• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi Senyawa Alkaloida Dari Daun Tumbuhan SidaGuri (Sida rhombifolia L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Isolasi Senyawa Alkaloida Dari Daun Tumbuhan SidaGuri (Sida rhombifolia L.)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI DAUN

TUMBUHAN SIDAGURI

(Sida rhombifolia L.)

SKRIPSI

EVI YOANNA SITOPU

050802046

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI DAUN TUMBUHAN SIDAGURI

(Sida rhombifolia L. )

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

EVI YOANNA SITOPU 050802046

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI

DAUN TUMBUHAN SIDAGURI (Sida rhombifolia L. )

Kategori : SKRIPSI

Nama : EVI YOANNA SITOPU

Nomor Induk Mahasiswa : 050802046

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di

Medan, September 2010

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Sovia Lenny, S.Si, M.Si Prof. Dr. Tonel Barus NIP. 197510182000032001 NIP. 194508011974121001

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU

Ketua,

Dr. Rumondang Bulan Nst., MS

(4)

PERNYATAAN

ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI DAUN TUMBUHAN SIDAGURI

(Sida rhombifolia L.)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, September 2010

(5)

PENGHARGAAN

Segala hormat puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, dengan Kasih penyertaanNya kajian ini dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditetapkan.

(6)

ABSTRAK

Isolasi senyawa alkaloida yang terkandung pada daun tumbuhan sidaguri (Sida

rhombifolia L.) diekstraksi maserasi dengan pelarut metanol. Ekstrak metanol yang

dihasilkan dipekatkan dengan rotari evaporator. Ekstrak pekat diekstraksi partisi dengan n-heksana lalu diasamkan dengan HCl 2M sampai pH=2, kemudian

dibasakan dengan NH4OH(P) sampai pH=9-10. Fraksi basa ini kemudian diekstraksi

partisi dengan dietileter. Ekstrak pekat dietileter yang mengandung alkaloida dianalisis KLT lalu dipisahkan dengan kolom kromatografi dengan eluen klorofom : metanol (70 : 30 v/v). Pasta yang dihasilkan berwarna kuning kecoklatan pada fraksi 11-30 dengan Rf = 0,92 sebanyak 0,5 g. Pasta tersebut dianalisis dengan Spektroskopi Infra Merah (FT-IR) dan Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Proton

(1H-NMR). Dari data dan hasil analisis terhadap pasta hasil isolasi menunjukkan

(7)

ISOLATION OF ALKALOIDA COMPOUNDS WHICH CONTAINED IN LEAVES OF SIDAGURI

(Sida rhombifolia L.)

ABSTRACT

Isolation of alkaloids compounds which contained in leaves of sidaguri (Sida

rhombifolia L.) has been done with maceration technique with methanol solvent.

Methanol exctract then concentrated with rotary evaporator. The concentrated exctrack then partition extraction with n-hexane and then acidified with HCl 2M

until pH = 2, then bacidified with NH4OH(p) until pH = 9-10. The basic fraction then

partition with diethylether. The concentrated diethylether extact which is alkaloid was analysed with Thin Layer Cromatography and separated by column chromatography using chlorofom : methanol (70 : 30 v/v) as a mobile phase. The brownish-yellow paste was obtained in fraction 11- 30 with Rf = 0,92 with weight 0.5 g. That paste then identified using Infra Red Spectroscopy (FT-IR) and Nuclear

Magnetic Resonance Spectroscopy (1H-NMR). Based on data and interpretation

(8)

DAFTAR ISI

2.4.2. Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton 21

(9)

Bab 3 Bahan dan Metode Penelitian

3.3.3. Pengadaan Ekstrak Dietileter Daun

Tumbuhan Sidaguri 25

3.3.4. Analisis Kromatografi Lapis Tipis 25

3.3.5. Isolasi senyawa Alkaloida dengan Kromatografi 26

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A. Gambar Tumbuhan Sidaguri 38

Lampiran B. Determinasi Tumbuhan Sidaguri 39

Lampiran C. Kromatogram Lapisan Tipis Ekstrak Dietileter Daun Sidaguri 40

Lampiran D. Kromatogram Lapisan Tipis Senyawa Hasil Isolasi Melalui

Penampakan Noda Dengan Sinar Ultraviolet 41

Lampiran E. Spektrum FT-IR Pasta Hasil Isolasi 42

Lampiran F. Spektrum 1H-NMR Pasta Hasil Isolasi 43

Lampiran G. Pembesaran Spektrum 1H-NMR Pasta Hasil Isolasi 44

(11)

ABSTRAK

Isolasi senyawa alkaloida yang terkandung pada daun tumbuhan sidaguri (Sida

rhombifolia L.) diekstraksi maserasi dengan pelarut metanol. Ekstrak metanol yang

dihasilkan dipekatkan dengan rotari evaporator. Ekstrak pekat diekstraksi partisi dengan n-heksana lalu diasamkan dengan HCl 2M sampai pH=2, kemudian

dibasakan dengan NH4OH(P) sampai pH=9-10. Fraksi basa ini kemudian diekstraksi

partisi dengan dietileter. Ekstrak pekat dietileter yang mengandung alkaloida dianalisis KLT lalu dipisahkan dengan kolom kromatografi dengan eluen klorofom : metanol (70 : 30 v/v). Pasta yang dihasilkan berwarna kuning kecoklatan pada fraksi 11-30 dengan Rf = 0,92 sebanyak 0,5 g. Pasta tersebut dianalisis dengan Spektroskopi Infra Merah (FT-IR) dan Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Proton

(1H-NMR). Dari data dan hasil analisis terhadap pasta hasil isolasi menunjukkan

(12)

ISOLATION OF ALKALOIDA COMPOUNDS WHICH CONTAINED IN LEAVES OF SIDAGURI

(Sida rhombifolia L.)

ABSTRACT

Isolation of alkaloids compounds which contained in leaves of sidaguri (Sida

rhombifolia L.) has been done with maceration technique with methanol solvent.

Methanol exctract then concentrated with rotary evaporator. The concentrated exctrack then partition extraction with n-hexane and then acidified with HCl 2M

until pH = 2, then bacidified with NH4OH(p) until pH = 9-10. The basic fraction then

partition with diethylether. The concentrated diethylether extact which is alkaloid was analysed with Thin Layer Cromatography and separated by column chromatography using chlorofom : methanol (70 : 30 v/v) as a mobile phase. The brownish-yellow paste was obtained in fraction 11- 30 with Rf = 0,92 with weight 0.5 g. That paste then identified using Infra Red Spectroscopy (FT-IR) and Nuclear

Magnetic Resonance Spectroscopy (1H-NMR). Based on data and interpretation

(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Bangsa Indonesia telah lama mengenal pengobatan secara tradisional, misalnya

dengan tumbuhan, binatang dan mineral. Penggunaan tumbuh-tumbuhan tersebut

adalah sebagai ramuan obat untuk penyakit-penyakit tertentu, ini merupakan suatu

bukti bahwa di dalam ramuan obat tersebut terdapat senyawa-senyawa kimia yang

berkhasiat.

Tumbuh-tumbuhan merupakan sumber dari senyawa bahan alam hayati

dimana senyawa tersebut banyak digunakan sebagai bahan obat-obatan. Bertitik

tolak dari sumber bahan alam hayati ini yang mempunyai peran penting didalam

penyediaan senyawa-senyawa baru dalam bidang obat-obatan maka pemerintah

menghimbau para ahli untuk meningkatkan penelitiannya dalam bidang tersebut,

hal ini merupakan suatu tantangan bagi para ahli untuk melibatkan dari dalam

senyawa-senyawa baru yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan ini (Arief, H.,2004).

Salah satu tumbuhan yang sering digunakan sebagai obat adalah tumbuhan

sidaguri (Sida rhombifolia L). Dari studi literatur yang kami lakukan, herba digunakan

untuk mengatasi influenza, demam, radang amandel (tonsilitis), difteri, TBC kelenjar

(scrofuloderma), radang usus (enteritis), disentri, sakit kuning (jaundice), malaria,

batu saluran kencing, sakit lambung, wasir berdarah, muntah darah, terlambat haid,

dan cacingan, sedangkan akar digunakan untuk mengatasi influenza, sesak napas

(asma bronkhiale), disentri, sakit kuning, rematik gout, sakit gigi, sariawan, digigit

serangga berbisa, susah buang air besar (sembelit), terlambat haid, dan bisul yang tak

(14)

Daun mengandung alkaloid, kalsium oksalat,tannin, asam amino, dan minyak

atsiri. Banyak mengandung zat phlegmatic yang digunakan sebagai peluruh dahak

(ekspektoran). Batang mengandung kalsium oksalat dan tannin. Akar mengandung

alkaloid, dan steroid.

