• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBENIHAN IKAN BAUNG Hemibagrus nemurus

BAB IV.

PEMBENIHAN IKAN BAUNG Hemibagrus nemurus

Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Deni Radona, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan

PENDAHULUAN

Ikan baung merupakan salah satu jenis komoditas air tawar yang relatif mahal di Indonesia dengan kisaran harga antara 40.000-60.000 ribu/kg, (Muflikhah et al., 2006). Menurut Gustiano et al., (2015) ikan ini merupakan salah satu sumber daya genetik dari 22 jenis ikan air tawar yang dapat digunakan untuk diversifikasi usaha budidaya. Faktor penyebab terjadinya penurunan populasi ikan baung di alam terjadi akibat eksploitasi “penangkapan berlebih dan usaha budidaya menggunakan benih hasil tangkapan alam (Prianto et al., 2015). Ikan baung merupakan jenis karnivor yang memakan ikan, kodok, serangga, cacing tanah, berudu, dan udang. Oleh karena itu, ikan baung sering disebut juga sebagai “top predator” ikan air tawar. Di alam ikan baung melakukan migrasi dari sungai atau badan air sebagai habitat utamanya ke daerah genangan atau banjiran pada waktu musim penghujan (Muflikhah et al.,2006).

Ikan baung dikenal dengan nama lokal tagih (Jawa Barat), senggal atau singah (Jawa Tengah), bawon (Jakarta dan Malaysia), baon (Malaysia), niken, siken, tiken, bato, baung putih (Kalimantan Tengah), dan baong (Sumatera).

Beberapa alasan ikan baung menjadi komoditas mendukung kuliner terutama di daerah Sumatera dan Kalimantan, dikarenakan memiliki cita rasa serta kualitas dagingnya yang lezat (berdaging tebal, sedikit berduri, dan memiliki rasa yang lezat).

Harga ikan ukuran konsumsi dalam bentuk ikan asap (salai) dengan harga 100.000 ribu/kg (Muflikah et al., 2006). Hasil analisis komoditas melaporkan bahwa preferensi konsumen terhadap komoditas ikan baung menduduki posisi kelima dari 15 komoditas yang dikaji di Kalimantan Selatan (Sukadi et al., 2009).

Upaya budidaya ikan baung pertama kali dilaporkan oleh Gaffar & Muflikhah (1992). Kegiatan budidaya dan penelitian ikan baung mulai marak awal tahun 2000.

44 I Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Deni Radona, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

Sampai saat ini, pengadaan benih merupakan faktor pembatas karena pembenihan ikan baung masih dilakukan secara buatan, karena ketidakmampuan ikan baung berkembangbiak diwadah penangkaran, sehingga pasokan benih baung sebagian besar berasal dari alam. Makalah ini berisikan bahasan reproduksi ikan baung dengan penekanan pada pengenalan jenis,seleksi induk, pemijahan, pemeliharaan larva, dan pendederan sehingga diperoleh ikan ukuran benih.

SELEKSI INDUK

Perkembangan budidaya ikan baung di Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun 1983 (Rifai et al., 1988), sedangkan proses pemijahannya baru dimulai tahun 1991. Pemijahan ikan baung dilakukan secara buatan, pada awalnya menggunakan hormon dari ekstrak kelenjar hifopisa ikan mas Cyprinus carpio dan ditambahkan Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) dengan nama dagang pregnyl (Gaffar &

Muflikhah, 1992), kemudian pada periode tahun 2000an, beralih ke penggunaan hormon komersial dengan nama dagang “ovaprim” terkandung di dalamnya Luteunizing Hormon Realising Hormon (LHRH) analog kombinasi dengan anti dopamin. Aplikasi hormon ovaprim telah banyak dipergunakan untuk proses pemijahan dan berdampak pada akselerasi teknik pemijahan secara buatan pada jenis ikan air tawar. Hormon reproduksi ini praktis dan efisien dalam penggunaan dosis, walaupun ada pengecualian dalam aplikasinya sedikit lebih tinggi dari dosis anjuran terutama bila diaplikasikan pada ikan-ikan baru didomestikasi serta pemakaiannya di luar musim reproduksi, salah satu contoh dosis ovaprim yang digunakan untuk pemijahan induk ikan baung populasi asal alam dosis efektif pada 0,6-0,7 ml/kg bobot induk (Subagja et al., 2018).

