• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengedaran Uang Dan Temuan Uang

Dalam dokumen Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang (Halaman 89-98)

Palsu

Penggunaan uang kartal oleh masyarakat sepanjang tahun 2009 yang tercermin dari jumlah uang beredar di masyarakat (UYD) masih menunjukkan peningkatan yaitu dari rata-rata Rp220,8 triliun menjadi Rp244,4 triliun, meskipun dengan laju pertumbuhan yang melambat yaitu dari 26,3% pada tahun 2008 menjadi 10,7% pada tahun 2009. Pertumbuhan UYD pada 2009 tersebut merupakan pertumbuhan terendah selama 5 tahun terakhir. Perlambatan pertumbuhan UYD tersebut sejalan dengan perlambatan kegiatan ekonomi nasional paska krisis keuangan global yang terjadi sejak triwulan IV-2008 serta rendahnya inflasi. Kegiatan pengedaran uang yaitu aliran uang yang keluar dari BI ke perbankan dan masyarakat (outflow) mengalami penurunan sebesar 9,3%, sedangkan jumlah uang kartal yang masuk ke BI dari perbankan dan masyarakat (inflow) meningkat sebesar 4,2%. Meskipun demikian, outflow sepanjang tahun 2009

masih lebih tinggi daripada inflow atau terjadi net outflow sebesar Rp12,8 triliun yang mencerminkan masih adanya tambahan kebutuhan uang kartal untuk kegiatan transaksi ekonomi.

Jumlah pemusnahan uang kartal pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 29,4% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal tersebut dilakukan dalam rangka menjaga kecukupan persediaan uang kartal hingga akhir tahun.

Berdasarkan temuan uang palsu baik melalui perbankan, masyarakat, serta pengungkapan kasus kejahatan uang palsu, terjadi penurunan jumlah temuan uang palsu sebesar 8,2% dibandingkan temuan tahun sebelumnya, dengan rasio berkisar antara 8 sampai 9 lembar temuan uang palsu per satu juta lembar uang kertas pecahan Rp1.000 ke atas yang diedarkan.

Perkembangan Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD)

Pola kebutuhan uang kartal di masyarakat masih cenderung mengikuti pola musiman sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, yaitu terjadi peningkatan pada periode hari raya keagamaan dan tahun baru (grafik 1). Secara nominal, jumlah UYD rata-rata menunjukkan kenaikan sebesar 10,7% yaitu dari Rp220,8 triliun menjadi Rp244,4 triliun, namun dengan laju pertumbuhan yang melambat bahkan tercatat sebagai laju pertumbuhan terendah dalam 5 tahun terakhir. Perlambatan laju pertumbuhan UYD berlangsung secara konsisten sejak triwulan I, bahkan laju pertumbuhan tertinggi yang umumnya terjadi di triwulan III atau bersamaan dengan hari raya keagamaan, justru memperlihatkan pertumbuhan yang relatif rendah (tabel 1). Namun demikian, pangsa UYD yang berada di perbankan menunjukkan peningkatan dari 15,4% menjadi 16,5%. Hal ini mencerminkan bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi (4,4%) paska krisis global dan tekanan inflasi

 Halaman 84 

yang rendah (3%) berindikasi terhadap melambatnya pertumbuhan kebutuhan uang di masyarakat.

Grafik 1. Perkembangan UYD 2005-2009

Pertumbuhan rata-rata UYD harian secara gradual menunjukan penurunan sejak triwulan I sampai triwulan IV yaitu dari 15,4% menjadi 6,0% (tabel 1). Kondisi ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu cenderung mengalami kenaikan di triwulan III yang bersamaan dengan periode hari raya keagamaan. Hal tersebut sejalan dengan perkembangan faktor fundamental ekonomi yang terjadi pada tahun 2009. Meskipun demikian, secara nominal kebutuhan uang kartal tertinggi tetap terjadi pada masa menjelang hari raya, yaitu Rp281,9 triliun pada tanggal 17 September 2009 atau 2 hari menjelang libur lebaran.

Sebagian besar UYD berada di masyarakat yang mencapai kisaran 80,4% sampai dengan 85,7% atau rata-rata bulanan sebesar 83,5%. Pangsa tersebut lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 83,5%. Pangsa UYD di perbankan pada tahun 2009 lebih tinggi dari tahun sebelumnya yaitu dari 15,4% menjadi 16,5%. Peningkatan likuiditas uang kartal di perbankan tersebut terjadi sejak triwulan IV-2008 atau bersamaan dengan terjadinya periode krisis keuangan global yang mencerminkan upaya bank untuk mengantisipasi kebutuhan penarikan uang kartal oleh nasabah dan masyarakat, sedangkan kelebihan likuiditas yang kemungkinan terjadi di perbankan dapat diserap melalui transaksi uang kartal antar bank yang telah berlangsung sejak tahun 2007.