Dari uraian di atas, berdasarkan literatur dan uji skrining terhadap daun

tumbuhan sidaguri yg dilakukan, penulis tertarik untuk mengisolasi senyawa kimia

bahan alam hayati dari golongan alkaloid yang terkandung pada daun tumbuhan

sidaguri tersebut (Dalimarta, 2003).

1.2. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana cara mengisolasi senyawa

alkaloida dari daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.).

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengisolasi senyawa alkaloida dari daun

tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.).

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumber informasi ilmiah pada bidang

Kimia Bahan Alam dalam upaya pengembangan zat-zat kimia alkaloida dari daun

(15)

1.5. Lokasi Penelitian

Sampel yang digunakan diambil dari daerah Dolog Masihul, kabupaten Serdang

Bedagai, propinsi Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia

Bahan Alam FMIPA USU. Analisis Spektrofotometri Infra Merah (FT-IR) dan

Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR) dilakukan di

Laboratorium Dasar Bersama FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya.

1.6. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah daun tumbuhan sidaguri (Sida

rhombifolia L.) sebanyak 1000 g. Tahap awal dilakukan uji skrining fitokimia dengan

menggunakan pereaksi-pereaksi untuk senyawa alkaloida, yaitu dengan menggunakan

pereaksi Wagner, Meyer, Drangendorff, dan pereaksi Bouchardat.

Tahap isolasi yang dilakukan adalah :

- Ekstraksi Maserasi

- Ekstraksi Partisi

- Analisis Kromatografi Lapis Tipis

- Analisis Kromatografi Kolom

- Analisis Pasta Hasil Isolasi

Tahapan analisis pasta hasil isolasi mencakup :

- Analisis Kromatografi Lapis Tipis

- Identifikasi Spektrofotometer Infra Merah (FT-IR)

- Identifikasi Spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti Proton ( 1H-NMR).

(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tumbuhan Sidaguri

2.1.1. Morfologi Sidaguri

Sidaguri tumbuh liar di tepi jalan, halaman berumput, hutan, ladang, dan tempat

tempat dengan sinar matahari cerah atau sedikit terlindung. Tanaman ini tersebar pada

daerah tropis di seluruh dunia dari dataran rendah sampai 1.450 m dpl. Perdu tegak

bercabang ini tingginya dapat mencapai 2 m dengan cabang kecil berambut rapat..

Daun tunggal, bergerigi, ujung runcing, pertulangan menyirip, bagian bawah

berambut pendek warnanya abu-abu, panjang 1,5-4 cm, lebar 1-1,5 cm. Bunga tunggal

berwarna kuning cerah yang keluar dari ketiak daun, mekar sekitar pukul 12 siang dan

layu sekitar tiga jam kemudian. Buah dengan 8-10 endaga, diameter 6-7 mm

(17)

Nama umum/dagang : Sidaguri

Tumbuhan sidaguri dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama daerah :

Saliguri (Minangkabau), Sidaguri (Melayu), Sidaguri (Jawa tengah), sidagori (sunda),

Taghuri (Madura), Kahindu (Sumba), Hutu gamo (Halmahera),Digo (Ternate)

(Dalimarta, 2003).

2.1.3. Manfaat dan Kandungan Tumbuhan Sidaguri

Herba digunakan untuk mengatasi: influenza, demam, radang amandel (tonsilitis),

difteri, TBC kelenjar (scrofuloderma), radang usus (enteritis), disentri, sakit kuning

(jaundice), malaria, batu saluran kencing, sakit lambung, wasir berdarah, muntah

darah, terlambat haid, dan cacingan, sedangkan akar digunakan untuk mengatasi:

influenza, sesak napas (asma bronkhiale), disentri, sakit kuning, rematik gout, sakit

gigi, sariawan, digigit serangga berbisa, susah buang air besar (sembelit), terlambat

haid, dan bisul yang tak kunjung sembuh, dan bunga digunakan untuk obat luar pada

gigitan serangga. Akar dan kulit sidaguri kuat, dipakai untuk pembuatan tali..

Perbanyakan dengan biji atau setek batang. Kandungan kimia dari tumbuhan sidaguri,

daun mengandung alkaloid, kalsium oksalat, tannin, asam amino, dan minyak atsiri.

Batang mengandung kalsium oksalat dan tannin. Akar mengandung alkaloid, dan

steroid (Dalimarta, 2003).

2.2. Senyawa Organik Bahan Alam

Senyawa organik bahan alam dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat- sifat yang

dimilikinya. Ada empat cara klasifikasi senyawa organik bahan alam, yaitu:

1. Klasifkasi berdasarkan Struktur Kimiawi

Klasifikasi ini didasarkan pada kerangka molekul dari senyawa yang bersangkutan.

Menurut sistem ini, ada 4 kelas senyawa organik bahan alam, yaitu:

(18)

Contoh : asam- asam lemak, gula dana asam- asam amino pada umumnya

b. Senyawa alisiklik atau sikloalifatik

Contoh : Terpenoid, steroida

c. Senyawa aromatik atau benzenoid

Contoh : Golongan fenolat, golongan kuinon

d. Senyawa heterosiklik

Contoh : alkaloida, flavonoida

2. Klasifikasi Berdasarkan Sifat Fisiologik

Setelah penelitian yang lebih mendalam dilakukan terhadap morfin, penisilin dan

prostaglandin, maka perhatian para ahli sering ditujukan terhadap isolasi dan

penentuan fungsi fisiologis dari senyawa-senyawa organik bahan alam tertentu.

Hampir separuh dari obat-obatan yang kita gunakan sehari-hari merupakan

bahan- alam, misalnya alkaloida dan antibiotik. Oleh karena itu senyawa organik

bahan alam dapat juga diklasifikasikan dari segi aktivitas fisiologik dari bahan alam

yang bersangkutan. Misalnya : kelas hormon, vitamin, antibiotik dan mikotoksin

(racun yang dihasilkan oleh jamur). Meskipun senyawa-senyawa dalam satu kelas

mempunyai struktur dan asal-usul biogenetik yang sangat bervariasi, namun ada

kalanya terdapat korelasi yang dekat antara aspek-aspek tersebut dengan kegiatannya.

3. Klasifikasi Berdasarkan Taksonomi

Pengklasifikasian ini didasarkan pada penyelidikan morfologi komparatif dari

tumbuh-tumbuhan yaitu taksonomi tumbuhan. Pada hewan dan sebagian

mikroorganisme, metabolit terakhir biasanya dibuang keluar tubuh, sedang pada

tumbuh-tumbuhan, metabolit tersimpan di dalam tubuh tumbuhan itu sendiri.

Pada mulanya beberapa metabolit dianggap hanya berasal dari tumbuhan

tertentu. Kemudian diketahui bahwa beberapa metabolit tersebar pada berbagai

tumbuhan dan ternyata banyak konstituen tumbuhan tumbuhan (seperti alkaloida dan

terpenoida) yang dapat diisolasi dari spesies, genus, suku atau famili tumbuhan

tertentu. Malah dalam satu spesies tunggal, dapat ditemukan sejumlah konstituen yang

(19)

somniferum mengandung dua puluhan alkaloida termasuk alkaloida morfin, tebain,

kodein dan narkotin yang kesemuanya dibiosintesis dari prekusor yaitu

1-benzilisokuinolin melalui penggandengan/coupling secara oksidasi. Oleh karena itu

alkaloida - alkaloida tersebut yang strukturnya mirip satu sama lain dan berasal dari

genus tumbuhan tertentu, disebut alkaloida opium.

4. Klasifikasi Berdasarkan Biogenesis

Semua konstituen tumbuhan dan binatang dibiosintesis dalam mikroorganisme

melalui reaksi- reaksi yang dibantu oleh enzim tertentu. Dalam hal ini sumber utama

dari karbon biasanya adalah glukosa, yang dibiosintesis dalam tumbuhan hijau atau

yang diperoleh dari lingkungan dalam organisme.

Beberapa ahli mulai menyusun teori langkah-langkah biogenetik dari senyawa

organik bahan alam yang berlangsung dalam mikroorganisme hidup. Basis dari teori

ini adalah keteraturan struktural yang teramati sejak awal sampai akhir reaksi. Teori

yang paling menonjol adalah “aturan isoprena” yang diusulkan oleh Ruzicka. Dia

menyatakan semua senyawa terpenoid terbentuk dari “unit isoprena” C5.

Dari kesemua teori biogenesis ini dapat disimpulkan adanya 4 kelas senyawa

organik bahan alam, yakni :

Alkaloid, sekitar 5500 telah diketahui, merupakan golongan zat tumbuhan sekunder

yang terbesar. Tidak ada satupun istilah ‘alkaloid’ yang memuaskan, tetapi pada

umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih

atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari system siklik. Alkalloid

(20)

yang menonjol; jadi digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloid

biasanya tan warna, sering kali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi

hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne,

1987).

