• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULAN A. Latar Belakang

Dalam dokumen Ekspose Hasil-hasil Penelitian i (Halaman 106-109)

Vatica Palaquium

HUTAN KONSERVASI PAPUA

I. PENDAHULAN A. Latar Belakang

Sebagai salah satu negara mega biodiversitas, bersama Brazil di benua Amerika dan Zaire di benua Afrika maka Indonesia di benua Asia memiliki kekayaan keragaman hayati yang sangat tinggi dan tersebar di seluruh wilayah daratan pulau dan perairannya (Salim, 2007). Tingginya kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia dipengaruhi dari empat faktor utama, yaitu :

Wilayah yang luas. Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia dengan luas keseluruhan sekitar 8 juta km2 dan daratan seluas 1,9 juta km2.

Keadaan geografis. Indonesia adalah negara kepulauan yang terpisah berjauhan sehingga mendorong terjadinya proses spesiasi (terbentuknya spesies baru).

Letak. Terletak di antara dua wilayah biogeografi utama, yaitu Indo-Malaya di sebelah Barat dan Australasia di sebelah Timur, sehingga susunan flora dan faunanya merupakan gabungan dari flora dan fauna di kedua wilayah tersebut.

Ekosistem. Memiliki beragam tipe ekosistem dari pantai hingga pegunungan yang diperkirakan mencapai 47 tipe ekosistem.

Keragaman hayati spesies di Indonesia memiliki tingkat endemisitas yang tinggi, baik dari mulai taksa herpetofauna, avifauna hingga terumbu karang yang ada dilaut. Perkiraan keanekaragaman hayati spesies yang terdapat di Indonesia ditampilkan Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Keanekaragaman hayati spesies Indonesia

Mamalia  515 spesies (12 %)

Reptilia dan amphibi  1.000 spesies (16 %)

Burung  1.539 spesies (17 %)

Ikan  8.500 spesies (25 %)

Serangga  250.000 spesies (33 %)

Kerang-kerangan  20.000 spesies (40 %)

Tumbuhan berbunga  27.500 spesies (10 %)

(Sumber: BAPENAS 2003)

Kekayaan keanekaragaman hayati tersebut telah hidup dan berkembang pada kawasan perairan dan daratan dengan tipe ekosistem yang berbeda. Selain itu, secara langsung mupun tidak langsung, telah terjadi interaksi antara manusia dengan keragaman hayati tersebut yang menghasilkan suatu budaya dan tradisi lokal serta bersifat turuntemurun.

Interaksi ini menambah khasanah kekayaan alam dan memperkaya keunikannya sehingga berbeda dengan kawasan lain di dunia. Namun demikian, potensi biodiversitas tersebut belum semuanya dikenal dan diketahui informasi biologis dan penyebarannya. Demikian pula pemanfaatan dalam rangka

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011

- 85

peningkatan kesejahteraan manusia kebanyakan masih dalam skala kecil dan bersifat tradisional. Oleh sebab itu, sebelum terjadi kepunahan atau kerusakan habitat dan ekosistemnya, dilakukan upaya perlindungan dan pelestarian melalui penetapan kawasan-kawasan konservasi.

Kawasan konservasi adalah suatu daerah biogeografi tertentu yang ditetapkan atau diatur dan dikelola untuk mencapai tujuan pelestarian tertentu. Menurut UU No. 41 Tahun, hutan konservasi (atau dikenal juga dengan sebutan kawasan konservasi) adalah suatu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun perairan, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan alam dan satwa liar serta ekosistemnya, disamping menghasilkan jasa lingkungan dan obyek wisata alam (Departemen Kehutanan, 2006).

Kawasan konservasi yang ada, mempunyai peran dan fungsi yang berbeda dan demikian juga dalam peruntukan kegiatan yang dapat dilakukan di kawasan konservasi tersebut. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 menyebutkan beberapa kegiatan yang diperkenankan dan yang dilarang dalam kawasan konservasi tersebut. Kegiatan yang diperkenankan dan dilarang ditampilkan pada Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2. Kegiatan yang diperkenankan dan dilarang pada kawasan konservasi

No. Jenis

kawasan Kegiatan yang dapat dilakukan Kegiatan yang dilarang

1. Cagar Alam Penelitian dan pengembangan,

ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnnya yang menunjang budidaya

Yang dapat mengakibatkan

perubahan terhadap keutuhan cagar alam

2. Suaka

Margasatwa

Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnnya yang menunjang budidaya

