• Tidak ada hasil yang ditemukan

Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei: Kajian Ekolinguistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei: Kajian Ekolinguistik"

Copied!
288
0
0

Teks penuh

(1)

LEKSIKON EKOLOGI KESUNGAIAN

LAU BINGEI

:

KAJIAN EKOLINGUISTIK

TESIS

Oleh

ERNAWATI BR SURBAKTI 117009022/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEKSIKON EKOLOGI KESUNGAIAN

LAU BINGEI

:

KAJIAN EKOLINGUISTIK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ERNAWATI BR SURBAKTI 117009022/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : LEKSIKON EKOLOGI KESUNGAIAN LAU BINGEI: KAJIAN EKOLINGUISTIK

Nama Mahasiswa : Ernawati Br Surbakti

Nomor Pokok : 117009022

Program Studi : Linguistik

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr. Eddy Setia, M. Ed. TESP) (Dr. Masdiana Lubis, M. Hum)

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 3 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Eddy Setia, M. Ed. TESP.

Anggota : 1. Dr. Masdiana Lubis, M. Hum.

2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

3. Dr. Dwi Widayati, M. Hum.

(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

LEKSIKON EKOLOGI KESUNGAIAN LAU BINGEI:

KAJIAN EKOLINGUISTIK

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat

untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Linguistik Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya

penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian

tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis

cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika

penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis

ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian

tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang

penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan

yang berlaku.

Medan, Agustus 2013 Penulis,

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei: kajian ekolinguistik. Permasalahan yang dikaji: pertama, leksikon ekologi kesungaian

Lau Bingei, kedua, pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei ketiga, nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei. Teori yang digunakan adalah teori ekolinguistik dan antropolinguistik. Untuk menganalisis leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, nilai budaya, dan kearifan lingkungan digunakan metode deskriptip kualitatif. Sedangkan untuk menganalisis pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei didukung oleh data kuantitatif. Dari hasil analisis diperoleh 14 kelompok leksikon dengan jumlah 409 leksikon nomina dan 111 leksikon verba. Total leksikon terdiri atas 520 leksikon. Kemudian leksikon tersebut diujikan kepada guyub tutur bahasa Karo di 16 kelurahan dengan menyodorkan 4 kategori pilihan kepada tiga generasi usia ≥46 tahun, 21-45 tahun, 15-20 tahun, maka diperoleh hasil pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon nomina kategori A JP 12093 (30,79%), B JP 14898 (37,94%), C JP 5251 (13,39%), dan D JP 7018 (17,87%). Pemahaman guyub tutur terhadap leksikon verba dengan kategori A JP 5465 (51,28%), B JP 2940 (27,59%), C JP 1455 (13,65%), dan D JP 796 (7,46%). Nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei

mengandung nilai-nilai budaya yaitu (1) nilai sejarah, (2) nilai religius dan keharmonisan, (3) nilai sosial dan budaya, (4) nilai kesejahteraan dan (5) nilai ciri khas. Sedangkan, nilai kearifan lingkungan yang dapat digali melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei adalah (1) nilai kedamaian dan (2) nilai kesejahteraan dan gotong royong.

(7)

ABSTRACT

This study entitles Lau Bingei River Ecology Lexicons: An Ecolinguistics Study discussed the research problems of (1) the lexicons of Lau Bingei river ecology, (2) how the Karonese community understands the Lau Bingei river ecology lexicons, and (3) the cultural value and environmental wisdom of Karonese community through Lau Bingei river ecology through ecolinguistics and anthropolinguistics theories. Descriptive qualitative method was used to analyze the Lau Bingei river ecology lexicons, cultural values and environmental wisdom and quantitative data was used to support the analysis of how the Karonese community understands the Lau Bingei river ecology lexicons. The result of the analysis showed that there were 14 groups of lexicons with 409 noun lexicons and 111 verb lexicons. The total number of lexicons found was 520. The lexicons were tested to the Karonese community in 16 kelurahan (villages) by providing 4 categories of choices to the community members of three different age groups such as ≥ 46 years old, 21 – 45 years old, and 15 – 20 years old. The result of the understanding of the Karonese community towards the noun lexicons of category A was JP 12093 (30.79%), category B was JP 14898 (37.94%), category C was JP 5251 (13.39%), and category D was JP 7018 (17.87%). The understanding of the Karonese community towards the verb lexicons of category A was JP 5465 (51.28%), category B was JP 2940 (27.59%), category C was JP 1466 (16.35%), and category D was JP 796 (7.46%). It was found out that Cultural value of the Karonese community in relation to Lau Bingei ecology lexicons contains (1) historical value, (2) religious value and harmony, (3) social and cultural values), (4) welfare value, and (5) characteristic value and environmental wisdom of the Karonese community in relation to Lau Bingei ecology lexicons contains (1) peace value, and (2) welfare and mutual cooperation values.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah

SWT karena hanya berkat rahmat, hidayah, dan karunia-Nya penulis berhasil

menyelesaikan tesis dengan judul “Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei:

Kajian Ekolinguistik”. Sebagai persyaratan dalam menyelesaikan studi S2 di

Program Magister Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Begitu banyak dukungan dan perhatian yang penulis dapatkan selama

pendidikan dan penelitian tesis ini berlangsung, sehingga hambatan yang ada

dapat dilalui dan dihadapi dengan penuh rasa sabar. Oleh karena itu, dengan

penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTMH. (CTM). Sp. A (K)., yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister pada Sekolah

Pascasarjana USU.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc.

yang telah memberi dukungan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan

pada Sekolah Pascasarjana USU.

3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku Ketua Program Studi

(9)

Hum., yang telah memberikan bimbingan dan dukungan selama mengikuti

pendidikan di SPs USU Medan.

4. Bapak Dr. Eddy Setia, M. Ed. TESP dan Ibu Dr. Masdiana Lubis, M.Hum.

selaku dosen pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu dan pikirannya

yang sangat berharga untuk membimbing, mengarahkan, dan memberikan

motivasi dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Dosen mata kuliah, Bapak Prof. Aron Meko Mbete, Ibu Dr. Dwi Widayati,

M. Hum dan Bapak Dr. Abdurahman Adisaputera, M.Hum., yang

memperkenalkan kajian ekolinguistik sehingga memberikan motivasi dan

stimulus untuk mengambil kajian ekolinguistik sebagai objek penulisan tesis.

6. Dosen Pengajar di Program Studi Linguistik SPs USU Bapak Prof. Amrin

Saragih, Ph.D., Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., Bapak Rustam

Effendi, M.A., Ph.D., Ibu Dr. Gustianingsih, M.Hum., Bapak Drs. M. Takari,

Ph.D. serta dosen pengajar lainnya yang memberikan ilmu pengetahuan,

bimbingan, serta membuka wawasan dan cakrawala berpikir ilmiah, semoga

jasa para pengajar dibalas oleh Allah SWT sebagai amal ibadah yang tidak

akan pernah pupus.

7. Bapak Direktur Politeknik Negeri Lhokseumawe, Bapak PD I, Bapak PD II,

Bapak PD III, Bapak PD IV, dan Bapak Ketua Jurusan Teknik Sipil PNL

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu

(10)

8. Ketua Yayasan Pendidikan Bina Mandiri Lhokseumawe ibu Dra. Rohana BY,

S.H., yang telah memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis selama

menimba ilmu pengetahuan di Program Studi Linguistik SPs USU Medan.

9. Para informan (sembuyak, anak beru, dan kalimbubu) dalam merga silima di

Kecamatan Sei. Bingei, bujur melala ras mejuah-juah kita kerina.

10.Secara khusus penghargaan, rasa hormat, dan terima kasih yang tidak

terhingga penulis persembahkan kepada ketiga orangtua tercinta: Alm. K.

