• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Kemandirian Anak Tunanetra di Sekolah Luar Biasa Bagian A (Studi Kasus di SLB-A Karya Murni Medan Johor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perkembangan Kemandirian Anak Tunanetra di Sekolah Luar Biasa Bagian A (Studi Kasus di SLB-A Karya Murni Medan Johor)"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK TUNANETRA DI

SEKOLAH LUAR BIASA BAGIAN A (STUDI KASUS DI SLB-A

YAYASAN KARYA MURNI MEDAN JOHOR)

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mmemperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

Nama : BUTET AGUSNIAR MANURUNG Nim : 040902043

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

Universitas Sumatera Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

ABSTRAK BUTET AGUSNIAR MANURUNG

040902043

Perkembangan kemandirian anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Bagian A (Studi Kasus Di SLB-A Yayasan Karya Murni Medan Johor)

Masalah yang di bahas dalam penelitian ini adalah bagaimana perkembangan kemandirian anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Bagian A Yayasan Karya Murni Medan Johor dalam kehidupannya sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan kemandirian anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Bagian A Yayasan Karya Murni Medan Johor, baik itu dalam melakukan kegiatannya kehidupan sehari-hari, belajar serta keterampilan mereka yang dapat menunjang kemandirian dan kepribadian.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif, yaitu untuk menggambarkan Perkembangan Kemandirian Anak Tunanetra Sekolah Luar Biasa Bagian A (SLB-A) Yayasan Karya Murni, Medan Johor. Adapun instrumen yang digunakan dalam mengungkap fakta dan data yang ada di Sekolah Luar Biasa Bagian A (SLB-A) ini adalah melalui observasi dan wawancara terbuka. Data yang di peroleh tersebut kemudian di analisa dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu menggambarkan hasil penelitian atau fakta sebagaimana adanya.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa anak-anak tunanetra yang berada di Sekolah Luar Biasa Bagian A Yayasan Karya Murni Medan Johor tidak dapat di golongkan ke dalam anak yang tidak memiliki kemandirian karena anak yang berada di sana sudah dapat menjalankan akktifitas nya dengan sendiri nya dan keterampilan yang dimilikinya juga dapat mereka pergunakan untuk mencapai kemandirian, yaitu yang mereka peroleh dengan adanya proses pendidikan yang di berikan oleh Yayasan Karya Murni sebagai modal begi mereka untuk masa depan atau hari depan para penyandang tunanetra yang ada di Yayasan Karya Murni. Dan kegiatan yang dilakukan juga dapat mendukung mereka dalam mencapai suatu keahlian dan keterampilan mereka. Dan dari observasi yang dilakukan oleh peneliti bahwa anak tunanetra yang ada di SLB-A Yayasan Karya Murni sudah dapat di golongkan mandiri karena dari segi perkembangan kemandirian kognitif, motorik, ungkapan kreatif dan olah raga.

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat dan syukur penulis panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa dengan segenap hati, sebab karena kasihnya sehingga penulis dapat menyelaesaikan skripsi ini.

Adapun judul dari skripsi ini adalah : “Perkembangan Kemandirian Anak Tunanetra di Sekolah Luar Biasa Bagian A (Studi Kasus di SLB-A Karya Murni Medan Johor)”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dari para pembaca demi penyempurnaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimah kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain kepada :

1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Matias Siagian, selaku Ketua Depertemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Drs. Sudirman, Msp, selaku dosen pembimbing yang membimbing

penulis dalam penulisan skripsi ini sehingga mencapai hasil yang maksimal. 4. Suster Angelina selaku kepala Sekolah di Sekolah Luar Biasa Bagian A

Yayasan Karya Murni Medan Johor, Guru-guru yang ada di SLB-A Yayasan Karya Murni Medan Johor

(4)

mengasuh, membesarkan dan mendididik penulis dengan penuh kesabaran dan ketabahan dan yang juga banyak memberikan semangat moril dan kasih sayang, materi dan juga Doa kepada penulis sampai saat ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan (perkuliahan) dan skrtipsi ini.

6. Secara khusus kepada kakak dan abang (K’Corry,

K’susi,K’Maya,B’Roindo,K’Rama) dan buat abang ipar ku (B’lajur Ginting dan B’Nelwan Silalahi) dan buat semua keluarga yang mendukung dan mendoakan saya dalam perkuliahan dan penulisan skripsi ini sehingga dapat menyelesaikannya.

7. Sahabat-sahabat seperjuangan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Stambuk’04 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terima kasih atas doa dan dukungan yang diberikan kepada saya.

8. Buat Seniorku yang ada di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial yang tidak dapat saya saya sebutkan satu persatu

9. Buat Juniorku yang ada di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial yang tidak dapat saya saya sebutkan satu persatu Stambuk’05 dan Stambuk’06 yang baik-baik dan cantik-cantik dan Stambuk’07 yang belum semua saya kenal 10. Buat Rekan-rekan Kampus yang senasib dan sepenanggungan yang dari awal

samapai akhir kuliah (Elsa,Juni,Rini) dan buat teman saya yang sudah alumni Stambuk’04 (Via, Tere, Robi) yang selalu mendukung dan mendoakan saya dalam penulisan skripsi saya ini.

(5)

Medan, Maret 2008 Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak ... 8

B. Pengertian Tunanetra dan Faktor Penyebab 1 Pengertian Tunanetra ... 7

2 Faktor Penyebab ... 11

C. Perkembangan Anak Tunanetra 1 Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra ... 13

2 Perkembangan Motorik Anak Tunanetra ... 15

3 Perkembangan Emosi Anak Tunanetra ... 18

4 Perkembangan Sosial Anak Tunanetra ... 19

5 Perkembangan Kepribadian Anak Tunanetra ... 20

D. Orientasi dan Mobilitas Bagi Anak Tunanetra ... 20

(7)

F. Pendidikan Anak Tunanetra ... 24

G. Defenisi Konsep ... 26

BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 27

B. Lokasi Penelitian ... 27

C. Sumber Penelitian ... 27

D. Tehnik Pengumpulan Data ... 28

E. Tehnik Analisa Data ... 29

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ... 30

B. Sejarah Singkat Berdirinya Yayasan Karya Murni ... 30

C. Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan SLB-A Karya Murni 1 Visi Sekolah Luar Biasa –A Karya Murni ... 32

2 Misi Sekolah Luar Biasa –A Karya Murni ... 33

3 Tujuan Sekolah Luar Biasa –A Karya Murni ... 33

D. Sumber Daya dan Dana Sekolah Luar Biasa –A Karya Murni ... 34

E. Uraian Sekolah ... 36

F. Sarana Tunanetra Sekolah Luar Biasa –A Karya Murni ... 38

BAB V ANALISA DATA I. Perkembangan Kognitif ... 50

II. Perkembangan Motorik ... 52

III. Perkembangan Kreatif ... 54

(8)

A. KESIMPULAN ... 72 B. SARAN ... 74 DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel

(10)

DAFTAR GAMBAR/FOTO

Gambar/Foto

1. Anak melakukan pekerjaan sehari-hari ... 47

2. Anak melakukan pekerjaan sehari-hari ... 48

3. Koordinasi Badan yang Tidak Memiliki Arti ... 53

4. Bermain di Panti Asuhan ... 54

5. Ekspresi saat Senang ... 55

6. Olah raga, Berenang ... 57

7. Belajar Di Panti Asuhan ... 61

(11)

Universitas Sumatera Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

ABSTRAK BUTET AGUSNIAR MANURUNG

040902043

Perkembangan kemandirian anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Bagian A (Studi Kasus Di SLB-A Yayasan Karya Murni Medan Johor)

