• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBENIHAN IKAN UCENG Nemacheilus fasciatus

BAB VII.

PEMBENIHAN IKAN UCENG Nemacheilus fasciatus

Vitas Atmadi Prakoso, Jojo Subagja, Otong Zenal Arifin, M. H. Fariduddin Ath-thar, dan Anang Hari Kristanto Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan

PENDAHULUAN

Ikan uceng (Nemacheilus fasciatus) merupakan jenis ikan lokal spesifik di Indonesia dan mempunyai nilai ekonomi tinggi (Hadie et al., 2011), ikan ini biasanya dijual dalam bentuk olahan berupa goreng tepung dengan harga Rp.200.000,- s.d.

Rp.300.000,- per kg, sehingga spesies ini potensial sebagai kandidat komoditas budidaya. Di Indonesia, populasinya tersebar di wilayah Jawa dan Sumatera (Prakoso et al., 2016; Ath-thar et al., 2018). Ikan uceng, selain untuk dikonsumsi, juga diperjualbelikan sebagai komoditas ikan hias, akan tetapi, kelestarian ikan ini mulai terganggu akibat tingginya tingkat penangkapan dan kualitas lingkungan dan air sungai di habitatnya yang menurun, sehingga berpengaruh pada ketersediaan ikan ini di alam. Oleh karena itu, perlu adanya upaya domestikasi untuk keperluan budidaya maupun konservasi agar spesies ini tetap lestari.

Sampai saat ini, belum banyak ditemukan informasi yang mendukung domestikasi ikan uceng, khususnya untuk aspek budidayanya, sehingga permintaannya hanya dipenuhi dengan mengandalkan hasil tangkapan dari sungai.

Penelitian tentang ikan uceng pernah dilakukan, namun masih berupa kajian informasi biologi ikan uceng di habitat aslinya (Risyanto et al., 2012).

Dalam tahapan domestikasi, perlu didukung penelitian terkait dengan sifat biologi, genetik, penyakit maupun aspek sosial ekonomi (Maskur, 2002). Oleh karena itu, dalam mendukung domestikasi ikan uceng, salah satu aspek yang harus dipelajari dengan baik adalah pembenihannya agar terbentuk ikan uceng kandidat budidaya yang dipelihara pada lingkungan ex situ. Oleh karena itu, tulisan ini membahas tentang pembenihan ikan uceng guna mendukung proses domestikasi spesies untuk keperluan budidaya maupun konservasi.

88 I Vitas Atmadi Prakoso, Jojo Subagja, Otong Zenal Arifin, M. H. Fariduddin Ath-thar, dan Anang Hari Kristanto

SELEKSI INDUK

Koleksi ikan uceng yang diperoleh melalui hasil tangkapan alam diadaptasikan di akuarium yang dilengkapi dengan substrat batu dan pasir agar menyerupai habitat aslinya. Akuarium dilengkapi dengan aerator dan dikontrol suhunya pada kisaran 24-28oC. Saat pemeliharaan induk, ikan uceng juga diadaptasikan dengan pemberian pakan alami berupa cacing Tubifex hingga sampai akhirnya ikan uceng tersebut dapat beradaptasi dengan pemberian pakan komersial (pelet).

Untuk pematangan gonad, induk ikan uceng diseleksi terlebih dahulu berdasarkan ciri seksualnya (Gambar 7.1). Setelah itu, induk jantan dan betina dipisahkan di akuarium yang berbeda dan dimatangkan gonadnya. Pematangan gonad dilakukan dengan pemberian pakan komersial (pakan terapung) dengan kandungan protein minimal 30%. Selain itu, pakan dapat juga ditambahkan dengan vitamin E melalui metode coating menggunakan putih telur (dosis vitamin E: 60 mg/kg pakan). Pematangan gonad dilakukan selama 1-2 bulan pemeliharaan di akuarium (ukuran 40 × 40 × 30 cm). Selama pematangan gonad, rasio pemberian pakan yaitu 3-5% dari bobot tubuh ikan dengan frekuensi sebanyak dua kali sehari.