Surbakti, Almh. B. Br. Sembiring dan Dra. Rohana BY, S.H. yang telah

membesarkan, mendidik, dan mendoakan dengan segala kasih sayangnya

bersama kedelapan orang saudaraku Ngarihken Surbakti, Ngaturi Surbakti,

Ngakurken Surbakti, Rosmena Br Surbakti, Baik Surbakti, Sedia Surbakti,

Nuraini Br Surbakti, dan Majuh Surbakti.

11.Sahabat terbaik Lia Khalisa, S.S., Fita Delia Gultom, S.S., dan John Ginting,

S.P. terima kasih atas segala bantuan, semangat, dan motivasinya selama ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan,

karena yang sempurna hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif sehingga tulisan ini lebih baik.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat serta dapat menjadi salah satu bahan informasi

pengetahuan bagi pembaca sekalian.

Medan, Agustus 2013

Penulis,

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ernawati Br Surbakti

Tempat/Tanggal Lahir : Namuterasi, 06 Januari 1980

Agama : Islam

Alamat : (1) Jalan Sei. Bangkatan/Gg. Patok No. 196 (Perumahan Binjai Anugerah Lestari), Kecamatan Binjai Selatan, Sumatera Utara.

(2) Jalan Bambu Kuning Dusun Mesjid IV, Mon Geudong, Kec. Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Aceh.

Pekerjaan : Dosen Politeknik Negeri Lhokseumawe

Riwayat Pendidikan : 1. SD Negeri No. 057198, Kab. Langkat. 1986 s.d.1992.

2. SMP Swasta Nasional, Kab. Langkat. 1992 s.d. 1995.

3. SMU Negeri 2 Binjai, SUMUT.1995 s.d.1998.

4. S1 FBS Sastra Indonesia, Universitas Negeri Medan (UNIMED) 1998 s.d.2002.

(12)

DAFTAR ISI

Hal.

LEMBAR PENGESAHAN TESIS………

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS…...

PERNYATAAN……… 1.4 Tujuan Penelitian………... 1.5 Manfaat Penelitian………... 1.6 Definisi Istilah………

BAB II KONSEP, KERANGKA TEORI, DAN

PENELITIAN TERDAHULU...

2.1 Konsep………...

2.1.1 Leksikon………... 2.1.1.1 Kata Benda (Nomina)..………... 2.1.1.2 Kata Kerja (Verba)………...

2.2 Kerangka Teori………... 2.2.1 Ekolinguistik………... 2.2.2 Bahasa dan Lingkungan………... 2.2.3 Semantik Leksikal……… 2.2.4 Nilai Budaya dan Kearifan Lingkungan……….. 2.2.4.1Nilai Budaya Perspektif Antropolinguistik……… 2.2.4.2 Kearifan Lingkungan……….

2.3 Penelitian Terdahulu ……….………... 2.4 Kerangka Berpikir………

BAB III METODE PENELITIAN…….………

3.1 Metode Penelitian………..……...

3.2 Lokasi Penelitian………... 3.3 Sumber Data……… 3.4 Teknik Pengumpulan Data………..

(13)

3.5 Pengujian Data………

4.1 Geografi Kecamatan Sei Bingei, Kabupaten Langkat….. 4.2 Lau Bingei……….

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian... 5.1.1 Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei...

5.2 Pembahasan... 5.2.1 Pemahaman Guyub Tutur terhadap Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei... 5.2.1.1 Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina... 5.2.1.2 Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap

Leksikon Verba...

BAB VI NILAI BUDAYA DAN KEARIFAN

LINGKUNGAN MELALUI LEKSIKON

EKOLOGI KESUNGAIAN LAU BINGEI

6.1 Nilai Budaya Melalui Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei... 6.2 Kearifan Lingkungan...

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN...

(14)

DAFTAR TABEL

Luas, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Dirinci Menurut Desa/ Kelurahan Tahun 2011……..

Persentase Penduduk Menurut Suku Bangsa dan Desa/Kelurahan Tahun 2000*………...

Deskripsi Rangkuman Persentase Pemaham Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei………

Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo

Generasi Usia ≥ 46 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei…………

Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei…………

Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei…………

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan Kategori A………

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan Kategori B………

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan Kategori C………

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan Kategori D………...

Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

di 16 Kelurahan dengan Kategori A ………

(15)

5.10

Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

di 16 Kelurahan dengan Kategori B ………..

Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

di 16 Kelurahan dengan Kategori C ………..

Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

di 16 Kelurahan dengan Kategori D ………..

Deskripsi Rangkuman Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Kelompok Leksikon Verba………...

Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia ≥ 46 Tahun terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei…………..

Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei…………

Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei…………..

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan Kategori A………

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan Kategori B………

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan Kategori C………

(16)

5.21

5.22

5.23

5.24

Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei di 16 Kelurahan dengan Kategori A ………..

Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei di

16 Kelurahan dengan Kategori B ………...

Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei di 16 Kelurahan dengan Kategori C ………...

Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei di 16 Kelurahan dengan Kategori D ………..

140

141

142

(17)

DAFTAR GAMBAR

Lau Bingei yang Diolah menjadi Irigasi Namo Sira-sira… Tumpukan Batu di Sungai dan Namo Empung Belinteng…

Lau Bingeidi Namo Ukur Utara……...

Deskripsi Rangkuman Jumlah Pemaham Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei………

Diagram Tingkat Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia ≥ 46 Tahun terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei………...

Diagram Tingkat Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei………...

Diagram Tingkat Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei………...

Deskripsi Rangkuman Jumlah Pemaham Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei………

Diagram Tingkat Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia ≥ 46 Tahun terhadap Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei………...

(18)

5.7

5.8

5.9

Diagram Tingkat Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei………...

Diagram Tingkat Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei………

Empung………..

134

136

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Daftar Leksikon Ekologi Kesungaian Lau

Bingei……….

Rangkuman Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei (Gabungan Tiga Generasi)

Deskripsi Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa

Karo Generasi Usia ≥ 46 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

Deskripsi Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

Deskripsi Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

Rangkuman Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei (Gabungan Tiga Generasi)

Deskripsi Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa

Karo Generasi Usia ≥ 46 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

Deskripsi Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

Deskripsi Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

Daftar Pertanyaan Leksikon Ekologi Kesungaian Lau

(20)

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei: kajian ekolinguistik. Permasalahan yang dikaji: pertama, leksikon ekologi kesungaian

Lau Bingei, kedua, pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei ketiga, nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei. Teori yang digunakan adalah teori ekolinguistik dan antropolinguistik. Untuk menganalisis leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, nilai budaya, dan kearifan lingkungan digunakan metode deskriptip kualitatif. Sedangkan untuk menganalisis pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei didukung oleh data kuantitatif. Dari hasil analisis diperoleh 14 kelompok leksikon dengan jumlah 409 leksikon nomina dan 111 leksikon verba. Total leksikon terdiri atas 520 leksikon. Kemudian leksikon tersebut diujikan kepada guyub tutur bahasa Karo di 16 kelurahan dengan menyodorkan 4 kategori pilihan kepada tiga generasi usia ≥46 tahun, 21-45 tahun, 15-20 tahun, maka diperoleh hasil pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon nomina kategori A JP 12093 (30,79%), B JP 14898 (37,94%), C JP 5251 (13,39%), dan D JP 7018 (17,87%). Pemahaman guyub tutur terhadap leksikon verba dengan kategori A JP 5465 (51,28%), B JP 2940 (27,59%), C JP 1455 (13,65%), dan D JP 796 (7,46%). Nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei

mengandung nilai-nilai budaya yaitu (1) nilai sejarah, (2) nilai religius dan keharmonisan, (3) nilai sosial dan budaya, (4) nilai kesejahteraan dan (5) nilai ciri khas. Sedangkan, nilai kearifan lingkungan yang dapat digali melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei adalah (1) nilai kedamaian dan (2) nilai kesejahteraan dan gotong royong.