Sejak tercatat dalam statistik perikanan tahun 2004, usaha budidaya ikan baung semakin berkembang di masyarakat. Animo masyarakat untuk mengkonsumsi ikan baung terkait dengan ragam kuliner yang sudah populer di masyarakat merupakan faktor utama yang mendorong peningkatan produksi ikan baung. Selain itu dari sisi ekonomi, harga ikan baung yang cukup mahal juga berperan dalam mendorong masyarakat untuk membudidayakannya. Kedua peluang usaha inilah yang memacu

Pembenihan Ikan Baung Hemibagrus nemurus I 45 pengembangan ikan baung terus dilakukan oleh pembudidaya dengan dukungan hasil riset dan kajian yang terus menerus.

Secara umum sumber benih untuk usaha pembesaran ikan baung masih berasal dari tangkapan alam, unit-unit perbenihan ikan ini baru berkembang di panti benih instansi pemerintah yang berada di Jawa Barat, Kalimantan Selatan, dan Jambi.

Sedangkan untuk kegiatan pembesaran memiliki cakupan wilayah yang lebih luas di Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Di Pulau Jawa usaha pembesaran ikan baung terkonsentrasi di beberapa waduk besar antara lain Waduk Cirata di Jawa Barat, dan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah. Di Pulau Sumatera usaha budidaya terkonsentrasi di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung. Budidaya di Pulau Sumatera lebih banyak diusahakan di dalam karamba sungai. Di Pulau Kalimantan sebagai sentra budidaya terdepan terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat, dengan mayoritas budidaya dilakukan dalam karamba sungai.

Ada beberapa tahapan kegiatan utama dalam proses produksi benih ikan baung, sebagai berikut: 1) penanganan induk (pemeliharaan dan pematangan gonad, pemilihan induk); 2) pemijahan; 3) inkubasi telur/penetasan telur; dan 4) pemeliharaan larva.

Pemilihan/Seleksi Induk

Manajemen induk merupakan faktor penentu keberhasilan dalam proses produksi benih ikan, kegiatan yang pokok adalah metode pemeliharaan calon induk, metode penanganan induk serta penilaian kematangan seksual. Metode-metode tersebut telah diterapkan dengan tingkat keberhasilan tinggi, diaplikasikan terhadap calon induk ikan baung hasil tangkapan alam yang dibesarkan dalam wadah budidaya sampai mencapai tingkat kematangan seksual sempurna (Prakoso et al., 2020).

Berdasarkan hasil riset persyaratan pada penyediaan calon induk yang berasal dari alam, calon induk yang paling mudah beradaptasi adalah pada kisaran bobot maksimal 100 g dibandingkan dengan ikan ukuran dewasa bobot kisaran > 600 g.

Calon induk dipelihara dan dibesarkan hingga mencapai usia awal matang gonad. Ikan betina mulai matang gonad setelah 15 bulan pemeliharaan, sedangkan ikan jantan

46 I Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Deni Radona, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

setelah 11 bulan, bobot ikan mencapai 400-500 g (Subagja et al., 2016, unpublished;

Hardjamulia & Suhenda, 2000). Sementara menurut Prianto et al. (2016), awal matang gonad ikan baung alam yang berasal dari lubuk lampam ikan jantan mencapai ukuran panjang 23,3 cm dan betina 33,2 cm.

Ciri-ciri induk Jantan dan betina ikan baung:

 Induk Jantan: Tubuh lebih langsing relatif memanjang, mempunyai satu papila genitalia berbentuk silindris meruncing, kelamin bentuknya memanjang.