Masalah yang di bahas dalam penelitian ini adalah bagaimana perkembangan kemandirian anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Bagian A Yayasan Karya Murni Medan Johor dalam kehidupannya sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan kemandirian anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Bagian A Yayasan Karya Murni Medan Johor, baik itu dalam melakukan kegiatannya kehidupan sehari-hari, belajar serta keterampilan mereka yang dapat menunjang kemandirian dan kepribadian.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif, yaitu untuk menggambarkan Perkembangan Kemandirian Anak Tunanetra Sekolah Luar Biasa Bagian A (SLB-A) Yayasan Karya Murni, Medan Johor. Adapun instrumen yang digunakan dalam mengungkap fakta dan data yang ada di Sekolah Luar Biasa Bagian A (SLB-A) ini adalah melalui observasi dan wawancara terbuka. Data yang di peroleh tersebut kemudian di analisa dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu menggambarkan hasil penelitian atau fakta sebagaimana adanya.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa anak-anak tunanetra yang berada di Sekolah Luar Biasa Bagian A Yayasan Karya Murni Medan Johor tidak dapat di golongkan ke dalam anak yang tidak memiliki kemandirian karena anak yang berada di sana sudah dapat menjalankan akktifitas nya dengan sendiri nya dan keterampilan yang dimilikinya juga dapat mereka pergunakan untuk mencapai kemandirian, yaitu yang mereka peroleh dengan adanya proses pendidikan yang di berikan oleh Yayasan Karya Murni sebagai modal begi mereka untuk masa depan atau hari depan para penyandang tunanetra yang ada di Yayasan Karya Murni. Dan kegiatan yang dilakukan juga dapat mendukung mereka dalam mencapai suatu keahlian dan keterampilan mereka. Dan dari observasi yang dilakukan oleh peneliti bahwa anak tunanetra yang ada di SLB-A Yayasan Karya Murni sudah dapat di golongkan mandiri karena dari segi perkembangan kemandirian kognitif, motorik, ungkapan kreatif dan olah raga.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Anak cacat adalah anak yang berkebutuhan khusus karena mereka adalah anak yang memiliki kekurangan. Anak cacat atau berkelainan juga memiliki klasifikasi. Di Indonesia pengklasifikasian anak itu sudah dibagi dengan jelas. Untuk anak yang tunanetra atau penyandang cacat mata di golongkan atau dikelompokkan kedalam bagian A atau dalam pendidikannya di golongkan kedalam Sekolah Luar Biasa Bagian A. Sekolah ini hanya di khususkan bagi penyandang cacat tunanetra saja baik itu yang total ataupun bagi yang low vision atau anak yang memiliki penglihatan yang kurang jelas. Sedangkan bagi anak yang berkebutuhan khusus yang lainnya akan dibagi ke dalam sekolah atau pengelompokan yang lain dan tidak disamakan. Banyak lembaga yang menampung anak-anak yang bermasalah sosial, khususnya anak yang mengalami gangguan penglihatan atau penyandang cacat tunanetra. Lembaga yang ada bukan hanya didirikan atau ditangani oleh pihak pemerintah tetapi banyak juga lembaga yang didirikan oleh pihak swasta. Lembaga-lembaga ini juga kebanyakan yang bersifat seri amal. Lembaga-lembaga ini juga bertujuan untuk membantu dan memberdayakan para tunanetra untuk hidup mandiri dan ikut serta berpartisipasi dalam segala kegiatan seperti anak-anak awas. Anak awas adalah anak yang normal yang tidak memiliki kekurangan (cacat netra).

(13)

memahami keadaan karena kekurangan mereka tersebut. Lembaga ini juga merupakan kunci dan suatu subjek yang memahami apa saja yang diperlukan oleh para tunanetra yang ada dilembaga itu dan lembaga ini jugalah yang berkewajiban untuk dapat mengembangkan kemampuan mereka. Oleh sebab itulah lembaga sangat diperlukan keahliannya bagi anak-anak cacat netra tersebut yaitu untuk mengajarkan keberanian dan kedisiplinan yang dapat meningkatkan rasa percaya diri dan dapat menghilangkan sikap negatif masyrakat tentang ketunaan mereka serta dapat membawa mereka kepada pikiran atau sikap yang positif.

Pelayanan yang ada pada suatu lembaga hendaknya dapat memberikan rasa atau rasa yang dapat menciptakan suasana sejahtera pada para tunanetra, karena mereka adalah individu yang bermasalah social sehingga dengan pelayanan yang diberikan dengan benar dan sesuai dengan apa yang mereka perlukan seperti halnya dapat memanfaatkan indera yang lainnya agar dapat di pakai dan tidak semua indera yang ada pada mereka tidak cacat dan mereka dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan baik yang dapat mereka tunjukkan kepada masyarakat yang memiliki pikiran atau sikap negatif yang salah tentang tunanetra, sehingga mereka tidak hanya dianggap sebagai penyakit masyarakat saja melainkan sebagai masyarakat yang dapat berpartisipasi.

(14)

Adapun jumlah lembaga dan Sekolah Luar Biasa Bagian A yang menangani anak cacat netra tidak semuanya terdata, tetapi menurut data yang ada di Indonesia diperkirakan sebanyak 250 unit dan yang ada di Sumatera Utara sebanyak 94 unit (Subijanto,1991). Lembaga dan sekolah ini juga merupakan alat yang sangat diperlukan oleh pemerintah, keluarga dan masyarakat untuk dapat mengajarkan mereka lebih mandiri dan terampil serta dapat mewujudkan cita-citanya seperti halnya anak-anak awas lainnya.

Jumlah penyandang cacat netra menurut data yang dikeluarkan oleh Depdiknas(Departemen Pendidikan Nasional) pada tahun 1986 mencapai 41.057 orang atau 16,16% tetapi menurut mereka setiap data yang dikeluarkan oleh pihak yang lain pasti selalu berubah-ubah dan berlainan. Sedangkan data pada tahun 1996 yang dikeluarkan oleh pihak departemen sosial mencapai 1.613.898 atau 28,94% dari jumlah penduduk dan jumlah ini akan selalu bertambah tiap tahunnya baik itu yang disebabkan oleh faktor keturunan, penyakit dan kecelakaan ataupun karena kekurangan gizi.

Sedangkan pada Tahun 2007,WHO memperkirakan jumlah penyandang cacat netra diseluh dunia mencapai 40-45 juta jiwa. Dan organisasi kesehatan dunia ini juga memperkirakan ada sekitar 12 orang yang menjadi buta setiap menitnya di dunia dan diantara 12 orang tersebut 4 orang adalah berada di Asia Tenggara.sedangkan di Indonesia diperkirakan ada orang yang menjadi buta tiap harinya dengan berbagai penyebab yang kebanyakan dari daerah miskin (Redempta,2007).

(15)

penyebab terbesarnya adalah katarak atau kekeruhan pada lensa mata yaitu 0,78% dan pada tingkat kedua glaukoma adalah tingginya tekanan pada bola mata yaitu sebesar 0,20% dan sebagian lagi akibat refraksi dan lanjut usia. (Ypha,2006)

Menurut persatuan penyandang cacat Indonesia (PPCI) mengatakan hingga pada tahun 2005 jumlah penyandang cacat di Indonesia mencapai 6 juta jiwa atau 3,11% dari jumlah populasi dan diperkirakan yang mengalami cacat netra sebanyak kurang lebih 3 juta jiwa, diantara jumlah tersebut hanya 10% saja yang mengecam pendidikan atau yang menduduki bangku sekolah. Hal ini juga diakibatkan karena banyaknya keluarga yang masih malu akan kekurangan dari anaknya tersebut, sehingga mereka menyembunyikan anak mereka dan sebagian dikarenakan oleh kurangnya informasi mengenai sekolah bagi para tunanetra, apalagi sekolah yang berbentuk seperti ini masih jarang ditemui di pedesaan dan kebanyakan terdapat didaerah perkotaan sedangkan masyarakat yang mengalami tunanetra kebanyakan berasal dari pedesaan (tempo,2005). Jumlah ini selalu berubah dan menurut badan yang menangani anak tunanetra mengatakan bahwa jumlah anak tunanetra pada saat sekarang ini sebanyak 15 juta jiwa (Jimly,2006) oleh karena itulah dikatakan bahwa jumlah ini selalu berubah-ubah dan tidak jelas berapa yang sebenarnya.

(16)

Oleh sebab itu Sekolah Luar Biasa-A Yayasan Karya Murni merupakan salah satu dari 250 SLB-A yang terdaftar sebagai Sekolah yang menampung anak yang tunanetra, sekolah ini juga memiliki Panti Asuhan yang mengasuh anak-anak tersebut yang kebanyakan dari antara mereka berasal dari ekonomi lemah. Sekolah dan Panti Asuhan ini bersifat seri amal yang banyak menampung anak yang tidak lagi memiliki orang tua atau keluarga yang kebanyakan dari antara mereka berasal dari daerah Nias.

Dari jumlah penyandang tunanetra bersekolah di Indonesia atau yang berpendidikan diantaranya adalah anak-anak tunanetra yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa Bagian A Yayasan Karya Murni yaitu dari TKLB,SDLB dan SMPLB yang berjumlah 54 orang dan masih ada sebagian lagi yang bersekolah inklusi atau intergrasi di tingkat SMA dan Kuliah. Oleh sebab itu yayasan Karya Murni merupakan suatu lembaga yang memperhatikan anak-anak tunanetra yang mampu untuk menolong mereka untuk dapat hidup mandiri dan dapat melatih kemampuan dan memberi keterampilan dan pendidikan untuk mencapai cita-cita dan masa depan mereka.

(17)

2.Perumusan Masalah

Masalah merupakan bagian yang sangat penting atau bagian pokok dari suatu kegiatan penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana perkembangan kemandirian anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa A (studi kasus

di SLB/A Yayasan Karya Murni Medan Johor)”.

3. Tujuan dan Manfaat penelitian 3.1 Tujuan penelitian

Dari pembatasan masalah yang diajukan, maka peneliti merumuskan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui perkembangan kemandirian anak Tunanetra.

2. Untuk mengetahui sejauh mana mereka dapat hidup mandiri dalam kehidupannya sehari-hari.

3.2 Manfaat penelitian

Adalah manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian dan melatih diri serta mengembangkan pemahaman dan kemampuan berfikir melalui penulisan ilmiah dengan menerapkan pengetahuan yang di peroleh selama berada di Ilmu Kesejahteraan Sosial. 2. Secara pragmatis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

(18)
(19)

4. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika dalam penulisan ini adalah : BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian dan Sistematika penulisan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab menguraikan secara teoritis variable yang diteliti, dan defenisi konsep BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, sumber data, tehnik pengumpulan data dan tehnik analisa data

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan sejarah singkat berdirinya Yayasan Karya Murni Sekolah Luar Biasa Bagian A Medan johor, serta gambaran umum tentang lokasi dimana peneliti melakukan penelitian

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian yang diperoleh dari penelitian dan analisanya serta foto-foto yang menyangkut tentang data.