(21)

ABSTRACT

This study entitles Lau Bingei River Ecology Lexicons: An Ecolinguistics Study discussed the research problems of (1) the lexicons of Lau Bingei river ecology, (2) how the Karonese community understands the Lau Bingei river ecology lexicons, and (3) the cultural value and environmental wisdom of Karonese community through Lau Bingei river ecology through ecolinguistics and anthropolinguistics theories. Descriptive qualitative method was used to analyze the Lau Bingei river ecology lexicons, cultural values and environmental wisdom and quantitative data was used to support the analysis of how the Karonese community understands the Lau Bingei river ecology lexicons. The result of the analysis showed that there were 14 groups of lexicons with 409 noun lexicons and 111 verb lexicons. The total number of lexicons found was 520. The lexicons were tested to the Karonese community in 16 kelurahan (villages) by providing 4 categories of choices to the community members of three different age groups such as ≥ 46 years old, 21 – 45 years old, and 15 – 20 years old. The result of the understanding of the Karonese community towards the noun lexicons of category A was JP 12093 (30.79%), category B was JP 14898 (37.94%), category C was JP 5251 (13.39%), and category D was JP 7018 (17.87%). The understanding of the Karonese community towards the verb lexicons of category A was JP 5465 (51.28%), category B was JP 2940 (27.59%), category C was JP 1466 (16.35%), and category D was JP 796 (7.46%). It was found out that Cultural value of the Karonese community in relation to Lau Bingei ecology lexicons contains (1) historical value, (2) religious value and harmony, (3) social and cultural values), (4) welfare value, and (5) characteristic value and environmental wisdom of the Karonese community in relation to Lau Bingei ecology lexicons contains (1) peace value, and (2) welfare and mutual cooperation values.

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Lau Bingei merupakan salah satu urat nadi wilayah Kecamatan Sei

Bingei. Lau Bingei dijadikan sumber air irigasi yang bernama Irigasi Namo

Sira-Sira (Pangkal). Irigasi Namo Sira-Sira-sira didirikan oleh Presiden Soeharto tahun

1986. Irigasi ini terletak di desa Belinteng dan Durian Lingga. Luas bendungan

6500 Ha. Irigasi Namo Sira-sira mengairi persawahan daerah pertanian

Belinteng, Namo Tating, Namo Terasi, Durian Lingga, Namo Ukur, dan

Purwobinangun. Kelangsungan hidup sebagian besar masyarakat Kecamatan Sei

Bingei bergantung kepada debit air Lau Bingei.

Pentingnya Lau Bingei bagi masyarakat sekitar seharusnya menyadarkan

mereka untuk menjaga ekologi Lau Bingei demi kelangsungan hidup yang

nyaman dan sejahtera. Akan tetapi, kenyataannya air Lau Bingei semakin hari

semakin kotor.

“Pencemaran sungai yang terjadi di Langkat karena banyaknya

perusahaan terutama perusahaan kelapa sawit yang tidak memiliki kolam

pengolahan limbah, sehingga perusahaan langsung membuang limbahnya ke

sungai dan menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Perusahaan

yang diduga melakukan pembuangan limbah ke Sungai Bingei adalah PT GU

(23)

Kecamatan Selesai, PT MNS di Kecamatan Besitang, dan PT SH (pabrik kelapa

sawit) di Kecamatan Sei Bingei,” ujar Kepala Badan Lingkungan Hidup

Kabupaten Langkat, HS.

Selain pembuangan limbah juga terjadi pengerukan pasir, batu, dan tanah

untuk kepentingan bisnis serta penanaman pohon kelapa sawit sampai ke tepi

sungai, menyerap banyak air. Di daerah ini juga berulang kali terjadi kerusuhan

antarpemuda dari daerah yang berbeda untuk memperebutkan daerah wisata.

Kerusuhan tersebut menyebabkan kerusakan pada lingkungan sekitar sungai

karena pembakaran lahan dan lain-lain. Rusaknya ekologi Lau Bingei berdampak

pada punahnya biota dan tumbuhan sekitar sungai dan akan berdampak pada

bahasa Karo khususnya kazanah leksikon yang ada di sekitar Lau Bingei.

Contoh salah satu leksikon Lau Bingei:

(1) tapin(n); „pemandian, tempat mandi‟ Lau Bingei(n) „Sungai Bingei‟ ertapinken (v) Lau Bingei

„menggunakan Sungai Bingei sebagai tempat mandi‟

(2) tabar(n) „obat penangkal‟ galuh si tabar(n) „pisang tabar‟

tabar-tabar (n) (Costus rumphianus val. Zingiberangulah) „tumbuhan liar

yang biasanya tumbuh di hutan berdaun lebar dan mempunyai bunga berwarna merah‟

nabari (v) „suatu upacara besar untuk mengusir roh jahat‟

Seiring dengan rusaknya ekologi dan kualitas air sungai, otomatis

kegiatan atau aktivitas penggunaan Lau Bingei lambat laun akan hilang.

(24)

begitu juga tumbuhan tabar, galuh si tabar, dan tabar-tabar. Akankah tradisi

nabari pada guyub tutur bahasa Karo hilang seiring hilangnya tumbuhan

tersebut? Hilangnya tradisi nabari berarti hilanglah salah satu warisan budaya

Karo.

Di samping untuk pelestarian lingkungan dan sumber kesejahteraan

masyarakat, lingkungan sekitar Lau Bingei juga merupakan tempat tumbuh

bahan-bahan ramuan obat tradisional. Sebelum penjajahan Belanda, guyub tutur

bahasa Karo sudah melakukan pengobatan secara tradisional (tambar-tambar

Karo). Melalui pengobatan tradisional ini Suku Karo banyak dikenal

masyarakat, sehingga nilai budaya masyarakat Karo turut terangkat ke

permukaan. Hal ini terjadi ketika seorang Guru yang bernama Guru Patimpus

Sembiring Pelawi pada awalnya mengobati segala penyakit, ia menimpus

obat-obatan sehingga ia pun dinamai Guru Patimpus. Di samping itu, Guru Patimpus

Sembiring merupakan pendiri kota Medan sehingga namanya dijadikan nama

salah satu jalan di kota Medan. Apakah pengobatan tradisional itu harus hilang

seiring hilangnya tumbuhan yang digunakan untuk mengobati masyarakat karena

lingkungan tempat tumbuhan itu tumbuh rusak karena ulah manusia yang kurang

memahami makna dan nilai budaya? Untuk itu, penulis tertarik meneliti leksikon

ekologi kesungaian Lau Bingei, bagaimana pemahaman guyub tutur terhadap

leksikon tersebut, serta menjelaskan bagaimana nilai budaya dan kearifan

lingkungan guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau

Bingei. Kajian ini bertujuan agar masyarakat senantiasa menjaga lingkungan dan

(25)

Kecamatan Sei Bingei terdiri atas enam belas desa kelurahan, yakni (1)

Kelurahan/Desa Belinteng, (2) Kelurahan/Desa Durian Lingga, (3)

Kelurahan/Desa Gunung Ambat, (4) Kelurahan/Desa Kwala Mencirim, (5)

Kelurahan/Desa Mekar Jaya, (6) Kelurahan/Desa Namo Ukur Selatan, (7)

Kelurahan/Desa Namo Ukur Utara, (8) Kelurahan/Desa Pasar IV Namo Terasi,

(9) Kelurahan/Desa Pasar VI Kwala Mencirim, (10) Kelurahan/Desa Pasar VIII

Namo Terasi, (11) Kelurahan/Desa Pekan Sawah, (12) Kelurahan/Desa

Purwobinangun, (13) Kelurahan/Desa Rumah Galuh, (14) Kelurahan/Desa

Simpang Kuta Buluh, (15) Kelurahan/Desa Tanjung Gunung, dan (16)

Kelurahan/Desa Telaga. (Sumber: BPS. Kab. Langkat Kecamatan Sei Bingei

dalam Angka, 2012).

