• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Pembahasan 1. Identitas

C.3. Perempuan Dalam Media

Media bisa dikatakan merupakan jembatan penghubung antara audience media tersebut dengan dunia. Dalam perkembangannya, kemudian ada muncul istilah old media dan new media. Pemberian istilah ini bukan secara serta merta karena berdasarkan waktu kemunculannya. Terry Flew mengatakan kunci pemahaman akan new media adalah adanya digitisasi informasi dan konvergensi antara computing, communication, and media information content (Flew, 2005:10). Dijelaskan lebih lanjut, adanya konvergensi dan digitisasi ini pada akhirnya akan mengacu pada dua ciri khas new media, yaitu adanya interaktivitas yang tinggi diantara pengguna media dan terbangunnya jaringan/network yang mampu mengkaitkan para penggunanya. Pemahaman adanya konvergensi dan digitisasi yang menghasilkan interaktivitas yang tinggi dan terbangunnya

commit to user 244

jaringan/network yang mampu mengkaitkan para penggunanya inilah yang membedakan antara new media dan old media. Bagaimana media ini menjalankan fungsinya sebagai penghubung antara audiencenya dengan dunia, salah satunya dilakukan dengan kemampuan media tersebut mengakomodasi kebutuhan penggunanya dalam menampilkan identitas dirinya pada dunia. Sebagaimana telah diungkapkan diawal pembahasan penelitian ini, bahwa tampilan identitas pengguna media dalam new media dan old media berbeda, termasuk juga tampilan identitas perempuan sebagai bagian dari pengguna media itu sendiri.

Budaya dan nilai yang dipegang dan berlaku di masyarakat Indonesia pada khususnya, dan dunia pada umumnya, membawa lahirnya aturan-aturan bagaimana kelompok masyarakat tertentu hendaknya menampilkan dirinya. Kata dan norma yang berlaku umunya telah dibentuk oleh kelompok yang dominan dalam masyarakat. Hal ini juga berlaku pada dalam old media. Perempuan misalnya, sebagai kelompok subordinat, telah ditentukan bagaimana mereka selayaknya bersikap dan menampilkan dirinya. Kebebasan tentunya kurang dirasakan perempuan dalam old media.

Dominasi laki-laki dalam old media menyebabkan perempuan dalam old

media diperlakukan secara tidak adil. Perempuan kurang mendapat tempat yang

seimbang dibanding laki-laki. Perempuan dalam old media terbatas dalam hal berekspresi, mengungkapkan pendapatnya.. Tampilan perempuan pun “dipaksa” sesuai dengan selera pihak yang lebih dominan, tanpa diberikan ruang yang luas untuk melakukan pilihan atas bagaimaan tampilan yang diinginkan perempuan itu sendiri. Perempuan dalam old media ditampilkan masih seputar urusan dapur dan

commit to user 245

kasur. Perempuan dalam old media ditampilkan sebagai sosok yang halus dan lembut dalam bertutur maupun bersikap, serta sabar dalam menghadapi suatu masalah. Perempuan juga ditampilkan sebagai pihak yang ditekan, pihak yang diam dan lemah, serta pihak yang berada dibawah kuasa pria.

Meski telah ada beberapa gerakan perempuan sendiri dalam usaha mendobrak kuasa tampilan perempuan dalam old media, lewat karya, prestasi, tulisan-tulisannya, namun kenyataannya kuasa akan perempuan tersebut masih belum sepenuhnya lepas membebaskan perempuan dari ikatan-ikatan yang membatasinya. Sejalan dengan pemikiran peneliti, lebih lanjut lagi, penelitian yang dilakukan Cici Eka Iswayuningtyas dari UMM tahun 2003 menunjukkan bahwa perempuan kelas atas yang seharusnya lebih diuntungkan dengan kelas sosial yang dimiliki, karena faktor internal (kurangnya motivasi dan kesadaran), maupun faktor eksternal (budaya patriarkhi yang berakibat pada pembatasan mobilitas sosial) menjadi pihak yang lebih banyak mengalami ketidakadilan jender (38 %) dalam media dibandingkan dengan perempuan kelas bawah (31 %). Kondisi ini banyak muncul karena persoalan hukum, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan, serta budaya patriarkhi yang dianut yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan jender terhadap perempuan.