2006 2007 2008 2009 Nominal (Triliun Rp) Rata2 Harian 144.50 174.80 220.82 244.38 Posisi akhir th 178.57 220.79 264.39 279.03 Rata2 triwulan - Tw-1 132.71 160.80 204.03 235.37 - Tw-2 135.95 160.75 206.50 232.61 - Tw-3 147.26 176.76 230.18 252.58 - Tw-4 161.72 200.42 242.05 256.65 Pertumbuhan (yoy) Rata2 Harian 14.60% 20.97% 26.33% 10.67% Posisi akhir th 23.26% 23.64% 19.75% 5.54% Rata2 triwulan - Tw-1 12.62% 21.17% 26.88% 15.36% - Tw-2 15.22% 18.24% 28.46% 12.65% - Tw-3 15.59% 20.03% 30.22% 9.73% - Tw-4 14.82% 23.93% 20.77% 6.03%

Tabel 1. Perkembangan Rata-rata UYD

Jumlah UYD pada posisi akhir tahun 2009 tercatat Rp279,0 triliun, meningkat 5,5% dari posisi yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp264,4 triliun. Dari jumlah tersebut, pangsa uang kertas (UK) yang diedarkan sebesar 98,9% dari total UYD.Berdasarkan komposisi UYD per pecahan, pangsa UYD terbesar adalah pecahan Rp100.000 (48,0%) dan pecahan Rp50.000 yaitu 40,9%. Adapun pangsa uang pecahan Rp20.000 sedikit menurun menjadi 3,4% dan uang kertas pecahan kecil (Rp10.000 ke bawah) sebesar 7,6% dari total uang kertas yang diedarkan (Grafik 2).

 Halaman 85 

Periode

2008 2009

Masy Bank Masy Bank

Januari 82.1% 17.9% 80.4% 19.6% Februari 84.0% 16.0% 82.6% 17.4% Maret 84.4% 15.6% 83.8% 16.2% April 86.0% 14.0% 83.7% 16.3% Mei 85.7% 14.3% 84.4% 15.6% Juni 87.3% 12.7% 85.7% 14.3% Juli 85.9% 14.1% 83.4% 16.6% Agustus 85.8% 14.2% 84.1% 15.9% September 85.6% 14.4% 82.9% 17.1% Oktober 80.3% 19.7% 82.0% 18.0% November 84.1% 15.9% 84.6% 15.4% Desember 84.1% 15.9% 84.0% 16.0% Rata-rata Bulanan 84.6% 15.4% 83.5% 16.5% Triwulan I 83.4% 16.6% 82.3% 17.7% Triwulan II 86.3% 13.7% 84.6% 15.4% Triwulan III 85.7% 14.3% 83.5% 16.5% Triwulan IV 82.8% 17.2% 83.5% 16.5% Total 84.6% 15.4% 83.5% 16.5%

Tabel 2. Pangsa UYD di Masyarakat dan Perbankan

Berdasarkan jumlah lembar/keping uang yang diedarkan, didominasi oleh pecahan Rp10.000 ke bawah yang mencapai 61,6%. Namun demikian, pangsa tersebut menunjukkan kecenderungan yang menurun sedangkan pangsa pecahan besar justru menunjukkan kenaikan. Hal ini mencerminkan adanya peningkatan kebutuhan uang pecahan besar untuk kebutuhan transaksi masyarakat maupun untuk kepentingan pemenuhan likuiditas di perbankan.

Perkembangan Aliran Keluar dan Masuk Uang Kartal Melalui BI

Jumlah aliran uang yang keluar dari BI ke perbankan dan masyarakat (outflow) menunjukkan penurunan sebesar 9,3% dari Rp226,1 triliun menjadi Rp205,1 triliun sedangkan aliran uang yang masuk ke BI dari perbankan dan masyarakat (inflow) meningkat 4,2% dari Rp184,6 triliun menjadi Rp192,4 triliun. Meskipun terjadi penurunan outflow, namun jumlah outflow lebih besar daripada inflow sehingga masih terdapat penambahan kebutuhan uang kartal di masyarakat (Grafik 4).