BAB VI : PENUTUP

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian anak

Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikaruniakan kepada suatu keluarga yang mempunyai harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan generasi dan potensi yang harus dilatih sebagai penerus perjuangan bangsa Indonesia. Anak adalah individu yang memiliki peranan, hak, dan kewajiban didala kehidupannya.

Didalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2003 pasal 1 poin 1 tentang perlindungan anak yang menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang ada didalam kandungan. Sedangkan menurut undang-undang kesejahteraan anak didalam pasal 1 poin 2 mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 21 tahun atau anak yang belum pernah menikah (Nurdin 1989:121)

(21)

2. Pengertian tunanetra dan faktor penyebabnya 1. Pengertian tunanetra

Dalam pengunaan bahasa sehari- hari, kadang- kadang terjadi penyamaan antara suatu keadaan atau suatu kondisi seseorang, seperti dalam kata menunjukkan orang yang tunanetra buta, padahal keduanya itu adalah berbeda. Kata “tunanetra” berasal dari kata “tuna” yang artinya rusak dan kata “netra” yang artinya adalah mata, jadi kata tunanetra adalah rusak penglihatan, dan anak tunanetra adalah anak yang rusak penglihatannya. Sedangkan orang yang buta adalah orang yang rusak penglihatannya secara total. Dengan kata lain orang yang tunanetra belum tentu mengalami kebutaan total tetapi orang yang buta sudah pasti tunanetra (Pradopo 1977 :12)

Penyandang tunanetra adalah seseorang yang karena sesuatu hal mengalami disfungsi visual atau kondisi penglihatan yang tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Seseorang dikatakan tunanetra apabila menggunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar atau kegiatan yang lainnya dan ada juga mengatakan tunanetra adalah kondisi dari indera penglihatan yang tidak sempurna yang tidak dapat berfungsi sebagai orang awas (normal).

(22)

Seseorang yang dikatakan buta secara legal yaitu apabila ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada mata dan setelah dikoreksi atau lantang pandangnya tidak lebih dari 20 derajat, dalam defenisi ini 20 feet atau 6 meter adalah jarak dimana ketajaman penglihatan diukur. Sedangkan 200 feet atau 60 meter menunjukkan jarak dimana mata orang yang normal dapat membaca huruf yang terbesar pada kartu snellen. Seseorang dikatakan buta secara fungsional apabila saluran utama dalam belajar menggunakan perabaan dan pendengaran yang mempergunakan huruf Braille sebagai media membaca dan memerlukan latihan orientasi dan mobilitas (Angelina 2005 :15)

Oleh karena itu yang dimaksud dengan penyandang cacat tunanetra adalah yang mengalami disfungsi visual dan kondisi penglihatan yang tidak berfungsi sebagai mana mestinya, karena mengalami kerusakan pada mata, saraf optik bagian saraf yang mengolah stimulius visual. Kerusakan tersebut yang dialami secara total dan sebagian.

Klasifikasi ketunanetraan secara garis besar yaitu dibagi menjadi 2 antara lain : 1. Terjadinya kecacatan, yakni sejak kapan anak menderita tunanetra yang

dapat digolongkan sebagai berikut :

a) Penderita tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman melihat.

(23)

c) Penderita tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, kesan kesan pengalaman visual meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.

d) Penderita tunanetra pada usia dewasa, yaitu mereka yang dengan segala kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.

e) Penderita tunanetra dalam usia lanjut, yaitu mereka yang sebagian besar sudah sulit mengalami latihan-latihan penyesuaian diri. 2. Pembagian berdasarkan kemampuan daya lihat yaitu :

a) Penderita tunanetra ringan, yaitu mereka yang mempunyai kelainan atau kekurangan daya penglihatan

b) Penderita tunanetra setengah berat, yaitu mereka yang mengalami sebagian daya penglihatan

c) Penderita tunanetra berat, yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat melihat atau yang sering disebut adalah buta (Pradopo 1977:12)

2 Faktor penyebab tunanetra

Ada dua faktor yang menyebabkan seorang anak yang menderita tunanetra, antara lain :

(24)

hubungan pada garis lurus atau pada silsilah hubungan sedarah atau dari faktor perkawinan antar sesama tunanetra atau yang mempunyai orang tua atau nenek moyang yang menderita tunanetra. Sedangkan dari hasil kandungan yaitu gangguan yang diderita oleh siIbu waktu hamil, atau karena penyakit yang bersifat menahun yang dapat merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dan kandungan. Adapun ciri yang disebabkan oleh faktor keturunan adalah bola mata yang normal tetapi tidak dapat menerima persepsi sinar atau cahaya, yang kadang-kadang seluruh bola matanya seperti tetutup oleh selaput putih atau keruh

2. faktor eksogen atau faktor luar, seperti

a. Penyakit yaitu virus rubella yang menjadikan seseorang mengalami penyakit campak pada tingkat akut yang ditandai dengan kondisi panas yang meninggi akibat penyerangan virus yang lama-kelamaan akan mengganggu saraf penglihatan fungsi indera yang akan menghilangkan fungsi indera yang akan menjadi permanen, dan ada juga diakibatkan oleh kuman syphilis, degenerasi atau perapuhan pada lensa mata yang mengakibatkan pandangan mata menjadi mengeruh

(25)

yaitu stress psikis akibat perasaan tertekan, kepedihan hati yang amat mendalam yang mengakibatkan seseorang mengalami tunanetra permanen (Pradopo1977 :3)

3. Perkembangan anak tunanetra

Perkembangan adalah suatu diferensiasi atau tingkatan ataa tahapan dari segi rohani atau segi jasmaninya. Adapun yang berpengaruh dalam perkembangan itu adalah orang tua sebagai penolong dan pendamping hidupnya, lingkungan dan teman-teman sebaya. Adapun perkembangan yang harus diperhatikan pada anak tunanetra yaitu :

1. Perkembangan kognitif anak tunanetra

Perkembangan kognitif adalah suatu proses pemahaman dari yang tidak tahu menjadi tahu. Perkembangan kognitif anak tunanetra terhambat dibanding dengan anak awas pada umumnya. Perkembangan kognitif pada umumnya dengan menggunakan indera penglihatan dan kecerdasan serta kemampuan dan intelegensinya. Pada perkembangan kognitif selalu berhubungan dengan lingkungan baik sosial maupun alam yang berhubungan dengan kemampuan indera- indera. Kemampuan indera inilah yang memerlukan kerjasama dalam bekerja sehingga memperoleh pengertian dan makna yang utuh tentang objek yang ada dilingkungannya. Yaitu antara indera penglihatan, pendengaran, perabaan dan lain- lain.

(26)

yang akan diteruskan ke otak yang akan memberikan kesan atau presepsi melalui kegitan yang bertahap yang dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang dapat memampukan perkembangan secara optimal.

Jalan utama yang digunakan oleh anak tunanetra sebagai penerimaan informasi yang ada di luar dirinya (dunia sekitarnya), biasanya digantikan dengan indera pendengaran sebagai saluran utamanya yaitu berupa suara, yang mampu mendeteksi dan mengambarkan tentang arah, sumber atau jarak suatu objek informasi, tentang ukuran dan kualitas ruangan tetapi tidak secara kongkrit, dan untuk bentuk posisi dan ukuran digunakan dengan perabaan, oleh karena itu setiap bunyi yang didengar, bau yang diciumnya, kualitas yang dirabanya dan rasa yang di serapnya memiliki potensi dalam perkembangan kognitifnya.

Sering dikatakan bahwa anak tunanetra tahu, sebenarnya tidak tahu, karena mereka tahu hanya sebatas verbal saja. Kurangnya stimulasi visual, sehingga perkembangan bahasa anak tunanetra juga tertinggal dibanding anak awas. Kemampuan kosa kata bagi tunanetra terbagi menjadi 2 yaitu, kata- kata yang berarti bagi dirinya yang diperoleh dari pengalaman sendiri, dan kata- kata verbalitas yang diperoleh dari orang lain yang ia sendiri tidak paham.

(27)

Tahapan sensomotorik anak tunanetra ditandai dengan prestasi intelektual yang didapatkan dari lingkungan yang memberikan stimulasi yang kuat dan intensif terhadap anak tersebut yang mengalami kelambatan sekitar 4 bulan dibanding dengan anak awas.

Banyak anggapan yang mengatakan bahwa anak tunanetra tidak akan mampu menggungguli anak awas dalam ketajaman sensori, logika, hafalan, bakat musik dan kemampuan untuk menginterpretasikan suara. Hal ini adalah tidak semuanya adalah benar, namun dipihak lain anak tunanetra sering menggunakan kemampuannya secara lebih efektif dibandingkan dengan anak awas, yang dilakukan secara tidak otomatis tetapi melalui latihan-latihan yang dilakukan secara rutin dan efektif.

Tetapi hingga saat ini, perkembangan fungsi-fungsi kognitif anak tunanetra sulit untuk diidentifikasikan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya alat-alat test intelegensi yang tidak dapat digunakan secara utuh oleh anak tunanetra yang banyakan mengundang berbagai perdebatan dikalangan para ahli. Oleh sebab itu sangat perlu untuk menentukan atau untuk membuat alat integensi yang secara khusus diperuntukkan bagi anak tunanetra (soemantri 2005:75) yang pada akhirnya perkembangan kognitif anak tunanetra sangat bergantung pada jenis ketunanetraan anak, kapan terjadinya ketunanetraan, bagaimana tingkat pendidikannya, dan stimulasi lingkungan terhadap upaya-upaya perkembangan kognitif mereka.