Alkaloida sebagai golongan dibedakan dari sebagian besar komponen

tumbuhan lain berdasarkan sifat basanya. Oleh karena itu senyawa ini biasanya

terdapat dalam tumbuhan sebagai garam berbagai asam organik dan sering dilakukan

di laboratorium sebagai garam dengan asam hidroklorida dan asam sulfat. Garam ini

dan alkaloida bebas, berupa senyawa padat berbentuk kristal tanpa warna. Beberapa

alkaloida berupa cairan, dan alkaloida yang berwarnapun langka (Berberina dan

Terpentina berwarna kuning). Alkaloida sering bersifat aktif optik, dan biasanya

hanya satu dari isomer optik yang dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa hal

dikenal campuran rasemat, dan pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu

isomer sementara tumbuhan lain mengandung enantiomernya.

Fungsi dari alkaloida belum dapat dipastikan dengan baik untuk beberapa jenis

alkaloida, walaupun telah kita ketahui bahwa turunan - turunan dari pirimidin, purin

dan pterin memainkan peranan yang sangat baik dalam proses kehidupan manusia.

Semua alkaloida dapat dibuat dari poliketida asam sikimat atau bagian dari senyawa

asam mevalonat yang digabung dengan asam amino, yang secara otomatis dapat

memberikan sebuah sistematisasi yang tinggi secara rumus dan struktural yang akan

menghasilkan suatu senyawa.

Dengan kata lainnya, komponen asam amino membentuk karakter dari

alkaloida dan klasifikasinya dapat dibuat dengan baik berdasarkan bentuk

morfologinya. Alkaloida juga digunakan sebagai penyebab proses solusi dan

biogenetik dibandingkan dengan beberapa jenis asam amino yang merupakan

pembentuk alkaloida, seperti glisin (di dalam pembentuk N-heterosiklik), asam

glutamat, ornitin, lisin, fenilalanin, tirosin, triptofan dan asam antralin. Kebanyakan

alkaloida dapat ditemukan di dalam segala jenis tumbuhan, dari tumbuhan tingkat

tinggi sampai ke mikroorganisme. Beberapa alkaloida dapat ditemukan dalam hewan,

(21)

Sejak dahulu kala alkaloida telah digunakan dalam berbagai hal. Kebanyakan

alkaloida digunakan sebagai suatu zat beracun yang dapat menyebabkan kematian

seperti strysin. Strysin telah digunakan sebagai suatu zat pembunuh selama beberapa

abad dan juga merupakan suatu zat yang menyebabkan kematian pada beberapa jenis

unggas. Strysin merupakan suatu zat yang dapat merusak sel-sel tubuh yang

lama-kelamaan dapat menyebabkan kematian. Koniin didalam Conium maculatum

digunakan oleh orang-orang Yunani untuk hukuman eksekusi, dan Sokrates adalah

pemimpin Yunani yang sering menggunakannya. Beberapa alkaloida dapat

menyebabkan halusinasi seperti grup opium di dalam Papaver somniferum,

turunan-turunan dari asam lisergis dalam tumbuhan Claviceps purpurea, sebuah tumbuhan

parasit (Torssell, 1983).

2.2.2. Klasifikasi Alkaloida

Pada bagian yang memaparkan sejarah alkaloida, jelas kiranya bahwa

alkaloida sebagai kelompok senyawa. Banyak usaha untuk mengklasifikasikan

alkaloida. Sistem klasifikasi yang paling banyak diterima, menurut Hegnauer,

alkaloida dikelompokkan sebagai (a) alkaloida sesesungguhnya, (b) protoalkaloida (c)

pseudoalkaloida.

(a) Alkaloida Sesungguhnya.

Alkaloida sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan

aktivitas fisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung

nitrogen dalam cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat

dalam tanaman sebagai garam organik. Beberapa pengecualian terhadap aturan

tersebut adalah kolkhisin dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak

memiliki cincin heterosiklis dan alkaloida kuartener, yang bersifat agak asam.

(b) Protoalkaloida

Protoalkaloida merupakan amin yang relatif sederhana dalam mana nitrogen

asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklis. Protoalkaloida diperoleh

berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pengertian amin biologis

sering digunakan untuk kelompok ini. Contoh adalah meskalin, efedrin , dan N,

(22)

(c) Pseudoalkaloida

Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa

biasanya bersifat basa.

Ada dua seri alkaloida yang penting dalam klas ini, yaitu alkaloida stereoidal

( konessin, purin dan kaffein ) (Sastrohamijojo, 1996).

Ada juga yang mengklasifikasikan alkaloid berdasarkan bentuk inti dari molekulnya

yeng terdapat di alam, terbagi atas beberapa kelompok, yaitu :

1. Kelompok Feniletilamin

Berdasarkan biogenetiknya, senyawa – senyawa alkaloida dapat diklasifikasikan

menjadi :

1. Alisiklik alkaloida, terdiri dari :

- Lupinin alkaloida

- Tropane alkaloida

2. Fenilalanin alkaloida, terdiri dari :

- Papaverin

- Morfin

- Amarilis alkaloida

3. Indole Alkaloida, terdiri dari :

(23)

Dari klasifikasi di atas dapat disimpulkan bahwa belum ada keseragaman dalam

pengklasifikasian senyawa alkaloida (Hendrikson,1965).

2.2.3. Sifat-sifat Alkaloida

Alkaloida adalah senyawa organik yang mengandung nitrogen (biasanya dalam

bentuk siklik) dan bersifat basa. Senyawa ini tersebar luas dalam dunia tumbuh -

tumbuhan dan banyak diantaranya yang mempunyai efek fisiologi yang kuat.

Beberapa dari efek tersebut telah dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia primitif jauh

sebelum Ilmu Kimia Organik berkembang. Alkaloida ‘Cinchona’ yang terkandung

dalam kulit pohon dari spesies Cinchona dan Remijia misalnya telah dikenal oleh

penduduk asli dipegunungan Andes, Kuinin yang merupakan salah satu konstituen

utama dari ekstrak kulit kayu tersebut, laporkan telah dikenal sebagai anti malaria

yang efektif sejak tahun 1633. Karena banyaknya senyawa alkaloida serta

keterkaitannya dengan bidang lain seperti farmasi, sebenarnya dunia alkaloida

memerlukan satu bidang tersendiri.

Secara umum, golongan senyawa alkaloida mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

1. Biasanya merupakan kristal tak berwarna, tidak mudah menguap, tidak larut

dalam air, larut dalam pelarut-pelarut organik seperti : eter, etanol dan juga

koroform. Beberapa alkaloida (seperti koniin dan nikotin) berwujud cair dan

larut dalam air. Ada juga alkaloida yang berwarna misalnya berberin (kuning).

2. Bersifat basa, pada umumnya berasa pahit, bersifat racun, mempunyai efek.

3. Dapat membentuk endapan dengan larutan asam fosfowolframat, asam

fosfomolibdat, asam pikrat, kalium merkuriiodida dan lain sebagainya. Dari

endapan-endapan ini, banyak juga yang memiliki bentuk kristal yang khusus

(24)

2.2.4. Deteksi Senyawa Alkaloida

Bukti kualitatif untuk menunjukkan adanya alkaloid dalam pencirian kasar dapat

diperoleh dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloid. Tata kerja untuk menguji

apakah tumbuhan mengandung alkaloid dapat ditentukan dengan reaksi pewarnaan

yang jelas yaitu dengan menggunakan pereaksi Mayer ( Kalium tetraiodomerkurat )

yang banyak digunakan untuk mendeteksi alkaloid karena pereaksi ini memberikan

endapan dengan hampir semua alkaloid.

Sebelum melakukan uji ini, dianjurkan untuk melakukan pemurnian terlebih

dahulu karena pereaksi ini mengendapkan komponen tumbuhan yang lain juga.

Pereaksi lain seperti Wagner (Iodium dalam kalium iodida), asam siklotungstat 5%,

asam tanat 5%, pereaksi Drangendorff (Kalium tetraiodobismutat), iodoplatinat, dan

larutan asam pikrat jenuh sering pula dipakai. Beberapa alkaloid mengandung gugus

fungsi khas yang dapat ditentukan dengan pereaksi khusus, misalnya morfina bersifat

fenol sehingga dapat dipakai pereaksi fenol untuk membedakannya. Penggunaan

pereaksi seperti itu secara bersistem dapat dipakai untuk penggolongan alkaloid.

