• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBENIHAN IKAN TAPAH Wallago leerii Bleker, 1851

BAB V.

PEMBENIHAN IKAN TAPAH Wallago leerii Bleker, 1851

Kurniawan, Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Wahyulia Cahyanti, Otong Zenal Arifin, Anang Hari Kristanto

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan

PENDAHULUAN

Ikan tapah Wallago leerii memiliki nama internasional Striped wallago catfish merupakan spesies ikan air tawar asli Indonesia yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan tapah secara taksonomi termasuk dalam famili Siluridae atau ikan yang memiliki sungut/kumis di area mulutnya (Gambar 5.1). Selain hidup di perairan tawar Indonesia, ikan tapah tersebar di beberapa negara Asia seperti Vietnam, Thailand, Bangladesh, dan Malaysia (Kottelat et al., 1993; Kottelat & Widjanarti, 2005). Di pulau Sumatera dan Kalimantan, ikan tapah termasuk ikan yang menjadi target penangkapan utama nelayan karena memiliki harga yang cukup tinggi (Rengi et al., 2013; Utomo, 2016).

Ikan tapah dewasa umumnya menghuni perairan sungai besar, sedangkan fase larvanya banyak ditemukan pada mulut anak sungai yang terkoneksi dengan sungai besar dimana habitat dasarnya berlumpur dengan vegetasi tumbuhan yang menutupi permukaan air (Kottelat & Widanarni, 2005). Ikan tapah masih sering ditemukan di beberapa habitat sungai besar di Sumatera seperti Sungai Kampar, Sungai Kandis, Sungai Siak, dan Sungai Way Kanan. Sedangkan di Kalimantan, ikan tapah dapat ditemukan di beberapa sungai besar seperti di Sungai Kapuas, Sungai Sebangau, dan Sungai Barito.

Harga pasaran ikan tapah berkisar antara Rp120.000,- s.d. Rp250.000,-, yang menjadikan harga ikan tapah menjadi lebih mahal jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya seperti ikan patin siam Pangasius hypotalmus, ikan baung Hemibagrus nemurus, ikan lele dumbo Clarias gariepenus maupun ikan gabus Channa striata. Hal ini menjadikan ikan tapah sangat potensial untuk dijadikan komoditas akuakultur baru baik sebagai ikan konsumsi maupun ikan hias. Berdasarkan Ng (2019), IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) pada tahun 2019 telah menggolongkan ikan tapah sebagai ikan yang masih berstatus

64 I Kurniawan, Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Wahyulia Cahyanti, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

beresiko rendah (Least Concern) dari ancaman kepunahan. Namun, dalam 10 tahun terakhir, populasi ikan tapah disinyalir mengalami penurunan stok akibat terjadinya lebih tangkap dan kerusakan habitat (Putra, 2010; Rianti et al., 2014). Berdasarkan data statistik perikanan darat yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi ikan tapah di perairan tawar mengalami penurunan secara signifikan yaitu dari sekitar 2.144 ton pada tahun 2015 menjadi 1.232,85 ton pada tahun 2018 (KKP, 2020). Pada tahun 2018 tercatat bahwa produksi ikan tapah hasil tangkapan hanya dihasilkan dari empat provinsi yaitu Kalimantan Tengah (71.37%), Riau (14.25%), Kalimantan Barat (12.19%), dan Jambi (2.19%).

Para pembudidaya di beberapa tempat telah berusaha melakukan proses budidaya dengan mengambil benih ikan tapah dari alam dan membesarkannya di keramba jaring apung yang dipasang di sungai di sekitar habitat aslinya, namun hasil produksi melalui cara ini masih belum maksimal dan tidak berkelanjutan karena masih terkendala ketersediaan stok benih hasil tangkapan. Balai Riset Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan (BRPBATPP) Bogor bekerjasama dengan Balai Benih Ikan (BBI) Sei Tibun, Riau, pada tahun 2015 telah melaksanakan penelitian dalam rangka pembenihan ikan tapah dengan mengambil induk ikan tapah dari alam dan telah berhasil melakukan pembenihan melalui teknologi pemijahan secara buatan.