Sebagian besar penduduk kecamatan ini adalah suku Karo 64,99%,

disusul suku Jawa 28,75%, Simalungun+Tapanuli 1,89%, Mandailing 0,42%,

Melayu 0,32%, dan lainnya 3,63% (Sumber: BPS Kab. Langkat; Kecamatan Sei

Bingei dalam Angka, 2012). Banyaknya penutur bahasa Karo di wilayah ini

tidak menjamin bahasa ini bertahan dari ancaman kepunahan. Jika bahasa punah,

maka budaya guyub juga akan punah. Jika budaya guyub punah, maka

keharmonisan antarguyub juga akan hilang. Padahal guyub tutur membutuhkan

kebersamaan dan keharmonisan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Alasannya, untuk tetap bertahan hidup seperti yang dinyatakan oleh Saussure dan

Barker (dalam Mbete (2009:4)) bahwa bahasa itu harus kokoh berada dalam

kognisi penuturnya dan harus digunakan secara lebih sering dan mendalam dalam

(26)

Bahasa Karo adalah bentuk bahasa Austronesia Barat yang digunakan di

daerah Pulau Sumatera sebelah utara pada wilayah Kepulauan Indonesia (Dyen,

1965 dalam Woollams, 2004:1). Masyarakat Batak Karo bermukim di wilayah

sebelah barat laut Danau Toba. Luas wilayah sekitar 5.000 kilometer persegi.

Secara astronomis terletak sekitar antara 3 dan 3 30'lintang utara serta 98 dan

' 30

98 bujur timur. Woollams (2004:2) mengatakan bahwa wilayah penutur

bahasa Karo tersusun atas dua wilayah utama:

a. Dataran tinggi Tanah Karo, yang mencakup seluruh wilayah Kabupaten Karo

dengan pusat administrasinya di Kota Kabanjahe. Wilayah dataran tinggi

Tanah Karo ini menjorok ke selatan hingga masuk ke wilayah Kabupaten

Dairi (khususnya Kecamatan Taneh Pinem dan Tiga Lingga), serta ke arah

timur masuk ke bagian wilayah Kecamatan Silima Kuta yang terletak di

Kabupaten Simalungun. Masyarakat Karo menyebut wilayah permukiman

dataran tinggi ini dengan nama Karo Gugung.

b. Dataran rendah, yang mencakup wilayah-wilayah Kecamatan Kabupaten

Langkat dan Kabupaten Deli Serdang yang terletak pada bagian ujung selatan

secara geografis (namun tertinggi secara topografis). Wilayah ini dimulai dari

sekitar kampung-kampung Bahorok, Bukit Lawang, Kecamatan Sei Bingei

(Kabupaten Langkat), Pancur Batu (Deli Serdang), dan Namo Rambe yang

ada di sebelah utara, serta Bangun Purba, Tiga Juhar dan Gunung Meriah di

(27)

Objek kajian dalam penelitian ini adalah salah satu sungai yang terdapat

di dataran rendah yaitu Lau Bingei yang terletak di Kecamatan Sei Bingei guyub

tutur bahasa Karo Jahe (bahasa Karo dialek Karo Jahe/hilir).

1.2Batasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi permasalahan yang dibahas

untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman sehingga permasalahan tidak

melebar dan peneliti dapat lebih terkonsentrasi serta terfokus pada titik masalah

yang akan diteliti. Judul penelitian ini adalah ”Leksikon Ekologi Kesungaian Lau

Bingei: Kajian Ekolinguistik”. Penelitian ini dibatasi pada leksikon nomina dan

verba bahasa Karo di Kecamatan Sei Bingei.

1.3 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah penelitian ini

adalah sebagai berikut.

(1) leksikon apa sajakah yang terdapat dalam ekologi kesungaian Lau Bingei?

(2) bagaimanakah pemahaman guyub tutur bahasa Karo Kecamatan Sei Bingei

terhadap leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei?

(3) bagaimanakah nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo

(28)

1.4 Tujuan Penelitian

Sekaitan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai

berikut.

(1) mendeskripsikan leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei,

(2) mendeskripsikan pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon

ekologi kesungaian Lau Bingei, dan

(3) menjelaskan nilai-nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa

Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

1.5.1 Manfaat Teoretis

Temuan penelitian ini diharapkan sebagai salah satu bahan informasi,

bahan masukan yang relevan dalam hal penelitian tentang leksikon kesungaian

Lau Bingei guyub tutur bahasa Karo, linguistik, dan kajian ekolinguistik. Temuan

penelitian ini diharapkan dapat menambah inspirasi bagi peneliti atau peminat

bahasa Karo khususnya bahasa Karo Jahe.

1.5.2 Manfaat Praktis

Temuan penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi para

penutur bahasa Karo agar tetap menggunakan dan melestarikan bahasa Karo agar

tidak hilang atau musnah apabila ekologi yang menunjangnya musnah pula. Hasil

(29)

kesungaian Lau Bingei guyub tutur bahasa Karo, (b) sebagai kamus kecil

khazanah leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei guyub tutur bahasa Karo

sehingga dapat dibaca oleh generasi muda yang akan datang dan sebagai muatan

lokal dalam kerangka pendidikan sehingga tumbuh rasa cinta terhadap

lingkungan, (c) sebagai arsip bahasa Karo, jika suatu saat ekologi yang

mendukung leksikon bahasa Karo tidak dapat dipertahankan lagi setidak-tidaknya

bahasa Karo tentang kesungaian Lau Bingei tidak ikut punah seiring rusaknya

ekologi yang mendukungnya, dan (d) dapat dijadikan sebagai rujukan bagi

Kementerian Lingkungan Hidup.

1.6 Definisi Istilah

Beberapa istilah dalam penelitian ini ditinjau berdasarkan konsep

ekolinguistik adalah sebagai berikut.

(1) bahasa Karo; bahasa Karo adalah bentuk bahasa Austronesia Barat yang

digunakan di daerah Pulau Sumatera sebelah utara pada wilayah Kepulauan

Indonesia (Dyen, 1965 dalam Woollams, 2004:1). Bahasa Karo yang

digunakan pada penelitian ini adalah bahasa Karo Jahe (Karo Hilir).

(2) ekolinguistik; ekolinguistik adalah ilmu bahasa yang interdisipliner

menyandingkan ekologi dan linguistik. Melalui bidang ini, leksikon ekologi

kesungaian Lau Bingei, pemahaman guyub tutur bahasa Karo Kecamatan Sei

Bingei terhadap leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, serta nilai budaya

dan kearifan lingkungan melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei

(30)

(3) ekologi; ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara mahluk

hidup dan kondisi alam sekitarnya (lingkungannya) atau kajian saling

ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi manusia berbeda dengan ekologi

mahluk hidup lainnya, karena manusia memiliki budaya dalam ekosistem.

(4) kesungaian; kesungaian adalah alam ragawi sungai juga semua hal yang

meliputi sungai, khususnya pemahaman secara kognisi tentang biota dan atau

unsur-unsur alami secara leksikal dengan makna dasarnya.

Maryono (2005: 3) mengemukakan bahwa sungai termasuk salah satu

wilayah keairan. Wilayah keairan dapat dibedakan menjadi beberapa

kelompok yang berbeda berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda.

Sudut pandang yang biasa digunakan dalam pengelompokan jenis wilayah

keairan antara lain adalah morfologi, ekologi, dan antropogenik (campur

tangan manusia pada wilayah keairan tersebut).