Pengamatan gonad betina dan jantan ikan uceng dilakukan dengan pembedahan. Saat dibedah, terlihat bahwa ovarium ikan uceng berbentuk memanjang dan jumlahnya sepasang. Sementara itu, testis ikan uceng yang diamati berukuran lebih kecil dari gonad ikan uceng betina, berwarna putih, dan bentuknya belum memanjang dan bercabang seperti pada gonad ikan uceng betina (Gambar 7.2).

Ikan uceng memiliki ovarium bertipe cystovarian, dimana perkembangan folikel ovarium berada di dalam tunika albuginea (kista). Sementara itu, berdasarkan referensi dari penelitian sebelumnya yang meneliti ikan uceng hasil tangkapan alam, testis ikan uceng berbentuk memanjang dan jumlahnya sepasang. Testisnya bertipe tubular beranastomosa, yaitu testis yang tubulusnya tidak langsung berujung keluar, melainkan saling berhubungan dan membentuk jaring-jaring (anastomosa) sebelum akhirnya menyatu dan bermuara keluar di bagian caudal (Rahmawati, 2014;

Nurhidayat et al., 2017).

Pembenihan Ikan Uceng Nemacheilus fasciatus I 89 Warna bintik hitam pada induk

ikan betina

Warna bintik hitam pada induk ikan jantan

Perut induk ikan betina dan bentuk alat kelamin

Perut induk ikan jantan dan bentuk alat kelamin

Gambar 7.1 Ciri-ciri visual induk ikan uceng jantan dan betina (Prakoso et al., 2017)

(a) (b)

Gambar 7.2 Gonad ikan uceng (Nemacheilus fasciatus) (a. betina; b. jantan) (Prakoso et al., 2017)

Saat perkembangan kematangan gonad, semua proses metabolisme dalam tubuh ikan terkonsentrasi pada perkembangan gonad. Berkembangnya gonad pada setiap tahapannya menyebabkan ukuran dan bobot gonad mengalami peningkatan.

Hal ini secara otomatis menyebabkan peningkatan nilai IKG sampai batas maksimum pada saat akan terjadi pemijahan (Effendie, 2002). Menurut Biswas (1993), perubahan struktur gonad secara visual dapat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonad, yang akan berkorelasi dengan perkembangan telur dan sperma.

Indeks kematangan gonad sering digunakan sebagai indikator status kematangan dalam banyak jenis ikan teleostei. Selain itu, indeks kematangan gonad dapat

90 I Vitas Atmadi Prakoso, Jojo Subagja, Otong Zenal Arifin, M. H. Fariduddin Ath-thar, dan Anang Hari Kristanto

mencapai 20 dalam beberapa jenis salmonids (Tyler et al., 1990). Informasi mengenai indeks kematangan gonad pada ikan uceng ini belum banyak ditemui.

Risyanto et al. (2012) menemukan bahwa fekunditas ikan uceng di alam yaitu sebesar 1.665-7.567 butir. Berdasarkan hasil pengamatan, ikan uceng yang dipelihara di akuarium mempunyai fekunditas berkisar antara 786-4.198 butir, indeks ovosomatik berkisar antara 0,14-0,20, dan diameter telur 0,60-0,63 mm (Kristanto et al., 2021). Variasi yang cukup besar dalam fekunditas antara ikan yang berukuran sama merupakan hal yang umum dan dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, antara lain suhu, ketersediaan makanan, dan perbedaan genetik (Blaxter, 1969;

Gibson & Ezzi, 1978; Hoda & Akhtar, 1985). Umumnya, fekunditas meningkat seiring dengan bertambahnya panjang atau bobot ikan, namun, pada ikan kecil, nilai IKG sangat bervariasi.

PEMIJAHAN

Setelah proses pematangan gonad, induk ikan uceng yang sudah matang gonad diseleksi untuk proses pemijahan dengan cara mengamati secara visual performa bagian perut dan genitalnya terhadap semua induk ikan uceng yang dipelihara. Ikan uceng yang mulai matang gonad secara visual dicirikan sebagai berikut: Induk ikan uceng betina yang mulai matang gonad mempunyai warna bintik hitam lebih jelas, bentuk perut membulat pada bagian tengah dan mengecil ke arah genital, bentuk genitalnya membulat, sedangkan induk jantan yang mulai matang gonad mempunyai warna bintik hitam yang sedikit memudar, bentuk perutnya sedikit membulat serta genitalnya meruncing. Ikan uceng yang terpilih baik ikan betina dan jantan kemudian dipisahkan untuk pemijahan.