2. Perkembangan motorik anak tunanetra

(28)

terjangkau oleh tangannya dan kakinya sedangkan bagi anak awas sepanjang ia mengetahui bahaya apa yang akan terjadi apabila dilakukannya gerakan tersebut. Oleh sebab itu dikatakan bahwa perkembangan motorik anak tunanetra cenderung sangat lambat, karena dalam perkembangan ini diperlukan sistem persyarafan dan otot serta fungsi psikis, yang berpangkal dari ketidakmampuannya untuk melihat.

Perkembangan motorik mengikuti prinsip bahwa perkembangan itu berlangsung dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks, dari yang kasar dan global menuju kepada yang halus dan khusus. Tetapi bagi anak tunanetra melakukan psikomotorik yang mendasar seperti berjalan dan memegang benda sudah merupakan masalah yang tidak mudah untuk dikuasainya dan dilaksanakan dengan baik. Sehingga hal ini sudah menghambat untuk hal yang lebih kompleks lagi. Karena itu fungsi mata sangat memegang peranan yang cukup utama dan berarti dalam proses perkembangan motorik.

Tahap perkembangan perilaku motorik dalam kaitannya dalm fungsi penglihatan 2.1 Tahap sebelum berjalan

Tahap ini terjadi pada saat bayi yaitu yang pada awalnya melakukan gerakan menegakkan kepala, telungkup, merayap, dan seterusnya sehingga akhirnya sampai kepada berjalan. Anak tunanetra juga demikian tetapi faktor kecepatannya berbeda karena kurangnya rangsangan visual yang mengakibatkan adanya gangguan pada :

(29)

dialami dengan sendirinya, tetapi melalui lingkungan yang mampu menggerakkan gerak rangsang anak, seperti halnya melakukan jabat tangan yang lemah, kesulitan memegang suatu benda, serta kelambanan dalam persiapan membaca huruf Braille.

b. Koordinasi badan, bagi anak awas untuk mencapai suatu benda maka mereka harus melakukan gerakan dalam mengkoordinasikan badannya, seperti halnya menegakkan kepalanya untuk menggapai suatu benda yang ia ingin dapatkan. Hal ini juga tidak akan dapat kita lihat atau dialami anak tunanetra pada usia 18 minggu, pada masa ini anak tunanetra sering melakukan gerakan yang tidak memiliki arti dan cenderung diam seperti halnya melakukan gerakan menusukkan jari tangan kemata.

2.2 T ahap berjalan

Pada usia anak yang normal bahwa usia 15 bulan sudah mampu melakukan jalan dan dapat mengadakan eksplorasi sendiri. Sedangkan pada anak tunanetra, ia akan dapat berjalan jauh lebih tua jika dibandingkan dengan anak awas,hal ini terjadi karena kurangnya motivasi atau pendorong baik yang bersifat internal maupun eksternal untuk melangkahkan kakinya pada posisi yang bermaksud untuk mengambil suatu benda.

(30)

motorik anak tunanetra berhubungan erat dengan kemampuan dalam penglihatannya yang selanjutnya berpengaruh terhadap faktor psikis dan fisik anak. Hal ini juga dilihat dari cara anak tersebut melangkahkan kakinya dan juga menggerakkan tangannya.

3 Perkembangan emosi anak tunanetra

Hasil-hasil penelitian, anak tunanetra menunjukkan bahwa kemampuan untuk memberi respon secara emosional sudah dijumpai pada saat seseorang itu masih bayi atau baru lahir. Respon ini pada mulanya nampak secara random yang lama kelamaan akan menjadikan suatu hal yang terbiasa, atau differensiasi atau berurutan sesuai dengan jenjang yang paling bawah terlebih dahulu.

Oleh sebab itu perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas atau dengan anak yang normal. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Kesulitan bagi anak tunanetra adalah mereka tidak mampu belajar secara visual tentang stimulus-stimulus apa saja yang harus diberi respon stimulus yang sesuai dengan kemampuan berkembangnya. Dengan kata lain, anak tunanetra memiliki keterbatasan yang sangat berpengaruh, khususnya berkomunikasi secara emosional melalui ekspresi atau reaksi wajah dan tubuh lainnya untuk menyampaikan perasaan yang dirasakan kepada orang lain.

(31)

perkembangan yang ditolak kehadirannya oleh lingkungan keluarga atau lingkungannya dimana mereka bertempat tinggalnya. Perkembangan emosi anak tunanetra itu ialah ditampilkannya gejala-gejala emosi yang tidak seimbang atau pola-pola emosi yang negatif dan berlebihan, yaitu perasaan takut, malu, khawatir, cemas dan lain-lain.

4. Perkembangan sosial anak tunanetra

Bagi anak tunanetra penguasaan seperangkat kemampuan tersebut tidaklah mudah. Hambatan-hambatan tersebut terutama muncul sebagai akibat langsung maupun akibat yang tidak langsung dari ketunanetraannya tersebut. Akibat tersebut yaitu kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luasa atau baru, perasaan rendah diri, malu, sikap masyarakat yang sering tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan dan lain-lain. Keterbatasan anak tunanetra untuk dapat belajar sosial melalui proses identifikasi dan imitasi. Mereka juga memiliki keterbatasan untuk mengikuti bentuk-bentuk permainan sebagai wahana penyerapan norma-norma atau aturan dalam bersosialisasi.

(32)

dini karena orang tua atau keluarga adalah subjek utama yang mempengaruhi perkembangan anak tersebut.

5. Perkembangan kepribadian anak tunanetra

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan sifat kepribadian anak tunanetra dengan anak yang awas atau anak yang normal. Ada kecenderungan anak tunanetra lebih banyak mengalami gangguan kepribadian yang lebih besar yang banyak dicirikan dengan introversi, neurotic, frustasi dan gangguan mental. Dan dalam penelitian yang lain juga menyatakan bahwa gangguan lebih banyak terjadi pada anak yang gangguan penglihatannya bisa sedikit atau low vision dibanding dengan anak yang buta total. Karena mereka dapat melihat keadaan yang sebenarnya walaupun tidak begitu jelas.

4. Orientasi dan Mobilitas bagi anak tunanetra

Penglihatan memiliki peranan yang amat vital bagi seseorang untuk mengenal objek secara visual atau membantu seseorang untuk mengadakan orientasi dan mobilitas dengan lingkungannya yang menjadikan hambatan terhadap kemampuan untuk bergerak secara bebas. Yang dimaksud dengan orientasi yaitu kemampuan dalam mengenal alam sekitar serta mengetahui posisi diri di dalamnya, sedangkan mobilitas yaitu kemampuan gerak atau berpindah-pindah (Soedjadi 1987: 84)

(33)

itu, perkembangan mobilitas dan orientasi anak awas sangat cepat. Maka untuk anak tunanetra untuk melakukan hal tersebut mereka akan dibantu orang tua ataupun orang yang dapat melihat untuk membawa mereka mengenalkan sekelilingnya yang seterusnya mereka akan dapat melakukannya sendiri. Melalui orientasi dan mobilitas ini maka anak tersebut akan dapat berkembang kemampuan yang lain yang ada pada dirinya seperti halnya daya ingatnya, serta daya ingat yang dapat mendukung dalam proses kemampuan pendidikannya.

Didalam pendidikan juga mereka di ajarkan mata pelajaran orientasi dan mobolitas yang bertujuan agar mereka dapat berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain dan dapat mengenal lingkungan tempat ia berada di sekitarnya atau di sekelilingnya.

Alat Bantu yang biasa digunakan oleh anak tunanetra dalam melakukan orientasi dan mobilitas adalah tongkat putih yang khas yang menunjukkan kepada orang lain bahwa ia adalah anak tunanetra atau anak yang kurang penglihatan dan sebagai penambah rasa percaya diri mereka. Tetapi walaupun begitu anak tunanetra tidak boleh terlepas dari anak yang awas karena dari hal warna mereka tidak akan dapat membedakannya sebab warna tidak dapat diraba dan di dengar. Oleh sebab itu anak yang awas adalah anak yang dapat membantu anak yang tunanetra yang sangat besar pengaruhnya dalam hal menolong mereka, terutama untuk mengenalkan apa saja yang pertama sekali terutama dalam hal warna yang tidak dapat untuk dirabanya.

5. Kemandirian anak tunanetra

(34)

benar-benar hidup mandiri. Dengan kata lain anak tunanetra akan mencapai suatu kemandirian apabila mereka mempunyai pendidikan dan latihan-latihan yang tepat. James H. Omvig mengemukakan ada empat resep dasar yang dibutuhkan oleh setiap tunanetra agar dapat mencapai tujuan kemandirian yang sejati antara lain :

1) Penyandang tunanetra harus menyadari baik secara intelektual maupun emosional bahwa mereka dapat mandiri, yaitu disini mereka harus diajari untuk memahami bahwa mereka juga dapat mandiri dan juga dalam hal ini mereka harus memiliki pembimbing untuk mengajari mereka untuk latihan intelektual dan latihan dari segi emosional. Untuk itu maka bagi guru yang membimbing mereka maupun bagi panti rehabilitasi yang menampung mereka dalam haruslah dapat melaksanakan program pendidikan dan pelatihan yang tepat. Oleh sebab itu mereka juga harus memiliki prinsip siapun saya pasti saya akan dapat mandiri.