(5) leksikon; leksikon adalah kosa kata atau kekayaan kata yang dimiliki oleh

(31)

BAB II

KONSEP, KERANGKA TEORETIS, DAN PENELITIAN TERDAHULU

Pada bab ini akan diuraikan konsep, kerangka teori, dan penelitian

terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ”Leksikon Ekologi Kesungaian Lau

Bingei: Kajian Ekolinguistik”.

2.1 Konsep

2.1.1 Leksikon

Leksikon adalah koleksi leksem pada suatu bahasa. Kajian terhadap

leksikon mencakup apa yang dimaksud dengan kata, strukturisasi kosakata,

penggunaan dan penyimpanan kata, pembelajaran kata, sejarah dan evolusi kata

(etimologi), hubungan antarkata, serta proses pembentukan kata pada suatu

bahasa. Dalam penggunaan sehari-hari, leksikon dianggap sebagai sinonim

kamus atau kosakata.

Sibarani (1997:4) sedikit membedakan leksikon dari perbendaharaan kata,

yaitu ”Leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi

tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis,

dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada

kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa.”

Chaer (2007: 5) mengatakan bahwa istilah leksikon berasal dari kata

(32)

seperti ini sekerabat dengan leksem, leksikografi, leksikograf, leksikal, dan

sebagainya. Sebaliknya, istilah kosa kata adalah istilah terbaru yang muncul

ketika kita sedang giat-giatnya mencari kata atau istilah tidak berbau barat.

2.1.1.1 Kata Benda (Nomina)

Chaer (2006: 86) mengatakan ”kata-kata yang dapat diikuti dengan frase

yang... atau yang sangat... disebut kata benda”. Misalnya kata-kata: (1) jalan

(yang bagus); (2) murid (yang rajin); (3) pemuda (yang sangat rajin).

Ada tiga macam kata benda yaitu:

(a) kata benda yang jumlahnya dapat dihitung sehingga di depan kata benda itu

dapat diletakkan kata bantu bilangan. Ke dalam kelompok kata benda ini

termasuk kata-kata yang menyatakan:

(1) orang, termasuk kata-kata: (a) nama diri, seperti Hasan, Abas, Siti, dan

Ida, (b) nama perkerabatan, seperti adik, ibu, saudara, dan kakak, (c)

nama pangkat, jabatan, atau pekerjaan, seperti letnan, lurah, penulis, dan

raden, (d) nama gelar, seperti insinyur, profesor, dan petani.

(2) hewan, seperti kucing, gajah, ular, dan semut.

(3) tumbuhan atau pohon seperti kemuning, nyiur, palem, dan jambu.

(4) alat, perkakas, atau perabot, seperti obeng, pisau, gergaji, mobil meja, dan

lampu.

(5) benda alam, seperti kota, sungai, bintang, desa, dan danau.

(6) hal atau proses, seperti peraturan, perampokkan, kekuatan, dan

(33)

(7) hasil, seperti bendungan, jawatan, karangan, dan binatang.

(b) kata benda yang jumlahnya tak terhitung. Untuk dapat dihitung di depan kata

benda itu harus diletakkan kata keterangan ukuran satuan seperti gram, ton,

cm (sentimeter), km (kilometer), persegi, liter, kubik, termasuk juga kata-kata

yang menyatakan nama wadah yang menjadi tempat benda tersebut, seperti

karung, gelar, kaleng, truk, dan gerobak; serta kata-kata seperti (se)ikat,

(se)potong, (se)kerat, (se)tumpuk, (se)iris. Kelompok kata benda ini termasuk

kata-kata yang menyatakan (1) bahan, seperti semen, pasir, tepung, gula,

beras, dan kayu, dan (2) zat, seperti air, asap, udara, dan bensin.

(c) kata benda yang menyatakan nama khas. Di muka kata benda ini tidak dapat

diletakkan kata bilangan, seperti Jakarta, Bali, Galunggung, Toba, Eropa,

Amazone, dan Madinah.

Alwi, Dardjowidjojo, Lapoliwa, dan Moeliono (1993: 244) mengatakan

bahwa nomina dasar adalah nomina yang terdiri atas satu morfem. Contoh:

a. Nomina dasar umum: gambar, meja, rumah, malam, dst.

b. Nomina dasar khusus: adik, batang, butir, pekalongan, dst.

2.1.1.2 Kata Kerja (Verba)

Chaer (2006: 100) mengatakan ”kata-kata yang dapat diikuti oleh frase

dengan..., baik yang menyatakan alat, yang menyatakan keadaan, maupun yang

menyatakan penyerta, disebut kata kerja”. Misalnya kata-kata: (1) pergi (dengan

baik); (2) pulang (dengan gembira); (3) berjalan (dengan hat-hati); (4) berunding

(34)

macam kata kerja, yaitu kata kerja dasar dan kata kerja berimbuhan. Namun,

dalam penelitian ini yang diteliti hanyalah terbatas pada kata kerja dasar.

Alwi, dkk (1993:93) mengatakan bahwa verba memiliki ciri-ciri antara

lain: (1) verba berfungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam

kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain, (2) verba mengandung

makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau ter- yang berarti paling. Verba

seperti mati atau suka, misalnya, tidak dapat diubah menjadi termati atau tersuka,

dan (4) pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang

menyatakan makna kesangatan.

Kata dengan pengertian leksem bersesuaian dengan derivasi dan infleksi.

a. Derivasi

Poses derivasi mengubah suatu kata menjadi kata baru. Kata baru itu pada

umumnya berbeda kelas atau jenisnya dengan kata yang belum mengalami

derivasi. Dalam proses infleksi perubahan kelas kata itu tidak terjadi. Contoh

dalam bahasa Karo tapin (n) ertapinken /er-ken/ (v). Proses derivasi dalam

bahasa Inggris dicontohkan oleh perubahan dari love menjadi lovely, loveliness,

atau lover. Perhatikan perubahan kelas katanya dari kata kerja menjadi kata sifat

atau kata benda (Kentjono dalam Kushartanti, Yuwono, dan Lauder, 2005:153).

b. Infleksi

Infleksi mengubah bentuk suatu kata untuk menetapkan hubungannya

(35)

tugas gramatikal kata yang dibentuknya. Contoh, girl menjadi girls (kata girls

dibatasi kedudukannya dalam kalimat) (Kentjono dalam Kushartanti, dkk

2005:152). Dalam penelitian ini, kata kerja yang diteliti adalah kata yang

mengalami proses derivasi.

2.2 Kerangka Teori

2.2.1 Ekolinguistik

Ekolinguistik adalah suatu disiplin ilmu yang mengkaji lingkungan dan

bahasa. Ekolinguistik merupakan ilmu bahasa interdisipliner, menyanding

ekologi dan linguistik (Mbete, 2008:1).

Dalam istilah lain, kajian ini dikenal pula dengan istilah ekologi bahasa.

Sebetulnya ada empat istilah yang merujuk pada kajian ini, yaitu linguistic

ecology, ecological linguistics, the ecology of language/language ecology, dan

ecolinguistics (Lechevrel, 2009: 25 dalam al-Gayoni, 2010: 24).

Sementara itu, dalam bahasa Indonesia dikenal istilah ekologi linguistik,

linguistik ekologi, ekologi bahasa/bahasa ekologi, ekologi bahasa, dan

ekolinguistik. Dalam bahasa lain, dikenal pula istilah Ecologie des

langues/Ecologie du langage, Linguistique ecologique, Ecologie linguistique dan

Ecolinguistique (Perancis), Okologie der Sprache/sprachologie, Okologische

Linguistik, Linguistik Ekologie dan Okolinguistik (Jerman), serta Ecologia des las

lenguas, Ecologia linguistic dan Ecolinguistica (Spanyol) (Lechevrel, 2009:5

(36)

Kajian ini pertama kali dikenalkan oleh Einar Haugen dalam tulisannya

yang bertajuk Ecology of Language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah

ekologi bahasa (ecology of language) dari istilah lain yang bertalian dengan

kajian ini. Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya, yang

mana para pakar bahasa dapat berkerjasama dengan pelbagai jenis ilmu sosial

lainnya dalam memahami interaksi antarbahasa (Haugan dalam Fill &

Mühlhäusler, 2001:57).

