• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan pengendalian lingkungan di kawasan perdagangan bebas Batam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan pengendalian lingkungan di kawasan perdagangan bebas Batam"

Copied!
230
0
0

Teks penuh

(1)

i

KEBIJAKAN PENGENDALIAN LINGKUNGAN

DI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS BATAM

WALTER GULTOM P 062059444

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul Kebijakan Pengendalian Lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Januari 2011

(3)

iii

ABSTRACT

WALTER GULTOM. 2011. Environmental Control Policy at Batam Free Trade Zone. Under supervision of SANTUN RP SITORUS, ETTY RIANI, and BAMBANG PRABOWO SOEDARSO. Free trade, economics growth, and environment are chains of international free trade activity which is each other interconnected. Batam Region is one of free trade area (FTZ) which acted by the Government Regulation Number 46 year 2007. Openess policy in FTZ Batam is estimated having environmental impact for Batam region, so that environmental controlling policy must be studied .This research aims to: (1) Assess level of sustainability of FTZ Batam; (2) Analyses policy effectivity and law and regulation in FTZ Batam development; (3) Analyses role of stakeholders in environmental management at FTZ Batam; and (4) To determine policy alternative of environmental management at FTZ Batam. The results of research showed that the sustainability status of FTZ Batam is categorized bad, so that need improvements to the attributes that affect the sustainability of the region. Implementation of environmental control policies in the FTZ Batam had not been effective because of the constraints in the implementation of rules, inadequate regulatory supervision, law enforcement is still weak, lack of environmental awareness, and limited human resources in controlling environmental pollution. Understanding and interaction between stakeholders on the importance of environmental control is good enough, so that the process of policy formulation and implementation of environmental control in the FTZ Batam can be done quite well.

(4)

iv

RINGKASAN

WALTER GULTOM. 2011. Kebijakan Pengendalian Lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam. Dibimbing oleh: SANTUN RP SITORUS, ETTY RIANI, dan BAMBANG PRABOWO SOEDARSO.

Perkembangan kegiatan ekonomi dunia di era globalisasi ekonomi menuntut dikuranginya hambatan perdagangan (trade barriers). Hambatan perdagangan seperti tarif, pajak dan kuota barang dikurangi atau dihilangkan di kawasan perdagangan bebas (KPB) untuk menarik investasi domestik dan asing. Akibat aktifitas perdagangan bebas tersebut menimbulkan eksternalitas terhadap lingkungan, karena lingkungan berperan sebagai barang konsumsi, penyedia sumberdaya alam, dan tempat menampung limbah. Dalam hal ini kegiatan perdagangan bebas tidak terlepas dari permasalahan lingkungan.

Batam merupakan salah satu KPB yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Batam yang secara de facto telah lama menjadi kawasan perdagangan bebas merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang pesat di Indonesia dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7,5% per tahun. Pertumbuhan ekonomi di awal industrialisasi selain meningkatkan pendapatan juga menurunkan kualitas lingkungan. Indikator kualitas lingkungan di Batam selama ini mengindikasikan adanya permasalahan lingkungan (environmental problems) yang terjadi di dalam dan sekitar KPB Batam. Upaya merumuskan kebijakan pengendalian lingkungan untuk mengoptimalkan kegiatan perekonomian di KPB Batam yang bersinergis dengan perlindungan lingkungan dan ekosistemnya diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui tingkat keberlanjutan kawasan KPB Batam saat ini, (2) Mengetahui efektifitas kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam pengembangan KPB Batam dalam kaitannya dengan pengendalian lingkungan di kawasan tersebut, (3) Mengetahui peranan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pelaksanaan sistem pengendalian lingkungan di KPB Batam dan (4) Menyusun arahan kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dengan pengembangan KPB Batam. Metode yang digunakan adalah metode pendekatan kritis (critical approach), analisis stakeholders dengan pendekatan 4Rs, metode AHP untuk menganalisis alternatif kebijakan pengendalian lingkungan di KB Batam, dan metode rapfish yang dimodifikasi untuk menganalisis status keberlanjutan kawasan perdagangan bebas Batam ( Rap-KAPERBA, Rapid Appraisal Kawasan Perdagangan Bebas Batam).

(5)
(6)

vi

@Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi undang-undang

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber:

a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

vii

KEBIJAKAN PENGENDALIAN LINGKUNGAN

DI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS BATAM

WALTER GULTOM P 062059444

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

viii Penguji luar komisi pada:

Ujian Tertutup

Tanggal : 18 Nopember 2010

1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.

Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).

2. Dr. Ir. Machfud , MS.

Staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB)

Ujian Terbuka

Tanggal : 27 Januari 2011

1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS.

Staf pengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB).

2. Dr. Ir. Ning Purnomohadi, M.Si.

(9)

ix Judul Disertasi : Kebijakan Pengendalian Lingkungan di Kawasan

Perdagangan Bebas Batam Nama Mahasiswa : Walter Gultom

Nomor Pokok : P 062059444

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof.Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua

Dr. Ir. Etty Riani, MS. Dr. Bambang Prabowo Soedarso,SH., MES.