2) Penyandang tunanetra harus benar-benar belajar untuk menguasai keterampilan-keterampilan khusus yang akan dapat menjadikan mereka sebagai orang yang dapat hidup mandiri, yaitu denagn mempergunakan alat indera yang lain sebagai alat yang dapat menutupi kelemahan mereka sehingga mereka dapat terbantu untuk mendapatkan suatu kemandirian dan jika dalam suatu hal yang baru mereka jumpai maka mereka harus dapat menghadapinya dengan dibantu oleh alat indera yang lain.

(35)

dapat kita ajak untuk mereka apa yang menjadikan mereka bersikap demikian dan kita jelaskan apa yang akan timbul apabila mereka melakukan hal demikian dan menyatakan kepada mereka bahwa setiap masyarakat itu memilki niat untuk menolong yang memungkinkan mereka akan mampu memiliki pemahaman yang emosional untuk dapat mandiri dan menghadapi masyrakat dengan senyuman.

4) Mereka penyandang cacat tunanetra harus belajar tampil wajar didalam pergaulan sosial, yaitu karena itu menentukan apakah ia dapat diterima didalam suatu masyarakat tersebut yaitu didalam lingkungan sosialnya (Didi, 2006)

(36)

6. Pendidikan tunanetra

Dalam undang-undang no.72 tahun 1991 mengatakan bahwa pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik atau mental. Oleh sebab itu, dalam hal ini bagi penyandang tunanetra mereka adalah tergolong kedalam anak yang berkelainan fisik, yang akan dimasukkan kedalam Sekolah Luar Biasa. Pendidikan anak tunanetra adalah pendidikan yang sangat sulit dibandingkan dengan pendidikan anak yang awas, karena pada umunya pendidikan atau bahan mudah ditangkap dengan penglihatan dan pendengaran dari pada hanya dengan pendengaran saja.

Adapun tiga prinsip utama tentang pendidikan anak tunanetra menurut Diderot yaitu :

1. Bahwa kehilangan penglihatan tidak berarti mempertajam secara khusus indera-indera yang lain, akan tetapi kehilangan salah satu indera tersebut akan memaksa indera yang lain yang masih ada untuk menerima kesan-kesan. 2. Bahwa kita sebaiknya membangun pendidikan atas dasar apa yang masih

dimiliki oleh tunanetra dan apa yang tidak mereka miliki yaitu atas dasar hubungan dengan dunia objektif.

3. Sekalipun orang tunanetra yang tuli dan yang bodoh, tetapi ia dapat dilatih dan didik melalui sensori perabaan dengan penuh kesabaran serta hubungan isyarat yang dapat diraba dari objek atau benda-benda (Pradopo 1977 :47) Adapun jenjang pendidikan bagi anak tunanetra yaitu :

1. Taman Kanak-kanak Luar Biasa 2. Sekolah Dasar Luar Biasa

(37)

4. Sekolah Menengah Atas Luar Biasa

Adapun model pendidikan yang tepat bagi anak tunanetra dapat dibagi menjadi 2 bagian :

1. Pendidikan Formal yaitu pertama, bentuk segresi yaitu bentuk layanan pendidikan yang tertua bagi penyandang tunanetra dan pelayanan yang khusus bagi penyandang cacat tunanetra yang memungkinkan untuk dapat mengendalikan atas kurikulum dan kehidupan sehari-hari secara menyeluruh sehingga variabel dalam lingkungan belajar anak tersebut yaitu jadwal, fasilitas fisik, kondisi kelas yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan anak tersebut. Kedua, bentuk mainstreaming yaitu bahwa asumsi bahwa pendidikan khusus tidak berarti pendidikan yang terpisah. Pendidikan ini merupakan bagian integrasi sosial, instruksional, temporal anak-anak cacat dengan anak yang normal. Oleh sebab itu dalam pendidikan ini mereka akan disesuaikan dengan kemampuan mereka sendiri.

2. Pendidikan Non-Formal yaitu berupa pelatihan-pelatihan atau kursus keterampilan untuk memberikan bekal bagi mereka dalam rangka memahami dunia kerja. Dan pendidikan ini tidak dibagi dengan jenjang dan waktu penyampaiannya lebih pendek dan singkat dan usia mereka dalam suatu kursus tidak perlu sama, dan pelajaran ini tidak merupakan pendidikan yang menjenuhkan karena diselingi dengan praktek.

Adapun alat yang digunakan dalam proses belajar bagi anak tunanetra yaitu: 1. Tongkat putih sebagai tanda bahwa ia adalah penyandang tunanetra 2. Reglet sebagai alat untuk mereka menulis

(38)

4. Mesin ketik yaitu untuk membantu mereka menulis agar lebih cepat yang biasanya alat ini hanya digunakan oleh guru saja

5. Tape yaitu alat mereka untuk mendengarkan cerita karena mereka hanya dapat mendengar seperti anak awas yang dapat melihat

7. Defenisi konsep

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Tipe penelitian

Tipe penelitian ini adalah deskriptif, yaitu suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadan subjek dan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagai mana adanya. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan Perkembangan Kemandirian Anak Tunanetra Sekolah Luar Biasa Bagian A Yayasan Karya Murni, Medan johor.

2. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Sekolah Luar Biasa Bagian A Yayasan Karya Murni, Medan Johor Kotamadya Medan. Alasan memilih tempat ini adalah karena merupakan salah satu lembaga sosial anak-anak yang bermasalah sosial yaitu anak cacat tunanetra atau anak yang berkebutuhan khusus, yaitu sebagai lembaga formal tentunya mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tunanetra sebagai manusia yang memiliki kekurangan sehingga mampu bersaing dengan masyarakat awas untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik.

3. Sumber Data

Sumber penelitian ini adalah pihak-pihak terkait diantaranya :

(40)

b. Suster kepala panti asuhan, dalam hal ini diperlukan untuk mengungkap data bagaimana kegiatan anak tersebut sehari-harinya di Panti Asuhan Karya Murni

c. Pegawai Panti Asuhan, dalam hal ini mereka diperlukan untuk mengungkapkan bagaimana keseharian kegiatan yang dilakukan anak-anak tunanetra tersebut menurut unitnya atau kelompoknya.

d. Guru, dalam hal ini mereka di perlukan untuk mengungkapkan kemampuan mereka dalam belajar dan menerima pendidikan di sekolah.

e. Siswa, dalam hal ini mereka di perlukan untuk dapat mengungkapkan pekerjaan mereka, dan kegiatan yang mereka lakukan di Sekolah dan di Pnti asuhan.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini akan menggunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Studi Kepustakaan

Yaitu pengumpulan data yang diperoleh melalui buku, jurnal, karya ilmiah dan bentuk tulisan lainnya yang ada relevansinyan dengan masalah yang diteliti.

2. Studi Lapangan

(41)

a. Observasi, yaitu mengamati objek yang diteliti secara langsung dengan mengadakan pencatatan seperlunya dengan kondisi yang dihadapi peneliti secara objektif

b. Wawancara, yaitu untuk mendapatkan dan mengumpulkan data, berdialog secara langsung dengan anak panti asuhan atau wawancara terbuka.

5. Tehnik Analisa Data

(42)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Sekolah Luar Biasa Bagian A Yayasan Karya Murni, Medan Johor Kotamadya Medan. Alasan memilih tempat ini adalah karena merupakan salah satu lembaga sosial anak-anak yang bermasalah sosial yaitu anak cacat tunanetra atau anak yang berkebutuhan khusus, yaitu sebagai lembaga formal tentunya mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tunanetra sebagai manusia yang memiliki kekurangan sehingga mampu bersaing dengan masyarakat awas untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik.

2. Sejarah singkat berdirinya Yayasan Karya Murni

Setelah Perang Dunia ke-II Tentara Belanda datang ke susteran santu yosef yang tinggal di Daendelsstrat (sekarang jalan Hayam Wuruk II Medan). Tentara itu membawa dan menyerahkan seorang putri penyandang cacat tunanetra, bernama Marta Ponikem dan ia sudah berumur 13 tahun. Tentara belanda itu berpesan agar putri ini diberikan pendidikan yang baik. Sr. Ildefonsa Van De Watering berhati emas kepada penderita yaitu anak tunanetra dengan senang hati.

(43)

satu institusi yang bernama “De Wijnberg” di Grave. Sr. Ildefonsa berulang kali ketempat ini untuk belajar dan sekaligus bagaimana memahami orang-orang cacat khususnya anak tunanetra.

Pada suatu hari dalam kunjungannya ke Grave tempat institusi anak tunanetra itu, Sr. Ildefonsa bertemu dengan seorang gadis tunanetra bernama Trees Kim Lan Bong yang berasal dari Pulau Bangka Indonesia. Dalam pertemuan itu Trees menyatakan keinginannya dan kerinduannya untuk kembali ke Indonesia dan ingin membantu teman-temannya yang tunanetra di Indonesia. Betapa bahagianya dan gembiranya hati Sr. Ildefonsa mendengar ucapan Trees itu. Itu berarti usaha yang dilakukan oleh Sr. Ildefonsa sangat berhasil.