Ekologi bahasa menurut Haugen adalah Language ecology may be

defined as the study of interactions between any given language and its

environment (ekologi bahasa dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari

interaksi antara beberapa bahasa dan lingkungannya) (Haugen, 1972 dalam Peter,

1996:57). Berdasarkan hal itu bahasa sangat berkaitan erat dengan lingkungannya

sendiri. Bahasa tersebut bisa hilang atau musnah apabila ekologi yang

menunjangnya musnah pula. Seperti yang telah dipaparkan di atas bahasa akan

mengalami perubahan begitu ekologi yang menunjangnya berubah pula. Dari

ragam bahasa yang mengalami perubahan di dalam ekologinya beberapa

istilahnya akan menjadi tidak umum lagi dipergunakan oleh para penuturnya.

Sementara itu, Mühlhäusler (dalam al-Gayoni, 2012:3) dalam tulisannya

yang berjudul Ecolinguistics in the University, menyebutkan

(37)

wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times” (p.2).

(Ekologi adalah studi tentang keterkaitan fungsional. Dua parameter yang ingin kita hubungkan adalah bahasa dan lingkungan/ekologi. Tergantung pada perspektif seseorang yang digunakan baik ekologi bahasa maupun bahasa ekologi. Gabungan tersebut merupakan bidang ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperlukan bagi kelangsungan mahluk hidup serta faktor-faktor yang mempengaruhi habitat (tempat) berbagai bahasa dewasa ini (hal.2)).

Crystal (2008: 161-162) dalam kamus A Dictionary of Linguistics and

Phonetics 6th Edition, menjelaskan:

Ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis–reflecting the notion of ecology in biological studies–in which the interaction between language and the cultural environment is seen as central; also called the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the importance of individual and community linguistic rights, and the role of language attitudes, language awareness, language variety, and language change in fostering a culture of communicative peace.

(Ekolinguistik (n.) dalam linguistik, suatu penekanan yang mencerminkan gagasan ekologi dalam studi biologis-dimana interaksi antara bahasa dan lingkungan budaya dipandang sebagai inti; juga disebut dengan ekologi bahasa, linguistik ekologi dan kadang-kadang linguistik hijau. Pendekatan ekolinguistik menyoroti nilai keragaman linguistik di dunia, pentingnya hak linguistik dari individu dan masyarakat, peranan dari sikap bahasa, kesadaran bahasa, ragam bahasa, dan perubahan bahasa dalam membina budaya perdamaian yang komunikatif).

(38)

Ecology is the study of plants and animals, as individuals and together in populations and biological communities, in relation to their environments–the physical, chemical, and biological characteristics of their surroundings.

(Ekologi adalah ilmu yang mempelajari tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewanan sebagai individu dan secara bersamaan dalam populasi dan komunitas biologis dalam kaitannya dengan lingkungannya-fisik, kimia, dan karakteristik biologis lingkungannya).

Haugen (1970; lihat Mbete, 2011: 9-10) mengatakan bahwa ruang lingkup

linguistik dalam payung ekologi bahasa diutarakan oleh Haugen berikut ini: (1)

linguistik historis komparatif; (2) linguistik demografi; (3) sosiolinguistik; (4)

dialinguistik; (5) dialektologi; (6) filologi; (7) linguistik preskriptif; (8)

glotopolitik; (9) etnolinguistik, linguistik antropologi atau linguistik kultural

(cultural linguistics); dan (10) tipologi. Dari uraian tersebut kajian ini adalah

kajian preskriptif (leksikon) dan linguistik antropologi.

Sejalan dengan pendapat di atas Mbete dalam wawancaranya dengan T.

Silvana Sinar (Minggu 8 Mei 2011) mengatakan bahwa kerusakan lingkungan

hidup oleh ulah manusia yang menjadikan dirinya sebagai pusat dan subjek

kehidupan (antroposentris). Menggugah dan "menggugat" dirinya pula untuk

mengembangkan kajian ini secara reflektif, evaluatif, introspektif, konstruktif,

dan integratif. Pendekatan multidisipliner, karena ekolinguistik menjadi payung

dan wadah bersama yang bersifat lintas bidang keilmuan, menjadi pilihan yang

sangat penting dan strategis. Sebagai kajian yang bertolak dari konsep dan

(39)

(diversity), dan (3) interaksi, interelasi, dan interdependensi. Kajian ekolinguistik

menempatkan dan menjadikan fenomena (penggunaan) bahasa dalam suatu

perspektif yang lebih integratif, prospektif, dan juga historis.

Lingkungan kebahasaan dan penggunaan bahasa (bahasa lingkungan)

yakni ekspresi verbal manusia dalam memahami, menanggapi, dan menggunakan

sumber daya lingkungan. Baik alam sebagai matra kesejagatan yang

makrokosmos, maupun manusia (dengan tatanan dan sumber daya

sosial-budayanya) dalam cakupan yang mikrokosmos (jagat kecil), merupakan objek

formal dan objek material kajian ekolinguistik. Bahasa adalah sumber daya

makna. Termasuk makna dan pemaknaan alam dan makna budaya dalam

kemasan verbal sebagaimana terekam dalam bahasa-bahasa etnik khususnya.

Baik khazanah leksikon maupun gramatikalnya. Sumber daya tekstual yang

kontekstual masa lalu dan masa kini. Secara khusus misalnya gramatika

metaforik sebagai khazanah ekspresi verbal manusia yang alami. Semuanya

adalah tanda adanya keterkaitan dan ketergantungan manusia dengan lingkungan

alam di sekitarnya, yang menjadi lahan garapan ekolinguistik.

Kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem yang merupakan

bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai

manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya. Lingkungan tersebut adalah

lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam sebuah

masyarakat. Situasi dwi/multibahasa inilah yang mendorong adanya interaksi

(40)

penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya (al-Gayoni,

2010:31).

Bahasa yang hidup adalah bahasa yang terekam secara bersistem sebagai

pengetahuan kebahasaan dan dengan kuasa pengetahuan itu, manusia memiliki

competence dan performance dalam pikiran manusia dan melalui kaidah-kaidah

transformasi menghasilkan performance dalam berkomunikasi dengan penutur

lainnya, tetap berada dalam koridor properti bunyi dan makna sebagai fitur,

item-item leksikal yang terkait, serta konstruksi ungkapan yang kompleks (Chomsky,

2000).

Peneliti ekolinguistik dapat membedah makna-makna sosial-ekologis di

balik bahasa, khususnya leksikon, di atas dasar konsep dan landasan teoretis yaitu

(1) bahasa yang hidup dan digunakan itu menggambarkan, mewakili, melukis

(merepresentasikan secara simbolik-verbal) realitas di lingkungan, baik

lingkungan alam maupun lingkungan buatan manusia (lingkungan

sosial-budaya); (2) dinamika dan perubahan bahasa pada tataran leksikon misalnya,

seperti yang dikemukakan oleh Lindo dan Bundsgaard (2000: 10-11).

Pada tataran leksikon, dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh

tiga dimensi (Lindo dan Bundsgaard, 2000:10-11), antara lain:

1. Dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya

ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu

dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah

(41)

upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan

jenis ikan atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan

kuat,

2. Dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus

sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa

merupakan wujud praktik sosial yang bermakna, dan

3. Dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversivitas (keanekaragaman)

biota danau (atau laut, ataupun darat) secara berimbang dalam ekosistem,

serta dengan tingkat vitalitas spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu

dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan

“menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga

terpinggirkan dan termakan.