Keberhasilan pembenihan ikan tapah telah memperlihatkan perkembangan yang cukup signifikan dengan dihasilkannya larva ikan tapah yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik (Kristanto et al., 2021).

Gambar 5.1 Ikan tapah Wallago leerii (Bleeker, 1851). Ikan tapah berdasarkan nama ilmiahnya dapat disebut juga Wallagonia leerii Bleeker, 1851, Wallago nebulosus Vaillant, 1902 dan Wallago tweediei Hora & Misra, 1941 (Roberts, 2014)

Pembenihan Ikan Tapah Wallago leerii Bleker, 1851 I 65 Selain itu, BRPBATPP juga masih melaksanakan penelitian lanjutan dalam rangka melakukan domestikasi induk ikan tapah alam, melakukan percepatan pematangan gonad induk dan memperbaiki metode pembenihan ikan tapah di luar habitat aslinya. Tulisan ini memberikan informasi terkini tentang perkembangan upaya pembenihannya mulai dari seleksi dan pemeliharaan induk, pematangan gonad ikan, pembenihan secara buatan, dan pemeliharaan larva di akuarium.

SELEKSI INDUK

Seleksi induk ditujukan untuk memilih induk jantan dan betina yang akan disiapkan untuk proses pematangan gonad atau memilih induk matang gonad untuk proses pemijahan buatan. Pemeliharaan induk ikan tapah dapat dilakukan di kolam tanah, kolam beton atau kolam beton dengan dasar tanah (Gambar 5.2). Ikan tapah dapat hidup dan berkembang dengan baik di kolam dengan kualitas air sebagai berikut:

suhu berkisar antara 24,8-28,0℃, oksigen terlarut berkisar antara 5,05-9,14 mg/L dan pH berkisar antara 7,6-9,9 (Prakoso et al., 2021). Induk ikan tapah bersifat karnivor, untuk ikan tapah yang belum terdomestikasi dengan baik dapat diberikan makanan berupa ikan hidup ataupun udang setiap hari dengan dosis 5% berat tubuh. Ikan tapah di alam makanan utamanya ikan wajang Cyclocheilichthys sp. (43%), kemudian makanan pelengkapnya adalah ikan lais Ompok sp. (27%), Puntius sp. (10%) dan berbagai macam debris hewan (18%), serta makanan tambahannya adalah ikan Rasbora sp. (2%) (Sari et al., 2014). Untuk ikan tapah yang telah terdomestikasi di kolam cukup lama dapat dicampur dengan pakan pelet komersial.

Dalam proses pemilihan induk yang akan dipersiapkan untuk pematangan gonad, cara membedakan induk jantan dan betina dapat dilakukan berdasarkan perbedaan sirip dada dan urogenital (Gambar 5.3). Identifikasi jenis kelamin ikan tapah hampir sama dengan yang dilakukan pada ikan sejenis lainnya seperti ikan Wallago attu seperti yang dijelaskan oleh Gupta (2015). Pemilihan induk dalam proses ini berkaitan dengan tingkat kematangan gonad (TKG) dimana hal ini sangat tergantung pada faktor umur dan dipengaruhi oleh lingkungan (seperti: photoperiod dan kualitas air) dan ketersediaan pakan. Berdasarkan pendekatan umur ikan, belum terdapat cukup