Plh.Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan

Anggota Anggota

Diketahui :

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. drh. Hasim, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(10)
(11)

i

Prakata

Perkembangan kegiatan ekonomi dunia yang mengarah pada globalisasi ekonomi menuntut dikuranginya hambatan di bidang perdagangan. Pengurangan hambatan tersebut juga merupakan kondisi yang memberikan peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan ekspor dan investasi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, di antaranya dengan adanya kebijakan pengembangan ekonomi wilayah tertentu untuk menarik potensi pasar internasional dan mendorong peningkatan daya tarik pertumbuhan suatu kawasan atau wilayah ekonomi khusus yang bersifat strategis. Kawasan ekonomi khusus tersebut berupa kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free port) yang dimaksudkan untuk mendatangkan devisa bagi negara, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kepariwisataan, serta meningkatkan penanaman modal asing dan dalam negeri. Adanya kawasan perdagangan bebas (KPB) atau Free Trade

Zone (FTZ) tersebut diharapkan akan mendorong kegiatan perdagangan

internasional yang mendatangkan devisa bagi negara yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Wilayah Batam merupakan salah satu dari KPB yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Tujuan penelitian ini adalah: (a) menganalisis keterkaitan antara ancaman degradasi lingkungan dengan keberlanjutan investasi di KPB Batam; (b) menganalisis efektifitas kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam pengembangan KPB Batam dalam kaitannya dengan pengendalian lingkungan di kawasan tersebut; dan (c) mendisain kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dengan pengembangan KPB Batam.

(12)

ii Dengan terselesaikannya Disertasi ini, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis, terutama kepada Yth:

1. Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus, Dr. Ir. Etty Riani, MS., dan Dr. Bambang Prabowo Soedarso, SH., MES. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, dan saran-saran, sejak penyusunan proposal sampai penyelesaian Disertasi ini

2. Prof. Dr. Ir.Surjono. H.Sutjahjo, MS. selaku Dosen dan orang tua yang selalu mengingatkan saya agar cepat menyelesaikan Disertasi supaya tidak menjadi beban dan berguna untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang.

3. Dr. drh. Hasim, DEA. selaku Plh Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana IPB, atas bantuan, perhatian, dan arahan serta bimbingan dalam menyelesaikan Disertasi ini.

4. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di PSL-IPB.

5. Dirjen Bea dan Cukai serta Bapak Kepala Kantor Wilayah V Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tanjung Balai Karimun Kepulauan Riau.

6. Dr. Ir. Hikmat Ramdan, M.Si. yang telah memberikan masukan dalam penulisan Disertasi ini.

7. Secara khusus diucapkan terima kasih kepada keluarga besar Gultom dan keluarga besar Girsang atas pengertian, perhatian, dan motivasinya. 8. Ucapan terima kasih disampaikan kepada istri tercinta Dr. Betty

(13)

iii 9. Kepada Oppung Pade boru khususnya yang selalu mendoakan penulis

setiap saat.

10.Akhirnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan dukungan dan kontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis sampaikan terima kasih, atas segala sesuatu yang terbaik yang telah diberikan agar senantiasa menjadi berkat bagi kita semua.

Penulis berdoa kepada Tuhan semoga pengorbanan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis diberkati oleh Tuhan serta semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bogor, Januari 2011

(14)

iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungkean Pulau Samosir, 13 September 1953. Penulis merupakan putra ke-7 (tujuh) dari 8 (delapan) bersaudara dari keluarga besar Bapak Payas Gultom (almarhum) dan Ibunda Muliana Br.Samosir (almarhumah).

Penulis menikah dengan Betty Setianingsih pada tanggal 11 Februari 1983 dikaruniai 5 (lima) orang anak, yaitu: Maria Pade Rohana, Rumondang Stella Retta, Dewata Vinansius Adam Gultom, Abraham Rudo Suryono, Patricia Gabe Ratu.

Pendidikan penulis dimulai dengan memasuki Sekolah Dasar pada tahun 1962 di Indrapura-Sumatera Utara, dan lulus tahun 1967. Lulus Sekolah Menengah Pertama di Pematang Panjang Indrapura-Sumatera Utara tahun 1970, lulus Sekolah Menengah Tingkat Atas Budi Mulia di Pematang Siantar tahun 1973. Pada tahun 1974 mengikuti Pendidikan Departemen Keuangan dan lulus kerja di Bea Cukai. Pada tahun 1986 memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Krisna Dwipayana Jakarta, dan pada tahun 2000 memperoleh gelar Magister Management (MM) dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Jakarta. Pada tahun 2005 penulis mengikuti Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Semenjak tahun 1974 penulis bekerja di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan telah Pensiun tanggal 1 Oktober 2009 dan terakhir bertugas di Kantor Wilayah Khusus Kepulauan Riau (Kepri) Tanjung Balai Karimun.