Dimensi biologis itu secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata

setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu tertandakan dan dipahami.

2.2.2 Bahasa dan Lingkungan

Terdapat hubungan yang nyata prihal pelbagai perubahan ragawi

lingkungan terhadap bahasa dan sebaliknya. Dalam tulisannya Language,

Ecology and Environment, Mühlhäusler (2001:3) menyebut, ada empat yang

memungkinkan hubungan antara bahasa dan lingkungan. Semuanya menjadi

subjek yang berbeda dari kajian linguistik pada satu waktu, atau pada waktu yang

(42)

(Chomsky, Linguistik Kognitif); (2) bahasa dikonstruksi alam (Marr); (3) alam

dikonstruksi bahasa (structuralism dan pascastrukturalism); dan (4) bahasa

saling berhubungan dengan alam-keduanya saling mengontruksi, namun jarang

yang berdiri sendiri (ekolinguistik).

Lingkungan bahasa atau ekologi bahasa adalah ruang hidup, tempat hidup

bahasa-bahasa. Bahasa yang hidup ada pada guyub tutur dan secara nyata hadir

dalam komunikasi dan interaksi verbal baik lisan maupun tulisan. Ekologi adalah

ilmu tentang lingkungan hidup sedangkan linguistik adalah ilmu tentang bahasa.

Kerangka pandang ekologi, bandingkan misalnya ekolinguistik, menjadi

parameter yang membedakannya dengan cabang makrolinguistik lainnya (seperti

sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, atau antropoliguistik), adalah (1)

interelasi (interrelationship), (2) lingkungan (environment), dan (3) keberagaman

(diversity) (Haugen dalam Fill and Muhlhausler, 2001: 1).

Berdasarkan kerangka pandang itu, bahasa-bahasa dapat dikaji, didalami

dan dimaknai secara khusus. Lingkungan hidup bahasa meniscayakan adanya

keberagaman dan kesalingberhubungan dengan pemahaman bahwa di suatu

lingkungan atau kawasan memang hidup bahasa, namun, bahasa hidup dalam

guyub tutur. Adalah kenyataan bahwa di suatu lingkungan hidup, secara khusus

lingkungan hidup manusia dalam suatu jejaring dan kebersamaan sosial, hidup

beragam bahasa pula. Hal ini sejalan dengan pendapat Safir dalam Fill dan

(43)

1. Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah

Negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan, keadaan

cuaca dan jumlah curah hujan).

2. Lingkungan ekonomis „kebutuhan dasar manusia‟ yang terdiri atas flora dan

fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut.

3. Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam

masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama

lain. Namun yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama,

standar etika, bentuk organisasi politik dan seni.

2.2.3 Semantik Leksikal

Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal. Sweet

dalam Palmer (1976: 37) membagi kata atas kata penuh (full words), kata tugas

dan partikel (form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini

bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya, nomina, verba,

adjektiva, dan adverbia. Kata tugas merupakan bentuk bebas yang terikat konteks

kalimat. Kata ini mengandung makna apabila berada dalam kalimat. Contohnya,

pronomina, numeralia, interogatif, demonstratif, artikula, preposisi, konjungsi,

dan interjeksi. Partikel merupakan bentuk terikat yang melekat pada kata dasar

(44)

2.2.4 Nilai Budaya dan Kearifan Lingkungan

2.2.4.1 Nilai Budaya Perspektif Antropolinguistik

Kebudayaan merupakan seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki

bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para

anggotanya, melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh

seluruh anggota masyarakat tersebut (Haviland, 1999: 333). Dengan demikian,

kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang

jagat raya yang berada di balik, dan yang tercermin dalam perilaku manusia

(Mahsun, 2001: 2).

Nilai budaya merupakan suatu gejala abstrak, ideal dan tidak inderawi

atau kasat mata. Nilai budaya hanya bisa diketahui melalui pemahaman dan

penafsiran tindakan, perbuatan, dan tuturan manusia (Saryono, 1997:31). Dari

pengertian ini dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah sesuatu yang

menjadi pusat dan sumber daya hidup dan kehidupan manusia secara individual,

sosial, dan religius-transendental untuk dapat terjaganya pandangan hidup

masyarakat.

Nilai budaya juga dapat terungkap melalui galur-galur ungkapan yang

mapan, sistem gramatika dan leksikon yang tersedia dalam bahasa ibu, seorang

anak manusia yang menjadi anggota masyarakat telah dibentuk cara pandang,

nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat bahasa dan budaya setempat. Sebagai

contoh, melalui proses pemerolehan unsur-unsur kebahasaan yang berupa unsur

leksikon dan atau kaidah gramatika tentang sistem pembentukan konsep waktu

(45)

diri anggota komunitas sukubangsa Samawa tentang konsep keberadaan dirinya

dalam dimensi waktu yang berorientasi pada masa kini yang lebih dekat dengan

masa lampau dan masa mendatang (lihat Mahsun, 2001:3).

Hal ini sejalan dengan pendapat Sapir (1921, 1949) dalam Simanjuntak

(2009: 168) ia mengatakan bahwa tiap-tiap bahasa sesuatu masyarakat telah

mendirikan sebuah dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Sebanyak bahasa

masyarakat-masyarakat dunia, sebanyak itulah dunia dibentuk oleh

bahasa-bahasa itu untuk penutur-penuturnya.

Wierzbicka (1997: 4) mengemukakan bahwa kata mencerminkan dan

menceritakan karakteristik cara hidup dan cara berpikir penuturnya dan dapat

memberikan petunjuk yang sangat bernilai dalam upaya memahami budaya

penuturnya. Demikian juga dengan kata atau leksikon yang terdapat di

lingkungan kesungaian guyub tutur Suku Karo, leksikon kesungaian tersebut

dapat memberikan dan mencerminkan gambaran tentang pandangan orang Karo

terhadap lingkungan dan pola berpikirnya.

Penelitian yang berhubungan dengan topik ini masih sangat jarang

dilakukan secara mendalam. Adapun tulisan yang berhubungan dengan topik ini

adalah “Leksikon Waktu Harian dalam Bahasa Sunda: Kajian Linguistik

Antropologis”. Penelitian ini ditulis oleh Fasya (2011) dalam kajiannya, leksikon

waktu harian dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Sunda, tidak hanya dapat

dilakukan secara terbatas di dalam konteks linguistik semata, tetapi juga dapat

(46)

fungsinya dalam menopang praktik kebudayaan. Simpulan penelitian bahasa

Sunda dapat mengungkap pandangan hidup orang Sunda yang selalu berusaha

untuk menjaga harmoni antara (1) manusia dan manusia, (2) manusia dan alam,

serta (3) manusia dan Tuhannya.

2.2.4.2 Kearifan Lingkungan

Arif berarti bijaksana, pandai. Jadi, kearifan berarti kebijaksanaan atau

kepandaian. Oleh karena itu, kearifan berarti kebijaksanaan atau kepandaian yang

bersifat tradisi, yaitu adat kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi

secara turun-temurun di kalangan Suku Karo. Kearifan itu penting artinya karena

merupakan hukum atau budaya yang hidup pada masyarakat Karo (living

law/living culture) (Prinst 2004: 65).

Lebih lanjut Prinst (2004: 69) mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan

lingkungan hidup kayu boleh diambil untuk keperluan rumah tangga, bukan

untuk diperdagangkan. Kalau untuk diperdagangkan, maka silakan tanam dulu

kayu yang hasilnya dapat dijual. Demikianlah, cara masyarakat Karo menjaga

lingkungan. Menurut adat Karo dilarang menebang semak-belukar sejauh 50

meter dari kiri-kanan pinggir sungai, dilarang menebang pohon atau semak

belukar sejauh 100 meter dari sekeliling sumber mata air, demi mencegah agar

mata air tidak menjadi kering.