Jika kita menginginkan pencirian alkaloid yang lebih lengkap, cara

kromatografi dan spektrofotometri dapat dipakai untuk memberikan informasi

secukupnya dengan usaha sedikit mungkin. Untuk kebanyakan alkaloid pelarut

bersifat basa atau asam dipakai untuk memastikan bahwa molekul semuanya tidak

terprotonisasi atau semuanya terprotonisasi. Untuk alkaloid yang bersifat basa lemah,

pelarut yang didapar pada harga pKa alkaloid yang akan dipisahkan memberikan hasil

yang baik. Pereaksi deteksi yang paling umum dipakai untuk menyemprot

kromatogram pereaksi ini beberapa nonalkaloid meskipun kepekaan terhadap alkaloid

sekitar sepuluh kalinya, beberapa pereaksi lain untuk mendeteksi alkaloid adalah

flouresamina dan 7,7,8,8-tetra sianokuinondimetana. Keuntungannya adalah bahwa

pereaksi ini bereaksi secara berlainan dengan jenis struktur yang berbeda. Alkaloid

yang mengandung gugus fenol dapat dideteksi dengan pereaksi khusus fenol

(25)

2.2.5. Isolasi Senyawa alkaloida

Isolasi alkaloida berdasarkan metode Harborne

Ekstraksi jaringan kering dengan asam asetat 10% dalam etanol, biarkan sekurang-

kurangnya empat jam. Pekatkan ekstrak sampai seperempat volume asal dan endapkan

alkaloida dengan meneteskan NH4OH pekat. Kumpulkan endapan dengan

pemusingan, cuci dengan NH4OH 1%. Larutkan sisa dalam beberapa tetes etanol atau

kloroform.

Kromatografi sebagian larutan pada kertas dapar asam sitrat dalam air.

Kromatografi sebagian lain pada pelat silika gel G dalam metanol-NH4OH pekat

(200:3). Deteksi adanya alkaloida pada kertas dan pelat, mula- mula dengan

flouresensi dibawah sinar uv, kemudian menggunakan penyemprot pereaksi

Dragendorff (Harborne, 1987).

Pada umumnya alkaloida diekstraksi dari tumbuhan sumbernya melalui proses sebagai

berikut:

1. Tumbuhan (daun, bunga, buah, kulit atau akar) dikeringkan, lalu dihaluskan.

2. Alkaloida diekstraksikan dengan pelarut tertentu, misalnya dengan etanol,

kemudian pelarutnya diuapkan.

3. Residu yang diperoleh diberi asam anorganik untuk menghasilkan garam

ammonium kuaterner; kemudian diekstraksikan kembali.

4. Garam N+ yang diperoleh direaksikan dengan Natrium Karbonat sehingga

menghasilkan alkaloida-alkaloida yang bebas kemudian diekstraksi dengan

pelarut tertentu seperti eter, kloroform atau pelarut lainnya.

5. Campuran alkaloida - alkaloida yang diperoleh akhirnya diisolasi melalui

berbagai cara, misalnya dengan metode kromatografi.

Sebagaimana telah dikemukakan, alkaloida diperoleh dari tumbuh-tumbuhan namun

(26)

2.2.6. Biosintesa Senyawa alkaloida

Prekusor alkaloid yang paling umum adalah asam amino, meskipun sebenarnya

biosintesis alkaloid lebih rumit. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan

heterogen. Ia berkisar dari senyawa sederhana seperti koniina, yaitu alkaloid utama.

Conium maculatum, sampai ke struktur pentasiklik seperti strikhnina, yaitu racun kulit

Strychnos. Amina tumbuhan (misalnya meskalina) dan basa purina dan pirimidina

(misalnya kafeina) kadang- kadang digolongkan sebagai alkaloid dalam arti umum

(Manitto, 1992).

2.3. Metode Pemisahan

2.3.1. Ekstraksi

Ekstraksi dapat dilakukan dengan metoda maserasi, perkolasi, dan sokletasi. Sebelum

ekstraksi dilakukan, biasanya serbuk tumbuhan dikeringkan lalu dihaluskan dengan

derajat kehalusan tertentu, kemudian diekstraksi dengan salah satu cara di atas.

Ekstraksi dengan metoda sokletasi dapat dilakukan secara bertingkat dengan berbagai

pelarut berdasarkan kepolarannya, misalnya : n–heksana, eter, benzena, kloroform, etil

asetat, etanol, metanol, dan air.

Ekstraksi dianggap selesai bila tetesan ekstrak yang terakhir memberikan reaksi

negatif terhadap pereaksi alkaloida. Untuk mendapatkan larutan ekstrak yang pekat

biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotary evaporator

(27)

2.3.2. Kromatografi

Penjelasan terperinci tentang kromatografi pertama kali diberikan oleh Michael

Tswett, seorang ahli botani Rusia yang bekerja di Warsawa. Pada tahun 1906, dia

mengumumkan pemerian pemisahan klorofil dan pigmen lainnya dalam suatu seri

tanaman. Larutan eter petroleum yang mengandung cuplikan diletakkan pada ujung

atas tabung gelas sempit yang telah diisi dengan serbuk kalsium karbonat. Ketika ke

dalam kolom itu dituangi eter petroleum maka akan terlihat bahwa pigmen-pigmen itu

terpisah dalam beberapa daerah. Setiap daerah bewarna itu diisolasi dan diidentifikasi

senyawa penyusunnya. Adanya pita bewarna itu maka dia mengusulkan nama

“kromatografi” yang berasal dari bahasa Yunani “kromatos” yang berarti warna dan

“graphos” yang berarti menulis.

Sekarang kromatografi mencakup berbagai proses yang berdasarkan pada

perbedaan distribusi dari penyusun cuplikan antara dua fasa. Satu fasa tetap tinggal

pada sistem dan dinamakan fasa diam. Fasa lainnya, dinamakan fasa gerak,

memperkolasi melalui celah-celah fasa diam. Gerakan fasa gerak menyebabkan

perbedaan migrasi dari penyusunan cuplikan.

Ada beberapa cara dalam mengelompokkan teknik kromatografi.

Kebanyakan berdasarkan pada macam fasa yang digunakan (fasa gerak-fasa diam),

misalnya kromatografi gas dan kromatografi cairan. Cara pengelompokan lainnya

berdasarkan mekanisme yang membuat distribusi fasa. Disini metoda kromatografi

sebagian dikelompokkan berdasarkan macam fasa yang digunakan dan sebagian lain

berdasarkan pada mekanisme pada distribusi fasa.

Kromatografi cairan-padat atau kromatografi serapan, ditemukan oleh

Tswett dan dikenalkan kembali oleh Khun dan Lederer pada 1931, telah digunakan

sangat luas untuk analisis organik dan biokima. Pada umumnya sebagai isi kolom

adalah silika gel atau alumina, yang mempunyai angka banding luas permukaan

terhadap volume sangat besar. Sayangnya hanya ada beberapa bahan penyerap, maka

(28)

koefisien distribusi untuk serapan kerap kali tergantung pada kadar total. Hal ini akan

menyebabkan pemisahan tidak sempurna.

Kromatografi cairan-cairan atau kromatografi partisi, dikenalkan oleh Martin

dan Synge pada 1941, dan kemudian mendapatkan hadiah Nobel untuk itu. Fasa diam

terdiri atas lapisan tipis cairan yang melapisi permukaan dari padatan inert yang

berpori-pori. Ada banyak macam kombinasi cairan yang dapat digunakan sehingga

metode ini sangat berguna. Lebih lanjut, koefisien distribusi sistem ini lebih tidak

tergantung pada kadar, memberikan pemishan yang lebih tajam.

Kromatografi gas-padat, digunakan sebelum tahun 1800 untuk memurnikan

gas. Pada waktu dulu teknik ini tidak berkembang karena keterbatasannya yang sama

seperti halnya kromatografi cairan-padat, tetapi penelitian lebih lanjut dengan macam

fasa padat baru memperluas penggunaan teknik ini.

Kromatografi gas-cairan merupakan metoda pemisahan yang sangat efisien

dan serba guna. Teknik ini telah menyebabkan revolusi dalam kimia Organik sejak

dikenalkan pertama kali oleh James dan martin pada 1052. Hambatan yang paling

utama adalah bahan cuplikan harus mempunyai tekanan uap paling tidak beberapa torr

pada suhu kolom. Sistem ini sangat baik sehingga dapat dikatakan sebagai metoda

pilihan dalam kromatografi karena dapat memisahkan dengan cepat dan peka

(Sudjadi, 1986).

2.3.2.1. Kromatografi Kertas

Kromatografi kertas merupakan kromatografi cairan – cairan dimana sebagai fasa

diam adalah lapisan tipis air yang diserap dari lembap udara oleh kertas. Jenis fasa

cair lainnya dapat digunakan. Teknik ini sangat sederhana.

Mula- mula telah dilakukan pemisahan asam- asam amino dan peptida-

peptida yang merupakan hasil hidrolisa protein wool dengan suatu cara dimana kolom

(29)

bjana tertutup yang berisi uap jenuh larutan. Ini adalah merupakan jenis dari sistem

partisi dimana fasa tetap adalah air, disokong oleh molekul- molekul selulose dari

kertas, dan fasa bergerak biasanya merupakan campuran dari satu atau lebih pelarut-

pelarut organik dan air.

