PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU MONEY
LAUNDERING DENGAN KEJAHATAN ASAL PENIPUAN (ANALISIS
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 1329K/PID/2012.)
TESIS
OLEH:
KONDIOS MEI DARLIN PASARIBU 127005052 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU MONEY
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 1329K/PID/2012.)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
KONDIOS MEI DARLIN PASARIBU 127005052 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
JUDUL TESIS :PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP
PELAKU MONEY LAUNDERING DENGAN
KEJAHATAN ASAL PENIPUAN (ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 1329K/PID/2012.)
NAMA : KONDIOS MEI DARLIN PASARIBU NIM : 127005052
PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU HUKUM
MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING
Ketua
Dr. Madiasa Ablisar, SH, M.S
Dr. Mahmud Mulyadi, SH, MHum Dr. Edy Iksan, SH, M.A Anggota Anggota
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum
Telah Lulus Diuji Pada
Tanggal 23 Juli 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: 1. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.
Anggota
: 2. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum.
3. Dr. Edy Iksan, SH, M.A.
4. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H.
ABSTRAK
Dalam Hasil Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor. 1286/Pid.B/2011/PN.LP. Atas nama terdakwa Lenni Damayanti Br. Manalu didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam dalam pasal 378 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Pasal 372 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP, pasal 3 Undang –Undang Nomor 8 Tahun 2010 jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.50/PID/2012/PT.MDN. Menetapkan melepaskan Terdakwa Lenni Damayanti br. Manalu dari segala tuntutan hukum. Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1329 K/Pid/2012 menyatakan terdakwa bersalah yang dalam hal ini menguatkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam. Dalam penelitian ini masalah yang akan diteliti adalah, bagaimana pengaturan hukum tindak pidana penipuan sebagai kejahatan asal menurut Undang –Undang Nomor 8 Tahun 2010, bagaimana penegakan hukum pidana
oleh hakim terhadap kasus tindak pidana pencucian uang dengan kejahatan asal
penipuan dalam Putusan pengadilan Negeri Nomor. 1286/Pid.B/2011/PN-LP.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normatif (Yuridis
Normatif). Sifat penelitian ini adalah analisis preskriptif dengan pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analitis (analytical
approach) yaitu dengan menganalisa kasus (case study ).
Hasil penelitian dapat diketahui, Pengaturan tentang tindak pidana penipuan diatur pada pasal 378 -379 KUHP dan pasal 2 ayat (1) huruf “r” dan pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010. Menyatakan terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana Pasal 378 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) ” Penipuan yang dilakukan secara berlanjut dan Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010. Jo Pasal 64 ayat (1). Penegakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Sumatera Utara Membatalkan keputusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Reg. Nomor: 1286/Pid.B/2011/PN-LP, tanggal 19 Desember 2011 dan putusannya menyatakan bahwa terdakwa “Lepas dari segala tuntutan hukum, dalam perkara ini dengan alasan hakim telah keliru dan salah menerapkan hukum. Pada tingkat Kasasi Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung berpendapat bahwa putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2012/PT.MDN, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 1286/Pd.B/2011/PN.LP, harus dibatalkan dan Mahakamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut dan memutuskan Menyatakan terdakwa Lenny Damayanti Br Manalu telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penipuan dan Pencucian Uang yang dilakukan secara Berlanjut.
Disarankan, pada masyarakat supaya memahami pengaturan tindak pidana penipuan yang sebagaimana diatur dalam 378 KUHP dan Pasal 2 ayat (1) huruf “r” Undang-Undang Nomor 8 TAhun 2010. Peningkatan kualitas manusia sangat penting, terutama pada lembaga-lembaga para penegak hukum.
ABSTRACT
In the decision of Lubuk Pakam State Court No: 1286/Pid.B/2011/PN.LP on behalf of the defendant named Lenni Damayanti Br. Manalu who who was charged with a criminal offense and punishable as regulated in Article 378 of the Indonesian Criminal Code in conjunction with Article 64 paragraph 1 of the Indonesian Criminal Code, Article 372 of the Indonesian Criminal Code in conjunction with Article 64 paragraph 1 of the Indonesian Criminal Code, and Article 3 of Law No. 8/2010 in conjunction with Article 64 paragraph 1 of the Indonesian Criminal Code. The decision of Medan High Court No: 50/PID/2012/PT.MDN assigned to release the defendant named Lenni Damayanti Br. Manalu of all legal charges. The decision of the Supreme Court No: 1329 K/Pid/2012 stated that the defendant was guilty which in this case upheld the decision of Lubuk Pakam State Court. The problems answered in this study were how the law of fraud criminal act as predicate offense according to Law No.8/2010 was regulated, how the judges enforced criminal law against the case of money laundering criminal act with fraud as predicate offense in the decision of State Court No: 1286/Pid.B/2011/PN.LP.
This prescriptive analytical juridical normative case study with statute and analytical approaches.
The result of this study showed that regulation on fraud criminal act was regulated in Article 378-379 of the Indonesian Criminal Code and Article 2 paragraph (1) letter “r” and Article 3 of Law No.8/2010. Stating that the defendant had been proven to have done criminal act was based on Article 378 of the Indonesian Criminal Code in conjunction with Article 64 paragraph (1). “Fraud done continuously was based on Article 3 of Law No.8/2010 in conjunction with Article 64 paragraph (1). Law enforcement carried out by Sumatera Utara High Court by canceling the decision of Lubuk Pakam State Court No: 1286/Pid.B/2011/PN.LP dated December 19, 2011 and its decision said that the defendant was released of all legal charges in this case with the reason that the judge made a mistake and misapplied the law. At the cassasition level, based on the consideration, Supreme Court, argued that the decision of Medan High Court No. 50/PID/2012/PT.MDN revoking the decision of Lubuk Pakam State Court No: 1286/Pid.B/2011/PN.LP must be canceled and the Supreme Court will presecute the case by itself and decided to sate that the defendant named Lenni Damayanti Br. Manalu had been legally proven and convincingly guilty of committing fraud and money laundering criminal act contonuously.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan berkat dan anugerahnyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan
tesis ini dengan judul “Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Money
Laundering dengan Kejahatan Asal Penipuan (Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1329K/PID/2012)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Hukum.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan,
oleh karenanya Penulis sangat berterima kasih. Rasa terima kasih tersebut penulis
sampaikan kepada para dosen pembimbing yaitu: Bapak Dr. Madiasa Ablisar,
S.H.,M.S, Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum, dan Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.A, atas segala bimbingan/arahan, koreksi dan perbaikan yangg diberikan guna penyempurnaan penulisan Tesis ini.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen penguji
yaitu: Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H dan Ibu Dr. Utary Maharany Barus,
S.H., M.Hum, yang walaupun dalam kapasitasnya sebagai penguji, namum telah banyak memberikan bimbingan yang sangat berharga kepada penulis.
