderson, Richard Robison, Charles A. Coppel, J.A.C. Mackie, dan Harol Crouch berpendapat bahwa sebesar apapun kegiatan ekonomi yang dilakukan orang-orang Tionghoa tidak akan menjadi borjuasi karena mereka tidak melibatkan diri dalam politik praktis.

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|185

Jawa salah satunya yaitu pengusaha Laweyan yang bergerak dalam bidang tekstil dan batik.4 Bukti-bukti interaksi dagang lintas etnis terlihat dari letak

perkampungan etnis Tionghoa di tepi Sungai Pepe yang terhubung langsung oleh Sungai Bengawan Solo. Struktur geografis ini yang memudahkan arus distribusi barang menuju Laweyan dengan menggunakan jalur sungai. Sementara itu tipe rumah milik orang-orang Tionghoa tinggal di tepi Sungai Pepe pada umumnya berbentuk ruko, serta pada bagian belakangnya menjorok ke sungai. Hal ini untuk: (1) pemindahan barang-barang dari ruko menuju sungai, dan (2) arus distribusi barang menuju kawasan konsumen di sepanjang sungai. Dimungkinkan juga sebagai satu bentuk pertahanan Tionghoa agar cepat berpindah tempat ketika situasi di lingkunganya tidak aman.

Masyarakat Tionghoa di Kampung Balong selain berdagang juga mengembangkan industri rumah tangga dan industri batik. Pada awal abad ke-20 timbul kompetisi antara etnis Tionghoa dan Pribumi berkaitan dengan penguasaan bahan baku batik dan industri batik.5 Pengusaha Tionghoa telah menanamkan modal ke dalam industri batik di Surakarta sejak akhir abad ke-19, dan awal abad ke-20. Bahan baku pembuatan kain batik yang meliputi kain mori, lilin, dan bahan pewarna dimonopoli oleh pedagang-pedagang Tionghoa dan Arab.

Pada tulisan ini akan mengkaji bagaimana bentuk aktivitas ekonomi masyarakat Tionghoa pinggiran di Surakarta dalam usaha batik sejak awal abad XIX? Pada bagian terakhir ini juga akan membahas aktualisasi kebudayaan Tionghoa di tengah budaya Jawa. Hal itu untuk membuktikan apakah kebudayaan Tionghoa di Surakarta memiliki fungsi akulturatif atau sebagai bentuk luapan romantisme tentang Cina.

Etnis Tionghoa akan eksis bila beraliansi dengan pribumi, karena legitimasi dan keamanan mudah didapat dibanding bertahan dengan corak ke-Tionghoa-an. Lihat Twang Pek Yang, Elite Bisnis Tionghoa di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950, (Yogyakarta: Niagara, 1998), hlm. 12-13.

4 Susanto, ”Surakarta Tipologi Kota Dagang”, dalam Diakronik, Vol. 2, No. 6, januari 2005, (Surakarta: Jurusan Ilmu Sejarah UNS, 2005), hlm. 4-5.

5 Produksi kain batik di Surakarta sudah dimulai sebelum tahun 1830. Lihat Vincent J.H. Houben, Kraton dan Kumpeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870 (Leiden, KITLV Press, 1994), hlm. 250.

186|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah.6

Pendekatan sejarah sosial relevan digunakan dalam penelitian ini karena dalam pendekatan sejarah sosial memiliki cakupan topik yang sangat luas serta komprehensif.7 Sebagai sebuah ilmu, sejarah mempunyai metodenya sendiri untuk

membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif. Penelitian historis ini, menurut Ernest Bernheim, memiliki empat tahapan pokok: Pertama, heuristik, yaitu mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan topik penelitian; Kedua, melakukan kritik sumber baik ekstern maupun intern; Ketiga, melakukan interpretasi. Pada tahap ini dilakukan sintesis terhadap fakta-fakta yang diperoleh melalui kritik sumber atau disebut juga dengan analisis sumber. Keempat, historiografi, yakni penyajian data tersebut dalam bentuk tertulis.8