Suatu hal yang perlu diperhatikan dimana pada kromatografi kertas peralatan

yang dipakai tidak perlu alat- alat teliti dan mahal. Hasl- hasil yang baik dapat

diperoleh dengan peralatan- peralatan dan materi- materi yang sangat sederhana.

Senyawa- senyawa yang terpisahkan dapat dideteksi pada kertas dan dapat segera

diidentifikasikan. Bahkan jika dikehendaki komponen- komponen yang terpisahkan

dapat diambil dari kertas dengan jalan memotong- motongnya yang kemudian

dilarutkan secara terpisah.

Pelarut bergerak melalui serat- serat dari kertas oleh gaya kapiler dan

menggerakkan komponen- komponen dari campuran cuplikan pada perbedaan jarak

dalam arah aliran pelarut. Bila permukaan pelarut telah bergerak sampai jarak yang

cukup jauhnya atau setelah waktu yang ditentukan; maka kertas diambil dari bejana

dan kedudukan dari permukaan pelarut diberi tanda dan lembaran kertas dibiarkan

kering. Jika senyawa- senyawa berwarna maka mereka akan terlihat sebagai pita- pita

atau noda- noda yang terpisah. Jika senyawa tidak berwarna mereka maka mereka

harus dideteksi dengan cara menggunakan pereaksi- pereaksi yang memberikan warna

terhadap senyawa yang dipisahkan (Sastrohamidjojo, 1985).

2.3.2.2. Kromatografi Lapisan Tipis

Kromatografi Lapisan Tipis (KLT) dapat dipakai dengan dua tujuan. Yang pertama,

dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif dan

preparatif. Kedua dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang

akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi.

Pada hakikatnya Kromatografi Lapisan Tipis melibatkan dua peubah: sifat fasa

(30)

diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penyerap

(kromatografi cair-padat) atau berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair

(kromatografi cair- cair). Fasa diam pada KLT sering disebut penyerap, walaupun

sering berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair di dalam sistem

kromatografi cair- cair. Hampir segala macam serbuk dapat dipakai sebagai penyerap

pada KLT, yaitu: silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur (tanah

diatome), dan selulosa. Fasa gerak dapat berupa hampir segala macam pelarut atau

campuran pelarut (Gritter, 1991).

2.3.2.3. Kromatografi Kolom

Kromatografi cair yang dilakukan dalam kolom besar merupakan metode

kromatografi terbaik untuk pemisahan dalam jumlah besar (lebih dari 1 g). Pada

kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa pita pada

bagian atas kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca, tabung logam, atau

bahkan tabung plastik. Pelarut atau fasa gerak dibiarkan mengalir melalui kolom

karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong dengan tekanan. Pita

senyawa linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah, dan

dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari atas kolom.

Ada empat perubahan utama yang dilakukan pada cara kolom klasik. Pertama

dipakai penyerap yang lebih halus dengan kisaran ukuran mesh lebih sempit, agar

tercipta kesetimbangan yang lebih baik di dalam sistem. Kedua sistem tekanan

biasanya pompa mekanis, dipakai untuk mendorong pelarut melalui penyerap yang

halus. Ini perlu karena ukuran partikel kecil, tetapi pompa itu juga menyebabkan

kromatografi lebih cepat, jadi memperkecil difusi. Ketiga detektor telah

dikembangkan sehingga diperoleh analisis senyawa yang bersinambungan ketika

senyawa itu keluar dari kolom. Data analisi ini dapat dipakai untuk membagi- bagi

fraksi ketika keluar, dan jika diperlakukan dengan tepat, dapat memberikan data

kuantitatif mengenai banyaknya senyawa yang ada. Akhirnya penyerap baru dan cara

pengemasan kolom baru dikembangkan sehingga memungkinkan derajat daya pisah

(31)

Ukuran keseluruhan kolom sungguh beragam, tetapi biasanya panjangnya

sekurang- kurangnya sepuluh kali garis tengah dalamnya dan mungkin saja sampai

100 kalinya. Nisbah panjang terhadap lebar sebagian besar ditentukan oleh mudah

atau sukarnya pemisahan, nisbah lebih besar untuk pemisahan yang lebih sukar.

Ukuran kolom dan banyaknya penyerap yang dipakai ditentukan oleh bobot campuran

linarut yang akan dipindahkan (Gritter, 1991).

2.4. Teknik Spektroskopi

Spektroskopi adalah studi mengenai interaksi cahaya dengan atom dan molekul.

Radiasi cahaya atau elektromagnet dapat menyerupai gelombang. Beberapa sifat fisika

cahaya paling baik diterangkan dengan ciri gelombangnya, sedangkan sifat lain

diterangkan dengan sifat partikel (Creswell, 1982).

Teknik spektroskopi adalah salah satu teknik analisis kimia-fisika yang

mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik. Ada

dua macam instrumen pada teknik spektroskopi yaitu spektrometer dan

spektrofotometer. Instrumen yang memakai monokromator celah tetap pada bidang

fokus disebut sebagai spektrometer. Apabila spektrometer tersebut dilengkapi dengan

detektor yang bersifat fotoelektrik maka disebut spektrofotometer (Muldja, 1955).

Informasi Spektroskopi Inframerah menunjukkan tipe-tipe dari adanya gugus

fungsi dalam satu molekul, Resonansi Magnet Inti yang memberikan informasi

tentang bilangan dari setiap tipe dari atom hidrogen. Ini juga memberikan informasi

yang menyatakan tentang alam serta lingkungan dari setiap tipe dari atom hidrogen.

Kombinasinya dan data yang ada kadang-kadang menentukan struktur yang lengkap

dari molekul yang tidak diketahui (Pavia, 1979).

(32)

2.4.1. Spektrofotometri Inframerah ( Fourier Transform - Infra Red )

Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi getaran

yang berlainan. Pancaran inframerah yang kerapannya kurang dari 100 cm -1 (panjang

gelombang lebih daripada 100 µm) diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah

menjadi putaran energi molekul.

Penyerapan ini tercantum, namun spektrum getaran terlihat bukan sebagai

garis – garis melainkan berupa pita – pita. Hal ini disebabkan perubahan energi

getaran tunggal selalu disertai sejumlah perubahan energi putaran

Beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menafsirkan sebuah

spektrum infra merah :

a. Spektrum haruslah cukup terpisah dan mempunyai kuat puncak yang

memadai.

b. Spektrum harus dibuat dari senyawa yang cukup rumit.

c. Spektrofotometer harus dikalibrasi sebagai pita akan teramati pada kerapatan

atau panjang gelombang yang semestinya. Kalibrasi yang benar dapat

dilakukan dengan baku-baku yang dapat dipercaya, misalnya polistiren.

d. Metode penangannan cuplikan ( Silverstein, 1984 ).

Vibrasi molekul dapat dibagi dalam dua golongan yaitu vibrasi regang (stretching)

dan vibrasi lentur (bending vibrations).

1. Vibrasi Regang

Terjadi perubahan jarak antara dua atom dalam suatu molekul secara

terus-menerus. Vibrasi regang ada dua macam, yakni vibrasi regang simetris dan tak

simetris.

2. Vibrasi Lentur

Terjadi perubahan sudut antara dua ikatan kimia. Ada dua macam vibrasi

lentur yaitu vibrasi lentur dalam bidang (scissoring dan rocking) dan vibrasi

(33)

Hanya getaran yang menghasilkan perubahan momen dwikutub secara

berirama saja yang teramati di dalam infra-merah. Medan listrik yang berganti-ganti,

yang dihasilkan oleh perubahan penyebaran muatan yang menyertai getaran

menjodohkan getaran molekul dengan medan listrik pancaran elektromagnet yang

berayun (Silverstain, 1986).

2.4.2. Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton ( 1H-NMR )

Spektrometri Resonansi Magnetik Inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR)

merupakan alat yang berguna pada penentuan struktur molekul organik. Teknik ini

memberikan informasi mengenai berbagai jenis atom hidrogen dalam molekul.

Struktur NMR memberikan informasi mengenai lingkungan kimia atom hidrogen,

jumlah atom hidrogen dalam setiap lingkungan dan struktur gugusan yang berdekatan

dengan setiap atom hidrogen ( Cresswell, 1982 ).

Pergeseran kimia adalah pengukuran medan dalam keadaan bebas. Semua

proton-proton dalam satu molekul yang ada dalam lingkungan kimia yang serupa

kadang-kadang menunjukkan pergeseran kimia yang sama. Setiap senyawa

memberikan penaikan menjadi puncak absorpsi tunggal dalam spektrum NMR

( Bernasconi, 1995 ).