Kearifan lokal menurut (Ridwan 2008 dalam Handayani 2012:17),

(47)

bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah

dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam

masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari

sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan

damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan

tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan

masyarakat penuh keadaban.

Jenis kearifan lokal menurut Sibarani, (2012:133) yang mengandung

nilai-nilai budaya antara lain: (1) “kesejahteraan” , (2) kerja keras, (3) disiplin,

(4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong-royong, (7) pengelolaan gender, (8)

pelestarian dan kreativitas budaya, (9) peduli lingkungan, (10) “kedamaian”, (11)

kesopansantunan, (12) kejujuran, (13) kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan

penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16) pikiran positif, dan (rasa syukur).

2.3 Penelitian Terdahulu

Penelitian ekolinguistik adalah penelitian yang masih terbatas, khususnya

penelitian yang berhubungan dengan ekologi kesungaian Lau Bingei. Berkenaan

dengan pembahasan penelitian ini, beberapa penelitian yang memberikan

kontribusi buat penelitian ini antara lain akan diuraikan sebagai berikut:

2.3.1 Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu Langkat di

(48)

Penelitian Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu Langkat di Stabat

dilakukan terhadap 230 orang responden remaja sebagai sampel dari sekitar 1.500

orang populasi. Sumber data yang digunakan adalah pengakuan diri (self report)

dengan memilih jawaban yang tersedia pada instrumen kuesioner. Di samping

kuesioner, data diperoleh melalui pengamatan langsung dengan cara pengamatan

berpartisipasi.

Dari hasil penelitian disimpulkan ada sejumlah fakta dan data yang

ditemukan terkait dengan lingkungan bahasa dan dominasi penggunaan bahasa

antara BML dengan BI pada komunitas remaja. Fakta dan data yang ditemukan

mengarah kepada munculnya pergeseran bahasa dari BML ke BI. Hal ini ditandai

oleh beberapa hal (1) tingginya penggunaan BI dalam interaksi komunikasi

sehari-hari (20%) walaupun pada wilayah yang dominan Melayu, (2) hampir 50%

responden (47,4%) menyatakan bahwa B1 mereka bukanlah BML, (3) persentase

responden yang tidak paham dan tidak lancar menggunakan BML (64,8%)

hampir dua kali persentase responden yang paham dan lancar menggunakan

BML (35,2%), (4) tingginya persentase responden yang tidak paham dan tidak

lancar menggunakan BML pada kawasan yang etnisnya dominan muncul dengan

BML (24,3%), (5) dari 52,6% yang menguasai BML sejak pandai berbahasa,

hanya 33,9% yang memahami dan lancar menggunakannya. Pergeseran bahasa

yang terjadi pada komunitas remaja di Stabat mengarah pada arah kepunahan

bahasa. Pada kriteria bahasa yang terancam punah maka bahasa Melayu dalam

(49)

data pergeseran bahasa yang terungkap untuk ini, yakni tekanan berat dari bahasa

yang lebih besar yaitu BI dan awal hilangnya penutur anak-anak.

Mengingat penelitian ekolinguistik yang belum terlalu banyak, penelitian

ini memberikan kontribusi teori-teori ekolinguistik terhadap penelitian yang akan

dilakukan sehingga penulis termotivasi untuk meneliti leksikon kesungaian Lau

Bingei: Kajian Ekolinguistik. Kajian leksikon dapat dikatakan belum pernah

diteliti.

Perbedaan penelitian Adisaputera dengan penelitian ini, Adisaputera

membahas pergeseran menuju arah kepunahan bahasa Melayu di Stabat

sedangkan penelitian ini adalah pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap

leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, nilai budaya, dan kearifan lingkungan

melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei.

2.3.2 Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik (Yusradi Usman, 2010)

Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik

yang dilakukan oleh Yusradi Usman pada tahun 2010 menggunakan metode

penelitian kualitatif. Topik dan karakteristik masalah yang dirumuskan dengan

penelitian kaji tindak (action research).

Hasil penelitian ini adalah (1) konsep tutur dalam masyarakat Gayo;

munculnya tutur dalam masyarakat Gayo tidak berdiri sendiri melainkan ada

(50)

budaya Gayo yang terdiri dari pelbagai nilai. Nilai-nilai yang dimaksud adalah

imen (iman), mukemel (harga diri), tertip (tertib), setie (setia), semayang gemasih

(kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat

(musyawarah), alang tulung (tolong menolong), dan bersikemelen (kompetitif).

Hubungan darah perkawinan, belah (klan), terjadinya kecelakaan, perkelahian,

membantu seseorang, dan mengadopsi anak merupakan perangkai sosial yang

membentuk tutur dalam masyarakat Gayo. (2) klasifikasi, bentuk, dan fungsi

tutur; tutur dalam masyarakat Gayo diklasifikasikan menjadi 1) patut atau mu

perdu (bentuk tutur yang sudah baku); 2) museltu (terbentuk akibat faktor

tertentu); 3) mantut (peralihan tutur ke bentuk yang sebenarnya/ seharusnya); 4)

uru-uru (tindak betutur didorong akibat ikut-ikutan); 5) gasut (pemakaian tutur

yang kerap berubah-ubah. (3) penyusutan tutur; perubahan sosio-ekologis yang

terjadi didataran tinggi tanoh Gayo sangat memengaruhi penyusutan tutur.

Terlebih di Takengon yang dikenal dengan pluralitas etnik yang lebih dari

delapan etnik. Keragaman situasi itu membuat terjadinya kontak antar etnik,

bahasa, dan budaya. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi masyarakat Gayo

baik secara psikologis maupun secara sosial khususnya dalam bertutur. (4) bentuk

tutur baru (variasi tutur); empat hal yang terjadi perihal tutur, yaitu a) tetap, b)

jarang, dan c) tidak dipakainya lagi tutur, serta d) terciptanya bentuk tutur baru.

Penelitian penyusutan tutur dalam masyarakat Gayo: pendekatan

ekolinguistik yang dilakukan oleh Yusradi Usman, memberikan kontribusi

dalam hal teori-teori ekolinguistik. Perbedaan penelitian Usman dengan

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Gambar 3.1 Komponen Analisis Data: Model Interaktif
Gambar 4.1 Peta Kabupaten Langkat Sumber: BPS Kabupaten Langkat dalam Angka 2012
Gambar 4.2 Peta Kecamatan Sei Bingei Sumber: BPS Kecamatan Sei Bingei dalam Angka 2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola/Mandailing di Kecamatan Sayurmatinggi terdiri atas 11 kelompok leksikon yaitu (1) leksikon bagian sawah (2) leksikon

akan membentuk leksikon baru dalam Bahasa Bali, seperti yang terjadi pada. leksikon verba nraktor yang dijelaskan

Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa leksikon persawahan dalam bahasa Jawa di Tanjung Morawa terdiri atas 11 kelompok leksikon yaitu (1) leksikon bagian sawah (2) leksikon

Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa leksikon persawahan dalam bahasa Jawa di Tanjung Morawa terdiri atas 11 kelompok leksikon yaitu (1) leksikon bagian sawah (2) leksikon

Dari tingkat pemahaman masyarakat Desa Sipea-pea terhadap leksikon verba kepadian yang diuji ketiga kelompok usia tersebut dapat di jelaskan bahwa tingkat

dalam Penelitian Umiyati berupa metafora guyub tutur bahasa Bima yang dibagi menjadi 6, yaitu (1) metafora terkait hewan-hewan pertanian; (2) metafora berkaitan

Dengan demikian secara keseluruhan pemahaman leksikon lingkungan kelautan dalam bahasa Pesisir Sibolga untuk generasi 21-45 tahun jumlah pemahaman leksikon lingkungan kelautan

Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola/Mandailing di Kecamatan Sayurmatinggi terdiri atas 11 kelompok leksikon yaitu (1)