(15)

v

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 5

1.3. Perumusan Masalah ... 7

1.4. Tujuan Penelitian ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

1.6. Kebaruan (Novelty) ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Perdagangan Bebas dan Lingkungan ... 11

2.2. Kawasan Perdagangan Bebas Batam ... 19

2.3. Analisis Kebijakan Pengendalian Lingkungan ... 28

2.4. Pengelolaan Lingkungan ... 35

2.5. Analisis Stakeholders ... 41

III. METODOLOGI ... 45

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 45

3.2. Jenis Data dan Sumber Data ... 45

3.3. Rancangan Penelitian ... 47

3.3.1. Analisis Keberlanjutan KPB Batam ... 47

3.3.2. Analisis Efektifitas Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 49

3.3.3. Analisis Para Pihak dalam Pengendalian Kebijakan Lingkungan di KPB Batam ... 50

3.3.4. Penentuan Alternatif Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 53

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61

4.1. Keberlanjutan Wilayah KPB Batam ... 61

4.1.1. Perkembangan Wilayah Batam ... 61

4.1.2. Analisis Keberlanjutan Batam ... 72

4.2. Efektifitas Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 103

4.3. Peranan Para Pihak dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 117

4.4. Arahan Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 123

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 129

5.1. Kesimpulan ... 129

5.2. Saran ... 131

DAFTAR PUSTAKA ... 133

(16)

vi

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Jenis data, sumber data, teknis analisis data dan keluaran

yang diharapkan dari tiap tujuan penelitian ... 46

2. Atribut keberlanjutan KPB Batam ... 48

3. Kerangka dasar pendekatan 4R ... 52

4. Relationship stakeholders dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 52

5. Skala penilaian perbandingan berpasangan ... 58

6. Contoh matriks perbandingan berpasangan ... 58

7. Nilai indeks random (Saaty, 2001)... 60

8. Perkembangan status Batam (1968-2007) ... 62

9. Perkembangan investasi di Batam ... 74

10. Waduk dan kapasitas pengolahan air baku ... 78

11. Parameter kualitas air di Pelabuhan Sekupang ... 80

12. Parameter kualitas air di Pelabuhan Sagulung ... 81

13. Parameter kualitas air di Pelabuhan Batu Ampar ... 81

14. Perubahan hutan lindung di KPB Batam (Bapedalda Batam, 2007) ... 82

15. Indikator lingkungan di Kota Batam ... 83

16. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-Kaperba ... 89

17. Atribut-atribut kunci kawasan perdagangan bebas (KPB) Kota Batam ... 89

18. Penentuan status keberlanjutan KPB Batam ... 92

19. Hasil analisis Rap-KAPERBA untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R2) kawasan pendagangan bebas Batam ... 92

20. Keadaan masing-masing faktor kunci status keberlanjutan KPB Batam dalam rangka penyusunan kebijakan pengendalian lingkungan sebagai kawasan perdagangan bebas ... 94

21. Hasil analisis skenario strategi peningkatan status keberlanjutan Kota Batam sebagai kawasan perdagangan bebas ... 96

(17)

vii 23. Perubahan nilai indeks keberlanjutan KPB Batam sebagai

kawasan perdagangan bebas berdasarkan skenario

1,skenario 2 dan skenario 3 ... 97 24. Usulan materi perbaikan faktor kunci untuk perbaikan

keberlanjutan KPB Batam dalam jangka waktu menengah ... 98 25. Teknik pengelolaan, cara pembuangan, dan larangan

pembuangan ... 104 26. Kewajiban pemerintah serta hak dan kewajiban

masyarakat dalam pengendalian pencemaran dan

perusakan lingkungan ... 107 27. Kegiatan pengendalian pencemaran dan perusakan

lingkungan ... 108 28. Ketentuan pidana pencemaran dan atau perusakan

lingkungan hidup ... 111 29. Ketentuan sanksi administratif ... 113 30. Pendapat bentuk tanggung jawab pengendalian

lingkungan di KPB Batam ... 118 31. Pendapat, hak dan kewajiban pengendalian lingkungan di

(18)

viii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6

2. Hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dengan jumlah ... 17

3. Proses pembuatan kebijakan (Cubbage, et al.1993) ... 31

4. Lokasi penelitian ... 45

5. Kerangka 4R untuk mendefinisikan peranan stakeholders ... 51

6. Hirarki kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam. ... 55

7. Pertumbuhan penduduk Batam (Kota Batam, 2008) ... 73

8. Nilai ekspor non migas Batam tahun 2004-2008 (Batam, 2009) ... 74

9. Nilai penerimaan pajak Batam tahun 2004-2008 (Batam, 2009) ... 75

10. Nilai pendapatan daerah Batam (Batam, 2009) ... 75

11. Diagram layang-layang nilai indeks keberlanjutan kawasan perdagangan bebas Batam ... 84

12. Status keberlanjutan dimensi lingkungan kawasan perdagangan bebas Batam ... 85

13. Peran masing-masing atribut dimensi lingkungan yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). ... 85

14. Status keberlanjutan dimensi ekonomi kawasan perdagangan bebas Batam ... 86

15. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). ... 87

16. Status keberlanjutan dimensi sosial kawasan perdagangan bebas Batam ... 88

17. Peran masing-masing atribut dimensi sosial yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). ... 88

18. Hirarki kebijakan pengendalian lingkungan KPB Batam ... 124

19. Urutan prioritas faktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 124

20. Urutan prioritas aktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 127

(19)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman 1 Identitas responden kebijakan pengendalian lingkungan