66 I Kurniawan, Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Wahyulia Cahyanti, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

informasi mengenai kapan ikan tapah pertama kali matang gonad. Namun, ikan tapah yang ditangkap dari habitat aslinya diperoleh informasi bahwa ikan tapah dengan ukuran 1.041,67-1.085,00 g memiliki tingkat kematangan gonad antara 0 sampai dengan 1 (Yurisman et al., 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kristanto et al. (2021) diketahui bahwa ikan tapah asal sungai kampar, Riau dengan berat di atas 2,2 kg yang dipelihara di kolam tanah selama 2 tahun dengan pemberian pakan usus ayam dan ikan nila hidup, kematangan gonadnya dapat mencapai level TKG IV. Penelitian dalam rangka pematangan gonad telah dilakukan dengan aplikasi pakan komersial. Pengunaan pakan komersial 888-S dengan tipe pakan pellet tenggelam untuk pematangan gonad ikan tapah dengan bobot rata-rata sebesar 1.411 g belum mampu merubah TKG secara signifikan, gonad ikan hanya berubah dari TKG I menjadi TKG II selama 6 bulan pemeliharaan (Yurisman et al., 2010). Penambahan vitamin E 100mg/kg pakan komersial dengan protein 26% pada ikan tapah dengan berat 2,5-3 kg yang dipelihara selama 8 bulan, mampu meningkatkan TKG ikan tapah yaitu dari TKG I meningkat menjadi TKG IV, namun belum mampu menghasilkan pemijahan (Nuraeni & Nasution, 2015). Proses pematangan gonad juga dapat dilakukan dengan pendekatan hormon. Perlakuan hormon dalam pematangan gonad ikan telah banyak berhasil diimplentasikan ke berbagai jenis ikan dan menunjukkan perubahan yang signifikan dalam proses pematangan gonad dan menjaga kelangsungan produksi ikan pada usaha budidaya (Mylonas et al., 2010). Aplikasi hormon HCG dan Ovaprim yang disuntikan untuk pematangan gonad ikan tapah berukuran rata-rata 1,60±0,53 kg dan panjang 55,59±5,21 cm mampu memacu pematangan gonad induk ikan tapah sampai ke tahap pemijahan buatan (Prakoso et al., 2021).

Untuk proses pemijahan buatan, seleksi induk jantan dan betina ikan tapah dapat dibedakan berdasarkan ciri seksual sekunder dengan melihat secara langsung alat kelaminnya (urogenital). Pada ikan jantan urogenital berbentuk agak memanjang dan meruncing ke arah bagian ekor, sedangkan pada ikan betina urogenitalnya lebih membulat (Gambar 5.3). Bentuk perut (abdomen) ikan betina yang matang gonad umumnya lebih membulat dibandingkan ikan tapah jantan. Ikan tapah yang akan dipilih sebagai induk disarankan memiliki berat minimal 1 kg dengan panjang sekitar 50 cm. Ikan tapah lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan Wallago attu dimana

Pembenihan Ikan Tapah Wallago leerii Bleker, 1851 I 67 spesies ini baru mencapai matang gonad dengan berat 3 kg (Raizada et al., 2015).

Berdasarkan pengamantan seksual primer, tingkat kematangan gonad pada ikan tapah betina dapat dilakukan dengan melakukan pengurutan (stripping) pada bagian perut atau dengan menggunakan kateter untuk mengeluarkan telur. Telur ikan tapah yang telah matang gonad biasanya berwarna coklat muda kemerahan, ukurannya seragam dan sudah terpisah secara sempurna. Sedangkan, sperma ikan tapah berwarna putih susu ketika dikeluarkan dengan menggunakan cara pengurutan.

Gambar 5.2 Kolam pemeliharaan induk ikan tapah terbuat dari beton dengan dasar tanah di instalasi penelitian BRPBATPP Bogor

Gambar 5.3 Perbedaan induk ikan tapah betina (kiri) dan jantan (kanan) dapat terlihat dari bentuk urogenital, sirip dada dan sirip perut

68 I Kurniawan, Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Wahyulia Cahyanti, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

PEMIJAHAN

Teknik pemijahan yang dilakukan untuk pembenihan ikan tapah adalah pemijahan buatan dengan aplikasi hormonal. Prosedur yang dilakukan dalam pemijahan ikan tapah mengikuti metode yang dilakukan Kristanto et al. (2021). Induk ikan tapah yang dipelihara di kolam ditangkap menggunakan waring kemudian satu persatu ikan dilakukan pemeriksaan tingkat kematangan gonadnya dan dilakukan pengamatan untuk mengetahui ciri kematangan gonad sekunder. Induk yang terpilih untuk dipijahkan harus memiliki TKG IV dengan diameter telur berkisar 1,9-2,2 mm.