 Induk betina: tubuh lebih pendek , mempunyai dua buah lubang kelamin yang bentuknya membulat, warna kulit di sekitar genitalia lebih cerah.

Gambar 4.1 Penampakan alat kelamin Ikan Baung betina (A) dan Ikan Baung jantan (B), Ikan generasi pertama hasil domestikasi berasal dari populasi Cirata (Subagja et al., 2015)

Perkembangan gonad akan sempurna ketika umur ikan lebih dari satu tahun pemeliharaan. Di alam musim reproduksi ikan baung umumnya terjadi pada musim hujan dengan puncak pemijahan pada bulan November-Desember (Prianto et al., 2016;

Alawi et al.,1992).

A B

Pembenihan Ikan Baung Hemibagrus nemurus I 47 Pemeliharaan dan Pematangan Induk Ikan Baung

Pemeliharaan induk dilakukan di kolam tembok dengan luasan minimal 60 m2, kedalaman air kolam 75-100 cm, jumlah induk yang dipelihara 120 ekor dengan kisaran bobot awal 550-750 g, rasio betina dan jantan 3:1. Sebaiknya pemeliharaan induk baung dilakukan secara terpisah antara jantan dan betina agar mempermudah dalam proses pengecekan. Persyaratan utama kolam ikan baung harus mendapatkan pasokan aliran air, sehingga kolam harus dilengkapi dengan saluran pemasukan (inlet) dan saluran pengeluaran (outlet). Selama pemeliharaan induk diberi pakan pelet komersial dengan kandungan protein berkisar antara 28-32%, kandungan lemak berkisar antara 6-8%. Pakan diberikan sebanyak 2-3% dari bobot total per hari dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari (pagi, siang, dan sore).

Pemeliharaan induk baung merupakan tahap awal yang harus dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan induk yang matang gonad. Secara alamiah kematangan gonad sangat dipengaruhi oleh faktor umur dan lingkungan (Gambar 4.2). Umumnya ikan jantan matang gonad lebih dulu daripada ikan betina.

Gambar 4.2 Ilustrasi siklus perkembangan gonadikan, berdasarkan perkembangan oosit dipengaruhi lingkungan dan hormon (Harvey & Carolsfeld, 1993).

48 I Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Deni Radona, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

Selain faktor umur dan lingkungan, pakan merupakan salah satu faktor yang berkonstribusi besar terhadap proses kematangan gonad, khususnya pada ovarium betina. Selain itu, pakan juga akan berpengaruh terhadap fekunditas dan kualitas telur.

Peran pakan sebagai bahan dasar untuk sintesis vitelogenin dan hormon. Menurut Tang (2000), pakan yang optimal dalam pematangan gonad memiliki kandungan protein sebesar 35%, sedangkan menurut Suhenda et al. (2009), pakan yang mengandung lemak sebesar 6% akan menghasilkan perkembangan embrio yang optimal, derajat pembuahan, derajat penetasan dan sintasan > 90%. Untuk induk jantan, pematangan gonad bisa dipercepat melalui implantasi hormon 17α-metil testosteron dengan dosis optimal 200 µg/Kg (Sularto et al., 2010).

Gambar 4.3 Kolam pemeliharaan induk (kiri) dilengkapi dengan saluran air masuk (in-let), pengamatan dan pemilihan induk ikan baung matang gonad secara visual (kanan)

Pemilihan Induk Matang Gonad

Seleksi atau pemilihan induk dilakukan untuk menentukan induk ikan baung yang siap/layak untuk dipijahkan. Untuk memudahkan proses pemilihan, pendataan dan riwayat performa individu induk, sebaiknya setiap induk ikan baung di beri tasi (tagging), penggunaan tasi elektronik lebih praktis dan tidak menganggu aktivitas induk, berikut cara pemasangan tasi pada induk (Gambar 4.4.).