Kemudian semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan
kontruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai
pada tahap ujian tertutup yang kesemuanya itu untuk kesempurnaan tesis ini.
Demikian juga rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan dengan
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H. Sp. A
(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan sarana yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah
Pasca Sarjana Program Studi Magister ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi
Magister Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segara
menyelesaikan penulisan tesis ini.
3. Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Magister Ilmu Hukum yang telah banyak memberikan
bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermamfaat bagi penulis
selama berada dibangku kuliah.
4. Rekan-rekan mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya seangkatan penulis,
yang telah banyak membantu penulis untuk menyelesaikan penulisan
tesis ini
5. Seluruh staf/pegawai di Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara.
6. Tercinta dan tersayang Istri saya Dyna Grace Romatua Aruan S.ST.,
M.Pd, beserta anak-anak Dyaz Pasaribu dan Eunike Pasaribu yang
selalu mendoakan dan memotivasi untuk menuntut ilmu melanjutkan
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda St. Jaisman Pasaribu dan Ibunda
Sarmaria Br Manalu serta mertua Sarma Br Hutauruk, yang selalu
memberikan doa dan kasih sayangnya, serta memberikan dorongan dan
semangat untuk terus menuntut ilmu.
8. Saudara-saudari saya, kakak/abang/adek Resni Pasaribu, Arjen
Pasaribu, Sirianty Pasaribu, Ardoyo Pasaribu dan Arpenas Pasaribu,
serta lae saya Dedy Aruan dan Andreas Aruan yang selalu memdoakan
untuk menyelesaikan perkuliahan di Magister Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Penulis mendoakan semoga semua bantuan, kebaikan dan motivasi yang
telah diberikan untuk penulis mendapat balasan dan anugerah dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan/ jauh dari
sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat
bermamfaat bukan hanya kepada penulis, tetapi juga kepada masyarakat,
khususnya masyarakat dilingkungan pendidikan ilmu hukum. Semoga penelitian
ini berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi rekan-rekan
dosen, praktisi hukum, penegak hukum demi tegaknya supremasi hukum di negeri
ini.
Amien,,,,,,
Medan, Juli 2014 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Kondios Meidarlin Pasaribu, S.Pd.,SH.,MH.
Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat tanggal lahir : Tornaginjang/ 26 Juni 1982
Alamat : Jl. Enggang V No 472 Perumnas Mandala/ Jl. Binjai KM
10, Komp Abdul Hamid Nasution, Blok X
1.
SD Negeri 153021 Tornaginjang (Tahun 1989-1995)Pendidikan Formal
2.
SMP Negeri 1Sorkam (Tahun 1995-1998)3.
SMA Negeri 1 Sorkam (Tahun 1998-2001)4.
Universitas Darma Agung Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan(FKIP)(Tahun 2001-2005)
5.
Universitas Darma Agung Fakultas Hukum (FH) (Tahun 2009-2011)6.
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi MagisterDAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... ... i
KATA PENGANTAR ... ... ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ... iii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 17
C. Tujuan Penelitian ... 17
D. Manfaat Penelitian ... 17
E. Keaslian Penelitian ... 18
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 19
1. Kerangka Teori... 19
2. Kerangka Konsep ... 32
G. Metode Penelitian... 34
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 35
2. Sumber Badan Hukum ... 35
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 37
4. Analisis Data ... 37
BAB II : PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PENIPUAN SEBAGAI KEJAHATAN ASAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ... 41
a. Pengertian dan unsur-unsur tindak pidana ... 41
b. Pengertian Penipuan dalam KUHP ... ... 47
c. Jenis-jenis tindak pidana penipuan ... 63
B. Penipuan Sebagai Kejahatan Asal Dalam Money Launderig. ... 64
a. Pengertian money laundering ... ... 65
b. Penyebab marak dan dampak pencucian uang ... 68
c. Unsur-unsur Tindak Pidana Money Laundering ... 69
d. Tahap-tahap Pencucian Uang ... 74
e. Pencegahan tindak pidana pencucian uang ... 76
C. Hubungan Penipuan Dalam KUHP Dengan Money Laundering ... 78
a. Dalam penjelasan Pasal ... 78
b. Dalam alat pembuktian ... 81
BAB III : PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA OLEH HAKIM TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN KEJAHATAN ASAL PENIPUAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN PENGADILAN NEGERI NOMOR. 1286/PID.B/2011/PN-LP ... ... 83
A. Duduk Perkara dan Kasus Posisi ... 87
1. Kronologis ... ... 87
2. Dakwaan ... 91
3. Fakta-fakta Hukum ... 94
a. Keterangan saksi ... 95
c. Keterangan terdakwa ... 112
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 114
5. Pembelaan ... 118
6. Putusan Pengadilan ... 119
B. Analisis Kasus ... 133
1. Analisis Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Register Nomor. 1286/Pid.B/2011/PN-LP. ... 133
2. Analisis Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Medan Regiter Nomor: 50/PID/2012/PT.MDN. ... 143
3. Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor. 1329 K/Pid/2012 ... 151
BAB IV : PENUTUP ... 164
A. Kesimpulan ... 164
B. Saran ... 166
ABSTRAK
Dalam Hasil Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor. 1286/Pid.B/2011/PN.LP. Atas nama terdakwa Lenni Damayanti Br. Manalu didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam dalam pasal 378 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Pasal 372 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP, pasal 3 Undang –Undang Nomor 8 Tahun 2010 jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.50/PID/2012/PT.MDN. Menetapkan melepaskan Terdakwa Lenni Damayanti br. Manalu dari segala tuntutan hukum. Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1329 K/Pid/2012 menyatakan terdakwa bersalah yang dalam hal ini menguatkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam. Dalam penelitian ini masalah yang akan diteliti adalah, bagaimana pengaturan hukum tindak pidana penipuan sebagai kejahatan asal menurut Undang –Undang Nomor 8 Tahun 2010, bagaimana penegakan hukum pidana
oleh hakim terhadap kasus tindak pidana pencucian uang dengan kejahatan asal
penipuan dalam Putusan pengadilan Negeri Nomor. 1286/Pid.B/2011/PN-LP.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normatif (Yuridis
Normatif). Sifat penelitian ini adalah analisis preskriptif dengan pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analitis (analytical
approach) yaitu dengan menganalisa kasus (case study ).
