• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMELIHARAAN LARVA

BUDIDAYA IKAN TENGADAK Barbonymus schwanenfeldii

PEMELIHARAAN LARVA

Dalam kegiatan budidaya ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan pasca pemijahan diantaranya adalah bagaimana cara penanganan telur ikan dengan baik dan benar supaya telur-telur tersebut dapat menetas dengan optimal dan menghasilkan larva yang sehat dan sempurna/cacat serta penanganan larva pasca habisnya cadangan makanan berupa kuning telur atau yang dikenal dengan yolk sac.

Penilaian tingkat keberhasilan dari kegiatan pembenihan dapat dilihat dari seberapa besar persentase daya tetas telur yang terbuahi dan kelangsungan hidup larva sampai menjadi benih siap tebar. Telur ikan tengadak akan menetas optimal pada suhu 28℃.

Telur yang terbuahi berwarna bening dan transparan, sedangkan telur yang tidak dibuahi akan berwarna putih pucat. Menurut Radona (2016), nilai derajat pembuahan pada ikan tengadak sebesar 90-95%, dengan nilai derajat penetasan sebesar 70-80%.

Pembenihan Ikan Tengadak Barbonymus schwanenfeldii I 81 Penetasan

Untuk metode atau cara penetasan telur ikan tengadak dapat dilakukan secara intensif maupun tradisional dengan menggunakan beberapa media penetasan, seperti penetasan dengan sistem corong dan pemeliharaan di bak, penetasan dan pemeliharaan di akuarium dan penetasan dan pemeliharaan di kolam.

Penetasan dengan sistem corong dan pemeliharaan larva di bak

Corong penetasan dapat dipasang dalam bak beton yang telah dilengkapi dengan sistem aerasi, hal ini bertujuan jika telur-telur dalam corong penetasan telah menetas larva dapat keluar dari corong melalui saluran pengeluaran yang dilengkapi saringan di sisi atas corong dan langsung masuk ke dalam bak pemeliharaan.

Penetasan telur dicorong yang dilengkapi dengan sistem aerasi (Gambar 6.6) merupakan teknik penetasan paling sempurna. Pada wadah penetasan ini telur-telur ikan akan teraduk sempurna sehingga sangat kecil kemungkinan terjadinya penumpukan telur disatu sisi ataupun didasar wadah penetasan. Penumpukan telur di wadah penetasan dapat memperkecil tingkat penetasan telur, hal ini disebabkan karena terhambatnya proses difusi oksigen ke dalam telur dan telur yang menumpuk seringkali diselimuti jamur yang dapat menyebabkan telur-telur tersebut berbaur satu sama lain.

Jika telur-telur yang terikat oleh hifa jamur menetas maka larva yang keluar akan terjebak dan dapat mengakibatkan kematian pada larva atau dapat juga menjadi penyebab abnormalitas pada larva yang menetas karena berusaha lepas dari lilitan hifa jamur sehingga seringkali mengalami cacat pada bentuk tulang ekor ataupun tulang punggung yang menjadi bengkok. Larva yang telah menetas akan masuk ke dalam bak beton melalui saluran pengeluaran yang ada pada bagian atas corong penetasan, selanjutnya larva dapat dipelihara secara intensif dengan pemberian aerasi dan pakan alami diawal pemeliharaan setelah yolk sac habis. Yolk sac akan habis 2-3 hari setelah menetas, penyerapan yolk sack makin cepat dengan semakin tingginya suhu media pemeliharaan. Pakan alami dapat berupa fitopankton dari jenis Chlorophyceae seperti Chlorella dan zooplankton berupa nauplii Moina.

82 I Deni Radona, Irin Iriana Kusmini, Fera Permata Putri, RR Sri Pudji Sinarni Dewi, dan Rudhy Gustiano

Gambar 6.6 a). Ilustrasi penetasan telur sistem corong dan b). Pemeliharaan larva dalam bak beton

Penetasan dan pemeliharaan larva di akuarium

Penetasan di akuarium merupakan salah satu penetasan secara intensif, dimana suhu air dapat kita atur dengan pemasangan water heater dalam akuarium penetasan. Pengaturan suhu air penetasan yang baik berkisar 27-28℃. Pada suhu ini telur akan menetas setelah masa inkubasi 17-20 jam. Larva yang telah menetas baru dapat berenang keesokan harinya dan biasanya larva-larva yang masih bening tersebut akan bergerombol didasar akuarium 2-3 hari ke depan. Cadangan makanan berupa yolk sac dari larva ikan tengadak akan habis dalam jangka waktu 2-3 hari setelah menetas. Pada fase pasca larva inilah mereka aktif berenang dan penyiponan pertama kali dapat dilakukan untuk pergantian air dan membuang telur yang tidak menetas serta cangkang. Penyiponan dapat dilakukan pada pagi hari atau sore hari dan penggantian air pada akuarium sekitar 50-70%. Pada fase ini dapat diberi pakan alami berupa nauplii Artemia, Moina ataupun emulsi kuning telur yang diberikan tiga kali sehari. Dari kegiatan pembenihan yang telah dilakukan diperoleh nilai derajat penetasan (HR) tertinggi 80-90% pada suhu penetasan 28℃. Sedangkan untuk nilai sintasan (SR) untuk ukuran 1-4 cm 60-70%, 4-6 cm, 90-95%, 5-10 cm 99,78%.

a b a a

Pembenihan Ikan Tengadak Barbonymus schwanenfeldii I 83 Penetasan dan pemeliharaan larva di kolam

Penetasan telur ikan tengadak dapat juga langsung dilakukan di kolam pendederan dengan cara telur-telur ikan yang diperoleh hasil pemijahan buatan atau semi buatan langsung ditebar dalam hapa yang telah terpasang dalam kolam (Gambar 6.7). Penebaran telur dapat dilakukan pagi hari dan untuk mengatasi telur tidak saling berdempet dan menumpuk disatu titik di dasar waring, sangat disarankan saat pemasangan waring kondisinya harus rapi. Keuntungan dari cara ini, larva yang telah menetas langsung dapat beradaptasi dengan suhu lingkungan. Kondisi seperti ini diharapkan dapat meningkatkan kelangsungan hidup atau sintasan larva dan peningkatan produksi benih.