Pembenihan Ikan Baung Hemibagrus nemurus I 49 Chip electronic Tag dan implanter Penyisipan tagging pada induk ikan baung Gambar 4.4 Chip tag dalam tube berisi alkohol dan jarum implater (kiri) dan

pemasangan tagging elektronik dilakukan secara sub-cutan pada bagian punggung samping sirip dorsal ikan baung

Sebelum diperlakukan pemasangan tasi atau pada aktivitas pemilihan induk, sebaiknya dilakukan pembiusan terlebih dahulu menggunakan obat anastesi MS22 (tricaine methane sulfonate dosis 50-100 mg/L), atau 2-phenoxy ethanol dengan dosis 0,3 ml/L air media.

Kriteria induk baung betina yang sudah siap dengan kriteria Tingkat Kematangan Gonad (TKG) mencapai empat, ketika dilakukan pengecekan melalui kanulasi (Gambar 4.5) diameter telurnya sudah mencapai kisaran 1,5-1,8 mm. Telur berwarna kuning kecoklatan dan mudah dipisahkan satu sama lain. Apabila dilakukan pengamatan pada mikroskop, inti telur sudah berada di pinggir chorion.

Gambar 4.5 Pengambilan sampel oosit menggunakan kateter plastik (kiri), dan pemeriksaan visual oosit (kanan)

Induk yang sudah terseleksi kemudian ditampung dalam sebuah bak secara terpisah untuk diberok (dipuasakan) sekitar 6 jam tanpa diberi pakan. Agar induk yang ditampung tidak stres dan megap-megap, maka bak untuk penampungan induk ini sebaiknya dilengkapi dengan aerator atau blower untuk suplai oksigen.

50 I Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Deni Radona, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

PEMIJAHAN

Pemijahan ikan baung dilakukan secara buatan. Tahapan dalam proses pemijahan hingga diperoleh larva sebagai berikut: penyuntikan hormon, stripping/pengambilan telur, fertilisasi, penetasan telur, dan panen larva.

Penyuntikan Hormon

Strategi pemijahan dapat dilakukan dengan dua pendekatan teknis. Strategi pertama efektif diaplikasikan terhadap induk dengan tingkat homogenitas diameter telur (oosit) rendah, melalui penyuntikan pendahuluan (Priming injection) yang bertujuan untuk penyeragaman diameter oosit. Penyuntikan dilakukan menggunakan HCG (Human chorionic gonadotropin) dengan dosis tunggal 500 IU/kg, waktu inkubasi selama 24 jam, setelah itu untuk merangsang proses ovulasi dilakukan penyuntikan susulan menggunakan ovaprim dengan dosis tunggal 0,6 ml/kg. Pada strategi ini ikan betina akan ovulasi setelah 11 jam. Bersamaan dengan suntik betina dilakukan penyuntikan ikan jantan menggunakan Ovaprim dengan dosis 0,2 ml/kg.

Strategi kedua efektif dilakukan pada induk dengan kriteria oosit yang homogen. Aplikasi ovaprim dilakukan dengan dua kali penyuntikan, pemberian pertama sebanyak 1/3 dosis (0,2 ml/kg) dan dilanjutkan penyuntikan kedua dengan interval waktu 6-8 jam diberikan 2/3 dosis (0,4 ml/kg). Untuk ikan jantan penyuntikan dengan dosis tunggal sebanyak 0,2 ml/kg, diberikan pada waktu penyuntikan ke dua ikan betina.

Gambar 4.6. Stategi pemijahan ikan baung dengan kriteria oosit heterogen, induksi priming HCG dan final injeksi dengan Ovaprim dosis tunggal

Pemilihan induk betina:

Pembenihan Ikan Baung Hemibagrus nemurus I 51 Gambar 4.7 Strategi pemijahan pada induk dengan oosit homogen dengan rata rata

ø1,6 mm penyuntikan Ovaprim dua kali

Teknis pemberian, hormon ovaprim dilarutkan dengan aquabidest steril, atau dapat juga dipakai larutan infus (NaCl fisiologis) dengan perbandingan 1:1.