Hasil penelitian dapat diketahui, Pengaturan tentang tindak pidana penipuan diatur pada pasal 378 -379 KUHP dan pasal 2 ayat (1) huruf “r” dan pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010. Menyatakan terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana Pasal 378 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) ” Penipuan yang dilakukan secara berlanjut dan Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010. Jo Pasal 64 ayat (1). Penegakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Sumatera Utara Membatalkan keputusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Reg. Nomor: 1286/Pid.B/2011/PN-LP, tanggal 19 Desember 2011 dan putusannya menyatakan bahwa terdakwa “Lepas dari segala tuntutan hukum, dalam perkara ini dengan alasan hakim telah keliru dan salah menerapkan hukum. Pada tingkat Kasasi Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung berpendapat bahwa putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2012/PT.MDN, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 1286/Pd.B/2011/PN.LP, harus dibatalkan dan Mahakamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut dan memutuskan Menyatakan terdakwa Lenny Damayanti Br Manalu telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penipuan dan Pencucian Uang yang dilakukan secara Berlanjut.
Disarankan, pada masyarakat supaya memahami pengaturan tindak pidana penipuan yang sebagaimana diatur dalam 378 KUHP dan Pasal 2 ayat (1) huruf “r” Undang-Undang Nomor 8 TAhun 2010. Peningkatan kualitas manusia sangat penting, terutama pada lembaga-lembaga para penegak hukum.
ABSTRACT
In the decision of Lubuk Pakam State Court No: 1286/Pid.B/2011/PN.LP on behalf of the defendant named Lenni Damayanti Br. Manalu who who was charged with a criminal offense and punishable as regulated in Article 378 of the Indonesian Criminal Code in conjunction with Article 64 paragraph 1 of the Indonesian Criminal Code, Article 372 of the Indonesian Criminal Code in conjunction with Article 64 paragraph 1 of the Indonesian Criminal Code, and Article 3 of Law No. 8/2010 in conjunction with Article 64 paragraph 1 of the Indonesian Criminal Code. The decision of Medan High Court No: 50/PID/2012/PT.MDN assigned to release the defendant named Lenni Damayanti Br. Manalu of all legal charges. The decision of the Supreme Court No: 1329 K/Pid/2012 stated that the defendant was guilty which in this case upheld the decision of Lubuk Pakam State Court. The problems answered in this study were how the law of fraud criminal act as predicate offense according to Law No.8/2010 was regulated, how the judges enforced criminal law against the case of money laundering criminal act with fraud as predicate offense in the decision of State Court No: 1286/Pid.B/2011/PN.LP.
This prescriptive analytical juridical normative case study with statute and analytical approaches.
The result of this study showed that regulation on fraud criminal act was regulated in Article 378-379 of the Indonesian Criminal Code and Article 2 paragraph (1) letter “r” and Article 3 of Law No.8/2010. Stating that the defendant had been proven to have done criminal act was based on Article 378 of the Indonesian Criminal Code in conjunction with Article 64 paragraph (1). “Fraud done continuously was based on Article 3 of Law No.8/2010 in conjunction with Article 64 paragraph (1). Law enforcement carried out by Sumatera Utara High Court by canceling the decision of Lubuk Pakam State Court No: 1286/Pid.B/2011/PN.LP dated December 19, 2011 and its decision said that the defendant was released of all legal charges in this case with the reason that the judge made a mistake and misapplied the law. At the cassasition level, based on the consideration, Supreme Court, argued that the decision of Medan High Court No. 50/PID/2012/PT.MDN revoking the decision of Lubuk Pakam State Court No: 1286/Pid.B/2011/PN.LP must be canceled and the Supreme Court will presecute the case by itself and decided to sate that the defendant named Lenni Damayanti Br. Manalu had been legally proven and convincingly guilty of committing fraud and money laundering criminal act contonuously.
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Hakekatnya manusia hidup untuk memenuhi kebutuhan dan
kepentingannya masing-masing, sedangkan hukum adalah suatu gejala sosial
budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola
perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam masyarakat. Apabila
hukum yang berlaku di dalam masyarakat tidak sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan serta kepentingan-kepentingannya, maka ia akan mencari jalan keluar
serta mencoba untuk menyimpang dari aturan-aturan yang ada. Segala bentuk
tingkah laku yang menyimpang yang mengganggu serta merugikan dalam
kehidupan bermasyarakat tersebut diartikan oleh masyarakat sebagai sikap dan
perilaku jahat. Misalnya tindak pidana penipuan.
Pada umumnya tindak pidana penipuan sudah diatur dalam Pasal 378
sampai dengan Pasal 394 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebagaimana dirumuskan Pasal 378 KUHP, penipuan berarti perbuatan dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau kebohongan yang
dapat menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan barang, uang atau
kekayaannya.1
Kejahatan yang terjadi tentu saja menimbulkan kerugian-kerugian baik
kerugian yang bersifat ekonomi materiil maupun yang bersifat immateriil yang
1
menyangkut rasa aman dan tenteram dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai
upaya telah dilakukan untuk menanggulangi kejahatan, namun kejahatan tidak
pernah sirna dari muka bumi, bahkan semakin meningkat seiring dengan cara
hidup manusia dan perkembangan tekhnologi yang semakin canggih sehingga
menyebabkan tumbuh dan berkembangnya pola dan ragam kejahatan yang
muncul. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan harta
kekayaan yang sangat besar jumlahnya.
Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana
tersebut pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para
pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan, akan mudah dilacak oleh
penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut. Biasanya
para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang
diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan, terutama ke
dalam sistem perbankan. Apalagi didukung oleh pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan
termasuk sistem perbankan dengan menawarkan mekanisme lalu lintas dana
dalam skala nasional maupun internasional dapat dilakukan dalam waktu yang
relatif singkat.