Pada tanggal 15 Juli 1950 berangkatlah Sr. Ildefonsa bersama Trees ke Indonesia, dan tiba pada tanggal 15 Agustus 1950 di Jalan Hayam Wuruk Medan. Tidak lama lagi sesudah Trees mengajar Marta ponikem, datang lagi seorang putri Ambon yang tunanetra bernama Agustus Hallatu.

Demikian anak tunanetra semakin tahun semakin bertambah dan sesudah itu mereka diasramakan. Pada tahun 1953 sekolah tunanetra ini dikukuhkan menjadi lembaga yang bernama “Snit Oda Stichting”. Snit Oda Stichting bukan hanya mengasuh dan dan mendidik anak tunanetra tetapi ikut juga maka yang tunarungu (bisu-tuli). Karena itu pada tahun 1964 Snit Oda Stichting berubah nama menjadi Yayasan Karya Murni dan PantiAasuhannya juga bernama Panti Asuhan Karya Murni.

(44)

Karya Wisata Medan yaitu pada tahaun 1980. Pada tahun 1985 Yayasan Karya Murni mengembangkan sayapnya sampai ke Ruteng , Flores. Jumlah anak di Ruteng-Flores sekitar 120 orang. Tingkat pendidikan untuk SLB-A jumlah anak yang dianut oleh Yayasan Karya Murni sampai sekarang ini berjumlah sekitar 350 orang (Medan dan Ruteng-Flores).

Yayasan Karya Murni mengelola lima unit pelayanan, yaitu :

1. Panti asuhan yang terdiri dari anak-anak cacat netra, cacat rugu, yatim-piatu

2. Pendidikan untuk anak tunanetra (SLB/A Tingkat SD dan SLTP) 3. Pendidikan untuk anak tunarungu (SLB/B Tingkat SD)

4. Panti pijat jamin (lapangan kerja bagi anak yang sudah menyelesaikan kursus masage)

5. Poliklinik yang dikhususkan untuk anak-anak panti asuhan dan juga masyarakat sekitar

3. Visi, Misi, dan Tujuan pendidikan SLB-A Karya Murni 1. Visi Sekolah Luar Biasa Tunanetra Karya Murni

(45)

2. Misi Sekolah Luar Biasa Tunanetra Karya Murni

1. Menyelenggarakan pendidikan dan pembinaan sesuai dengan keberadaan siswa

2. Memberdayakan para tunanetra agar mampu merealisasikan potensi ynag ada dalam dirinya

3. Meningkatkan SDM guru agar memiliki kompetensi paedagogik, intelektual, sosial melalui berbagai pelatihan dan penataran

4. Mengupayakan siswa tunanetra berintegrasi kesekolah umum

5. Mengupayakan siswa tunanetra dan guru berkompetensi ditingkat nasional maupun ditingkat internasional

6. Menjalin kerja sama dengan instansi terkait 3.Tujuan Sekolah Luar Biasa Tunanetra Karya Murni

Adapun yang menjadi tujuan dari pendidikan Sekolah Luar Biasa Karya Murni adalah :

1. Siswa tunanetra mengikuti sistem pendidikan dengan baik di tingkat TKLB, SDLB, SMPLB.

2. Siswa tunanetra mengikuti sistem pendidikan inklusi baik tingkat SD, SMP, SMA, dan Perguruan tinggi.

3. Tersedianya tenaga pendidik yang berkualitas S1, Akta IV, pendidikan yang bertanggung jawab.

4. Siswa tunanetra memiliki keterampilan dan mandiri dimasyarakat.

5. Tersedianya sarana dan fasilitas yang mendukung proses belajar mengajar.

(46)

7. Tersedianya administrasi yang professional.

4. Sumber daya dan dana Sekolah Luar Biasa Tunanetra Karya Murni 1`. Sumber daya

Sekolah luar biasa tunanetra Karya Murni kini memiliki sistem pendidikan yang disesuaikan dengan sistem pendidikan sekolah formal yaitu kurikulum tingkat satuan Pendidikan baik itu bagi Taman Kanak-Kanak, tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama. Tunanetra yang baru masuk sekolah terlebih dahulu harus masuk ketingkat sekolah Taman Kanak-Kanak agar lebih mahir dan mengetahui bagaimana cara proses didalam pendidikan bagi anak tunanetra. Yaitu dengan menggunakan huruf Braille, dan apabila sudah mampu menguasai huruf Braille mereka akan dipindahkan ke sekolah tingkat atas.

Di Sekolah Luar Biasa ini sistem kenaikan kelasnya tidak berdasarkan tahun seperti Sekolah normal, namun mereka dapat naik kelas dalam satu tahun bisa dua kali kalau mereka memang sudah mampu. Namun bisa saja dalam satu tahun tidak naik kelas, karena dilihat belum mampu untuk melanjut ke kelas yang lebih tinggi. 2. Sumber Dana

(47)

Sekolah Luar Biasa A Yayasan Karya Murni Medan Johor adalah sekolah yang mendidik anak yang bermasalah sosial yaitu anak yang tunanetra atau anak yang menyandang masalah kesejahteraan sosial yang akan dididik menjadi anak yang mempunyai suatu kepribadian yang matang dan memiliki kemandirian serta mampu menjalankan fungsi sosialnya.

Adapun jumlah anak yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa A Yayasan Karya Murni adalah sebanyak 6 orang TKLB, 40 Sekolah Dasar dan 14 orang SMP. Adapun jumlah anak Perempuan untk tingkat SD dan SLTPLB ini adalah sebanyak 31 orang dan Laki-Laki sebanyak 23 orang dan mereka ini kebanyakan tinggal di Panti Asuhan karena dengan alasan faktor ekonomi (lihat dilampiran). Dan sarana dan inventaris sekolah ini juga telah di sajikan peneliti pada Lampiran .

Adapun data mengenai Status guru dan prestasi yang diraih siswa pada tahun Tahun Pelajaran 2006/2007, adalah sebagai berikut :

Table 1

Data guru/pegawai SLB-A Karya Murni Tahun Pelajaran 2006/2007

No Nama Status Pendidikan

tertinggi

Jabatan 1 Sr. Angelina Pane T.Kawin SGPLB Kepala sekolah

(48)

Tabel 2

Data anak SLB-A Karya Murni yang mendapatkan prestasi Tahun Pelajaran 2006/2007

No Nama Jenis Kelamin Jenis Prestasi Keterangan

1 Romauli P Catur juara 1 Medan

6 Risalia P Atletik juara 1 Tk.Propinsi/Tk.Nasional

5. Uraian Sekolah 1. Kepala sekolah

Kepala sekolah berfungsi dan bertugas sebagai berikut :

1. Kepala sekolah adalah penanggung jawab pelaksana pendidikan sekolah termasuk penanggung jawab pelaksana administrasi sekolah

2. Kepala sekolah mempunyai tugas a. Merencanakan

b. Mengawasi c. Mengorganisir

d. Dan mengawasi seluruh pendidikan sekolah yang meliputi aspek edukatif yang berhubungan dengan pelasanaan kurukilum dan aspek administrasi yang meliputi :

1. Administrasi belajar mengajar 2. Administrasi siswa

(49)

5. Administrasi keuangan 6. Administrasiperpustakaan

7. Administrasi hubungan dengan masyarakat 3. kepala sekolah membuat jadwal sekolah meliputi :

a. Kerjasama harian b. Kerjasama mingguan c. Kerjasama bulanan d. Kegiatan semester

e. Kegiatan akhir tahun pelajaran f. Kegiatan awal tahun pelajaran 2.Tata usaha

Tata usaha bertanggung jawab terhadap pelayanan administrasi dan keterbatasan kelengkapan administrasi pendidikan dan bertugas membantu kepala sekolah dalam menangani peraturan :

1. Kesiswaan 2. Ketenagaan

3. Peralatan sarana dan prasarana pengajaran

4. Pemeliharaan perlengkapan sekolah serta perpustkaan sekolah 5. Keuangan

(50)

F. Sarana tunanetra SLB-A Karya Murni 1.Kaca mata

Sudah menjadi rahasia umum, kaca mata hitam identik dengan tunanetra. Setiap orang yang memakai kaca mata hitam akan lebih mudah kita kenal apakah ia awas atau tidak, apabila ia di sertai dengan tongkat putih ataupun perak. Walaupun tidak dapat melihat dengan mata yang normal mereka masih dapat mengenal orang yang menjadi sesamanya. Pendengarannya yang peka adalah alat yang pertama-tama mereka gunakan untuk untuk mengenali orang yang berbicara dengannya. Ingatanya terhadap vokal suara orang sangat kuat. Apabila mereka masih ragu untuk mengenali suara untuk menyakinkan lagi mereka akan memegangi dan akan meraba tangan, badan dan sampai kewajah kita. Naluri yang tinggi serta ingatan yang tajam benar-benar luar biasa, lebih dari orang yang awas. Dengan ini mereka dapat mengenali siapa saja yang pernah mereka temui walau itu mungkin sudah berlangsung lama. 2. Tongkat

(51)

mempergunakan kepekaannya dan pendengarannya. Untuk menyetop angkot mereka juga bisa yaitu dengan pengamatan suara sopir yang mengatakan tujuan yang harus di tuju angkutan tersebut.