Spektrum NMR dari amina sangat beragam, sama seperti NMR yang

ditunjukkan pada alkohol. Serapan N-H dari sebuah amina alifatik berada pada δ 0,5

sampai 3 ppm, sedangkan serapan amina aromatik berada pada δ 3,0 sampai 5,0 ppm. Sebagai hasil dari adanya ikatan hidrogen pada amina sekunder ataupun amina primer

maka pergeseran kimia dari proton N-H bervariasi, dimana pergeseran kimia ini

tergantung pada pelarut, konsentrasi dan temperaturnya. Hal ini hampir serupa dengan

alkohol. Sama juga dengan alkohol, amina juga mungkin dapat dibedakan proton dari

N-H dengan menggunakan deuterium yaitu D2O. Serapan proton dari N-H juga dapat

dengan mudah diketahui dengan mencocokkan dengan pertukaran isotopnya dengan

kontaminan yang mendekati peak dari HOD dengan pertukarannya menggunakan air

(34)

Beberapa keuntungan dari pemakaian standar internal TMS yaitu :

1. TMS mempunyai 12 proton yang setara sehingga akan memberikan

spektrum puncak tunggal yang kuat.

CH3

H3C Si CH3

CH3

2. TMS merupakan cairan yang mudah menguap, dapat ditambahkan ke

dalam larutan sampel dalam pelarut CDCl3 atau CCl4.

Boleh dikatakan semua senyawa organik memberikan resonansi bawah medan

terhadap TMS. Hal ini disebabkan Si lebih bersifat elektropositif dibandingkan atom

C. TMS sendiri dari segi kimia bersifat lembam, tidak bercampur dengan H2O ataupun

air berat (Muldja, 1955).

Pergeseran Kimia

Spektroskopi NMR dalam kimia tidak didasarkan pada kemampuannya untuk

membeda-bedakan unsur dalam suatu senyawa, tetapi didasarkan pada

kemampuannya untuk mengetahui inti tertentu dengan memperhatikan lingkungannya

dalam molekul. Frekuensi resonansi individu inti dipengaruhi oleh distribusi elektron

pada ikatan kimia dalam molekul, dengan demikian harga frekuensi resonansi suatu

inti tertentu tergantung pada struktur molekul.

Untuk memberikan gambaran NMR sebagai gambaran inti adalah proton.

Sebagai benzil asetat akan menghasilkan tiga sinyal NMR yang berbeda yaitu

masing-masing utnuk satu proton fenil, metilen, dan gugus metil. Hal ini dihasilkan oleh

pengaruh lingkungan kimia yang berbeda pada suatu proton tersebut dalam molekul,

keadaan ini dikenal dengan pergeseran kimia frekuensi resonansi atau lebih sederhana

(35)

Tetrametil silan (TMS) merupakan senyawa yang memenuhi persyaratan yang

dimaksud. Sinyal TMS sangat jelas dan pergeseran kimianya berbeda terhadap

kebanyakan resonansi proton lain. Sehingga sinyal resonansi cuplikan jarang teramati

saling tindih dengan TMS. Senyawa TMS memiliki sifat inert, mudah menguap,

merupakan pelarut yang baik untuk senyawa organik sehingga mudah dipisahkan

setelah cuplikan selesai dibuat spektrum. Jadi skala δ resonansi magnetik proton

(36)

BAB 3

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Alat-alat

1. Neraca analitis Mettler PM 480

2. Rotary evaporator Buchi B-480

3. Gelas Beaker Pyrex

4. Gelas Ukur Pyrex

5. Corong pisah Duran

6. Gelas erlenmeyer Pyrex

7. Tabung reaksi Pyrex

8. Kolom kromatografi Pyrex 20/40

9. Batang Pengaduk

22.Spektrometer IR Jasco FT-IR-5300

(37)

3.2. Bahan

1. Daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.)

2. Aquadest

Sampel yang diteliti adalah daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.) yang

diambil dari daerah Dolog Masihul, kabupaten Serdang Bedagai, propinsi Sumatera

Utara dan kemudian dibuat dalam bentuk serbuk halus sebanyak 1000 g.

3.3.2. Uji Skrining Fitokimia

Untuk mengetahui adanya senyawa alkaloida di dalam daun tumbuhan sidaguri, maka

dilakukan uji pendahuluan secara kualitatif dengan pereaksi warna.

(38)

Serbuk kering daun tumbuhan sidaguri ditimbang sebanyak 5 g, dimaserasi

dengan metanol sebanyak 20 ml selama 2 jam, disaring dan filtrat yang diperoleh

dibagi kedalam 4 tabung reaksi.

Tabung I : dengan pereaksi Maeyer menghasilkan endapan

berwarna putih kekuningan.

Tabung II : dengan pereaksi Wagner menghasilkan endapan berwarna

coklat.

Tabung III : dengan pereaksi Bouchardat menghasilkan endapan

berwarna coklat.

Tabung IV : dengan pereaksi Dragendorff menghasilkan endapan

berwarna jingga.

3.3.3. Pengadaan Ekstrak Dietileter Daun Tumbuhan Sidaguri

Serbuk daun tumbuhan sidaguri yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 1000 gr

kemudian dimaserasi dengan metanol sebanyak 5 liter selama ± 72 jam, kemudian

disaring dan dipekatkan dengan menggunakan alat rotarievaporator sehingga

terbentuk ekstrak pekat metanol. Ekstrak pekat metanol tersebut dipartisi

berulang-ulang dengan menggunakan n-heksana sebanyak lima kali. Lapisan metanol diambil

kemudian diasamkan dengan menggunakan HCl 2M hingga mencapai pH=2.

Kemudian didiamkan selama satu malam lalu dicuci dengan dietileter sebanyak tiga

kali, dibasakan dengan menggunakan NH4OH pekat sampai pH 9-10 lalu didiamkan

kembali selama satu malam, kemudian diekstraksi dengan menggunakan dietileter

sebanyak tiga kali. Lapisan dietileter ditampung lalu diuapkan sehingga diperoleh

ekstrak pekat dietileter.

3.3.4. Analisis Kromatografi Lapis Tipis

Analisis kromatografi Lapis Tipis dilakukan terhadap ekstrak pekat dietileter dengan

menggunakan fasa diam silika gel 60 GF254. Analisa ini dimaksudkan untuk mencari

(39)

adalah kloroform dan metanol dengan variasi pelarut kloroform : metanol (90 : 10, 80

: 20, 70 : 30, 60 : 40, 50 : 50, 40 : 60, 30 : 70, 20 : 80, 10 : 90) v/v. Sehingga akan

diperoleh perbandingan pelarut kloroform : metanol yang sesuai untuk kromatografi

kolom.

Pelarut yang sesuai didasarkan pada jumlah bercak atau noda yang paling

banyak dan pemisahannya baik.

Prosedur :

Dimasukkan 10 mL larutan fase gerak klorofom 100% ke dalam bejana

kromatografi. Ekstrak encer dietileter ditotolkan pada plat KLT yang diaktifkan. Plat

dimasukkan ke dalam bejana yang berisi pelarut yang dijenuhkan, kemudian ditutup.

Setelah dielusi, plat dikeluarkan dari bejana, dikeringkan. Noda yang terbentuk

diamati dengan sinar Ultra Violet, kemudian harga Rf dihitung dan dicatat.

Perlakuan yang sama dilakukan untuk campuran pelarut antara kloroform :

metanol. Sehingga dari hasil KLT akan diperoleh pelarut kloroform : metanol dengan

variasi pelarut (90 : 10, 80 : 20, 70 : 30, 60 : 40, 50 : 50, 40 : 60, 30 : 70, 20 : 80, 10 :

90 v/v) yang memberikan pemisahan bercak / noda yang baik adalah kloroform :

metanol (70 : 30 v/v) yang memberikan noda dengan harga Rf yaitu 0,29 dan 0,92.

3.3.5. Isolasi Senyawa Alkaloida dengan Kromatografi Kolom

Isolasi senyawa alkaloida dari ekstrak pekat dietileter daun tumbuhan sidaguri (Sida

rhombifolia L.) dilakukan dengan menggunakan kromatografi kolom. Sebagai fase

diam yaitu Silika Gel 60 G ( E. Merck. Art.7734) dan fasa gerak kloroform : metanol

(70 : 30 v/v).

Prosedur:

Dirangkai peralatan untuk kromatografi kolom, kemudian Silika Gel 60 G (E.