Penyuntikan dilakukan secara intramuscular dibelakang sirip punggung dengan sudut penyuntikan 45 atau dibagian sisi kanan dan kiri dari sirip punggung. Untuk menghindari luka dan penumpukan hormon pada otot, maka penyuntikan pertama dan kedua dilakukan ditempat yang berbeda (punggung bagian kiri dan kanan).

Metode Pengambilan Telur/Stripping

Ovulasi mulai terjadi 8-12 jam setelah penyuntikan kedua pada suhu 26-30℃, variasi waktu terjadinya ovulasi disebabkan suhu dan variasi internal induk (tingkat kesiapan oosit matang akhir). Induk betina yang sudah siap ovulasi dilakukan stripping telur ditampung di dalam mangkuk lalu dilakukan penimbangan, dengan tujuan untuk mengetahui indeks ovosomatik. Menurut Suhenda et al. (2009), indeks ovosomatik ikan baung mencapai 14,7%. Untuk memudahkan proses stripping sebaiknya dilakukan pembiusan menggunakan phenoxy ethanol 0,3 ml/L. Adapun cara stripping sebagai berikut: siapkan 3 buah baskom plastik, sebotol NaCl fisiologis, sehelai bulu ayam, kain lap, dan tisu. Pegang bagian kepala ikan oleh satu orang dan pegang bagian ekor oleh yang lainnya, pijit bagian perut ke arah lubang telur dan tampung telur dalam

52 I Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Deni Radona, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

baskom plastik. Waktu stripping yang tepat adalah ketika telur keluar mudah dan serempaksaat dilakukannya pengalinan. Teknik stripping ditampilkan pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8. Teknik stripping induk betina

Teknik Pengambilan Sperma

Setengah jam sebelum pengeluaran telur, sperma harus disiapkan. Pengambilan sperma bisa dilakukan 2 cara, melalui stripping dan pembedahan. Untuk pembedahan caranya, 1 ekor induk jantan yang sudah disuntik Ovaprim ditangkap, potong secara vertikal tepat di belakang tutup insang dan keluarkan darahnya. Gunting kulit perutnya mulai dari anus hingga belakang tutup insang, bersihkan atau buang organ lain dalam perut kemudian ambil kantung sperma (testisnya). Kantung sperma dibersihkan dengan tisu hingga kering kemudian testis dihancurkan dengan menggerus atau dipotong-potong menggunakan gunting, dengan menggunakan kain trikot saring cincangan testis tersebut setelah dibasahi dengan larutan fisiologis yang mengandung 0,9 ppm NaCl sambil diperas agar sperma keluar dan ditampung ke dalam cangkir yang telah diisi 50 ml (setengah gelas) aquabidest dan aduk hingga homogen. Larutan sperma dapat disimpan pada suhu 5℃ (Subagja et al., 2007) untuk menjaga kualitas sperma tetap baik. Selanjutnya untuk mengetahui kualitas sperma dilakukan pengecekan pergerakan sperma di bawah mikroskop. Sperma yang berasal dari 1 induk jantan bisa membuahi 3 ekor induk betina. Teknik pengambilan sperma ditampilkan pada Gambar 4.9.

Pembenihan Ikan Baung Hemibagrus nemurus I 53 Gambar 4.9 Teknik pengambilan sperma, 1) Gonad ikan baung hasil pembedahan,

2) Proses penggerusan gonad, dan 3) Koleksi sperma

Fertilisasi

Larutan sperma dicampurkan ke dalam telur lalu diaduk hingga rata dengan bulu ayam. Telur dan sperma yang sudah tercampur lalu diaktivasi dengan menggunakan air bersih dan diaduk kembali menggunakan bulu ayam supaya pembuahannya merata (Gambar 4.10). Setelah itu telur dibilas dengan air bersih bertujuan membuang sisa sperma yang menempel. Proses fertilisasi (pembuahan) akan berlangsung cepat karena sperma ikan baung akan aktif bergerak dan bertahan hidup selama 1-2 menit setelah terkena air.