PEMBAHASAN

Salah satu industri batik yang berdiri pada abad ke-19 di Kampung Balong adalah milik orang tua Go Tik Swan Hardjonagoro. Dengan kesibukkan mengelola industri batik dan usaha kelontong, membuat Go Tik Swan harus dititipkan kepada kakeknya.9 Gambaran ini menunjukkan bahwa Tionghoa hanya sebagai pedagang adalah salah sampai sekarang Industri batik yang besar di Surakarta sebagian milik orang Tionghoa. Sejak tahun 1930, Masyarakat

6 Metode penelitian sejarah adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut. Metode penelitian sejarah merupakan suatu usaha untuk memberikan interaksi dari bagian tren yang naik turun suatu status generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan sejarah, membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang akan datang. Metode sejarah disebut juga prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data peninggalan masa lampau untuk memahami masa sekarang dalam hubungannya dengan masa lampau.

7 Setiap gejala sejarah yang memanifestasikan kehidupan sosial suatu komunitas atau kelompok, dapat disebut sejarah sosial. Sejarah sosial juga dipahami sebagai penulisan sejarah yang mencakup berbagai aspek kehidupan manusia kecuali aspek politik. Lihat, Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992) hlm. 50.

8 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995) hlm. 99. 9 Lihat Rustopo, Jawa Sejati:... op. cit., hlm. 19-20.

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|187

Tionghoa di Surakarta telah memiliki berbagai pekerjaan selain sebagai pedagang, lihat tabel berikut:

Tabel 1. Persentase Klasifikasi Pekerjaan Orang Tionghoa di Surakarta Menurut Jenis Kelamin Tahun 1930

Pekerjaan Laki-laki Perempuan Total

Produksi bahan mentah 3,77 0,72 3,19

Industri 24,03 33,72 25,87

Transportasi 2,31 0,36 1,94

Perdagangan 61,79 54,93 60,50

Pekerjaan bebas 3,09 1,95 2,87

Pegawai pemerintah 0,56 - 0,45

Jenis pekerjaan lain 4,45 8,32 5,18

Total 100,00 100,00 100,00

Sumber: Volkstelling 1930

Perkembangan industri batik Tionghoa pada awal abad ke-20 juga ditopang oleh pembangunan sarana transportasi. Jalur kereta api beserta stasiun selesai dibangun pada awal abad ke-20 yang menghubungkan daerah-daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat berdampak positif terhadap industri batik di Surakarta.10 Pembangunan jalur kereta api ke berbagai daerah di Jawa

memungkinkan jumlah pengiriman batik lebih banyak, misalnya Surabaya, Jakarta dan Bandung. Keberadaan jalur kereta api tidak saja memperlancar transportasi bahan baku batik, termasuk produksi kain batik itu sendiri.11

Menjelang tahun 1900 batik menjadi kebutuhan primer masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra dan pulau-pulau lainnya. Batik Surakarta mampu bersaing dengan batik Pekalongan, Jogjakarta maupun batik pesisir pantai utara Jawa. Kurun waktu di atas menunjukkan bahwa pemasaran batik Surakarta sudah

10 Di Purwosari dibangun stasiun yang menghubungkan Surakarta dengan Jogjakarta. Jalur menuju timur, yakni menuju Surabaya, melalui Stasiun Jebres. Lebih lanjut lihat Kuntowidjoyo, The making of A Modern Urban Ecology: Social and Economic History of solo, 1900-1915 dalam Lembaran Sejarah, hlm. 10

11 Shiraishi, An Age in Motion Populer Radicalism in Java, 1912-1926, (Ithaca and London: Cornell University Press, 1990), hlm, 24.