Keadaan demikian dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh sebagian orang
untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal usul dana yang diperoleh dari
hasil illegal yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Pada umumnya
perbuatan demikian merupakan dana dari hasil tindak pidana korupsi dan tindak
dari dunia internasional, karena dimensi dan implikasinya yang melanggar
batas-batas Negara.2
Dampak yang dapat disebabkan oleh kedua tindak pidana tersebut di atas
pun sangat besar bagi kelangsungan perekonomian, sosial dan budaya suatu
bangsa. Sehingga tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang oleh
banyak kalangan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime) sehingga keduanya mempunyai pengaturan khusus dalam sistem perundang-undangan. Bagaimanapun bentuknya, perbuatan-perbuatan pidana itu
bersifat merugikan masyarakat dan anti sosial.3
Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana at
Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
Pendapat lain yang berkembang menyatakan bahwa money laundering adalah
suatu cara atau proses untuk mengubah uang yang berasal dari sumber ilegal
(haram) sehingga menjadi halal. Dalam Undang –undang Republik Indonesia
Nomor. 8 tahun 2010 disebutkan bahwa Pencucian Uang adalah segala perbuatan
yang memenuhi unsur –unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam
undang–undang ini, dengan hasil tindakk pidana berupa harta kekayaan yang
diperoleh dari tindak pidana asal sebagai mana disebutkan dalam pasal 2 ayat (1)
yaitu:
2
Adrian Sutedi. Tindak Pidana Pencucian Uang, ctk. Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 1.
3
Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana
dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh
aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan
tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak
pidana
perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.4
Pencucian Uang umumnya dilakukan melalui tiga langkah tahapan:
langkah pertama yakni uang/dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak
pidana/kejahatan diubah ke dalam bentuk yang kurang atau tidak menimbulkan
kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan berbagai cara
(tahap penempatan/placement); langkah kedua adalah melakukan transaksi
keuangan yang kompleks, berlapis dan anonim dengan tujuan memisahkan hasil
4
tindak pidana dari sumbernya ke berbagai rekening sehingga sulit untuk dilacak
asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut (tahap
pelapisan/layering); langkah ketiga (final) merupakan tahapan di mana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke dalam harta
kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke
dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk
membiayai kegaiatan bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali kegiatan
tindak pidana (tahap integrasi).5
Di
Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana
6
1. Tindak pidana pencucian uang
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tinda
dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau
5
5:32, tanggal 8 Maret 2014.
6
menyamarkan asal usul harta kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun
2010).
2. Tindak pidana pencucian uang
Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau
menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan
pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang
melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).
3. Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang
setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul,
sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang
sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan
pencucian uang.
Undang–undang Pencegahan dan pembrantasan Tindak Pidana Pencucian
dalam Pasal 2 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun
2010 yaitu sebagai berikut:7
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari
tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Indonesian
Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC) sebagaimana dimandatkan dalam UU RI No. 8 Tahun 2010 adalah lembaga independen
dibawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan
memberantas tindak pidana Pencucian Uang serta mempunyai fungsi sebagai
berikut:8
1. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang;
2. pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; 3. pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan
4. analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi
Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
7
Undang –Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pembrantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 2
8
Dalam pergaulan global di masyarakat internasional, PPATK dikenal
sebagai Indonesian Financial Intelligence Unit yang merupakan unit intelijen keuangan dalam rezim Anti Pencucian Uang dan Kontra Pendanaan Terorisme
(AML/CFT Regime) di Indonesia. PPATK merupakan anggota dari
mewujudkan dunia internasional yang bersih dari tindak pidana pencucian uang
dan pendanaan terorisme sesuai standar-standar terbaik internasional.9
Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin
kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang
semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah
merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action
Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara/jurisdiksi dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan
terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special
Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak
Pelapor (Reporting Parties) yang mencakup pedagang permata dan
perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor.10
9
Dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional
dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak
pidana yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar
Juni 2014.
10
dapat diminimalisasi. Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia
yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin
dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan
kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan
peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam
kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga
penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif.11
Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain
karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan
ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang
tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban
pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis
laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana
Undang-Undang ini. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan
standar internasional, perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
11
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, antara
lain:12
1. redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana
pencucian uang;
2. penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;
3. pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi
administratif;
4. pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
5. perluasan Pihak Pelapor;
6. penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;
7. penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;
8. pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda
transaksi;
9. perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap
pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean;
10.pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk
menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang;
11.perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau
pemeriksaan PPATK;
12.penataan kembali kelembagaan PPATK;
13.penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk
menghentikan sementara Transaksi;
14.penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana
pencucian uang; dan
15.pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari
tindak pidana.
Lahirnya Undang–undang Tindak Pidana Pencucian Uang memberi
peluang bagi penegakan hukum terhadap aktor–aktor intelektual dengan
menekankan penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan melalui praktik
pencucian uang, dan juga memberikan landasan berpijak yang kokoh bagi aparat
penegak hukum dalam upaya menjerat aktor-aktor intelektual yang mendanai dan
merencanakan kejahatan seperti predicat crimes dengan melakukan penyelidikan dan penyelidikan terhadap aliran uang yang mendanai suatu tindak kejahatan.
Kejahatan pencucian uang (money laundering) belakangan ini semakin
memdapat perhatian khusus dari berbagai kalangan. Upaya penanggulangannya
dilakukan secara nasional, regional dan global melalui kerja sama antar negara.
Gerakan ini disebabkan maraknya pencucian uang, padahal belum banyak negara
yang belum menyusun sistem untuk memerangi atau menetapkannya sebagai
kejahatan.13
Pencucian uang pada dasarnya merupakan upaya memproses uang hasil
kejahatan denga bisnis yang sehingga uang tersebut bersih atau tampak sebagai
uang halal. Dengan demikian asal-usul uang itupun tertutupi. Pencucian uang
secara umum dapat diartikan sebagaii suatu tindakan atau perbuatan
memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari
suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organisasi kejahatan (crime
organization),
14
13
Philiprs Darwin, Money Laundering, cara Memahami dengan Tepat dan Benar Soal Pencucian Uang (Sinar Ilmu, tahun 2012) hal. 9
maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan
narkotika dan tindakan pidana lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1)
Undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pembrantasan
tindak pidana pencucian uang. Dimana tindakan tersebut bertujuan
14
menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang haram tersebut sehingga
dapat digunakan seolah-olah sebagai uang sah.
Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus
Husein mengatakan per 30 November tercatat sekitar 44.708 laporan transaksi
keuangan mencurigakan (LKTM) dan diantara adalah tindak pidana penipuan.