Merck. Art. 7734) sebanyak 120 g dibuburkan dengan kloroform, diaduk sampai

homogen dan dimasukkan kedalam kolom kromatografi. Lalu dielusi dengan

(40)

pekat dietileter daun tumbuhan sidaguri yang telah dibuburkan dengan silika gel ke

dalam kolom kromatografi yang telah berisi bubur silika gel. Sampel dibiarkan turun

dan terserap dengan baik pada silika gel. Kemudian fasa gerak kloroform : metanol

(70 : 30 v/v) ditambahkan secara perlahan-lahan ke dalam kolom, diatur sehingga

aliran fraksi keluar dari kolom kromatografi bergerak secara kontiniu dan ditampung

tiap fraksi dalam botol vial masing-masing sebanyak 8 ml. Tiap-tiap fraksi di-KLT

lalu digabung fraksi dengan Rf yang sama, pelarutnya diuapkan hingga diperoleh

pasta (Gritter, 1991).

3.3.6. Analisis Pasta Hasil Isolasi

3.3.6.1. Uji kemurnian Hasil Isolasi dengan Kromatografi Lapis Tipis

Uji kemurnian pasta dilakukan dengan menggunakan kromatografi Lapis Tipis yang

menggunakan fase diam silika gel 60 GF254 ( E. Merck. Art 10180) dan fase gerak

kloroform : metanol (70 : 30 v/v)

Prosedur :

Dimasukkan larutan fase gerak kloroform : metanol (70:30 v/v) ke dalam

bejana kromatografi kemudian dijenuhkan. Pasta yang diperoleh dilarutkan dengan

kloroform, lalu ditotolkan pada plat KLT. Plat yang telah ditotolkan sampel

dimasukkan kedalam bejana kromatografi dan dibiarkan hingga pelarut naik sampai

batas atas yang telah ditentukan. Plat dikeluarkan dari bejana kromatografi,

dikeringkan dan noda yang terlihat di lampu UV berwarna coklat dan kemudian

difiksasi dengan pereaksi dragendorff menghasilkan noda berwarna jingga yang

menunjukkan bahwa pasta tersebut adalah positif senyawa alkaloida. Perlakuan yang

dilakukan untuk campuran pelarut kloroform : metanol (70 : 30 v/v), dimana

(41)

3.3.6.2. Uji Reaksi Warna terhadap Pasta Hasil Isolasi dengan Pereaksi Alkaloid

Pasta hasil isolasi dilarutkan dalam kloroform, kemudian dibagi 4 :

1. Larutan pertama ditetesi dengan pereaksi Maeyer memberikan endapan

berwarna putih kekuningan

2. Larutan kedua ditetesi dengan pereaksi Wagner memberikan endapan berwarna

coklat.

3. Larutan ketiga ditetesi dengan pereaksi Bouchardat memberikan endapan

berwarna coklat.

4. Larutan keempat ditetesi dengan pereaksi Dragendorff memberikan endapan

berwarna jingga.

3.3.7. Analisis Spektroskopi Pasta Hasil Isolasi

3.3.7.1. Uji Pasta Hasil Isolasi dengan Spektrofotometer Inframerah

Analisis dengan alat Spektrofotometer FT-IR diperoleh dari Laboratorium Dasar

Bersama FMIPA UNAIR ( Lampiran E).

3.3.7.2. Uji Pasta Hasil Isolasi dengan Spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti Proton 1H-NMR

Analisis dengan alat Spektrofotometer 1H-NMR diperoleh dari Laboratorium Kimia

Dasar FMIPA UNAIR Surabaya dengan menggunakan CDCl3 sebagai pelarut

(42)

3.3 Bagan Penelitian

Lapisan metanol Lapisan n-heksana

Ekstrak metanol- asam pH=2

Ekstrak basa pH = 9-10

Ekstrak basa pH = 9-10 Lapisan dietileter

Ekstrak pekat dietileter

Fraksi 1-10 Fraksi 11-30 Fraksi 31-44 Fraksi 45-75 Fraksi 76-117

Pasta kuning kecoklatan

Pasta kuning kecoklatan

Pasta kuning kecoklatan

(43)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Hasil skrining fitokimia terhadap ekstrak daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia

L.) dengan menggunakan pereaksi-pereaksi warna untuk senyawa alkaloida

menunjukkan bahwa di dalam daun tumbuhan sidaguri mengandung senyawa

alkaloida.

Dari hasil analisis kromatografi lapis tipis dengan menggunakan adsorben

silika gel 60 GF254 dapat diketahui bahwa pelarut yang baik untuk mengisolasi

senyawa alkaloida dari daun tumbuhan sidaguri adalah pada perbandingan pelarut

klorofom : metanol (70 : 30 v/v).

Dari hasil isolasi daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.) diperoleh

pasta kuning kecoklatan sebanyak 0,59 g.

Hasil analisis Spektrofotometri Infra merah (FT-IR) pasta hasil isolasi

menghasilkan pita-pita serapan pada daerah bilangan gelombang (cm-1) sebagai

berikut :

1. Pada bilangan gelombang 3395,10 cm-1

2. Pada bilangan gelombang 2933,19 cm-1

3. Pada bilangan gelombang 1628,21 cm-1

4. Pada bilangan gelombang 1508,27 cm-1

5. Pada bilangan gelombang 1491,27 cm-1

6. Pada bilangan gelombang 1448,25 cm-1

7. Pada bilangan gelombang 1424,24 cm-1

8. Pada bilangan gelombang 1364,26 cm-1

(44)

Hasil analisis Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)

memberikan pergeseran kimia pada daerah (ppm) sebagai berikut :

1. Pergeseran kimia pada daerah δ=1,25 ppm terdapat puncak singlet

2. Pergeseran kimia pada daerah δ=1,38-2,35 ppm terdapat puncak multiplet

3. Pergeseran kimia pada daerah δ= 3,88 ppm terdapat puncak singlet

4. Pergeseran kimia pada daerah δ=6,47-6,50 ppm terdapat satu puncak melebar

5. Pergeseran kimia pada daerah δ=6,80-6,92 ppm terdapat puncak doublet

6. Pergeseran kimia pada daerah δ=6,92-7,01 ppm terdapat puncak doublet

7. Pergeseran kimia pada daerah δ=7,40-7,49 ppm terdapat puncak doublet

4.2.Pembahasan

Daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.) dinyatakan mengandung senyawa

alkaloida berdasarkan hasil skrining fitokimia yang dilakukan dengan menggunakan

pereaksi-pereaksi alkaloida menghasilkan perubahan warna sebagai berikut :

1. Pereaksi Maeyer menghasilkan endapan berwarna putih kekuningan.

2. Pereaksi Wagner menghasilkan endapan berwarna coklat.

3. Pereaksi Bouchardat menghasilkan endapan berwarna coklat.

4. Pereaksi Dragendorff menghasilkan endapan berwarna jingga,

yang menunjukkan bahwa pasta tersebut adalah positif senyawa alkaloida.

Dari hasil kromatografi lapis tipis, diketahui bahwa perbandingan pelarut yang

baik untuk mengisolasi senyawa alkaloida dari daun tumbuhan sidaguri (Sida

rhombifolia L.) adalah kloroform : metanol (70 : 30 v/v). Hal ini disebabkan karena

pada perbandingan pelarut tersebut noda yang ditimbulkan pemisahannya sangat

(45)

Dari hasil interpretasi Spektrum Infra Merah diperoleh pita serapan sebagai

berikut :

1. Pada bilangan gelombang 3395,10 cm-1 menunjukkan adanya adanya vibrasi

ulur (stretching)N-H yang kemungkinan atom N ini dari cincin heterosiklik

piperidin

N

H

(Parikh, 1976).

2. Pada bilangan gelombang 2933,19 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur

(streching) C-H.

3. Pada bilangan gelombang 1628,21 dan1491,27 cm-1 menunjukkan adanya

gugus C=C aromatik.Ini membuktikan adanya gugus aromatik dari senyawa

alkaloida hasil isolasi.

4. Pada bilangan gelombang 1508,27 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi regang

(bending) N-H.

5. Pada bilangan gelombang 1448,25 menunjukkan adanya vibrasi regang

(bending) CH2 .

CH2 ini pembentuk cincin siklik dari siklik amin piperidin.

6. Pada bilangan gelombang 1424,24 menunjukkan adanya vibrasi regang

(bending) CH3. CH3 ini belum dapat dipastikan apakah masuk ke dalam

kerangka senyawa alkaloida hasil isolasi.

7. Pada bilangan gelombang 1364,26 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi regang

(bending) –CH.

8. Pada bilangan gelombang 1254,25 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-N.

Hal ini didukung oleh Spektrum Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR) :

1. Pergeseran kimia pada daerah 1,25 ppm terdapat puncak singlet intensitas

tinggi dari proton CH3, dimana CH3 ini belum dapat dipastikan jumlahnya

(46)

2. Pergeseran kimia pada daerah 1,38- 2,35 ppm terdapat puncak multiplet dari

proton CH, CH2 .Ini kemungkinan CH, CH2 yang membentuk cincin alifatis

dari piperidin.