Induk ikan tapah yang terpilih ditimbang beratnya dan diukur panjangnya kemudian dipindahkan ke bak penampungan di dalam hatchery dimana jantan dan betina disimpan pada bak yang berbeda. Hormon yang akan disuntikan ke induk ikan tapah adalah hormon komersial dengan merk Ovaprim yaitu campuran hormon salmon gonadotropin analog dan dopamin anatagonis.

Penyuntikan hormon Ovaprim dilakukan pada ikan tapah betina dengan dosis 0,6 mL/kg yang dilakukan dua kali. Jarak penyuntikan pertama dan kedua pada induk betina dilakukan dengan selang waktu 8 jam 30 menit. Untuk ikan jantan, penyuntikan hormon Ovaprim dengan dosis 0,2 mL/kg diberikan satu kali bersamaan pada saat penyuntikan kedua induk betina. Pengecekan kesiapan pemijahan induk betina (Latency time) dilakukan setelah 9 jam dari suntikan keduasetelah penyuntikan kedua Induk betina yang siap memijah diangkat dan di tempatkan pada wadah yang berisi larutan pembius untuk dipingsankan agar mengurangi pergerakan ikan yang dapat menggangu proses pengeluaran telur/sperma. Setelah induk ikan tapah terlihat tenang, pengeluaran telur pada induk ikan betina dan pengeluaran sperma pada induk ikan jantan dapat dilakukan dengan cara melirit (stripping).

Telur ikan tapah yang berhasil dikeluarkan ditempatkan pada baskom plastik.

Fekunditas telur berkisar antara 1.281 sampai dengan 8.000 telur/kg ikan (Kristanto et al., 2021). Untuk mengitung jumlah telur pada satu induk, telur yang diperoleh dengan pengurutan ditempatkan pada wadah kemudian ditimbang untuk mengetahui berat totalnya. Beberapa sample telur diambil dan dilakukan penimbangan kemudian dihitung jumlah telur dari sample tersebut, hasil perhitungan telur dari sampel digunakan untuk memprediksi jumlah telur yang dihasilkan. Sifat dan warna telur pun

Pembenihan Ikan Tapah Wallago leerii Bleker, 1851 I 69 diamati untuk mengetahui jenis telur yang baik. Pengukuran jumlah sperma yang diperoleh dapat dilakukan dengan alat suntik, yang dilepaskan jarum suntiknya.

Penggunaan alat suntik dapat mengukur volume sperma yang diperoleh. Telur dan sperma yang diperoleh dicampurkan dan diaduk dengan bulu ayam selama tiga menit, lalu ditambahkan air untuk mengaktifkan sperma sehingga terjadi pembuahan. Telur yang telah dibuahi, dapat di tetaskan dalam wadah akuarium dan disebarkan dengan dengan kepadatan 720-3.500 butir tergantung volume akuarium. Pengukuran persentase pembuahan dilakukan setelah telur di inkubasikan selama 6 jam. Benih ikan tapah umumnya dapat menetas berkisar 25-30 jam dimana lama penetasan dapat dihitung dengan cara mencatat waktu pada saat telur ditempatkan pada akuarium, sampai pada saat 80% telur menetas. Persentase penetasan berkisar 65,00-72,50%

yang dihitung dengan cara menghitung jumlah larva yang diperoleh dibagi dengan jumlah telur yang dibuahi (Kristanto et al., 2021). Larva yang baru menetas dibiarkan pada akuarium yang sama sewaktu penetasan dengan dilengkapi aerasi. Pemberian pakan pertama dilakukan dengan pemberian pakan artemia setelah kuning telur habis.