Gambar 4.10 Proses fertilisasi, pencampuran telur dengan sperma pada ikan baung

54 I Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Deni Radona, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

Penetasan Telur

Telur ikan baung bersifat menempel pada substrat (adhesive). Telur menetas setelah 23-26 jam dari pembuahan pada suhu 28℃. Telur yang terbuahi berwarna bening atau transparan, sedangkan telur yang tidak terbuahi berwarna putih pucat.

Fekunditas induk ikan baung bisa mencapai 60.000-100.000 butir/kg bobot induk, dengan indeks gonadosomatik antara 8-17%. Derajat pembuahan sebesar 70-80 %, derajat penetasan sebesar 30-40 % dan kelangsungan hidup sebesar 50-60 % (Subagja et al., 2018). Untuk hasil yang lebih baik dan menghindari jamur pada telur sebaiknya dilakukan treatment dengan direndam larutan “emolin-obat ikan“ (emulsi dengan bahan aktif acrivlavin HCl) dengan dosis 0,05 cc/L air. Bahan kimia ini mudah didapat di toko kimia atau apotek.

Wadah Penetasan Menggunakan Bak Tembok

Penetasan telur ikan baung dilakukan dalam bak tembok. Caranya, siapkan sebuah bak tembok ukuran panjang 2 m, lebar 1 m dan tinggi 0,4 m (ukuran fleksibel).

Bak tembok dikeringkan selama 2-4 hari. Bak tersebut diisi dengan air setinggi 30 cm.

Pasang hapa halus/kakaban yang ukurannya sama dengan bak kemudian beri pemberat agar hapa tenggelam (misalnya kawat behel yang diberi selang atau apa saja). Bak dilengkapi dengan sistem aerasi dengan kecepatan yang cukup. Telur yang telah dibuahi kemudian ditebar di kakaban hingga merata ke seluruh permukaan hapa dan biarkan telur menetas dalam 2-3 hari pada suhu 26-30℃. Cara lain juga dapat dilakukan melalui penggunaan substrat penempel menggunakan kasa tray atau paranet yang dirangkai pada bingkai besi behel empat persegi, kemudian dipasang didalam bak diposisikan tergantung di tengah kedalaman air bak. Caranya telur hasil fertilisasi ditebar secara merata ke seluruh permukaan tray. Telur ikan baung yang terbuahi dan berkualitas baik ditandai dengan daya rekat pada permukaan substrat.

Pembenihan Ikan Baung Hemibagrus nemurus I 55 Penetasan Menggunakan Akuarium

Pada umumnya penetasan telur ikan baung lebih banyak dilakukan di akuarium.

Caranya: akuarium disiapkan dengan ukuran yang fleksibel lalu keringkan selama 2 hari. Akuarium diisi air setinggi 30 cm, kemudian dipasang dua buah titik aerasi untuk setiap akuarium dan hidupkan selama penetasan. Telur ditebarkan hingga merata ke seluruh permukaan substrat penempel telur atau langsung ke dasar akuarium dan telur akan menetas setelah 28-35 jam pada suhu 27-30℃.

Gambar 4.11 Proses penetasan menggunakan akuarium, Telur menempel di substrat berupa lembar paranet, telur mati berwarna putih dan yang transparan telur bernas (Gambar kiri), Akuarium dengan sistim air resirkulasi sebagai media inkubasi (kanan)

Selain teknik di atas, penetasan telur ikan baung juga bisa dilakukan di dalam bak serat gelas/bak fiber. Secara teknis caranya hampir sama dengan metode penetasan di akuarium ataupun di bak beton.