Pemaparan pemikiran perempuan dalam old media diatas sejalan dengan apa yang diungkap Cheris Kramarae dalam muted group theory bahwa media, dalam hal ini old media, tidak memposisikan semua orang secara sama (Griffin, 2011:494-499). Dia menjelaskan bahwa perempuan dan anggota dari kelompok subordinat lain, tidaklah bebas atau bisa mengatakan apa, yang ingin mereka

commit to user 246

katakan, kapan, dan di mana, karena kata-kata dan norma-norma yang mereka gunakan telah diformulasikan oleh kelompok dominan..

Pada dasarnya studi tentang bagaimana tampilan perempuan dalam old

media, sudah pernah dilakukan sebelumnya. Hampir semua studi yang ada

menunjukkan bahwa terjadi kondisi terbisukan pada perempuan dalam media. Diah Wulandari dalam Jurnal yang ditulisnya menyebutkan bahwa konstruksi pemberitaan bencana masih memperlihatkan bahwa perempuan terabaikan. (Wulandari, 2009 : 1-14). Salah satu contohnya adalah masalah yang dihadapi perempuan terkait toilet yang dindingnya dibuat menggantung, sehingga menyulitkan perempuan untuk buang air besar atau kecil. Kondisi terabaikannya perempuan ini terlihat dari masih minimnya pemberitaan tentang banyaknya persoalan dihadapi perempuan korban bencana, sehingga menyebabkan publik pun tidak memperhatikannya. sampai ke publik melalui pemberitaan media.

Penelitian lain juga dilakukan Nurul Islam, tahun 2008, yang menunjukkan kembali bahwa perempuan pada media massa tak lebih dari sekedar alat untuk mendapatkan laba. Tampilan perempuan diolah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan selera pasar (Islam, 2008: 89-100). Tulisan Huzaemah, SPd, yang dimuat pada harian Suara Merdeka edisi 11 Januari 2012 menunjukkan salah satu hasilnya, dimana dikatakan perempuan dalam old media masih banyak dijadikan objek. Hal ini lah yang menjadi bukti masih adanya ketidakadilan gender, yang kemunculan ketidakadilan gender ini berakar pada budaya patriarki. Perempuan dalam old media masih ditonjolkan dalam perannya di ranah domestik

commit to user 247

dibanding di ranah publik. Huzaemah menekankan bahwa media perlu memiliki perspektif gender yang tepat dalam pemberitaannya

Ketidakberpihakan media pada perempuan juga diperlihatkan pada hasil penelitian Sasa Djuarsa Sendjaja dan kawan-kawan tahun 2003 tentang Reaktualiasasi Cerita Anak-Anak : Eliminasi Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Media Anak-Anak Indonesia, dimana diperlihatkan bahwa pada cerita anak-anak dalam berbagai majalah anak-anak yang diteliti ternyata dijumpai perilaku kekerasan personal secara fisik, prikologis, seksual, dan finansial terhadap tokoh perempuan. Lebih lanjut dipaparkan, bahwa perempuan juga digambarkan pada posisi reproduksi dalam rumah tangga yaitu ibu rumah tangga.

Kemudian menjadi pertanyaan besar, adalah bagaimana identitas perempuan dalam new media. Jika dalam old media perempuan mengalami penekanan tertentu sehingga penampilan identitasnya pun menjadi terbatas, apaka demikian juga halnya yang terjadi dalam new media. kehadiran new media yang menawarkan interaktifitas dan parlakuan yang sama bagi semua penggunanya, harusnya membawa angin segar bagi perempuan dalam menampilkan identitasnya. Apalagi ditambah dengan bermunculannya media sosial sebagai perkembangan dari new media. Media sosial dipahami sebagai sekelompok jenis media online, yang memiliki karakteristik tertentu (Mayfield, 2008:5). Karakteristik tersebut adalah:

1. Adanya partisipasi penggunanya untuk memberi kontribusi sekaligus memberi umpan balik, sehingga batasan antara media dengan audience menjadi kabur.

commit to user 248

2. Semua pengguna terbuka untuk berpartisipasi secara aktif, dimana hambatan yang muncul dalam mengakses informasi dan pembuatan konten hampir tidak ada.