Pakan awal Artemia diberikan setelah 50 jam dari awal menetas, pakan berupa nauplii Artemia diberikan dengan frekuensi pemberian 6-7 kali setiap harinya dimana pemberian artemia dilakukan selama 5 hari. Setelah benih berumur 5 hari selanjutnya benih dapat dipindahkan ke akuarium lain atau pada bak fiberglass dan diberikan pakan cacing Tubifex.

PENDEDERAN

Pada tahap pendederan, pemeliharaan benih ikan tapah dapat dilakukan di akuarium atau bak fiber. Pemberian pakan Tubifex saja dapat dilakukan sampai dengan 40 hari. Setelah berumur lebih dari 40 hari, pakan Tubifex dapat dicampur dengan pakan pellet komersial yang disesuaikan dengan bukaan mulutnya dan dilakukan secara bertahap. Benih yang telah siap untuk dipindahkan di kolam sebaiknya berukuran lebih dari 2 cm. Sebagai contoh, padat tebar ikan tapah yang diperoleh dari penangkapan benih di alam, pada tahap pendederan, padat tebar terbaik adalah 4 ekor/L, dimana didapatkan laju pertumbuhan harian 1,07%, panjang mutlak 2,34 cm, bobot mutlak tertinggi sebesar 39,91 g dan kelangsungan hidup sebesar 75% (Padli et

70 I Kurniawan, Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Wahyulia Cahyanti, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

al., 2015). Pada pemeliharaan larva, ikan tapah dapat mencapai pertumbuhan optimal (32,30 g) dan kelangsungan hidup yang tinggi (100%) pada suhu air sebesar 29°C (Tang et al., 2017). Secara garis besar pembenihan ikan tapah yang terdiri dari seleksi induk, pemijahan, dan pendederan dapat dilihat pada gambar 5.4.

Gambar 5.4 Alur proses pembenihan ikan tapah secara buatan dengan aplikasi hormon

Pembenihan Ikan Tapah Wallago leerii Bleker, 1851 I 71 PENUTUP

Ikan tapah merupakan kandidat spesies ikan budidaya yang layak untuk dikembangkan sebagai alternatif spesies budidaya jenis catfish berbasis ikan asli Indonesia. Selain untuk memenuhi peningkatan produksi ikan hasil budidaya, kegiatan pembenihan ikan tapah yang dilakukan secara buatan di luar habitat aslinya sangat diperlukan dalam upaya menjaga kelestarian spesies ini yang mulai menurun di habitat alaminya. Pembenihan ikan tapah saat ini telah berhasil dilakukan dan dapat diketahui metode pemijahan buatannya, namun tingkat keberhasilan pemijahan dan kelangsungan hidup larva masih belum optimal dan perlu penelitian dan pengembangan lebih lanjut. Terdapat beberapa faktor yang sangat berpengaruh pada keberhasilan pembenihan ikan tapah diantaranya adalah ketersediaan induk yang siap memijah, ketersediaan pakan untuk mempercepat pemijahan, dosis optimal hormon yang diaplikasikan, dan penurunan kelangsungan hidup larva akibat sifat kanibalisme.

DAFTAR PUSTAKA

Gupta, S. (2015). Wallago attu (Bloch and Schneider, 1801), a threatened catfish of Indian waters. International Journal of Research in Fisheries and Aquaculture, 5 (4), 140-142

KKP. (2020). Statistik produksi perikanan dan kelautan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. https://statistik.kkp.go.id

Kottelat, M., Whitten, A.J., Kartikasari, S.N., & Wirjoatmodjo, S. (1993). Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions, Hong Kong, 221 p

Kottelat, M., & E. Widjanarti. (2005). The fishes of Danau Sentarum National Park and the Kapuas Lakes area, Kalimantan Barat, Indonesia. Raffles Bulletin of Zoology, Supplement (13), 139-173

72 I Kurniawan, Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Wahyulia Cahyanti, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

Kristanto, A.H., Subagja, J., Arifin, O.Z., Kurniawan, K., Zainal, S.A, Taryani, T., &