Menurut dia, sebagai unit intelijen keuangan, PPATK sudah menerima laporan
dan meneruskan laporan itu kepada penegak hukum. Menurut Yunus, pantauan itu
berasal dari sekitar 8 juta transaksi yang diawasi. "Lintas negara yang diterima
dari Bea dan Cukai ada 4000-an dan kasus yang sudah dilaporkan ada 1000," kata
Yunus dalam penandatanganan nota kesepahaman Departemen Keuangan dengan
KPK, PPATK, dan Komisi Yusdisial, di Jakarta, Kamis 3 Desember 2009. 15
Tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam pasal 378 Kitap
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindak pidana penipuan sebagai
kejahatan asal juga diatur dalam pasal 2 ayat (1) huruf “r” Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pembrantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang. Penipuan berarti perbuatan dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan
memakai palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau kebohongan yang dapat
menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan barang atau harta
kekayaannya.16
Tindak pidana penipuan dalam bentuk pokok (oplichting) sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 378 KUHP, yaitu:
16
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk seseorang supaya memberikan sesuatu barang, membuat hutang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”
Tindak pidana dengan menggunakan nama palsu atau keadaan palsu,
baik dengan akal maupun tipu muslihat merupakan suatu nama yang bukan nama
pelaku yang digunakan si pelaku dan bila ditanyakan kepada orang-orang yang
secara nyata kenal dengan pelaku, maka orang-orang tidak mengenal nama
tersebut.17 Pemakaian nama palsu terjadi apabila seseorang menyebut nama yang
bukan namanya dan dengan demikian menerima barang yang harus diserahkan
kepada orang yang namanya disebutkan tadi.18
Menurut HAK. Moch. Anwar, pada rangkaian kata-kata bohong
disyaratkan harus terdapat beberapa kata bohong yang diucapkan. Satu kata
bohong saja dianggap tidak cukup sebagai alat penggerak atau pembujuk.
Rangkaian kata bohong yang diucapkan ini tersusun secara baik membentuk suatu
cerita yang dapat diterima secara logis dan benar. Jadi kata-kata itu tersusun Tindak pidana dengan
menggunakan tipu muslihat adalah suatu tindakan, baik melalui serangkaian
kata-kata, maupun melalui suatu perbuatan sedemikian rupa, sehingga tindakan
tersebut menimbulkan kepercayaan terhadap orang lain (korban). Sedangkan
rangkaian kebohongan adalah rangkaian kata-kata dusta atau kata-kata yang
bertentangan dengan kebenaran. Kata-kata ini memberikan kesan seolah-olah apa
yang dikatakan itu adalah benar adanya.
17 Ibid., Hal. 633
18 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung:
sehingga kata yang satu menguatkan kata-kata yang lainnya.19
Dalam percakapan dihandphone berikutnya bahwa bila mana saksi ingin
mengetahui wajah terdakwa, ianya ada menitipkan fotonya pada seorang
prempuan pegawai Joglo yang ciri–cirinya berbadan paling gemuk (gendut),
mendengar demikian maka saksi menemui seorang prempuan penjaga joglo di Jl.
H.M. Joni Medan yang sesuai dengan ciri–ciri badan yang diterangkan oleh
terdakwa, setelah bertemu maka saksi berkenalan dengannya yang ternyata orang
tersebut adalah mengaku bernama Lenni Damayanti br. Manalu (terdakwa). Saksi
langsung menanyakan foto yang telah dititipkan terdakwa dan selanjutnya
menyerahkan satu foto kepada saksi dan memberikan imbalan kepada terdakwa
sebesar Rp.10.000,-(sepuluh ribu rupiah), setelah foto dengan gambar seorang
prempuan berada dalam penguasaannya maka saksi membawanya dan
menyimpannya serta meninggalkan terdakwa dan menuju rumahnya yang tidak
jauh dari tempat tersebut.
Peristiwa dengan
menggunakan kata-kata bohong telah terjadi pada tahun 2005 yaitu, tindak
pidana penipuan dengan rangkaian kata-kata kebohongan melalui percakapan
dihandphone antara Henry Dumanter Tampubolon (saksi) dengan Dokter Silvi
Lorenza (terdakwa), dan dalam percakapan tersebut antara terdakwa dan saksi
sepakat hendak berkenalan langsung dan bertemu disebuah Joglo (warung makan)
yang terletak di jalan H.M. Joni Medan, namun saat waktu yang dijanjikan
ternyata pertemuan tersebut tidak terlaksana karena masing –masing punya
kesibukan.
Sekitar pukul 8.00 WIB tahun 2005 pada hari selasa tanggal 26 Juni
terdakwa yang mengaku dirinya bernama Dokter Silvi Lorenza menghubungi
saksi melalui handphone dan berpura-pura terdengar suara dalam keadaan
menangis dan menerangkan bahwa ianya telah dijambret di Bandara Polonia
Medan dan meminta kepada saksi untuk dipinjamkan uang sebesar Rp. 600.000,-
(enam ratus ribu rupiah) dan uang tersebut supaya dititipkan saja pada terdakwa
Lenni Damayanti, mendengar demikian saksi merasa iba dan akhirnya
menyerahkan uang tersebut.
Sejak saat itu antara saksi dengan terdakwa tersebut terus berkomunikasi
dan terus melakukan penipuan dengan berbagai alasan yang bisa menarik
perhatian saksi supaya mengirimkan uang kepada terdakwa. Hingga sampai 14
April 2011 dan telah mengirimkan uang kepada terdakwa sebesar
Rp.7.000.000.000,- (tujuh miliyar rupiah). Permasalah tersebut diataslah yang
membawa terdakwa kepengadilan Negeri Lubuk Pakam.
Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor. 1286/Pid.B/2011/PN.LP
.Atas nama terdakwa Lenni Damayanti Br. Manalu didakwa melakukan tindak
pidana yang diatur dan diancam dalam pasal 378 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1
KUHP. Pasal 372 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP, pasal 3 Undang–Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Unang jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa Lenni Damayanti br Manalu dengan pidana sebelas (11) tahun penjara
dikurangi dengan masa tahanan yang dijalaninya, dan denda sebesar
kurungan. Memerintahkan supaya baramg bukti berupa: 1 (satu) kalung dan
mainan salib mata putih yang ditaksir emas (17) seberat 13,48 gram, 1 (satu)
kalung plitir ditaksir emas (15) seberat 5,42 gram, 1 (satu( cincin ukir mata putih
ditaksir emas (15) seberat 4,84 gram, 1 (satu) cincin mata putih yang ditaksir emas
(14) seberat 4,32 gram, 1 (satu) gelang rantai kosong ditaksir emas (17) seberat
15,50 gram, 1 (satu) gelang roll setengah ukir mata putih yang ditaksir emas (15)
seberat 14,48 gram, 1 (satu) unit handpone merk Nokia, tambahan untuk membeli
1 (satu) unit mobil merk Daihatsu Xenia batu dari perusahaan PT. Astra Daihatsu
Motor, warna silver metalik tahun pembuatan 2007 dengan Nomor Polisi
BK-1651-HP atas nama Drs. Edison Manalu (orangtua kandung terdakwa) sebesar
Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda
Supra Fit baru dari perusahaan PT. Astra Honda Motor, warna hitam tahun
pembuatan 2007 dengan Nomor Polisi BK-2940-UW atas nama Lenni Damayanti
Manalu, sebesar Rp.6.800.000,- (enam juta delapan ratus ribu rupiah), 1 (satu)
bidang tanah yang terletak di Jalan Menteng VII Gang Sepakat Nomor 02
Kelurahan Medan tenggara Kecamatan Medan Denai Kotamadya Medan seluas
377 M2, sesuai dengan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi
Nomor 02 tanggal 16 Juli 2010 yang dibuat oleh Notaris Ida Mariani, SH. dan
bangunan rumah mewah dua lantai yang berdiri diatasnya yang ditaksir seharga ±
Rp.1.300.000.000,- (satu milyar tiga ratus juta rupiah) atas nama Drs. Edison
Manalu (orangtua kandung terdakwa).
Hasil yang telah diperoleh terdakwa berhubungan dengan perbuatan
benda-benda kebutuhan saksi Henry Dumanter Tampubolon, dan juga telah
dibelanjakan terdakwa untuk membeli benda-benda yang telah ditempatkan
terdakwa di Hotel Deli Indah antara lain adalah sebagai berikut: 1 (satu) buah
gelang, 1 (satu) buah cincin, 1 (satu) buah kalung, 1 (satu) pasang sepatu, 2 (dua)
pasang sendal, beberapa buah kemeja dan kaos oblong, 1 (satu) unit handphone
merk Blackberry type Torch, 2 (dua) buah bed cover, 1 (satu) pasang bantal
guling, 1 (satu) buah gelas ukuran besar, 1 (satu) botol farfum merk Etinekner, 1
(satu) unit sepeda gunung merk Wim Cycle, 1 (satu) unit Televisi Flat merk LG
32 inchi, 1 (satu) unit Dispenser merk Sanken, 1 (satu) unit Dispenser merk
Miyako ditambah dengan 1 (satu) buah galon, 1 (satu) unit Kulkas merk Uchida, 1
(satu) unit Kulkas box merk Sharp, 1 (satu) unit Magic Com merk Young Ma.
Keselurahannya dirampas untuk diserahkan kepada sdr. Henri Dumanter
Tampubolon.
Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.50/PID/2012/PT.MDN menyatakan
Terdakwa Lenni Damayanti br. Manalu tesebut diatas telah terbukti melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan tersebut bukan
merupakan suatu tindak pidana; Menetapkan melepaskan Terdakwa Lenni
Damayanti br. Manalu dari segala tuntutan hukum ONTSLAG VAN
RECHTSVERVOLGING; Memerintahkan agar Terdakwa Lenni Damayanti br. Manalu dibebaskan seketika dari Tahanan; Menetapkan “Memulihkan hak
Terdakwa dalam kemampuan, kedudukkan, dan harkat serta martabatnya”; dan
mengembalikan seluruh barang bukti yang telah dirampas dari Lenni Damayanti
Dalam permasalahan kasus ini, dimana pengadilan Lubuk Pakam memutus
terdakwa dengan pasal 3 Undang –Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Unang. Putusan
Pengadilan Lubuk Pakam tersebut membuat terdakwa tidak merasa puas dan
melakukan upaya hukum banding .20
Berdasarkan uraian yang telah dikemukan di atas, penulis tertarik dan
terdorong untuk membahas persoalan ini menjadi sebuah penelitian tesis yang
berjudul “Penerapan hukum pidana terhadap pelaku Money Laundering
dengan kejahatan asal penipuan (Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1329K/PID/2012.)”
Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor:
50/PID/2012/PT.MDN menyatakan terdakwa bebas dari tuntutan hukum
(Ontslag Van Rechtsvervolging), karena hakim salah menerapkan hukum dan memerintahkan terdakwa dibebaskan seketika dari tahanan. Putusan pengadilan
Tinggi Medan tersebut telah disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum pada
Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam sehingga Jaksa Penuntut Umum melakukan
permohonan Kasasi yang akhirnya permohonan kasasi tersebut telah diterima.
Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1329 K/Pid/2012 menyatakan terdakwa
bersalah yang dalam hal ini menguatkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk
Pakam.
20
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka permasalahan yang
akan diteliti dalam penelitian tesis ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana penipuan sebagai kejahatan asal
menurut Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pidana
Pencucian Uang?
2. Bagaimana penegakan hukum pidana oleh hakim terhadap kasus tindak pidana
pencucian uang dengan kejahatan asal penipuan dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor: 1329K/PID/2012.)?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana penipuan sebagai
kejahatan asal menurut Undang –Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang.
2. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana oleh hakim judex factie
terhadap kasus tindak pidana pencucian uang dengan kejahatan asal
penipuan dalam Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1329K/PID/2012.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan beberapa manfaat yang berguna baik manfaat
secara teoritis dan juga manfaat secara praktis anatara lain:
1. Manfaat secara teoritis
Penelitian ini dapat menambah, memberikan dan menyumbang bagi para
pembentuk undang –undang (legislatif), pemerintah (eksekutif) dan bagi akademis
perundang–undangan dalam hal tindak pidana pencucian uang, demi mencapai
perlindungan dan kesejahteraan rakyat.
2. Manfaat secara praktis
Secara praktis tulisan ini dapat refrensi pemikiran kepada aparat penegak
hukum dalam hal ini polisi, jaksa, hakim dan advokat21
E.Keaslian Penelitian
sebagai aparat yang secara
langsung potensial berhadapan dengan kasus–kasus serupa, tetapi tanpa
mengurangi nilai mamfaatnya bagi pemangku/pemerhati kepentingan.