Ikan uceng dapat dipijahkan secara semi alami maupun buatan. Saat pemijahan, rasio induk jantan:betina yang digunakan adalah 2:1 atau 3:1. Pemijahan semi alami maupun buatan diawali dengan dengan melakukan penyuntikan hormon kepada induk jantan dan betina di bagian punggung. Induk jantan dan betina disuntik satu kali. Hormon yang sering digunakan dalam pemijahan semi alami dan buatan ini adalah Ovaprim dengan dosis kisaran 0,5-0,6 mL/kg untuk betina dan 0,3 mL/kg

Pembenihan Ikan Uceng Nemacheilus fasciatus I 91 untuk jantan. Untuk pemijahan semi alami, setelah penyuntikan, induk jantan dan betina dimasukkan dalam satu akuarium yang telah disiapkan untuk dipijahkan. Di dalam akuarium tersebut dilengkapi dengan kawat/jaring pembatas agar telur yang nantinya dibuahi akan langsung jatuh menuju ke dasar akuarium dan induk tidak dapat berenang menuju dasar akuarium. Hal tersebut bertujuan agar induk yang memijah dan mengeluarkan telur yang telah difertilisasi tidak memakan telurnya sendiri. Setelah induk memijah dan mengeluarkan telur, induk diangkat dari akuarium untuk dipisahkan. Telur ikan uceng akan menetas setelah 1-2 hari masa inkubasi di akuarium.

Sementara itu, pemijahan buatan dapat dilakukan dengan pembuahan secara eksternal, yaitu mencampurkan telur dan sperma. Induk yang telah matang gonad dan siap memijah disuntik Ovaprim dengan dosis kisaran 0,5-0,6 mL/kg untuk betina dan 0,3 mL/kg untuk jantan. Setelah disuntik, induk jantan dan betina diletakkan di dalam wadah/akuarium yang terpisah. Setelah 12 jam, dilakukan stripping pada induk betina ikan uceng dan selanjutnya segera difertilisasi secara buatan dengan larutan sperma yang sebelumnya telah dipersiapkan. Fertilisasi buatan dilakukan dengan cara menuangkan larutan sperma ke dalam wadah atau baskom plastik yang berisi telur, kemudian diaduk hingga merata dengan bulu ayam kering hingga larutan sperma dan telur tercampur merata. Setelah telur dan sperma tercampur secara merata, segera ditambahkan air bersih sebanyak 2-3 bagian volume (campuran telur dan larutan sperma) dan terus diaduk dengan bulu ayam atau dengan digoyang-goyang selama sekitar satu menit sehingga terjadi proses fertilisasi. Telur yang telah difertilisasi (Gambar 7.3) kemudian ditebar ke akuarium penetasan. Telur ikan uceng memiliki sifat yang tidak menempel dengan telur lainnya.

Periode waktu sejak fertilisasi hingga sekitar 8-10 jam merupakan periode kritis bagi perkembangan telur ikan uceng. Oleh karena itu, selama periode waktu tersebut, telur-telur tidak boleh diganggu dan kualitas air harus dimonitor secara berkala. Suhu air penetasan dijaga tidak lebih rendah dari 25℃. Idealnya, kadar oksigen terlarut selama proses penetasan dijaga tidak kurang dari 5 mg/L.

Pengamatan perkembangan telur ikan uceng perlu dilakukan secara berkala untuk mengetahui perkembangan keberhasilan penetasan.