Pola outflow uang kartal secara triwulanan memperlihatkan aliran yang sejalan dengan periode tahun sebelumnya, dengan slope yang lebih rendah. Sepanjang triwulan I sampai triwulan III, jumlah

outflow cenderung meningkat, sedangkan di triwulan

IV mengalami penurunan meskipun dengan jumlah Grafik 2. Pangsa Pecahan UYD Berdasarkan Nominal

 Halaman 86 

yang lebih tinggi dari outflow pada 2 triwulan pertama. Jumlah outflow uang kartal tertinggi tercapai di triwulan III yang mencapai Rp70,8 triliun dan triwulan IV yaitu Rp58,4 triliun atau berbarengan dengan periode liburan sekolah dan hari raya keagamaan (lebaran) pada triwulan III, serta natal dan tahun baru pada periode triwulan IV.

Grafik 4. Perkembangan Outflow dan Inflow Uang Kartal

Grafik 5. Perkembangan Outflow Uang Kartal

Kecenderungan inflow dengan jumlah relatif rendah terjadi di triwulan II dan III, dan mengalami kenaikan pada triwulan I dan IV. Kenaikan jumlah inflow di triwulan I dan IV berkaitan dengan penerapan kebijakan diskresi untuk menyerap kelebihan likuiditas uang kartal di perbankan paska liburan hari raya keagamaan yang terjadi di triwulan sebelumnya. Jumlah net outflow yang mencerminkan adanya tambahan kebutuhan uang kartal di masyarakat pada tahun 2009 mencapai sebesar Rp12,8 triliun atau menurun cukup signifikan dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya yang mencapai Rp41,4 triliun. Penurunan tersebut sejalan dengan perlambatan faktor fundamental ekonomi Indonesia

juga didukung dengan upaya perbankan untuk memelihara kecukupan likuiditas uang kartal dalam jumlah yang optimal untuk mengantisipasi kebutuhan uang kartal masyarakat. Fluktuasi net flow uang kartal secara triwulanan di tahun 2009 juga sejalan dengan pola tahun sebelumnya yaitu kenaikan kebutuhan uang kartal pada periode liburan hari raya keagamaan di triwulan III yang dilanjutkan dengan kenaikan pengaliran uang kartal yang kembali ke BI sehingga terjadi net inflow di triwulan I.

Grafik 6. Perkembangan Inflow Uang Kartal

Grafik 7. Perkembangan Net Flow Uang Kartal

Secara regional, jumlah outflow terbesar masih terjadi di wilayah KP dan Sumatera yang mencapai 31,9% dan 26,4% dari total outflow selama tahun 2009. Pangsa outflow di KP menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya, sedangkan di wilayah Sumatera menunjukkan pangsa yang menurun yaitu dari masing-masing 29,6% dan 27,5% (grafik 8). Tingginya jumlah outflow di wilayah Sumatera tersebut menggantikan posisi outflow di wilayah Pulau Jawa (tidak termasuk KP) sejak tahun 2007.

Adapun jumlah inflow berdasarkan wilayah, pangsa terbesar masih terjadi di wilayah Pulau Jawa (non KP)

 Halaman 87 

dan KP masing-masing sebesar 37,1% dan 25,5% dari total inflow. Pada tahun sebelumnya, pangsa inflow di wilayah Sumatera menunjukkan angka yang lebih tinggi dari KP. Kondisi ini mencerminkan adanya pergeseran kembali tingkat pengembalian uang kartal dari perbankan dan masyarakat tersebut sebagaimana terjadi di tahun 2005.

Hampir seluruh wilayah di KP dan KBI mengalami penurunan outflow, sedangkan kenaikan inflow terjadi di wilayah KP dan Jawa, serta Kalimantan. Penurunan outflow tersebut dan dalam jumlah yang relatif stabil dalam jangka panjang diharapkan dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat dan perbankan terhadap uang kartal. Kenaikan jumlah inflow yang terjadi di wilayah KP dan Jawa dimungkinkan terjadi karena masih adanya penerapan kebijakan diskresi untuk mengantisipasi kelebihan likuiditas uang kartal layak edar di perbankan.