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan
Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pasca Sarjana, bahwa
penelitian yang berjudul “Penegakan hukum pidana pencucian uang dengan
kejahatan asal tindak pidana penipuan (analisis terhadap putusan Putusan
Mahkamah Agung Nomor: 1329K/PID/2012, tidak menemukan judul tesis yang
sama atau kemiripan judul dan permasalahan yang sama sebagaimana penelitian
ini. Beberapa judul tesis terdahulu yang membahas seputar tindak pidana
pencucian uang yaitu:
1. Andry Mahyar, dengan judul “ Tinjauan Yuridis Peran Pusat Pelaporan
dan analsis Transaksi keuangan (PPATK) dalam mencegah dan
membrantas tindak pidana pencucian uang”
2. Yovita Morina dengan judul “penerapan sanksi pidana terhadap pelaku
pasif dalam tindak pidana pencucian uang”
21
3. Daniel Simamora “analsis yuridis Kejahatan Perbankan Sebagai Predicat Crime dalam tindak pidana pencucian uang”
4. Robinson Smatupang “Efektifitas Pembuktian terbalik Tindak Pidana
Pencucian Uang”
Meskipun demikian, substansi permasalahan dan penyajian dari
penelitian ini memiliki perbedaan dengan tesis –tesis tersebut diatas. Hal ini
sangat logis mengingat objek penelitian tesis ini adalah spesifik Putusan
Pengadilan Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1329K/PID/2012, Oleh
karena itu, judul dan substansi pembahasan permasalahan penelitian ini,
otentiknya tergaransi dan jauh dari unsur plagiat.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir–butir pendapat, teori
mengenai suatu kasus atau permasalahan (problema) yang menjadi bahan
pertimbangan, pegangan teoritis.22 Kerangka teori merupakan landasan berpikir
yang digunakan untuk mencari pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian
membutuhkan titik tolak atau landasan untuk memecahkan dan membahas
masalahnya, untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok–pokok
pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut di amati.23
Selain itu, teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa
hukum yang terjadi. Oleh karena itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian
22
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung, Mandar Maju,1994), hal. 80
23
sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang
diajukan dalam masalah penelitian.24
Tujuan hukum adalah tata tertib masyarakat yang damai dan adil.25
Hukum dapat terdiri dari hukum tertulis26 dan tidak tertulis27. Proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan disebut
sebagai penegakkan hukum.28 Penegakkan hukum adalah suatu proses
dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum
dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam
hubungan-hubungan hukum dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik oleh
masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan
wewenang berdasarkan undang-undang29
Penelitian ini berkaitan dengan proses penegakkan hukum pidana terhadap
pelanggaran norma-norma hukum pidana khususnya tindak pidana penipuan
dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU). Tidak ada hukuman tanpa kesalahan
24
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Emperis”, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2004), hal. 16
25
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2001), hal.16
26
Umumnya hukum tertulis itu tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Undang –undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang –undang pada pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapakan dalam peratuan undang. Sedangkan pasal 7 ayat (1) disebutkan: jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: a. UUD RI 1945, b. TAP MPR, c. UU/Perpu, d. Peraturan pemerintah, e. Peraturan presiden, f. PERDA, g. Peraturan daerah Kabupaten/kota.
27
Hukum tidak tertulis (unstatutery law) yaitu hukum yang dalam kenyataan masih hidup dalam keyakinan dan pergaulan masyarakat tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati (living law). Lihat C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 70. Bandingkan dengan Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan:CV. Cahaya Ilmu, 2006), hal. 127.
28
Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 24.
29
Frans. H. Winarta, Evaluasi Peranan Profesi Advokat Dalam Pemberantasan Korupsi,
merupakan asas penting dalam hukum pidana untuk sampai kepada penjatuhan
hukuman bagi seorang yang didakwa melakukan tindak pidana. Kesalahan
tidaklah otomatis selalu harus dianggap ada dalam setiap terjadinya suatu tindak
pidana, tetapi haruslah dibuktikan terlebih dahulu, karena itu untuk sampai kepada
pemidanaan maka pembuktian terhadap kesalahan itu haruslah terlebih dahulu
dilakukan. Mengingat itu maka teori pembuktian beserta teori kesalahan dan teori
kesalahan dan teori kesalahan korban memiliki relevansi yang urgen dengan
penelitian ini.
M. Yahya Harahap30 menulis bahwa “pembuktian merupakan masalah
yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui
pembuktian ditentukan nasib terdakwa”. Secara lebih umum, tulis R. Subekti,31
Pembuktian (proof) dapat diartikan sebagai penetapan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti, baik yang ditentukan oleh undang-undang, maupun diluar
undang-undang sedangkan bukti (bewijs: evidence) yaitu hal yang menunjukkan kebenaran, yang diajukan oleh penuntut umum, atau terdakwa, untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan.
fungsi pembuktian memiliki arti penting atau hanya diperlukan jika terjadi
persengketaan atau perkara di pengadilan.
32
30
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar-Grafika, 2006), (selanjutnya disingkat M.Yahya Harahap I), hal. 273.
31
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hal.7
32
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,33
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan dan merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa dan juga ketentuan yang mengatur
alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim
membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Pembuktian diartikan sebagai: 1) proses, cara, perbuatan atau cara membuktikan; 2) usaha menunjukkan benar
atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan, sedangkan membuktikan
diartikan sebagai: 1) memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti; 2)
menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti; 3) menyaksikan dan bukti adalah
sesuatu yang menyatakan kebenaran kebenaran suatu peristiwa, keterangan nyata.
Arti alat bukti dengan demikian adalah alat yang berguna untuk menyatakan
kebenaran suatu peristiwa.
34
Pembuktian merupakan perbuatan
membuktikan. Membuktikan berarti memberi atau memperlihatkan bukti,
melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan,
dan meyakinkan.35
Pengertian pembuktian dalam ilmu hukum36 secara lebih luas sebagaimana
yang dinyatakan oleh Munir Fuady37
33
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit,hal.217-218.
adalah:
34
M.Yahya Harahap I, Loc.Cit.
35
Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1985), hal. 47.
36
Suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.
Merujuk uraian diatas dapat diketahui bahwa ada perbedaan prinsipil
antara bukti, membuktikan dan pembuktian yaitu bahwa bukti merujuk pada alat
bukti termasuk barang bukti38 yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa
sementara pembuktian dan membuktikan merujuk pada suatu proses atau cara
untuk mengumpulkan bukti, memperlihatkan bukti sampai pada penyampaian
bukti tersebut di sidang pengadilan.39
Hukum yang mengatur perihal alat bukti, pembuktian dan membuktikan
disebut sebagai hukum pembuktian. Hukum pembuktian merupakan terminologi
universal sehingga merupakan pengertian dan penggunaannya sifatnya umum
dalam seluruh lapangan hukum baik hukum pidana, hukum perdata maupun
hukum administrasi. Menurut Munir Fuady40
Teori Hukum adalah teorinya ilmu Hukum, atau dengan kata lain Ilmu Hukum adalah objek Teori Hukum. Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 3.