Pemanenan Larva

Pemanenan larva dilakukan setelah 24 jam dari waktu telur menetas. Pada waktu ini, cadangan makanan berupa kuning telur (yolk sac) pada larva sudah mulai menipis, pada kondisi demikian biasanya larva akan mulai berenang aktif pada permukaan wadah. Pemanenan larva dilakukan apabila pemeliharaan larva akan dilakukan di tempat lain. Cara pemanenan larva, pertama yang harus dilakukan adalah mengangkat substrat penempel telur dari wadah penetasan sehingga yang tersisa hanya larva yang baru menetas saja karena telur yang tidak menetas akan tetap menempel pada substrat (dilakukan untuk metode inkubasi telur yang menggunakan substrat

56 I Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Deni Radona, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

penempel telur). Pemanenan selanjutnya dengan menggunakan serok halus, larva ditampung ke dalam waskom yang sudah diisi air, setelah selesai pemanenan larva bisa dipindahkan ke wadah pemeliharaan yang telah disiapkan. Untuk akuarium tanpa substrat penempel, maka pemanenan bisa langsung dilakukan, bahkan tidak dilakukan pemanenan apabila akuarium tersebut dipergunakan untuk pemeliharaan larva. Larva ikan baung yang baru menetas memiliki rata-rata panjang 0,5 cm dengan bobot 0,7 mg.

Pemeliharaan Benih

Larva merupakan fase kritis bagi ikan, yaitu fase awal dimana perkembangan organ mulai terbentuk. Pada kondisi larva, ikan akan mudah mengalami kematian pada kondisi yang buruk. Pemeliharaan larva biasanya dilakukan diruangan tertutup (indoor) agar suhu air tetap terjaga. Pemeliharaan larva bisa dilakukan di akuarium, fiber, bak semen dan bak plastik. Untuk pemeliharaan larva agar terkontrol sebaiknya dilakukan di akuarium berukuran 60 x 50 x 40 cm (ukuran akuarium bisa disesuaikan) dengan ketinggian air sekitar 30 cm. Dari hasil penelitian Muflikhah et al. (1995), kepadatan yang baik adalah 5 ekor/L dengan sintasan 75%. Namun seiring dengan perkembangan teknologi pada pengelola unit-unit pembenihan, sekarang padat penebaran sudah bisa mencapai 50 ekor/L (Kristanto et al., 2016). Larva yang baru menetas belum dapat diberi pakan dari luar karena larva ikan baung masih memiliki cadangan kuning telur (yolk sac) selama 2-3 hari. Selain itu larva ikan baung baru bisa membuka mulut pada umur tiga hari (Handoyo et al., 2010). Setelah itu larva diberi pakan alami berupa nauplii Artemia sampai umur 5-7 hari. Artemia sangat diperlukan karena pakan alami yang memiliki ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva ikan baung. Artemia mengandung enzim yang berperan sebagai enzim pencernaan larva.

Artemia diberikan setiap 3 jam sekali dengan cara ad-satiation. Larva ikan baung memiliki sifat kanibalisme yang tinggi sehingga membutuhkan penanganan pemberian pakan yang tepat (Kristanto et al., 2016).

Pada umur >8 hari, larva sudah bisa diberi pakan berupa cacing sutra (Tubifex sp). Adapun cara pemberian pakan cacing sutra sebagai berikut:cacing dicincang

Pembenihan Ikan Baung Hemibagrus nemurus I 57 dengan pisau sampai halus, kemudian dimasukan kedalam sekup net halus dan dibilas dengan air bersih sampai air bilasan tidak berwarna merah, lalu dilarutkan kedalam air dan disebarkan ke dalam wadah pemeliharaan larva. Pemberian cacing tubifex berlangsung selama 5-7 hari. Pada pemberian hari ke-6 dan ke-7 bisa dilatih dengan penambahan pakan komersial khusus untuk benih, biasanya menggunakan pakan berbentuk tepung crumble. Pada hari ke-8 sudah bisa diberikan penuh pakan komersial tanpa diberikan cacing tubifex.

Selama pemeliharaan larva, setiap 2-3 hari sekali dilakukan pembersihan dinding akuarium, setelah itu dilakukan penyiponan dan pergantian air sebanyak

Selama pemeliharaan larva, setiap 2-3 hari sekali dilakukan pembersihan dinding akuarium, setelah itu dilakukan penyiponan dan pergantian air sebanyak