di Kawasan Perdagangan Bebas Batam ... 140 2 Hasil kuesioner 4rs kebijakan pengendalian lingkungan di

Kawasan Perdagangan Bebas Batam

(Peraturan-peraturan daerah dan atau keputusan walikota yang terkait dengan pengelolan lingkungan di wilayah

KPB Batam) ... 142 3 Efektifitas peraturan daerah dan atau keputusan walikota

yang terkait dengan pengelolan lingkungan di wilayah

KPB Batam ... 145 4 Kepentingan para pihak terhadap pentingnya

pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 147 5 Pemahaman para pihak terhadap pengendalian

lingkungan di KPB Batam ... 151 6 Bentuk tanggung jawab dari instansi/lembaga responden

terhadap kelestarian dan pengendalian lingkungan di

KPB Batam ... 155 7 Bentuk hak dan kewajiban instansi/lembaga responden

dalam kelestarian dan pengendalian lingkungan di KPB

Batam ... 158 8 Manfaat apabila dampak negatif lingkungan kegiatan

pembangunan ekonomi di KPB Batam dapat

dikendalikan ... 161 9 Tingkat interaksi antar stakeholders dalam pengendalian

lingkungan di KPB Batam selama ini ... 164 10 Kendala-kendala yang telah dan mungkin terjadi dalam

pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 165 11 Bentuk kelembagaan yang dianggap efektif dalam

pengendalian lingkungan di KPB Batam ... 170 12 Apakah Pemkot Batam perlu mengeluarkan kebijakan

yang bersifat insentif atau disinsentif untuk mendorong kesadaran pelaku usaha dan masyarakat dalam menjaga

kelestarian lingkungan di KPB Batam ... 172 13 Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar

faktor terhadap fokus pengendalian lingkungan di KPB

Batam ... 174 14 Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat

kepentingan antar faktor terhadap fokus Pengendalian

(20)

x 15 Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar

faktor dalam mempengaruhi faktor daya tarik investasi di

KPB Batam ... 176 16 Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat

kepentingan antar aktor dalam mempengaruhi faktor daya

tarik investasi di KPB Batam ... 177 17 Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar

aktor dalam mempengaruhi faktor perlindungan ekosistem di KPB Batam faktor : Perlindungan

Ekosistem ... 178 18 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Aktor dalam Mempengaruhi Faktor

Perlindungan Ekosistem di KPB Batam ... 179 19 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Aktor dalam Mempengaruhi Faktor Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di KPB Batam Faktor : Pertumbuhan

Ekonomi Wilayah ... 180 20 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Aktor dalam Mempengaruhi Faktor

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di KPB Batam ... 181 21 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Aktor dalam Mempengaruhi Konflik Antara Masyarakat dan KPB Batam Faktor : Konflik Antara

Masyarakat Dan KPB Batam ... 182 22 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Aktor dalam Mempengaruhi Konflik

Antara Masyarakat dan KPB Batam ... 183 23 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Pemerintah dalam Pengendalian

Lingkungan di KPB Batam Aktor : Pemerintah ... 184 24 Hasil Pengolahan HIPRE 3+Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pemerintah dalam

Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 185 25 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Pemerintah Daerah dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Aktor :

Pemerintah Daerah ... 186 26 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pemerintah Daerah

dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 187 27 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Pelaku Usaha dalam Pengendalian

(21)

xi 28 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pelaku Usaha dalam

Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 189 29 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Masyarakat dalam Pengendalian

Lingkungan di KPB Batam Aktor : Masyarakat ... 190 30 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Tujuan Bagi Masyarakat dalam

Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 191 31 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Legislatif dalam Pengendalian

Lingkungan di KPB Batam Aktor : Legislatif ... 192 32 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Tujuan Bagi Legislatif dalam

Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 193 33 Nilai (Bobot) Setiap Elemen dalam Hirarki Disain

Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 194 34 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Faktor

terhadap Fokus Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ... 195 35 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Aktor

terhadap Faktor dalam Pengendalian Lingkungan

di KPB Batam ... 196 36 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Tujuan

bagi Aktor dalam Pengendalian Lingkungan

di KPB Batam ... 197 37 Nilai status keberlanjutan kawasan perdagangan bebas

Batam berdasarkan hasil analisis Monte Carlo ... 198 38 Kuesioner analisis keberlanjutan kawasan perdagangan

bebas Batam ... 201 39 Nilai Status Keberlanjutan Kota Batam ke Depan sebagai

Kawasan Perdagangan Bebas berdasarkan Skenario 1 ... 205 40 Nilai Status Keberlanjutan Kota Batam ke Depan sebagai