, hukum pembuktian merupakan
salah satu bidang hukum yang cukup tua umurnya, dan karena alasan rasa
37
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung PT. Citra Aditya Bakti,2006), hal. 1-2.
38
Pengertian barang bukti dalam praktek berbeda dengan pengertian alat bukti. Alat bukti adalah alat yang secara tegas diatur dalam undang-undang sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk menyatakan keterbuktian suatu perbuatan yang dituduhkan atau sebagai penyangkalan sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan barang bukti adalah barang-barang apapun jenisnya yang umumnya dijadikan oleh seseorang sebagai alat/sarana melakukan kejahatan misalnya pisau atau senjata api yang dipergunakan untuk melakukan pembunuhan atau kenderaan untuk mengangkut ganja, atau sesuatu sebagai hasil kejahatan, maka pisau, senjata api, kenderaan dan ganja kesemuanya merupakan barang bukti.
39
Eddy O.S, Hariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), hal.4.
40
keadilan serta motivasi mencari kebenaran yang dimiliki manusia betapapun
primitifnya kemudian menimbulkan hukum pembuktian guna menghindari
putusan yang keliru dan atau tidak adil. Hukum pembuktian sebagaimana hukum
pada umumnya tidak kedap terhadap segala dinaminasi (perobahan, pergerakkan
dan perkembangan) kehidupan manusia, maka itulah sebabnya salah satu karakter
hukum pembuktian adalah bahwa hukum pembuktian merupakan suatu cabang
ilmu hukum yang sangat technology oriented sehingga perkembangan tehnologi memberikan dampak langsung terhadap perkembangan pembuktian di
pengadilan.41 Pembuktian saintifik dengan mempergunakan tes DNA, mesin
polygraph (lie detector), mikroskop, sidik jari dan data optic misalnya merupakan bagian tehnologi yang sekarang diterima dalam pembuktian di pengadilan. Munir
Fuady,42 menulis bahwa hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum
yang mengatur tentang pembuktian. Eddy O.S. Hariej43
41
Ibid, hal.8.
mendefenisikan hukum
pembuktian sebagai “ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi
alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada
penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban
pembuktian”. Bambang Purnomo sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiarej
mendefenisikan hukum pembuktian sebagai keseluruhan aturan hukum atau
peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan
yang benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan
terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap
barang bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan
42
Ibid, hal.1.
43
dalam perkara pidana.44 R.Wiyono menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk
menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam
menjatuhkan suatu putusan.45
Menurut teori hukum pembuktian agar suatu alat bukti dapat dipakai
sebagai alat bukti di persidangan harus dipenuhi beberapa syarat yaitu:46
1. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat
bukti.
2. Reliability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu)
3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
Hukum pembuktian bergerak untuk membuktikan kebenaran sesuatu yang
dalam bidang hukum pidana berarti untuk membuktikan kebenaran sesuatu atau
menyangkal peristiwa yang didakwakan. Ketika kebenaran yang ingin dicari telah
ditemukan berdasarkan alat bukti dan pembuktian (misalnya peristiwa pidana
yang didakwakan terbutk telah terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya) maka
tahapan selanjutnya yang harus dipertimbangkan adalah perihal
pertanggungjawaban pidana.
Kesalahan diperlukan sebagai indikator guna menentukan dapat tidaknya
seseorang pelaku tindak pidana dijatuhi pidana sehingga kesalahan itu akan selalu
terkait dengan pertanggungjawaban pidana. Chairul Huda menyatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian pelaksanaan tugas
44
Ibid
45
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal.148.
46
hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara.47
Setelah suatu tindak pidana terbukti telah terjadi dan terdakwalah
pelakunya kemudian ternyata terbukti pula bahwa pelaku dapat dipersalahkan atas
perbuatannya maka pemidanaan dapat dijatuhkan. Pemidanaan sebagaimana
ditulis oleh Wiyanto, adalah pemberian sanksi yang berupa suatu penderitaan
yang istimewa kepada seseorang yang nyata–nyata telah melakukan suatu
perbuatan yang secara tegas dirumuskan dan diancam pidana oleh undang–
undang.
Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan–alasan
penghapusan pidana. Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat
terlihat dari ketentuan pasal 44 KUHP.
48
Berdasarkan uraian diatas maka teori yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah:
a. Teori Pembuktian
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa pembuktian termasuk salah
satu pokok bahasan penting dalam hukum apapun termasuk hukum pidana.
Perihal pembuktian dalam bidang hukum pidana Indonesia secara khusus diatur
dalam Undang–undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana atau lebih
dikenal dengan sebutan Kitan Undang-undang Acara Hukum Pidana (KUHAP).
47
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis terhadap Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2011), hal. 7
48
Andi Hamzah menyatakan bahwa tujuan hukum acara Pidana adalah
menemukan kebenaran materil.49 M. Yahya harahap menyatakan bahwa
kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan dalam pemeriksaan perkara pidana
adalah kebenaran sejati atau materil waarheid atau disebut juga dengan absulute truth.50
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahakan.
Secara lebih tegas dan lengkap formulasi tujuan hukum acara pidana
dinyatakan dalam keputusan Menteri kehakiman Republik Indonesia:
M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP ditetapkan di
Jakarta pada tanggal 4 Pebruari 1982, pada bidang umum Bab I Pendahuluan yang
berbunyi:
Beberapa ajaran teori penting terkait dengan pembuktian51
1. Conviction in Time
adalah sebagai berikut:
Teori ini mengajarkan bahwa suatu hal dapat dinyatakan terbukti hanya
atas dasar keyakinan hakim semata timbul dari hati nurani dan sifat bijaksananya
tanpa terikat dengan alat-alat bukti. Keyakinan hakim dalam teori ini sangat
absolut dan independen sehingga sangat sulit untuk diprediksi dan diawasi.
49
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah II) hal. 228
50
M. Yahya Harahap I, Op. Cit, hal. 275
51
Beberapa literatur/ buku saling mempertukarkan istialh teori pembuktian atau sistem pembuktian. Andi Hamzah misalnya dalam bukunya Pengantar Acara hukum pidana Indonesia