92 I Vitas Atmadi Prakoso, Jojo Subagja, Otong Zenal Arifin, M. H. Fariduddin Ath-thar, dan Anang Hari Kristanto

Gambar 7.3 Telur ikan uceng yang sudah difertilisasi/dibuahi

PENDEDERAN

larva ikan uceng mulai menetas sekitar 24 jam setelah fertilisasi. Larva-larva yang baru menetas menetas (Gambar 7.4a) perlu dipisahkan dari telur-telur yang tidak menetas karena telur yang tidak menetas dan mengalami pembusukan sehingga dapat meracuni dan mematikan larva. Pemisahan tersebut dilakukan dengan menyifon telur yang tidak berkembang. Setelah dua hari dari waktu menetas, saat tersebut merupakan habisnya kantung kuning telur yang terserap, sehingga larva mulai memerlukan asupan pakan dari luar. Selanjutnya, larva ikan uceng (Gambar 7.4b) dapat diberikan pakan berupa fitoplankton (Chlorella atau Nanochloropsis) selama tiga hari. Setelah itu, saat larva sudah memiliki bukaan mulut yang lebih besar (Gambar 7.4c), pemberian pakan dapat dilanjutkan dengan menggunakan Artemia. Saat pemeliharaan larva, air pada wadah pemeliharaan dapat dibersihkan dengan rutin melalui penyifonan yang dilakukan secara hati-hati.

Setelah larva ikan uceng mencapai ukuran 1-2 cm, maka pemeliharaan dilanjutkan ke tahap pendederan. Pendederan dilakukan secara indoor dengan menggunakan akuarium dengan padat tebar 5 ekor/L agar pertumbuhannya optimal (Iswantari et al., 2019; Subagja et al., 2019). Pakan yang diberikan saat ukuran tersebut masih berupa Artemia dengan pemberian sekenyangnya (ad libitum). Setelah mencapai ukuran 3 cm, benih ikan uceng dapat diberikan pakan komersial berupa pellet apung (protein 30%) sebanyak 3% dari biomassa dengan frekuensi pemberian pakan dua kali dalam satu hari. Pergantian air pada akuarium dilakukan melalui penyifonan. Kondisi kualitas air selama masa pendederan harus dijaga (Suhu:

24-Pembenihan Ikan Uceng Nemacheilus fasciatus I 93 28℃, pH: 6-7, oksigen terlarut: > 5 mg/L) agar selalu dalam kondisi yang optimal untuk menjaga metabolisme dan kondisi fisiologisnya (Wijaya et al., 2019; Prakoso et al., 2020), sehingga proses pendederan benih ikan uceng dapat berjalan dengan baik. Pemeliharaan terus dilakukan sampai ikan berukuran 6-8 cm, sehingga dapat digunakan sebagai calon induk untuk keperluan pemijahan. Umumnya, pemeliharaan ikan uceng di akuarium membutuhkan waktu 6-7 bulan agar menjadi calon induk (Cahyanti et al., 2020).

(a)

(b)

(c)

Gambar 7.4 Larva ikan uceng (a. saat baru menetas; b. umur 3 hari; c. umur 7 hari)

94 I Vitas Atmadi Prakoso, Jojo Subagja, Otong Zenal Arifin, M. H. Fariduddin Ath-thar, dan Anang Hari Kristanto

PENUTUP

Aplikasi pembenihan ikan uceng dapat dilakukan dalam sistem indoor dan tidak memerlukan tempat yang luas untuk melakukannya. Pembenihan ikan uceng masih harus dikembangkan melalui penelitian lebih lanjut, sehingga dapat bermanfaat secara luas, baik untuk keperluan konservasi maupun komersial/budidaya. Selain itu, upaya pemantauan sumber daya perikanan di alam secara terus menerus juga diperlukan untuk menciptakan sumber daya perikanan yang berkelanjutan (Putranto, 2019).

DAFTAR PUSTAKA

Ath-thar, M.H.F., Ambarwati, A., Soelistyowati, D.T., & Kristanto, A.H. (2018).

Keragaan genotipe dan fenotipe ikan uceng Nemacheilus fasciatus (Valenciennes, 1846) asal Bogor, Temanggung, dan Blitar. Jurnal Riset Akuakultur, 13 (1), 1-10

Biswas, S.P. (1993). Manual of methods in fish biology. New Delhi: South Asian Publishers Pvt Ltd

Blaxter, J.H.S. (1969). Development: Eggs and larvae. In fish physiology (Hoar, W.