3. Pergeseran kimia pada daerah 3,88 ppm terdapat puncak singlet yang diduga

dari proton O-CH3,yang letaknya belum dapat dipastikan (Jacobs, 1974).

4. Pergeseran kimia pada daerah 6,47- 6,50 ppm terdapat satu puncak melebar

yang diduga gugus NH pada inti piperidin (peak melebar)

N

H

(Sastrohamidjojo, 1994).

5. Pergeseran kimia pada daerah 6,80 - 6,92 ppm terdapat puncak doublet, pada

daerah 6,92 - 7,01 ppm terdapat puncak doublet dan pada daerah 7,40 - 7,49

terdapat puncak doublet,yang merupakan penjodohan proton yang terdapat

pada cincin aromatis yang terikat pada cincin heterosiklik yang mengandung

atom H (Chamberlain, 1974).

Dari daerah aromatis 6,5-8 ppm muncul peak yang menggambarkan

penjodohan dari proton yang terdapat di aromatik yang terikat pada piperidin (amin

siklik), tetapi dalam hal ini kami tidak dapat memastikan jumlah cincin aromatisnya.

Dari hasil pembahasan di atas, melalui uji skrining fitokimia dengan pereaksi

warna terhadap pasta hasil isolasi yang bemberikan hasil positif dan dengan kehadiran

atom N pada senyawa tersebut yang diinterpretasikan oleh data spektrum FT-IR

dan 1H-NMR menunjukkan bahwa pasta senyawa hasil isolasi adalah suatu senyawa

(47)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Hasil uji skrining fitokimia alkaloida menunjukkan bahwa daun tumbuhan

sidaguri (Sida rhombifolia L.) mengandung senyawa alkaloida.

2. Hasil isolasi yang diperoleh dari 1000 g daun tumbuhan sidaguri (Sida

rhombifolia L.) merupakan pasta kuning kecoklatan sebanyak 0,59 g.

3. Hasil identifikasi infra merah (FT-IR) pasta hasil isolasi dari daun tumbuhan

sidaguri (Sida rhombifolia L.) menunjukkan adanya gugus NH yang diduga

terdapat pada inti piperidin, gugus C=C yang membuktikan adanya gugus

aromatik, gugus CH2 yang kemungkinan pembentuk cincin siklik amin

piperidin dan gugus CH3 yang belum dapat dipastikan apakah masuk ke dalam

kerangka senyawa alkaloida hasil isolasi. Hal ini didukung oleh hasil

identifikasi Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)) dimana

terdapat satu puncak melebar yang diduga gugus NH, terdapat puncak

multiplet dari proton CH,CH2 yang kemungkinan pembentuk inti piperidin,

puncak singlet dari proton CH3 dan puncak doublet yang merupakan

penjodohan proton pada cincin aromatis yang terikat pada cincin heterosiklik

(Chamberlain, 1974).

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penentuan jumlah atom karbon dengan menggunakan

13

C-NMR, dan menentukan massa dengan MS untuk menentukan struktur

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Alan, S. W. 1981. Organic Chemistry. New York : Harper & Row Publisher.

Arief, H., 2004. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya (seri agri sehat). Seri pertama

Jakarta : Penerbit Penebar Swadaya

Bernasconi, G. 1995. Teknologi Kimia. Jilid 2. Edisi pertama. Jakarta: PT. Pradaya

Paramita.

Chamberlain, N. F. 1974. The Practise of NMR Spectroscopy With Spectra-Structure

Correlation for Hidrogen-I. New York and London : Plenum Press.

Cresswell, C. J dan Runquist dan Campbell. 1982. Analisis Spektrum Senyawa

Organik. Edisi kedua. Bandung : Penerbit ITB.

Dalimarta, S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid ke-2 . Cetakan ke-1.

Jakarta : Penerbit Surabaya.

Finar, L.I. 1983. Organic Chemistry, Stereochemistry and the Chemistry Of Natural

Products. Fourth Edition. Vol 2. Longmans, Green & Co Ltd.

Gritter, R. J. 1991. Pengantar Kromatografi. Bandung : Penerbit ITB.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa

Tumbuhan. Terbitan Kedua. Terjemahan Kokasih Padmawinata dan Iwang

Soediro. Bandung : Penerbit ITB.

Hendrickson, J. N. 1965. The Molecular Of Nature . New York. W.A.

Benjamin, Inc.

Jacobs, T. L. 1974. Laboratory Practice or Organic Chemistry. Fifth Edition. New

(49)

Manito, P. 1992. Biosintesis Produk Alami . Semarang. Cetakan Pertama IKIP.

Muldja, M. H. 1955. Analisis Instrumental. Surabaya : Airlangga Universitas Press.

Nakanishi, K. 1974. Natural Products Chemistry 2. New York : Kondansha Ltd.

Noerdin, 1985. Elusidasi Struktur Senyawa Organik. Bandung : Penerbit Angkasa.

Parikh, V. M. 1976. Absorption Spectra of Organik Molecules Addison. New York :

Weseley Publishing, Co, Inc, Reading, Mass.

Pavia, L. D. 1979. Introduction to Spectroscopy A Guide for Students of Organic

Chemistry. Philladelphia : Saunders College.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi keenam, Bandung :

Penerbit ITB.

Sastrohamidjojo, H. 1985. Kromatografi. Edisi I. Cetakan I. Yogyakarta : Liberty.

Sastrohamidjojo, H. 1994. Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti. Yogyakarta :

Liberty Yogyakarta.

Sastrohamidjojo. 1996. Sintesis Bahan Alam. Cetakan Pertama, Yogyakarta : Gadjah

Mada University Press.

Silverstein, R. M. 1984. Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik. Terjemahan A.

J. Hatomo dan Anny Viktor Purba. Edisi keempat.

Jakarta : Penerbit Erlangga.

(50)

Tobing, L. R. 1989. Kimia Bahan Alam. Jakarta : Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Proyek Pembangunan

Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Torsell, K. B. G. 1983. Natural Products Chemistry, A Mechanistic and Biosynthetic

Approach to Secondary Metabolism. New York : John Wiley And Sons

(51)

(52)
(53)
(54)

Lampiran C. Kromatogram Lapisan Tipis Ekstrak Dietileter Daun Tumbuhan Sidaguri

I II III IV V VI VII VIII IX

E E E E E E E E E

Keterangan :

Fasa diam : Kieselgel 60 GF254 (E. Merck. Art 10180)

E : Ekstrak kloroform dari daun tumbuhan sidaguri

I : Fase gerak kloroform : metanol (90:10 v/v)

II : Fase gerak kloroform : metanol (80:20 v/v)

III : Fase gerak kloroform : metanol (70:30 v/v)

IV : Fase gerak kloroform : metanol (60:40 v/v)

V : Fase gerak kloroform : metanol (50:50 v/v)

VI : Fase gerak kloroform : metanol (40:60 v/v)

VII : Fase gerak kloroform : metanol (30:70 v/v)

VIII : Fase gerak kloroform : metanol (20:80 v/v)

(55)

Lampiran D. Kromatogram Lapisan Tipis Senyawa Hasil Isolasi Melalui Penampakan

Noda Dengan Sinar Ultraviolet

Fasa gerak Warna noda Harga Rf

I coklat 0,92

Keterangan :

Fasa diam : Kieselgel 60 GF254 (E. Merck. Art 10180)

(56)
(57)
(58)

Referensi

Dokumen terkait

Isolasi senyawa flavonoida yang terkandung di dalam daun tumbuhan balik angin (Macaranga recurvata Gage.) dilakukan dengan cara ekstraksi maserasi dengan menggunakan

Isolasi senyawa flavonoida yang terkandung di dalam 1700 gram kulit batang tumbuhan Sirsak (Annona muricata L.) dilakukan dengan cara maserasi dengan menggunakan pelarut metanol,

Isolasi senyawa flavonoida yang terkandung di dalam daun tumbuhan sambang darah (Excoecaria cochinchinensis Lour.) dilakukan dengan ekstraksi maserasi menggunakan pelarut

Isolasi senyawa flavonoida yang terkandung di dalam daun tumbuhan sambang darah (Excoecaria cochinchinensis Lour.) dilakukan dengan ekstraksi maserasi menggunakan pelarut

Isolasi senyawa flavonoida dari 1080 gram daun tumbuhan Mawar Putih (Rosa alba L.) telah dilakukan melalui tahap awal ekstraksi maserasi dengan pelarut metanol.. Fraksi

ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI DAUN TUMBUHAN SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm.f.)

Isolasi senyawa flavonoida yang terkandung di dalam daun tumbuhan jambu monyet (Anacardium occidentale L.) dilakukan dengan ekstraksi maserasi dengan metanol.. Fraksi

Sidaguri (Sida rhombifolia L) dapat menurunkan kadar asam urat karena mengandung flavonoid rhombifolin yang terkandung dari ekstrak daun sidaguri (Sida rhombifolia