Kawasan Perdagangan Bebas berdasarkan Skenario 2 ... 206 41 Nilai Status Keberlanjutan Kota Batam ke Depan sebagai

Kawasan Perdagangan Bebas berdasarkan Skenario 3 ... 207 42 Nilai Indeks Keberlanjutan Gabungan Kota Batam

sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Berdasarkan

(22)
(23)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan kegiatan ekonomi dunia yang mengarah pada globalisasi ekonomi menuntut dikuranginya hambatan di bidang perdagangan. Pengurangan hambatan tersebut juga merupakan kondisi yang memberikan peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan ekspor dan investasi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, diantaranya dengan adanya kebijakan pengembangan ekonomi wilayah tertentu untuk menarik potensi pasar internasional dan mendorong peningkatan daya tarik pertumbuhan suatu kawasan atau wilayah ekonomi khusus yang bersifat strategis bagi pengembangan perekonomian wilayah. Kawasan ekonomi khusus tersebut berupa kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free port) dimaksudkan untuk mendatangkan devisa bagi Negara, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kepariwisataan, serta meningkatkan penanaman modal asing dan dalam negeri. Adanya kawasan perdagangan bebas (KPB) atau free trade zone (FTZ) tersebut diharapkan akan mendorong kegiatan perdagangan internasional yang mendatangkan devisa bagi negara yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi masyarakat.

(24)

2 tersebut, Batam didukung pula dengan adanya ketersediaan lahan, infrastruktur dan industri pendukung yang memadai karena sebelum ditetapkan sebagai KPB kawasan Batam merupakan kawasan berikat (bonded area) daerah industri Pulau Batam. Oleh karena itu, sesuai dengan PP Nomor 46 Tahun 2007 telah ditetapkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang dapat dilakukan dalam KPB Batam meliputi kegiatan sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan bidang lainnya. Untuk mendorong pengembangan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, pemerintah telah menetapkan sejumlah insentif utama, diantaranya adalah dengan kebijakan pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan barang mewah, dan cukai.

Dalam rangka pengembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Indonesia, di tingkat nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2008 tanggal 7 Mei 2008 telah ditunjuk Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (DN-KPPB) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dewan tersebut bertugas untuk: (a) menetapkan kebijakan umum dalam rangka percepatan pengembangan kawasan sehingga mampu bersaing dengan kawasan sejenis di negara lain; (b) membantu Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, termasuk dalam upaya penyelesaian permasalahan strategis yang timbul dalam pengelolaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPPB); serta (c) melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan KPPB.

(25)

3 Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam dengan kegiatan ekonominya yang berkembang pesat telah menjadi daya tarik bagi banyak orang untuk datang menetap dan bekerja. Pertumbuhan ekonomi dan kegiatan pembangunan di Batam yang pesat selain mendatangkan sejumlah keuntungan finansial dan ekonomi, juga menimbulkan eksternalitas negatif terhadap kelestarian ekosistem wilayah baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti adanya limbah domestik maupun limbah industri dan limbah B3, terjadinya kerusakan lingkungan akibat dari pembukaan lahan untuk kegiatan perumahan, menurunnya populasi mangrove akibat reklamasi, cut and fill,

menurunnya populasi terumbu karang akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab, penambangan pasir ilegal, terjadinya pencemaran laut akibat tumpahan minyak dari kapal, serta pembersihan lambung kapal kegiatan konstruksi kapal yang ada di pesisir pantai wilayah Kota Batam dan sekitarnya (Bapedalda Batam, 2006).

Hasil studi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Batam (2006) menunjukkan dari 12 (dua belas) titik pengambilan sampel air laut, parameter kualitas air laut baik fisik maupun kimia ada yang kadarnya melebihi ambang batas dan ada juga yang masih di bawah ambang batas yang ditetapkan. Dari semua parameter fisik yang ada, kekeruhan yang mendominasi dengan nilai yang mencapai bahkan melebihi baku mutu yang telah ditetapkan hampir di semua titik lokasi pengambilan sampel, seperti di Perkampungan Batu Merah, Tanjung Sengkuang–Sei Tering, Pantai Tanjung Uma, Pelabuhan Ferry-Reklamasi Pulau OB, Bengkong Laut, Pulau Belakang Padang, Pulau Bulan, Reklamasi Pulau Buluh, Pantai Melur, Pulau Kunangan. Sementara itu, kadar kekeruhan di Teluk Sinimba dan Pelabuhan Telaga Punggur masih dibawah baku mutu. Selain kekeruhan, kadar TSS dengan nilai di atas baku mutu juga dijumpai di Tanjung Sengkuang-Sei Tering, Pelabuhan Ferry-Reklamasi OB, Pulau Kunangan, Reklamasi Pulau Buluh. Tingginya nilai TSS dan kekeruhan kemungkinan berasal dari aktivitas transportasi laut dan kegiatan reklamasi.