S. & Randall, J. J., eds), New York and London: Academic Press. pp. 177-184 Cahyanti, W., Putri, F.P., & Prakoso, V.A. (2020). Performa pertumbuhan dua generasi ikan uceng (Nemacheilus fasciatus Val. 1846) dalam pemeliharaan di akuarium. Media Akuakultur, 15 (1), 9-14

Effendie, M.I. (2002). Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.112p

Gibson, R.N., & Ezzi, I.A. (1978). The biology of a Scottish population of fries go by Lesuerigobius friesil. Journal of Fish Biology, 12, 371-389

Hadie, L.E., Kristanto, A.H., & Hadie, W. (2011). Kajian komoditas prospektif ikan uceng (Nemacheilus fasciatus) sebgai kandidat ikan budidaya. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, 1(1), 317-321

Pembenihan Ikan Uceng Nemacheilus fasciatus I 95 Hoda, M.S., & Akhtar, Y. (1985). Maturation and fecundity of mudskipper Boleopthalmius dentatus in the northern Arabian Sea. Indian Journal of Fisheries, 32(1), 64-73

Iswantari, A., Kurniawan, K., Priadi, B., Prakoso, V.A., & Kristanto, A.H. (2019).

Konsumsi oksigen ikan uceng Nemacheilus fasciatus (Valenciennes, 1846) pada kondisi padat tebar yang berbeda. OLDI (Oseanologi dan Limnologi di Indonesia), 4(2), 79-87

Kristanto, A.H., Subagja, J., Ath-thar, M.H.F., Arifin, O.Z., Prakoso, V.A., Ardi, I.,

& Samsudin, R. (2021). Koleksi, identifikasi, karakterisasi, dan aspek ekobiologi ikan uceng dan manggabai. Unpublished

Maskur. (2002). Program pelestarian plasma nutfah ikan-ikan perairan umum. Jurnal Akuakultur Indonesia, 1 (3), 139-144

Nurhidayat, L., Arviani, F.N., & Retnoaji, B. (2017). Indeks gonadosomatik dan struktur histologis gonad ikan uceng (Nemacheilus fasciatus, Valenciennes in Cuvier and Valenciennes, 1846). Biosfera, 34 (2), 67-74

Prakoso, V.A., Ath-thar, M.H.F., Subagja, J., & Kristanto, A.H. (2016). Pertumbuhan ikan uceng (Nemacheilus fasciatus) dengan padat tebar berbeda dalam lingkungan ex situ. Jurnal Riset Akuakultur, 11 (4), 355-362

Prakoso, V.A., Subagja, J., & Kristanto, A.H. (2017). Aspek biologi reproduksi dan pola pertumbuhan ikan uceng (Nemacheilus fasciatus) dalam pemeliharaan di akuarium. Media Akuakultur, 12 (2), 67-74

Prakoso, V.A., & Kurniawan. (2020). Oxygen consumption of barred loach Nemacheilus fasciatus (Valenciennes, 1846) on different temperatures.

E&ES, 457 (1), 012065

Putranto, Y. (2019). Upaya penyadaran masyarakat terhadap kelestarian spesies endemik sungai serayu ikan uceng (Nemachilus fasciatus CV) di kabupaten Banyumas. Dinamika Journal: Pengabdian Masyarakat, 1 (3), 1-8

96 I Vitas Atmadi Prakoso, Jojo Subagja, Otong Zenal Arifin, M. H. Fariduddin Ath-thar, dan Anang Hari Kristanto

Rahmawati, S. (2014). Indeks gonadosomatik dan struktur histologis gonad ikan wader pari (Rasbora lateristriata Bleeker, 1854) pada tahap perkembangan pra dewasa dan dewasa. Skripsi. Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada.

Yogyakarta. 21-25

Risyanto, S., Ardli, E.R., & Sulistiyo, I. (2012). Biologi ikan uceng (Nemacheilus fasciatus C.V.) di Sungai Banjaran Kabupaten Banyumas. Biosfera, 29 (1), 51-58

Subagja, J., Prakoso, V.A., Arifin, O.Z., & Kristanto, A.H. (2019). Pengaruh perbedaan padat tebar larva terhadap pertumbuhan dan sintasan pada ikan uceng (Nemacheilus fasciatus). Berita Biologi, 18 (2), 209-214

Tyler, C., Sumpter, J.P., & Witthames, P.R. (1990). The dynamics of oocyte growth during vitellogenesis in the rainbow trout, Salmo gairdneri. Biology of Reproduction, 43, 202-209

Wijaya, H., Widodo, M.S., & Soeprijanto, A. (2019). The effect of difference temperature on cortisol, glucose and glycogen level of uceng fish (Nemacheilus fasciatus). The Journal of Experimental Life Science, 9 (1), 1-6