Gambar 6.7 Waring penetasan telur

PENDEDERAN

Pendederan ikan tengadak bisa dilakukan pada kolam, waring ataupun akuarium. Pendederan ikan tengadak pada akuarium bisa dimulai pada stadia pasca larva. Pendederan ikan tengadak yang optimum pada akuarium berukuran 60 x 30 x 30 cm yaitu dengan kepadatan 5 ekor L-1. Pemeliharaan pasca larva dilakukan pada akuarium dengan volume air sebanyak 34 L. Akuarium diberi aerasi dengan intensitas yang cukup. Selama 90 hari pemeliharaan pascalarva diberi pakan komersial berbentuk remah yang mengandung protein 40% secara ad satiation dengan frekuensi tiga kali sehari (pagi, siang, dan sore). Kondisi kualitas air dalam akuarium dijaga dengan penyiponan dan penggantian air sebanyak 30-50% setiap tiga hari.

84 I Deni Radona, Irin Iriana Kusmini, Fera Permata Putri, RR Sri Pudji Sinarni Dewi, dan Rudhy Gustiano

Untuk pendederan ikan tengadak di kolam tanah baik dilakukan setelah adanya pengelolaan kolam. Caranya: siapkan kolam tanah (ukuran fleksibel). Kolam sebelum digunakan sebaiknya dilakukan pengolahan terlebih dulu (Gambar 6.8).

Pengolahan kolam meliputi pengeringan kolam, pemupukan, dan pengisian kolam.

Pengeringan kolam bertujuan untuk membunuh mikroba dan hama yang berpotensi mengganggu proses pemeliharaan. Pemupukan menggunakan pupuk urea+TSP dengan perbandingan 2:1 dosis yang digunakan 10 g/m2. Pengisian kolam dilakukan dengan ketinggian air bertahap agar pertumbuhan pakan alami optimal (Rotifera).

Setelah kolam siap kemudian tebar larva dengan kepadatan 50 ekor/m3 pada pagi hari atau sore hari agar larva tidak menjadi stres karena terik matahari. Pakan yang diberikan selama pemeliharaan adalah pelet komersial yang berbentuk crumble dengan kandungan protein 28-32% yang diberikan secara ad libitum dengan frekuensi 3 kali sehari (pagi, siang dan sore). Pemeliharan pada pendederan I dilakukan selama 30 hari.

Gambar 6.8 Pengelolaan kolam pendederan ikan tengadak

PENUTUP

Ikan tengadak merupakan komoditas ikan lokal yg potensial untuk dikembangkan menjadi salah satu kandidat ikan budidaya. Budidaya ikan tengadak dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat yang selama ini masih menghandalkan tangkapan dari alam. Di BRPBATPP, kegiatan budidaya ikan tengadak sudah dilakukan sejak tahun 2014 dan saat ini paket teknologi budidaya terkait pemijahan secara buatan sudah berhasil diimplementasikan.

Pembenihan Ikan Tengadak Barbonymus schwanenfeldii I 85 DAFTAR PUSTAKA

Dewantoro, E. (2015). Keragaan gonad ikan tengadak (Barbonymus schwanenfeldii) setelah diinjeksi hormon HCG secara berkala. Jurnal Akuatika, 6 (1), 1-10 Gustiano, R., Kusmini, I.I., & Ath-thar, M.F.H. (2015). Mengenal sumber daya

genetik ikan spesifik lokal air tawar Indonesia untuk pengembangan budidaya. IPB Press, Bogor. 51

Kottelat, M., Whitten, A.J., Kartikasari, S.N., & Wirjoatmodjo, S. (1993).

Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Hong Kong: Periplus Editions, 221 pp

Kusmini, I.I., Gustiano, R., Radona, D., Prakoso, V.A., Putri, F.P., & Prihadi, T.H.

(2016). Karakterisasi fenotipe dan genotipe tiga populasi ikan tengadak, Barbonymus schwanenfeldii. Jurnal Riset Akuakultur, 11 (3), 207-216 Lumbantobing, D., Allen, D.J. (2020). Barbonymus schwanenfeldii. The IUCN red

list of threatened species 2020:ee. T181160A89800163.

https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2020-RLTS.T181160A89800163.en.

Downloaded on 15 Juli 2021

Radona, D., Kusmini, I.I., & Ath-thar, M.H.F. (2017). Karakteristik meristik dan morfometrik tiga generasi ikan tengadak (Barbonymus schwanenfeldii) asal Kalimantan Barat, Indonesia. Jurnal Riset Akuakultur, 12 (1), 1-8

Radona, D., Soelistyowati, D.T., Gustiano, R., Carman, O., Kusmini, I.I., & Sundari, R. (2016). Ragam genotipe ikan tengadak (Barbonymus schwanenfeldii) persilangan populasi Jawa dan Kalimantan berdasarkan RAPD. Jurnal Riset Akuakultur, 10 (2), 99-105

Radona, D. (2016). Karakterisasi genotipe, biometrik dan performa silang luar potensial ikan tengadak asal Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. 51 p

86 I Deni Radona, Irin Iriana Kusmini, Fera Permata Putri, RR Sri Pudji Sinarni Dewi, dan Rudhy Gustiano