(26)

4 fisik tersebut, parameter kimia seperti salinitas DO, BOD, nitrat, ammonia dengan nilai tinggi terdeteksi di beberapa lokasi. Terdeteksinya parameter ini kemungkinan berasal dari aktivitas permukiman pasang surut seperti antara lain di perairan Pantai Tanjung Uma, Perkampungan Batu Merah sampai Tanjung Sengkuang. Di beberapa lokasi ada beberapa logam berat yang melebihi baku mutu seperti Cd, Zn, Cr6+

Indikator kualitas lingkungan yang menurun sebagaimana diuraikan sebelumnya mengindikasikan adanya permasalahan lingkungan (environmental problems) yang terjadi di dalam dan sekitar KPB Batam. Permasalahan lingkungan tersebut perlu dikendalikan melalui sejumlah kebijakan (policy), sehingga pembangunan ekonomi KPB (FTZ) Batam dapat berjalan secara berkelanjutan. Adanya permasalahan lingkungan membutuhkan upaya pengendalian lingkungan melalui kebijakan, karena kebijakan dibuat untuk mengantisipasi dan menyelesaikan masalah yang ada dalam suatu komunitas serta menjadi salah satu instrumen dalam pengelolaan sumberdaya alam (Ramdan et

, CU, Ni seperti pada Pelabuhan Telaga Punggur, Pelabuhan Ferry-reklamasi OB, Pulau Belakang Padang, Pulau Bulan dan reklamasi Pulau Buluh. Tingginya kandungan logam berat ini dapat berasal dari aktifitas transportasi laut yang berlangsung di daerah pelabuhan, dan pencemaran dari kegiatan industri lokasi sekitarnya yang membuang limbah ke perairan tanpa diolah terlebih dahulu. Secara umum logam berat tersebut merupakan bahan yang digunakan dalam suatu kegiatan industri dan sebagai elemen dari komponen-komponen manufaktur yang merupakan bahan pendukung kegiatan industri manufaktur di kawasan industri (Bapedalda Kota Batam, 2006).

(27)

5

al., 2003). Upaya mencari alternatif kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam perlu dilakukan sebagai upaya mengoptimalkan kegiatan perekonomian di KPB Batam yang bersinergis dengan perlindungan lingkungan dan ekosistemnya. Adanya sinergitas antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan di KPB Batam diharapkan akan meningkatkan daya tarik masuknya investasi yang lebih besar ke kawasan Batam tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan di kawasan tersebut. Oleh karena itu, perlu dikaji tingkat keberlanjutan KPB Batam, kebijakan pengelolaan lingkungan, peranan para pihak dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam untuk mendapatkan alternatif kebijakan yang sesuai di KPB Batam yang mampu mensinergikan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan.

1.2. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran penelitian yang dilakukan disajikan pada Gambar 1. Pasar bebas dunia yang mengarah pada globalisasi ekonomi telah mendorong dikembangkannya zona/kawasan perdagangan bebas (KPB). Pada umumnya suatu kawasan KPB yang juga dikenal sebagai export processing zone (EPZ) merupakan kawasan khusus di sebuah negara yang menghilangkan hambatan perdagangan (trade barriers) normal seperti tarif, pajak, dan kuota barang, serta menurunkan persyaratan birokrasi dengan harapan dapat menarik bisnis baru serta investasi domestik dan asing. Aktifitas ekonomi perdagangan bebas menimbulkan eksternalitas terhadap lingkungan, karena lingkungan berperan sebagai barang konsumsi, penyedia sumberdaya alam, dan tempat menampung limbah (Butler, 1992). Oleh karena itu, kegiatan perdagangan bebas tidak terlepas dari lingkungan.

(28)

6

Pasar Bebas Kawasan Perdagangan Bebas

Pusat Perdagangan dan Kawasan Industri Bebas Batam

Daya Tarik Investasi Nasional/Internasional

Eksternalitas Kegiatan di Kawasan Perdagangan

Bebas (KPB) Batam

Pencemaran Lingkungan di Kawasan Perdagangan

Bebas Batam

Peningkatan Resiko Lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam Peningkatan Investasi

Nasional/Internasional

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah dan Nasional

Keberlanjutan Wilayah KPB Batam

Analisis Kebijakan dan Regulasi terkait KPB

Batam

Analisis Tingkat Keberlanjutan Wilayah

KPB Batam

Analisis Peranan Stakeholders

Faktor Kunci Keberlanjutan KPB Batam

Arahan Kebijakan Keberlanjutan KPB Batam

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

kawasan perdagangan bebas tersebut menimbulkan eksternalitas negatif di kawasan tersebut yang diindikasikan dengan terjadinya pencemaran di KPB tersebut. Adanya pencemaran lingkungan dan degradasi lingkungan lainnya akan meningkatkan resiko lingkungan di kawasan tersebut yang akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan wilayah KPB Batam.