188|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa sampai di Singapura, Suriname maupun negara-negara lain.12 Kondisi pasar batik di atas berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi etnis Tionghoa di Surakarta, baik sebagai pedagang kelontong, pedagang perantara, perkreditan serta penjualan candu yang juga mengikuti arus perdagangan batik.13

Di Surakarta orang Jawa, Tionghoa, Arab dan sedikit orang Eropa yang masuk dalam kegiatan industri dan perdagangan batik. Orang Jawa mendominasi produksi batik Surakarta, meskipun orang-orang Tionghoa dan Arab turut memproduksi. Bahkan orang-orang Tionghoa dan Arab memonopoli bahan baku, sehingga timbul ketergantungan terhadapnya. Perusahaan batik milik orang Tionghoa berada di sebelah timur laut Kota Surakarta, yakni di Kampung Warungpelem dan Balong.14 Semantara itu, peruahaan batik milik orang-orang Arab berada di kawasan Pasar Kliwon.15

Orang-orang Tionghoa di Balong selain memproduksi batik juga berdagang bahan dan obat-obatan batik.16 Hampir seluruh pedagang Jawa mempercayakan orang Tionghoa dalam memenuhi kebutuhan bahan-bahan untuk produksi batik. Penguasaan bahan baku industri batik sudah dilakukan sejak tahun 1870-an. Pengusaha batik pribumi berhubungan baik dengan pedagang-pedagang Tionghoa karena batas keuntungan yang diambil tidak berlebihan dan adanya kemudahan dalam pembayaran.17 Kemudahan pemberian kredit berdasarkan kepercayaan pribadi dan memberi kredit berdasarkan perjanjian lisan, baik mengenai bunga maupun pembayaran ansurannya.18

12 Susane Brener April, Domesticatig the Market History, Culture and Economy in A Javanese Merchant Community, Disertation for the degree Doctor of philosophy in Antropology, (Ithaca, Cornell University, 1991), hlm. 42.

13 Ketika batik masih dimonopoli keraton serta lingkup keluargannya, batik kurang dapat berkembang. Namun ketika batik mulai dibuka bagi kalangan bukan aristokrat kerajaan, maka batik berkembang sangat pesat. Lihat Soetopo, Batic Education and Culture, (Jakarta: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan), hlm. 3.

14 Salah satu artefak yang masih dapat dilihat di masa sekarang adalah Pabrik Batik Merk Tiga Negeri milik bapak Wijaya, seorang etnis Tionghoa, yang diwarisinya setelah tiga generasi. Sebenarnya istilah “tiga negeri” dalam merek batik itu merupakan salah satu motif yang menggabungkan antara batik keraton dan pisisir, serta batik pedalaman.

15 Lihat Shiraishi, 1990, hlm. 24. Sajid, Babad Solo, hlm. 64.

16 Sariyatun, Usaha Batik Masyarakat Tionghoa Vorstenlanden Surakarta Awal Abad XX, (Surakarta, UNS Press, 2005), hlm. 75.

17 J. S. Furnifall, Netherland Indie: Study of Prural Economy, (Cambridge, Cambridge University Press,1939), hlm 213-214.

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|189

Harmonisasi Tionghoa-Jawa mulai luntur pada awal abad ke-19, karena orang-orang Tionghoa menguasai industri batik dari hulu hingga hilir. Mereka di samping sebagai pengusaha batik, juga memonopoli bahan baku industri batik. Bahkan cara penyaluran bahan baku industri batik dilakukan secara kredit. Cara ini berakibat pengusaha Pribumi tergantung kepada etnis Tionghoa.19 Faktor di

atas yang memacu munculnya konflik antara etnis Tionghoa dan Pribumi. Konflik di samping faktor penguasaan bahan baku juga munculnya kesombongan etnis ini setelah keberhasilan Revolusi Tiongkok 1911.20 Menurut Agus Salim yang

dikutip Deliar Noer bahwa Revolusi Tiongkok 1911 telah memicu perubahan sikap orang-orang Tionghoa di Surakarta. Orang-orang Tionghoa memandang rendah para pengusaha dan pedagang pribumi yang bergerak dalam industri batik. Hal ini menimbulkan ketegangan antar mereka, bahkan orang Tionghoa memandang dirinya sejajar dengan bangsa Belanda, meskipun kebijakan diskriminasi sosial tetap diberlakukan kepadanya oleh pemerintah kolonial, yaitu sebagai kelompok timur asing.21 Dalam konteks ini pemerintah kolonial Belanda justru berpihak kepada etnis Tionghoa. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa pemerintah Belanda merasa aman dan effisien untuk memungsikan etnis Tionghoa sebagai penghubung ekonomi kapitalis dengan pedagang-pedagang pribumi, dan tidak perlu memberi kekuatan politik dalam birokrasi kepada etnis Tionghoa di Hindia Belanda.22 Keadaan ini mengakibatkan perdagangan

menengah dikuasa oleh etnis Tionghoa.