Yang dapat mengakibatkan

perubahan terhadap suaka

margasatwa; larangan tersebut

tidak termasuk didalamnya

kegiatan pembinaan untuk

kepentingan satwa dalam suaka margasatwa

3. Taman

Nasional Penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

budidaya dan wisata alam

Yang dapat mengakibatkan

perubahan terhadap zona inti taman nasional; yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lainnya dalam taman nasional

4. Taman

Hutan Raya Penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

budidaya dan wisata alam

Yang dapat mengakibatkan

perubahan terhadap suaka

margasatwa; larangan tersebut

tidak termasuk didalamnya

kegiatan pembinaan untuk

kepentingan tumbuhan dalam taman hutan raya

5. Taman

Wisata

Penelitian, ilmu pengetahuan,

pendidikan, menunjang

Yang dapat mengakibatkan

86 -

BPK Manokwari

Alam budidaya dan wisata alam margasatwa; larangan tersebut

tidak termasuk didalamnya

kegiatan pembinaan untuk

kepentingan satwa dan

tumbuhandalam taman wisata alam

Data Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (DitJen PHKA et al. 2003), kawasan konservasi di Indonesia mencakup areal seluas 23,05 juta hektar terdiri dari Kawasan Suaka Alam (KSA) yang berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM), Kawasan Pelestarian Alam (KPA) seperti Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Raya THR), dan kawasan lainnya seperti Taman Buru (TB). Namun dengan seiring adanya penambahan wilayah pemekaran yang terjadi, pemerintah telah menetapkan 535 unit lokasi kawasan konservasi, yang terdiri dari fungsi kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru dengan luas total sekitar 28,26 juta hektar (Departemen Kehutanan, 2006).

Papua (termasuk Papua Barat) adalah salah satu yang memiliki kawasan konservasi terbesar dan terluas yaitu sekitar 11.041.251,74 ha terbentuk dalam 52 unit penetapan kawasan (Departemen Kehutanan, 2006), jumlah penetapan kawasan tersebut sama dengan di Propinsi Jawa Barat, namun luas areal terdapat sekitar 176.664,74 ha.

Luasnya kawasan konservasi di Papua, merupakan hal yang tidak mudah dalam pengawasannya. Dimana tentunya banyak kendala dan hambatan yang terjadi dalam pengelolaanya. Beberapa diantaranya yang menjadi masalah kronis adalah penebangan liar (illegal logging), perburuan flora dan fauna liar, dan perubahan habitat karena peruntukan lainnya (seperti jalan, lahan perkebunan, pertanian dan pemukiman). Pendekatan konservasi dapat dilakukan, sebagai upaya meminimalisir kerusakan kawasan hutan dan tentunya keberadaan flora dan fauna yang ada didalamnya. Melalui pelatihan, pembekalan, bantuan bidang teknis dan penyadaran akan pentingnya konservasi, atau memberi kompensasi/bantuan secara langsung diharapkan dapat menekan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh masyarakat disekitar atau diluar kawasan hutan. Upaya lain yang dapat dilakukan melalui pendekatan pengembangan pemanfaatan oleh masyarakat sekitar hutan, dimana sebagian masyarakat lokal telah memiliki etika konservasi atau dapat disebut Kearifan Lokal yang kuat. Masyarakat lokal seringkali menerapkan pengetahuan ekologi tradisional sekalipun samar atau kurang jelas (Folke and Colding 2001), untuk menciptakan praktek-praktek pengelolaan lingkungan yang berhubungan dengan sistem nilai dan kepercayaan setempat, serta di dukung aturan baik berasal dari kesepakatan komunitas maupun tokoh masyarakat setempat. Di Papua, kearifan lokal yang ditunjukkan oleh masyarakat adat umumnya dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dan dalam hubungan kekerabatan. Seperti pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan obat dan satwa sebagai bagian dari hubungan kerabat (turunan/moyang) mereka, masih dapat ditemukan. Pendekatan-pendekatan tersebut yang kemungkinan diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif dalam menjaga kelestarian kawasan konservasi di Papua. Indrawan et al. (2007), melaporkan bahwa di Papua dan Irian Jaya Barat terdapat tidak kurang dari 250

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011

- 87

kelompok etnik masyarakat setempat yang banyak diantaranya membangun aturan untuk hidup harmonis dengan alam, termasuk masyarakat Asmat di pesisir Teluk Bintuni, Papasena di DAS Mamberamo, Ekari di danau-danau Paniai, Dani di Pegunungan Lembah Baliem, Papua yang mampu hidup berdampingan dengan alam.

II. ISI

Dalam dokumen Ekspose Hasil-hasil Penelitian i (Halaman 106-109)