(29)

7 pengembangan kawasan Batam, serta peranan dari masing-masing stakeholders. Oleh karena itu, diperlukan analisis tentang keberlanjutan wilayah, analisis peraturan-peraturan dan kebijakan pengembangan KPB Batam, serta analisis

stakeholders untuk mendapatkan alternatif kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai (compatible environmental policy) dengan kondisi KPB Batam.

1.3. Perumusan Masalah

Wilayah Kota Batam yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam, memiliki luas administratif 1.570,35 km2

Kota Batam yang sebelum ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas merupakan kawasan berikat (bonded area) yang memiliki daya tarik ekonomi bagi pengembangan kegiatan perdagangan dan industri. Sebagai kawasan perdagangan dan industri dengan status sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPPB) telah mendorong berkembangnya pembangunan infrastruktur fisik, seperti pusat industri, pemukiman penduduk, serta pemrosesan kegiatan industri yang memiliki potensi dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan dari ekosistem di kawasan tersebut. Pertumbuhan ekonomi Batam dengan laju pertumbuhan ekonomi 7,5% per tahun selama ini cenderung menurunkan kualitas lingkungan, karena di awal kegiatan pertumbuhan industri membutuhkan kebutuhan sumberdaya alam yang banyak (air, lahan, bahan bakar minyak) dan membuang limbah ke lingkungan. Menurut Katz (2000) perdagangan bebas mendorong peningkatan pendapatan dan tingkat pencemaran sampai pada suatu titik balik dimana pendapatan akan meningkat dan kebutuhan masyarakat terhadap lingkungan yang lebih baik akan tinggi, sehingga publik akan menuntut ditetapkannya kebijakan pengelolaan

(30)

8 lingkungan yang lebih baik. Kondisi KPB Batam yang tingkat pendapatannya belum setinggi di negara maju masih memiliki potensi degradasi lingkungan yang cukup tinggi. Tanda (symptom) dari permasalahan lingkungan di kawasan tersebut adalah pencemaran lingkungan di KPB Batam, terutama pencemaran air yang dapat menurunkan keseimbangan dan daya dukung lingkungan dari ekosistem di kawasan tersebut. Atas dasar permasalahan pengendalian lingkungan di kawasan Batam tersebut, maka disusun empat pertanyaan penelitian sebagai berikut :

a. Bagaimana tingkat keberlanjutan KPB Batam sekarang?

b. Apakah kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan KPB Batam saat ini efektif dalam mengendalikan permasalahan lingkungan di kawasan tersebut ?

c. Bagaimana peranan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan sistem pengendalian lingkungan di KPB Batam ?

d. Bagaimana kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dan dapat diterapkan di KPB Batam ?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui tingkat keberlanjutan kawasan KPB Batam saat ini.

2. Mengetahui efektifitas kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam pengembangan KPB Batam dalam kaitannya dengan pengendalian lingkungan di kawasan tersebut.

3. Mengetahui peranan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pelaksanaan sistem pengendalian lingkungan di KPB Batam

4. Menyusun arahan kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dengan pengembangan KPB Batam.

1.5. Manfaat Penelitian

(31)

9 1.6. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Melakukan penilaian keberlanjutan KPB Batam dengan analisis MDS Rap-KAPERBA (Multi Dimensional Scaling Rapid Apraisal Kawasan Perdagangan Bebas). Analisis tersebut merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang didesain untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap;

b. Mengembangkan metode analisis stakeholders 4 Rs sebagai instrumen analisis tentang peranan para pihak yang terkait dengan kinerja KPB Batam yang menyangkut analisis tentang rights, responsibilities, return

dan relationship diantara para pihak. Analisis stakeholders 4Rs

sebelumnya dikembangkan dan digunakan untuk menganalisis peranan

(32)
(33)

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perdagangan Bebas dan Lingkungan

Perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antar negara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang atau jasa atas dasar suka rela dan saling menguntungkan dengan harapan akan terbangunnya kemakmuran dan perbaikan distribusi pendapatan melalui sistem perdagangan bebas (Modjo, 2003; Muhsin, 2007). Perdagangan internasional tersebut dipengaruhi oleh : (a) kemampuan suatu negara dalam memproduksi barang atau jasa yang terbatas; (b) adanya manfaat yang diperoleh dari adanya perbedaan harga; (c) adanya perbedaan produksi yang dimiliki masing-masing negara; (d) perbedaan sosial budaya; (e) perbedaan selera masyarakat; serta (f) adanya sarana komunikasi dan transportasi (Muhsin, 2007).