Kerajinan batik yang diproduksi oleh orang-orang Tionghoa, proses pembuatannya tetap mengacu pada konsep yang dilakukan pengusaha Pribumi. Sementara itu, ciri dan ragam hias batik mengacu pada seni tradisional. Ragam hias dipadukan dengan lambang-lambang mitologi budaya Tionghoa. Ragam hias yang paling popular adalah burung Phoenix, kupu-kupu, angsa, dan itik. Usaha batik yang dilakukan orang-orang Tionghoa di Kampung Balong berhasil membangun jaringan perdagangan yang sangat luas.

19 Sariyatun, op. cit. hlm.80.

20 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 114-116.

21 Ibid., hlm. 116.

190|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa Kemampuan menguasai jaringan perdagangan yang sangat luas, karena usaha mereka mencakup tiga bidang, yakni: (1) proses produksi batik, (2) perdagangan bahan baku batik, dan (3) perdagangan kain batik. Tiga kegiatan ini membentuk jaringan ekonomi masyarakat Tionghoa yang sangat luas dan saling mendukung.

Sementara itu kepemilikan perusahaan yang bersifat turun temurun menjadikan usaha batik etnis Tionghoa tetap eksis dalam persaingan dengan pengusaha Jawa. Sebagai contoh, usaha batik bermerk “Tiga Negeri” hingga saat ini terus berproduksi di Kampung Balong, dan perusahaan ini akan terus diwariskan secara turun temurun pula.23 Salah satu tokoh pengusaha batik Surakarta dari keturunan Tionghoa adalah Go Tik Swan.24 Dia seorang etnis Tionghoa generasi ke lima yang datang di Jawa. Mulai dari canggah Go Tik Swan, Tjan Khay Sing, yang memiliki usaha batik.

Usaha yang ditempuh pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi usaha pribumi terbentur pada aktivitas orang Tionghoa yang bergabung dengan orang Jawa, selain itu keberadaan orang Tionghoa juga sangat diinginkan orang Jawa. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial tidak mampu memberikan solusi praktis yang dapat menghambat usaha etnis Tionghoa. Sebagai perbandingan adalah peminjaman kredit bank-bank milik pemerintah kolonial harus menggunakan persyaratan yang lebih pelik, maka pengusaha Jawa cenderung memilih berkredit dengan orang Tionghoa.

Surakarta yang berkembang menjadi daerah swapraja membuat pengusaha makin semarak di daerah ini, termasuk orang-orang Eropa. Perdagangan orang Tionghoa ditempatkan di bawah hukum perdata Eropa (Europe Civil Code Tahun 1855). Dengan landasan undang-undang itu, etnis Tionghoa ditempatkan pada kedudukan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Jawa.25 Dengan

23 Ibid., hlm. 101.

24Go Tik Swan adalah orang yang mendapat perintah untuk membuat “batik Indonesia”

oleh Presiden Seokarno. Batik tersebut sepintas terlihat perpaduan antara ragam batik Jawa, dipadu dengan Batik Pekalongan, batik pesisir utara Jawa serta sentuhan gaya Bali.

25 Budi Santoso, Rekayasa Kekuasaan Ekonomi (Indonesia 1800-1950); Siasat Pengusaha Tionghoa, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 12.

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

|191

posisi di tengah-tengah antara Eropa dan Pribumi membuat orang-orang Tionghoa mampu menarik keuntungan dari kedua belah pihak.