2006 2007 2008 2009 KP (34.0) (24.2) (27.6) (16.3) JAWA NON KP 29.0 20.6 23.2 32.1 BALI+NT (2.8) (2.8) (4.1) (2.5) SUMATERA (11.1) (19.0) (15.4) (12.5) KALIMANTAN (8.0) (9.1) (10.6) (9.0) SULAMPUA (6.2) (7.1) (6.9) (4.5) (33.0) (41.6) (41.4) (12.8) Tabel 3. Net Flow Uang Kartal Berdasarkan Wilayah (Triliun Rp)

Posisi Kas Bank Indonesia

Rata-rata posisi kas Bank Indonesia selama tahun 2009 menunjukkan jumlah tertinggi dalam 10 tahun terakhir, yaitu Rp132,5 triliun. Perkembangan posisi kas BI selama 2009 tersebut berfluktuasi sejalan dengan perkembangan permintaan uang kartal masyarakat. Posisi kas BI terendah dalam tahun 2009 tercatat pada awal tahun 2009. Dengan menerapkan kebijakan untuk menjaga tingkat kesegaran uang di masyarakat melalui pengetatan uang kartal yang dimusnahkan, serta dengan didukung oleh pelaksanaan pengadaan uang yang terencana, maka jumlah persediaan kas BI pada tahun 2009 rata-rata Grafik 8. Pangsa Outflow Berdasarkan Wilayah

Grafik 9. Pangsa Inflow Berdasarkan Wilayah

WILAYAH OUTFLOW INFLOW 2007 2008 2009 2007 2008 2009 KP -31.1 15.6 -2.2 -32.6 16.7 25.0 JAWA NON KP -63.1 29.3 -11.9 -55.1 23.1 5.3 BALI+NT -55.3 5.5 -18.9 -64.9 -14.1 -2.4 SUMATERA -29.1 8.3 -12.8 -45.0 21.7 -10.9 KALIMANTAN -36.5 11.0 -4.9 -60.4 3.1 10.7 SULAMPUA -39.0 18.5 -13.8 -50.2 28.5 -6.2 -42.1 15.4 -9.3 -49.4 19.6 4.2

 Halaman 88 

sebesar di atas Rp100 triliun. Kecenderungan penurunan posisi kas secara signifikan terjadi pada periode menjelang hari raya keagamaan dan akhir tahun seiring dengan meningkatnya permintaan uang kartal oleh masyarakat (grafik 10).

Rata-rata harian posisi kas BI sepanjang tahun 2009 mencapai Rp132,5 triliun meningkat sebesar 80,7% dari rata-rata harian tahun sebelumnya yang mencapai Rp73,3 triliun. Demikian pula dengan rasio kecukupan posisi kas rata-rata harian meningkat dari 3 sampai 4 bulan rata-rata outflow menjadi 7 sampai 8 bulan

rata-rata outflow. Kenaikan rata-rata posisi kas yang

dibarengi dengan penurunan rata-rata outflow berdampak terhadap peningkatan rasio kecukupan posisi kas tersebut.

Posisi kas BI pada akhir tahun 2009 tercatat sebesar Rp114,2 triliun. Sebagian besar persediaan kas BI tersebut adalah pecahan Rp50.000 yang mencapai 61,2%. Sementara itu, berdasarkan bilyet/keping uang pecahan terbanyak adalah Rp50.000 dan Rp2.000 masing-masing sebesar 26,4% dan 16,6%. Uang pecahan Rp2.000 merupakan pecahan baru yang dikeluarkan dan diedarkan pada tahun 2009. Pangsa berdasarkan lembar uang pecahan tersebut cukup tinggi guna mengantipasi substitusi pecahan Rp5.000 dan Rp1.000 yang pangsanya mengalami penurunan masing-masing dari 24,5% dan 13,1% menjadi 8,8% dan 5% dari total lembar/keping posisi kas BI.

Grafik 10. Perkembangan Persediaan Kas BI

Pemusnahan Uang

BI melakukan pemusnahan uang tidak layak edar (UTLE) berupa uang lusuh, uang rusak, uang cacat, serta uang yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran dalam rangka menjaga kualitas uang kartal yang diedarkan. Pada tahun 2009, BI menerapkan kebijakan untuk meningkatkan kesegaran uang layak edar di masyarakat dengan melakukan pengetatan uang tidak layak edar yang disetorkan perbankan ke BI, sehingga jumlah nominal pemusnahan uang mengalami penurunan sebesar 29,4%. Berdasarkan jumlah lembar uang yang dimusnahkan, terdapat penurunan sebesar 23,8% dari 4,15 miliar lembar menjadi 3,16 miliar lembar. Pemusnahan uang menunjukkan peningkatan pada triwulan I dan triwulan IV, seiring dengan meningkatnya aliran uang masuk dari perbankan dan masyarakat ke BI.

Berdasarkan wilayah kerjanya, pemusnahan uang tertinggi terjadi di wilayah Jawa dan Kantor Pusat masing-masing sebesar 43,1% dan 28,9% dari total pemusnahan uang. Tingginya pemusnahan uang di wilayah tersebut sejalan dengan tingginya inflow yang sebagian besar merupakan uang tidak layak edar. Adapun pemusnahan uang di wilayah luar Jawa menunjukkan pangsa yang menurun dalam 3 tahun terakhir.