3. Alur komunikasi pada media sosial merupakan alur komunikasi dua arah. 4. Media sosial memungkinkan terbentuknya komunitas secara cepat dan

terbentuknya komunikasi yang efektif, sesuai dengan kesamaan yang dimiliki.

5. Kemampuan untuk terhubung dengan link lain, baik itu situs, sumber atau orang lain meningkat.

Media sosial dengan karakteristik yang mengiringi seharusnya makin memperluas ruang bagi tiap orang, termasuk perempuan untuk mempresentasikan diri secara bebas. Hal ini dimungkinkan karena tiap orang bisa memproduksi sendiri pesan apa dan bagaimana penyampaiannya dalam media sosial. Setiap pengguna media sosial memiliki kuasa penuh atas konten apa yang ingin diunggahnya. Sehingga bisa dikatakan pengelolaan konten dipegang oleh pengguna media sosial itu sendiri, dengan kata lain dalam media sosial pengguna dan penikmatnya sekaligus juga merupakan pengelolanya. Idealnya kelompok subordinat dan kelompok superordinat telah melebur dalam media sosial. Tidak ada penekanan penekanan atas kelompok yang lebih minoritas. Semua pihak memiliki kebebasan dalam mengekspresikan diri dan pendapatnya.

Gambaran kondisi ideal dalam media sosial diatas muncul pada hasil penelitian yang dilakukan Elisabeth Shinta dan Riris Loisa pada kelompok lesbian. Ditunjukkan pada penelitian tersebut bahwa kehadiran Facebook sebagai

commit to user 249

new media, telah memberi kesempatan bagi perempuan lesbian untuk lebih berani

menampilkan identitas dirinya sebagai lesbian (Shinta & Loisa, 2011 :36-41). Dijelaskan pula, bahwa pengidentifikasian tersebut muncul dari profile picture, nama akun, informasi diri, hingga status yang dibuat. Intinya adalah kehadiran Facebook dirasakan cukup membantu perempuan lesbian untuk berani dalam menampilkan dirinya.

Namun demikian, ternyata kondisi ideal ini tidak berlaku pada semua kelompok. Terbukti bahwa perempuan sebagai salah satu kelompok subordinat belum mendapatkan kebebasannya dalam menampilkan dirinya dalam Facebook. Perempuan yang menjadi narasumber pada penelitian ini, dalam Facebook memang terlihat telah mengelola sedemikian rupa tampilan identitasnya, supaya apa yang ditampilkan sesuai dengan apa yang ingin ditunjukkan, dan privasi perempuan sebagai individu tetap terjaga dalam jejaring pertemanan yang dimilikinya. Namun ternyata pengelolaan identitas yang muncul masih banyak (meski tidak semuanya) yang disandarkan pada bagaimana perempuan “selayaknya” sesuai aturan dan norma patriarki yang berjalan. Bahwa tampilan perempuan dalam Facebook belum lepas sepenuhnya dari gambaran sosok ibu, istri, penyayang, sabar, tabah dalam hidup dan kurang berdaya, dengan penggunaan kata – kata yang tidak keras dan tidak menyinggung sehingga tidak memicu perselisihan. Pada titik ini menunjukkan perempuan dalam Facebook masih banyak ditemukan yang masih terikat pada kondisi muted, yang cenderung memilih menampilkan dirinya dibalik bayang-bayang identitas yang lain.