Haspami, H. (2021). The first record to artificial reproduction and larva rearing of striped wallago catfish (Wallago leerii). Journal of Animal and Plant Science. In Press

Mylonas, C.C., Fostier, A., & Zanuy, S. (2010). Broodstock management and hormonal manipulations of fish reproduction. General and Comparative Endocrinology, 165, 516-534

Ng, H.H. (2019). Wallagonia leerii. The IUCN Red List of Threatened Species 2019.

e.T187957A1839282. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2019-3.RLTS.T187957A1839282.en. Downloaded on 10 August 2020

Nuraeni, N., & Nasution, S. (2015). Spawning technology and seed production of tapah fish (Wallago leerii B ) by the Injection of different doses of sGnRH + Domperidone. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare, 5 (10), 126-129 Padli, Tang, U.M., & Mulyadi. (2015). Domestikasi ikan tapah Wallago leeri dengan padat tebar yang berbeda. Jurnal Online Mahasiswa FPIK Universitas Riau, 2, 1-12

Prakoso, V.A., Arifin, Z.A., Cahyanti, W., Kurniawan, K., Sundari, S., Putri, F.P., Subagja, J., & Kristanto, A.H. (2021). Evaluation of hormonal treatments on bio-reproductive and physiological performances of striped wallago catfish Wallago leerii during domestication. Journal of Agricultural Science and Technology. In Press

Putra, R.M. (2010). Morfologi dan pola pertumbuhan ikan tapah (Wallago leerii) dari Sungai Kampar. Jurnal Ilmu Perairan (Aquatic Science), 8 (2), 1-13

Raizada, S., Srivastava, P. P., Pradesh, U., Sahu, V., Yadav, K.C., & Jena, J.K. (2015).

Observations on captive breeding of the threatened freshwater shark Wallago attu (Bloch & Schneider, 1801). Indian Journal of Fisheries, 62 (4), 120-124 Rianti, E., Tang, U., & Putra, I. (2014). Pembesaran ikan tapah Wallago leeri dengan

kombinasi makanan ikan. Journal Online Mahasiswa Universitas Riau, 1, 1-8.

Pembenihan Ikan Tapah Wallago leerii Bleker, 1851 I 73 Rengi, P., Bustari, & Sumarto. (2013). Kajian kelestarian ikan lokal (ikan tapah dan kelemak) di wilayah Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Berkala Perikanan Terubuk, 41 (2), 82-91

Roberts, T.R. (2014). Wallago Bleeker, 1851 and Wallagonia Myers, 1938 (Ostariophysi, Siluridae), Distinct Genera of Tropical Asian Catfishes, with Description of †Wallago maemohensis from the Miocene of Thailand. Bulletin of the Peabody Museum of Natural History, 55 (1), 35-47

Sari, S.K., Elvyra, R., & Yusfiati. (2014). Analisis isi lambung ikan tapah (Wallago leeri) di perairan Sungai Siak dan Sungai Kandis Desa Karya Indah, Kecamatan Tapung. Jurnal Online MahasiswaUniversitas Riau, 1, 1-8

Tang, U.M., Muchlisin, Z.A., Syawal, H., & Masjudi, H. (2017). Effect of water temperature on the physiological stress and growth performance of tapah (Wallago leeri) during domestication. Archives of Polish Fisheries, 25, 165-171

Utomo, A.D. (2016). Strategi pegelolaan suaka perikanan rawa banjiran di Sumatera dan Kalimantan. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, 8 (1), 13-20

Yurisman, Sukendi, & Putra, R.M. (2010). Domestikasi dan pematangan gonad ikan tapah (Wallago sp) dari perairan sungai kampar, Riau. Berkala Perikanan Terubuk, 38, 107-117

74 I Kurniawan, Jojo Subagja, Vitas Atmadi Prakoso, Wahyulia Cahyanti, Otong Zenal Arifin, dan Anang Hari Kristanto

Pembenihan Ikan Tengadak Barbonymus schwanenfeldii I 75

BAB VI.