3. Huruf braille

Braille adalah huruf timbul yang terdiri dari enam titik yang dapat di baca oleh tunanetra melalui perabaan. Tulisan braille adalah dasar dari semua pelajaran tunanetra. Melalui tulisan ini mereka bisa membaca, menulis dan mengetahui banyak hal yang belum mereka ketahui selama ini. Melalui tulisan ini mereka tidak lagi merasa tersang dan terisolasi, tidak lagi merasa tidak berharga. Tetapi setara dan sejajar dengan anak awas.

4. Mesin tik braille

Mesin tik braille prinsipnya sama dengan mesin tik biasa. Hanya huruf-hurufnya adalah berupa titik-titik timbul. Di SLB-A ini, anak tunanetra juga di berkali dengan pengetahuan mengetik tulisan braille ini. Yang oleh mereka akrab di sebut mengetik awas.

5. Mesin tik biasa

Mesin tik biasa sama dengan yang kita kenal sehari-hari. Tulisan serta huruf-huruf juga biasa huruf-huruf latin bukan huruf-huruf timbul seperti huruf-huruf braille. Tetapi ketika diperagakan mereka cukup mahir untuk mengoperasikannya. Mereka hafal dengan huruf atau abjadnya. Ini merupakan syarat utama untuk dapat mempelajari ketikan komputer.

6. Komputer

(52)

umumnya mereka tidak terlalu sulit untuk beradaptasi, karena sebelumya mereka sudah di perkenalkan dengan mahir mengoperasikan mesin tik. Komputer ini juga dilengkapi dengan display braille. Setiap tampilan di layar dihasilkan dari pengoperasian tuts keyboard maka akan mereka ketahui secara pasti dari display braille yang muncul atau menonjol secara otomatis. Display braille dapat mereka raba dan segera tahu tampilan apa yang ada dilayar. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana mereka bisa meguasai perintah-perintah serta cara pengoperasian komputer itu sendiri.

7. Printer brille

Sebagaimana komputer biasa yang memakai printer, komputer ini juga mempunyai printer braille yang bisa memproduksi tulisan-tulisan braille. Alat canggih ini sanagt membantu SLB-A ini juga dalam hal pengadaan buku-buku pegangang siswa. Maka tidak heran lagi jika mereka telah mempunyai perpustakaan sendiri yang menyediakan berbagai jenis buku-buku pelajaran sesuai kebutuhan mereka.

8. Mesin jilid

Naskah-naskah yang telah di cetak masih dalam bentuk lembaran kertas yang panjang dan lepas. Maka untuk menjadikannya menjadi sebuah buku lembaran yang sudah dipriter ini harus di jilid yaitu untuk menyatukan lembaran itu sesuai dengan keinginan sendiri.

9. Mesin potong

(53)

10. Tape recorder

Tape recorder mempunyai fungsi yang sangat vital bagi membangun kecerdasan anak tunanetra ini. Melalui suara yang mereka perdengarkan dari. Tape recorder ini mereka di uji dan dilatih daya tangkapnya, daya pendengarannya, serta daya ingatnya. Kemampuan mereka dalam menagkap isi dalam cerita yang mereka dengar di uji melalui apa yang mereka tuliskan dalam huruf braille. Mereka juga harus dapat menceritakan kembali atau menjawab pertanyaan dari guru pembimbing mereka seputar apa yang mereka dengar tadi. Tentunya di bantu dengan apa yang mereka tuliskan ketika tape recorder tadi diperdengarkan sesuai denagn sistem belajar yang diterapkan di sekolah ini. Dengan cara inilah mereka dilatih untuk mampu mempelajari dan memahami banyak bidang studi yang di ajarkan kepada mereka. 11. Musik

Salah satu dari keterampilan yang paling di sukai oleh para anak didik yang ada di SLB-A adalah bermain musik. Walaupun mereka tidak dapat melihat mereka bisa mengatur sendiri suara gitar, melodi ataupun bassnya, mereka bisa untuk menyetelnya sehingga menghasilkan paduan bunyi yang indah di telinga. Dengan datangnya seorang guru maka mereka telah di berdayakan dalam hal vokal. Paduan suara mereka sudah telah mulai berkibar dan diperhitungkan. Semua ini juga berkat program dan penjadwalan yang ketat dalam berlatih di sekolah ini.

12. Keterampilan

(54)

dapat menjadi bekal pengetahuan mereka setelah mandiri kelak.Berkebun yaitu para anak tunanetra di ajarkan untuk berkebun sayur-sayuran dan buah-buahan yang ditanam dengan anjuran para guru, suster dan para pegawai.Kerajinan tangan yaitu kerajinan tangan rajutan, rosario dan salib. Tujuan dari sekolah membuat hal ini adalah agar dapat di pakai oleh para tunanetra untuk masa depan mereka.

13. Kerohanian

(55)

BAB V

ANALISA DATA

Pada bab ini akan di sajikan analisa data. Data tersebut diperoleh peneliti dari lapangan. Hasil penelitian ini juga akan disajikan dengan metode-metode pengumpulan data yaitu Observasi dan Wawancara. Demikian juga halnya dengan permasalahan yang utama yang akan dibahas dalam bab ini adalah permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya yaitu “Perkembangan Kemandirian Anak Tunanetra di Yayasan Karya Murni (Studi Kasus di Sekolah Luar Biasa Bagian A, Medan Johor)”

Pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah melakukan beberapa tahapan yang utama. Pertama, penelitian dilakukan atau diawali dengan pengumpulan berbagai dokumen Yayasan Karya Murni seperti dokumen buku induk, raport dan dokumen yang lainnya yang berhubungan dengan kegiatan yang dilaksanakan atau yang dilakukan di Sekolah Luar Biasa Bagian A Medan Johor. Kedua, melakukan sejumlah wawancara terbuka kepada suster kepala sekolah dan

(56)

sebagai rumah mereka. Kesadaran memiliki suatu kekurangan adalah merupakan suatu tanda mereka dapat mengatasi atau menutupi kekurangan mereka itu. Sama halnya dengan masalah yang ada pada diri kita sendiri, jika kita memahami atau menyadari masalah itu, kemungkinan besar dapat kita selesaikan. Sama halnya dengan ketunaan mereka itu, dengan kesadaran akan kekurangan yang mereka miliki berarti mereka dapat menutupinya baik itu dengan adanya pendidikan dan keterampilan yang mereka peroleh dari sekolah ataupun dari Panti Asuhan.

Contohnya saja pada penuturan Shinta anak tunanetra yang duduk di kelas 2SD, ia sering mengucapkan :

“Kenapa sih aku tunet, maunya aku anak awas yang bisa melihat supaya bisa aku melihat semuanya, karena kalau tunet ini nggak enak gak ada yang bisa dilihat baru gelap kali lagi seperti mati lampu baru aku pengen kali belajar huruf awas karena bisa tanpa di rabapun bisa di baca baru akau pengen sekali lomba dengan orang awas itu lho”.

Penuturan Shinta di atas, memang dia sudah menyadari bahwa dia adalah

seorang tunanetra, tetapi di sepertinya belum menerima keadaannya itu dan ada keinginan untuk melihat dan ingin sekali bersaing dengan anak awas. Dan hal ini juga menunjukkan bahwa dalam dirinya memiliki jiwa yang ingin maju dan jiwa bersaing yang dari sini juga akan memunculkan sikap yang ingin mandiri.

Pada penuturan Erna anak tunanetra yang duduk di kelas VI SD, mengatakan : “Penyebab aku menjadi tunanetra pertama di sebabkan karena aku sakit cacar

(57)

Penuturan Erna ini menyatakan bahwa ia sudah menyadari dan menerima kenyataan dan kekurangan yang ada pada dirinya, dan ia jga menyatakan tidak malu lagi bila jumpa dengan orang yang baru di jumpa dan ini juga menandakan bahwa ia sudah menerima dan menyadari kekurangann yaitu. Dan ia sudah mampu untuk mengenal masalahnya dan berusaha untuk menetupinya dengan belajar dan melatih kemampuan keterampilannya karena menurutnya itu adalah sebagai masa depannya. Pada penuturan Desi anak tunanetra yang duduk di kelas V SD, mengatakan bahwa :

“Pertama sekali aku menjadi tunanetra karena ulah orang lain, yang menurut orang katanya karena ulah orang tuaku, jadinya aku yang kena. Aku sudah pernah melihat makanya aku kesal kali sekarang apalagi sesudah mengetahui hal ini, tapi semenjak itu aku udah pernah di operasi dan aku bisa lagi melihat, tetapi semakin lama penglihatan ku itu semakin kabur baru aku bilang sama mama untuk di operasi lagi tapi katanya nggak ada uang lagi, akhirnya aku di antar mama ke sini untuk bersekolah disini dan aku juga sekarang pengen sekali untuk dapat melihat lagi seperti dulu. Nanti kalau aku dah kerja dan punya uang aku akan operasi mataku siapa tahu aku bisa melihat lagi”.

Dari penuturan Desi ini berarti dia memiliki niat untuk memperoleh uang untuk

dapat mengoperasikan matanya. Oleh sebab itu terlihat ada keinginan untuk mandiri dengan cara berusaha mendapatkan uang.