commit to user 250

Dari penelitian ini ditemukan pula bahwa dalam Facebook, perempuan masih kurang merasakan kebebasan sebagaimana idealnya bisa mereka dapat dalam media sosial, mereka merasakan ketakutan akan kesalahan dalam berbicara, dan masih kurang berani menghadapi resiko atas apa yang diunggahnya, atas apa yang ditampilkannya dalam akun Facebooknya. Perempuan bahkan mengakui bahwa kebebasan lebih dirasakan ketika berinteraksi dengan orang lain di dunia nyata. Karena kesalahpahaman dirasakan lebih bisa diminimalisir. Dengan demikian interaktivitas tinggi antar pengguna yang ditawarkan Facebook ternyata tidak berimbas banyak pada keberanian perempuan penggunanya mengekspresikan dirinya.

Keadaan yang hampir sama ditemukan Gita Aprinta dalam penelitian yang dilakukannya pada Twitter terhadap penderita HIV/AIDS dan kaum Gay, yang notabenenya merupakan kelompok minoritas di masyaratakat. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa teks dalam twitter memiliki potensi munculnya dominasi simbolik yang secara langsung maupun tidak langsung melakukan penekanan tertentu penderita HIV/AIDS dan kaum Gay (Aprinta, 2011:98). Ditemukan pula bahwa teks dalam Twitter juga memiliki potensi munculnya stigma negatif akan suatu hal karena penggunaan kata yang kurang tepat.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam media sosial, narasumber-narasumber perempuan disini masih tetap mempertimbangkan presentasi dirinya, tampilan identitasnya, agar sesuai dengan penerimaan masyarakat yang tentunya dipengaruhi oleh budaya, yang didalamnya terkandung bahasa man-made constructions dalam budaya patriarki. Kondisi inilah yang

commit to user 251

membuat kondisi muted tetap terjadi pada perempuan dalam Facebook, walau Facebook telah menawarkan kebebasan untuk menampilkan identitas diri pada semua penggunanya termasuk perempuan.

Kenyataan masih ditemukannya kondisi muted pada perempuan dalam media sosial, sebagaimana dipaparkan diatas, diungkap pula oleh Laura Miller, seorang aktivis feminis online, bahwa kenyataannnya perempuan dalam beraktivitas di internet pada dasarnya tetap sadar akan peran gender yang melekat padanya sebagai perempuan (Flew, 2002: 89-91). Dalam arti jika yang ditunjukkan tidak sesuai dengan peran gender yang seharusnya dipegang perempuan, maka perempuan tersebut dianggap tidak feminim dan bukan perempuan yang baik. Keadaan ini sejalan dengan teori dramaturgi yang diungkapkan Goffman menyebutkan bahwa seseorang akan mengelola sedemikian rupa tampilannya identitas dirinya didepan orang lain, memprediksi penerimaan seseorang akan apa yang ditampilkan, serta merencanakan sikap terkait prediksi penerimaan oleh orang lain tersebut. (Santoso & Setiansah, 2010: 52-53).

Selain ditemukan masih adanya kondisi muted pada penampilan identitas perempuan dalam facebook, dalam penelitian ini ditemukan pula bahwa dalam facebook terjadi gender trouble. Kondisi terjadinya gender trouble pada perempuan dalam facebook terlihat dari adanya penggunaan nama akun yang menggunakan nama alias yang mengarah ke nama laki-laki. Narasumber terkait, menunjukkan bahwa dirinya merasa nyaman beraktifitas di facebook dengan melakukannya dan menyadari secara penuh atas apa yang dilakukannya. Disamping dari sisi material, gender trouble dalam penelitian ini juga terlihat dari

commit to user 252

ditemukannya gaya bahasa maskulin yang digunakan perempuan dalam menuliskan statusnya. Dalam hal ini, kembali narasumber perempuan terkait juga menyadari secara penuh atas apa yang dilakukannya, bahkan mengatakan siap menghadapi segala resiko yang ada. Kedua hal tersebut menunjukkan kondisi

gender trouble, meski tidak banyak, terjadi pula pada perempuan dalam facebook.