 Halaman 89 

Pecahan uang kertas yang dimusnahkan selama tahun 2009 secara nominal sebagian besar adalah pecahan Rp50.000 yang mencapai 46,7% dari total pemusanahan uang. Terdapat kecenderungan peningkatan pangsa pemusnahan uang pecahan Rp100.000 seiiring dengan semakin meningkatnya uang pecahan dimaksud di masyarakat. Sedangkan dari sisi jumlah bilyet, pecahan Rp1.000 dan Rp5.000 merupakan dua pecahan terbanyak yang dimusnahkan masing-masing 35,4% dan 20,4%.

Rasio pemusnahan terhadap inflow uang kertas pecahan Rp20.000 ke bawah cenderung stabil pada kisaran 85% ke atas, yang mencerminkan bahwa sebagian besar uang pecahan tersebut yang masuk kembali ke BI adalah uang tidak layak edar. Namun demikian rasio pemusnahan uang terhadap inflow pecahan Rp50.000 dan Rp100.000 menunjukkan penurunan. Penurunan tersebut terutama dipengaruhi

kebijakan BI untuk melonggarkan tingkat kelusuhan uang yang masuk kembali ke BI untuk pecahan tersebut dengan melakukan pengedaran kembali uang yang masih layak edar.

Grafik 14. Pangsa Pemusnahan Uang Berdasarkan Pecahan

Grafik 15. Rasio Pemusnahan Uang Terhadap Inflow

Perkembangan Temuan Uang Palsu

Jumlah temuan uang palsu selama tahun 2009 menurun sebesar 8,2%, demikian pula dengan rasionya mengalami penurunan dari 9 sampai 10 lembar temuan uang palsu setiap satu juta uang kertas yang diedarkan menjadi 8 sampai 9 lembar temuan uang palsu dari setiap satu juta lembar uang kertas yang diedarkan.

Sebagaiman tahun lalu, sebagian besar temuan uang palsu adalah pecahan Rp100.000 dan Rp50.000 masing-masing 45,8% dan 42,0%, dengan kecenderungan peningkatan pangsa temuan uang palsu pecahan Rp100.000. Selain uang kertas, pada Grafik 12. Perkembangan Pemusnahan Uang

Grafik 13. Komposisi Pemusnahan Uang (Nominal) berdasarkan wilayah

 Halaman 90 

tahun 2009 terdapat kasus pengungkapan temuan uang logam palsu pecahan Rp500 tahun emisi 2003 sebanyak 378 keping yang terjadi di wilayah Semarang. Bahan uang logam yang dipalsukan tersebut sesuai dengan spesifikasi logam uang asli, namun dengan kualitas teknik pencetakan yang kurang baik sehingga dengan kasat mata dapat dibedakan ketidakaslian uang logam tersebut.

Berdasarkan wilayah, temuan uang palsu terbesar masih bersumber dari wilayah Pulau Jawa, yaitu dari wilayah Kantor Pusat sebesar 44,1%, KKBI Bandung dan KKBI Semarang masing-masing sebesar 15,7% dan 15,3% dari total temuan uang palsu.

Pecahan 2006 2007 2008 2009 100.000 42.00% 39.60% 43.70% 45.82% 50.000 46.00% 47.60% 43.90% 42.01% 20.000 8.50% 6.60% 5.40% 6.81% 10.000 2.70% 4.80% 5.10% 3.87% 5.000 0.90% 1.40% 1.90% 1.49% 1.000 0.00% 0.00% 0.00% 0.09% Jumlah 100% 100% 100% 100%

Tabel 5. Komposisi Temuan Uang Palsu Berdasarkan Pecahan

KP/KKBI 2007 2008 2009 Kantor Pusat 26.90% 27.80% 44.05% Medan 1.00% 2.40% 0.94% Padang 4.40% 1.70% 1.22% Palembang 1.50% 5.90% 3.16% Bandung 5.80% 8.30% 15.66% Semarang 13.40% 17.70% 15.30% Surabaya 28.00% 21.90% 12.36% Denpasar 5.20% 4.20% 4.07% Banjarmasin 11.90% 6.00% 1.72% Makassar 2.00% 4.00% 1.52% Jumlah 100% 100% 100%

 Halaman 91 

 Halaman 92 

Dalam dokumen Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang (Halaman 89-98)