Pada paruh kedua abad ke-19, produksi batik untuk keperluan eksport sudah dihasilkan oleh orang-orang Tionghoa. Para wanita pribumi yang menjadi istri saudagar batik Tionghoa memegang peran penting dalam proses produksi. Para wanita berkewajiban mengontrol kualitas batik. Para pekerja yang umumnya Pribumi dikenakan disiplin secara ketat untuk menghasilkan batik berkualitas baik. Orang Tionghoa merupakan tangan pertama yang melakukan eksperimen warna sintetis, sehingga pewarnaan batik lebih cerah dan beragam. Jenis warna yang dipakai umumnya pewarna tiruan yang tahan terhadap sinar matahari.26

Ketika batik cap sangat populer pada abad ke-19, orang-orang Tionghoa di Kampung Balong tergerak untuk melibatkan diri dalam industri batik cap. Dari perspektif ekonomi, teknik batik cap dirasa lebih menguntungkan, lebih cepat proses pengerjaan, dan dijual dengan harga murah.27

SIMPULAN

Eksistensi batik yang lekat dengan keraton, membuat batik berkembang pesat seiring fungsi keraton juga sebagai pusat kebudayaan dan kesenian sehingga usaha batik inipun diikuti masyarakat di luar istana. Batik dengan begitu cepat memiliki potensi ekonomis yang begitu besar sehingga industri batik di Laweyan maupun industri batik milik etnis Tionghoa merupakan usaha yang prestisius. Sentra industri batik mulai bermunculan di kawasan pinggiran Surakarta sehingga muncul batif dengan motif-motif baru, baik itu motif Cina maupun lokal. Sentra industri tersebut mengusung model atau corak yang khas. Hingga tahun 1870 batik merupakan barang eksklusif dan dewasa ini hampir setiap lapisan masyarakat menggemari batik termasuk masyarakat Tionghoa di Solo.

26 Shiraishi, op. cit.

192|

SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Habib. 2004. Konflik Antar Etnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Tionghoa-Jawa.Yogyakarta: Lkis.

Budi Santoso. 1996. Rekayasa Kekuasaan Ekonomi (Indonesia 1800-1950); Siasat Pengusaha Tionghoa. Yogyakarta: Kanisius.

Deliar Noer. 1980. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

J. S. Furnifall. 1939. Netherland Indie: Study of Prural Economy. Cambridge: Cambridge University Press

Kofer. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Gravity Press.

Kuntowidjoyo, The making of A Modern Urban Ecology: Social and Economic History of solo, 1900-1915 dalam Lembaran Sejarah, hlm. 10

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya. M. Hari Mulyadi, “Sejarah Peranan dan Potensi Masyarakat Etnis Tionghoa di

Surakarta”, dalam Kalimatun Sawa’, Vol. 02, No. 02, 2004, hlm. 33-34. Rustopo. 2007. Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di

Surakarta 1895-1998. Yogyakarta: Ombak.

_________. 2008. Jawa Sejatai: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro. Yogyakarta-Jakarta: Ombak-Yayasan Nabil.

Sajid, R.M.. 1984. Babad Sala. Surakarta: Rekso Pustoko.

Sariyatun. 2005. Usaha Batik Cina di Vorstenlanden Surakarta Awal Abad XX. Surakarta: UNS Press.

Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Shiraishi. 1990. An Age in Motion Populer Radicalism in Java, 1912-1926. Ithaca and London: Cornell University Press.

Soetopo. 1990. Batic Education and Culture. Jakarta: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Susane Brener April, Domesticatig the Market History, Culture and Economy in A Javanese Merchant Community, Disertation for the degree Doctor of philosophy in Antropology, (Ithaca, Cornell University, 1991), hlm. 42. Susanto, ”Surakarta Tipologi Kota Dagang”, dalam Diakronik, Vol. 2, No. 6,

januari 2005, Surakarta: Jurusan Ilmu Sejarah UNS, 2005, hlm. 4-5. Twang Pek Yang. 1998. Elite Bisnis Tionghoa di Indonesia dan Masa Transisi

Kemerdekaan 1940-1950. Yogyakarta: Niagara.

Vincent J.H. Houben. 1994. Kraton dan Kumpeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870. Leiden: KITLV Press.