Judith Butler menyatakan pulan bahwa Gender trouble ini terjadi karena suatu identitas yang ditampilkan tidak sesuai dengan norma kultural yang berjalan. (Butler, 1999:22-33).

Disamping temuan bahwa kondisi muted dan gender trouble ada ditemukan terjadi pada perempuan dalam facebook, dalam penelitian ini nampak pula bahwa strategi penampilan identitas perempuan dalam Facebook ada beragam, yaitu menampilkan identitas perempuan lemah, identitas ibu rumah tangga ideal, identitas perempuan perkasa, serta identitas perempuan kompeten.

Strategi identitas perempuan lemah adalah perempuan yang cenderung menampilkan posisi diri lemah dan sub ordinat. Strategi identitas ibu rumah tangga ideal merupakan strategi dimana perempuan dalam facebook cenderung menampilkan dirinya sebagai sosok yang tabah, tekun, dan menemptakan keluarganya pada urutan pertama dalam hidupnya. Perempuan yang dikatakan menggunakan strategi identitas perempuan perkasa merupakan perempuan yang dalam menampilkan dirinya menunjukkan bahwa dirinya adalah sosok yang kuat, tegas, superior. Mereka tak ragu menunjukkan kekuatannya, ketegasannya, dan seolah superior yang mampu mengatasi segalanya serta kuat menghadapi tantangan. Strategi identitas terakhir yang ditemukan dalam penelitian ini adalah

commit to user 253

strategi identitas perempuan kompeten. Mereka yang menggunakan strategi ini cenderung menampilkan dirinya memiliki keahlian dibidang tertentu, mengerti akan suatu hal secara lebih mendalam, dan memiliki keberanian dan kebanggaan untuk menunjukkannya.

Strategi tampilan identitas yang disebut diatas merupakan strategi secara umum yang ditampilkan perempuan dalam Facebook. Dikatakan strategi secara umum, karena tidak ditemukan perempuan yang tampak seratus persen (100%) menampilkan satu tampilan identitas saja. Dengan kata lain, strategi umum disini merupakan kecenderungan utama strategi perempuan menampilkan identitas diri dalam facebook.

Munculnya beragam strategi tampilan identitas perempuan dalam facebook ini sejalan pemahaman bahwa identitas personal seseorang merupakan satu konsekuensi terkait keberadaan kita atau posisi kita pada suatu lingkungan. (Littlejohn, 2009: 491). Ada ditemukan perempuan yang dalam menampilkan dirinya masih lebih nyaman dengan menyertakan identitas pendamping yang dimiliki. Namun disisi lain ditemukan juga perempuan yang telah mulai menyadari, bahwa sebenarnya dalam Facebook mereka bisa lebih mengekspresikan dirinya, menunjukkan identitas dirinya secara bebas, hanya saja keberanian untuk benar-benar menunjukkan diri termasuk mengemukakan pendapat masih perlu ditingkatkan lagi.

Mengiringi temuan temuan penelitian diatas, didapatkan pula bahwa perempuan dalam facebook juga telah melakukan play identity. Play identity ini terlihat dari ditemukannya perempuan dalam facebook yang mulai mengolah dan

commit to user 254

memainkan identitas yang ditampilkannya. Pada situasi tertentu dia menunjukkan ketegasan dan keberaniannya, namun pada situasi lain perempuan menunjukkan kelemahan dan kebutuhan akan perhatian dan perlindungan. Meski tak banyak, temuan adanya play identity pada perempuan dalam facebook bisa menjadi indikasi bahwa telah terjadi permainan identitas oleh perempuan.

Sepanjang budaya patriarki di negara Indonesia masih berakar kuat dan bahasa masih dalam ranah kontruksi oleh laki-laki, maka dalam Facebook sekalipun kekuasaan patriarki masih dirasakan. Tampilkan dalam Facebook baik secara material maupun secara teks/gaya bahasa dipengaruhi etika dan norma agar bisa diterima di lingkungan sosial yang notabene.nya masih merupakan lingkungan sosial masyarakat Indonesia yang menganut kuat budaya patriarki.