Didalam melakukan pekerjaan juga mereka ini apabila salah dan di tegor oleh suster atau pegawai mereka ini sering mengatakan “namanya juga tunet”. Perkataan ini juga sangat sering di dengar oleh peneliti pada saat observasi. Sehingga dari kata-kata mereka ini juga berarti mereka sudah menyadari dari kekurangan dan masalah yang ada pada diri mereka itu. Oleh sebab karena mereka memilki kesadaran itu dan niat untuk mandiri maka mereka ada keinginan untuk bersekolah.

(58)

sekali mereka jalani. Karena bagi mereka tongkat ini sebagai alat yang mereka gunakan sebagai penuntun jalan mereka supaya mereka tidak menabrak dan sebagai alat yang menambah rasa percaya diri mereka untuk berjalan. Tetapi tongkat ini hanya mereka pakai pada saat mereka keluar dari lokasi sekolah dan panti asuhan Menurut wawancara Peneliti kepada pegawai panti asuhan yaitu mengenai keadaan anak-anak tunanetra tersebut mengenai keadaan ekonomi, suku, agama anak-anak yang ada di SLB-A Karya Murni :

“Mereka banyak yang berasal dari kalangan ekonomi lemah atau miskin, dan kebanyakan mereka ini dari suku batak dan suku nias dan agama yang ada disini juga bukan hanya katolik saja bahkan agama islam juga ada seperti siwati yang mulai sejak kecil, dan di besarkan disini sehingga tidak menutup kesempatan bagi agama lain untuk masuk kepanti ini dan untuk bersekolah disini”. penuturan pegawai panti asuhan Bernita simbolon

Menurut wawancara yang dilakukan peneliti di atas membuktikan bahwa Yayasan ini bukan hanya menerima anak yang memiliki atau meyakini agama yang sama dengan Yayasan itu tetapi menangani dan menerima anak tunanetra sebagai individu yang bermasalah sosial untuk di tangani kekurangan mereka itu dan dapat menjadi masyarakat yang dapat di perhitungkan dan bukan hanya sebagai penyakit saja di masyarakat.

(59)

tersebut tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak mau untuk berusaha serta tidak akan berani menghadapai tantangan karena terbiasa dibantu oleh orang lain.

Menurut observasi peneliti disekolah bahwa penyandang cacat tunanetra yang berada Yayasan Karya Murni, bahwa usia mereka juga tidak menentukan mereka duduk dibangku sekolah. Usia yang sudah menginjak dewasa tetapi masih duduk dibangku Sekolah Dasar merupakan hal yang wajar bagi mereka, hal ini yang di akibatkan karena keterlambatan perkembangan yang diakibatkan oleh kekurangan mereka itu sehingga untuk bersekolah juga mereka mengalami keterlambatan.

Perkembangan anak tunanetra yang tingga bersama dengan keluarga sangat berbeda dengan anak tunanetra yang tinggal di panti asuhan, sebab anak tunanetra yang tinggal di panti asuhan di ajarkan untuk dapat bekerja sendiri dan dapat beraktifitas di panti dengan sendirinya tanpa ketergantungan dengan orang lain/ mengharapkan bantuan orang lain. Sedangkan anak tunanetra yang tinggal dengan keluarga sering sekali hanya duduk dan tidak dapat bekerja sendiri, sehingga mengakibatkan anak tersebut tidak dapat mandiri.

Seperti peneturan guru kelas I Ibu K.Sembiring :

“Contohnya saja Devik yang duduk di kelas I SD sebagai salah satu anak tunanetra yang bersekolah yang tinggal bersama orang tuanya. Devik ini menggerakkan kakinya saja untuk melangkah saja sangat sulit dan takut makanya ia selalu ditemani oleh pembantunya kemana saja ia pergi seperti halnya kesekolah. Kemampuan Devik ini bisa dikatakan tidak ada karena dalam hal berbicara saja sulit sehingga dia ini untuk mengatakan ia ingin buang air besar atau kecil saja gak bisa makanya dia ini selalu buang air besar ataupun kecil selalu dicelananya sehingga mengganggu temannya lagi belajar makanya kemampuan untuk ngomong aja dia sangat kurang apalagi untuk belajar karena untuk menggerakkan tangannya saja gak ada tenaga bagaimana bisa untuk menekan tulisan braille, makanya teman-temannya selalu mengatakan ia beo karena slalu mengikuti apa yang dikatakan orang”.

(60)

kemandirian. Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa anak tersebut tidak memiliki kegiatan di rumah bahkan tidak diajarkan untuk bekerja dan berinteraksi, karena anak tersebut untuk melakukan komunikasi tidak dapat lancar, sehingga untuk berbicara saja tidak tahu, seperti hal nya untuk mengatakan yang menyangkut pribadinya untuk keperluannya saja Devik ini tidak bisa. Oleh sebab itu dalam diri si anak ini tidak ada rasa percaya diri, karena segala pekerjaan baik itu yang menyangkut pribadinya, saja selalu dibantu oleh pembantunya ataupun orang tua nya dan bahkan disekolah juga selalu didamping oleh seorang pembantu.

Seperti peneturan pembantu Devik mengatakan :

“Kerjaan Devik ini dirumah nggak ada dan bermain juga nggak, makanya kalau udah nyampe dirumah dia hanya duduk di dalam kamar saja makanya kalau dia dibiarkan duduk, ia mau sampai beberapa jam ditinggal dan baru kita lihat lagi dia tetap gitu aja tanpa ada berubah posisinya, yang lain lagi bahwa Devik ini sudah seperti anak bayi karena selain itu juga devik ini kalau dirumah selalu dipakaikan pampers disuruh mamanya”. Sukma

dari hasil wawancara yang dilakuakn peneliti dan observasi, bahwa Devik ini

adalah anak yang tidak dapat bekerja sendiri. Dan jika dilihat dari usia Devik ini (9 tahun), maka jika dibandingkan dengan anak tunanetra yang lainnya yang lebih muda dari Devik, anak tersebut sudah dapat untuk melakukan kegiatannya walaupun yang dapat dikerjakannya hal yang menyangkut pribadinya saja.

(61)

selalu bergantung pada orang lain dan diajar untuk mandiri dan selalu berusaha untuk mengerjakan apa saja. Contohnya saja Bale, menurut penuturan pegawai panti asuhan, mengatakan :

“Bale ini anak yang masih berusia 4 tahun dan masih duduk di bangku TKLB Karya Murni. Bale ini anak gak yang pernah mau jika dibantu oleh orang lain dan dia anak yang ingin banyak tahu. Berjalan juga dia tidak mau dibantu oleh orang lain dia inginnya bekerja sendiri dan kalau dia jatuh, dia gak peduli dan kalau ia jatuh kata yang sering di ucapkannya gak apa-apa. Dalam hal mandi juga ia selalu ingin mandi sendiri tapi karna ia masih kecil sekali badannya makanya ia gak sampai untuk mengambilkan air dan untuk mandi juga makanya gak dibiarkan sendiri karena ia sangat rentan sekali dengan penyakit gatal-gatal sehingga ia gak di biarkan mandi sendiri takutnya gak bersih” .

Menurut Observasi peneliti bahwa Bale ini adalah anak yang pantang untuk menyerah dalam mengerjakan pekerjaan, seperti halnya yang dilihat oleh peneliti pada saat ia ingin membuka tutup minuman botol, maka peneliti mencoba untuk membantunya tetapi apa yang dikatakannya kepada peneliti “gak usah kak aku juga bisa membukanya sendiri ”. Dari perkataan atau penolakan akan bantuan yang di

(62)

Contoh lain juga seperti terlihat pada foto/gambar 1, anak tersebut melakukan pekerjaannya sehari-hari dengan cukup mahir, dibawah ini :

Gambar

Table 1 Data guru/pegawai SLB-A Karya Murni
Tabel 2 Data anak SLB-A Karya Murni yang mendapatkan prestasi
Tabel 3 Data anak SLB-A Karya Murni
Table 4 Pembagian Tugas Guru SLB-A Karya Murni
+7

Referensi

Dokumen terkait

Supaya tujuan pembelajaran matematika dapat diterima oleh peserta didik yang berkebutuhan khusus dalam penglihatan tentunya budaya belajar yang diterapkan di sekolah

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas metode pembelajaran PAI bagi anak tunanetra yang diterapkan di SMP SLB-A-YKAB Jebres Surakarta, dan mengetahui faktor

Untuk mendeskripsikan cara yang dilakukan oleh penyandang tunanetra untuk mengatasi kendala-kendala dalam meraih prestasi di Sekolah Luar Biasa Bagian

Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu metode pembahasan dengan pemaparan, penguraian penggambaran data-data dan teori-teori yang

Pentingnya dilaksanakan penelitian tentang Prestasi Diri Penyandang Tunanetra di Sekolah Luar Biasa Bagian Tunanetra/SLB A-YKAB Surakarta adalah untuk menunjukkan bahwa

Perancangan Sekolah Luar Biasa bagian B di Manado sangat dibutuhkan oleh anak-anak tunarungu dengan memakai t ema ”arsitektur bagi p enyandang cacat tunarungu, mata

Segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat meyelesaikan penulisan skripsi

menaruhkan harapan kepada Sekolah luar biasa Karya Murni yang menjadikan anak. tunanetra menjadi pribadi yang mandiri yang membuat pandangan