Konsep perdagangan bebas pertama kali dirumuskan oleh Adam Smith yang kemudian dikembangkan oleh David Ricardo tahun 1887. Masa itu adalah zaman negara-negara Eropa melakukan penjajahan dan ahli-ahli ekonomi di negara tersebut sedang berdebat sengit antara pro dan kontra tentang peran pemerintah dalam perdagangan. Ricardo adalah salah seorang ekonom yang tidak menyetujui kebijakan pemerintah dalam pembatasan perdagangan. Menurut Ricardo alasan utama yang mendorong perdagangan internasional adalah perbedaan keunggulan komparatif relatif antar negara dalam menghasilkan suatu komoditas. Suatu negara akan mengekspor komoditas yang dihasilkan lebih murah dan mengimpor komoditas yang dihasilkan lebih mahal dalam penggunaan

(34)

12 sumberdaya (Lindert dan Kindleberger, 1983). Perdagangan internasional semacam itu akan mendorong peningkatan konsumsi dan keuntungan. Sebaliknya, kebijakan pembatasan perdagangan oleh pemerintah justru memberikan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dalam negeri dibandingkan manfaat yang diperoleh. Setelah Ricardo, banyak ekonom lain muncul memberikan kritikan atau memperluas dan mendorong penyempurnaan konsep perdagangan keunggulan komparatif. Pada umumnya para ahli ekonomi tidak ada yang membantah thesis Ricardo tetapi lebih memfokuskan diri dalam mengembangkan konsep perdagangan yang lain seperti konsep keunggulan daya saing dan sebagainya. Dalam semua konsep perdagangan internasional yang pernah ada, terdapat kesamaan pijakan yakni bahwa pasar adalah bebas dan bahwa persaingan akan meningkatkan efisiensi dan bahwa dunia benar-benar secara absolut dipisahkan oleh batas-batas negara. Namun demikian model perdagangan Ricardo merupakan gagasan besar dalam ilmu ekonomi (Krugman dan Obstfel, 2002).

Liberalisasi perdagangan dunia muncul makin kuat bersamaan dengan krisis dunia tahun 1929. Samuelson (2007) menjelaskan bahwa pada saat itu ada kepercayaan bahwa adanya proteksionisme akan memperparah kondisi great depression. Faktor lain pendorong diberlakukannya liberalisasi adalah terkait dengan perang dingin yaitu dengan adanya keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan negara-negara melalui perdagangan bebas. Pertimbangan tersebut selanjutnya memperkuat tentang pentingnya perdagangan internasional yang bebas. Yusdja (2004) menyebutkan bahwa teori ekonomi konvensional perdagangan internasional telah menjelaskan bahwa dengan adanya perdagangan dunia yang bebas

(35)

13 dengan harapan bahwa penggunaan sumberdaya dunia akan lebih efisien dan menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Semua teori perdagangan memperlihatkan bahwa perdagangan bebas membawa manfaat bagi negara yang berdagang dan dunia (Yusdja, 2004). Dengan didasarkan atas teori tersebut maka hampir sebagian besar negara di dunia bersepakat melakukan liberalisasi perdagangan internasional dengan membentuk WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995. Menjadi anggota WTO berarti bersedia membuka pasar dalam negeri bagi produksi negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan bebas. WTO diciptakan untuk meluaskan liberalisasi perdagangan dengan memaksa pemerintahan negara-negara lain untuk memecahkan masalah tenaga kerja, lingkungan, dan standar-standar keamanan yang dianggap sebagai penghambat bagi perdagangan. Tujuan utama dari WTO adalah untuk

“menghilangkan semua hambatan atau penghalang bagi perdagangan bebas di seluruh dunia”.

(36)

14 yang sama terjadi pula di kawasan Amerika Latin yang walaupun sudah ada FTAA dan Mercosur, banyak negara anggota yang tidak terlalu bersemangat menjalankan perdagangan bebas, misalnya Brasil yang dengan defisit perdagangan yang makin besar cenderung untuk menangguhkan ide pasar bebasnya (Azis, 2008). Di kawasan Asia Pasifik yang di awal tahun 1990-an bersemangat dengan perdagangan bebas, dan sejumlah statistik klasik selalu dipaparkan untuk menunjukkan dampak positif dari peningkatan perdagangan di kawasan ini akhirnya mendorong lahirnya AFTA dan APEC. Namun, setelah banyak negara anggota mengalami kesulitan neraca pembayaran maka tindakan mengurangi impor mulai diterapkan. Oleh karena itu, prinsip perdagangan bebas banyak dilanggar demi kepentingan nasional masing-masing negara (Modjo, 2003; Yusdja; 2004; Azis, 2008).

Dalam kerjasama ekonomi ASEAN, negara-negara anggotanya telah bersepakat untuk : (a) mempercepat tercapainya jadwal perdagangan bebas ASEAN, yaitu dari tahun 2008 menjadi tahun 2003; (b) pada tahun 2003, tarif dari produk hasil industri menjadi 0-5%, hambatan non-tarif dihapus, sehingga diharapkan ada peningkatan perdagangan intra ASEAN; (c) mengikutsertakan produk-produk hasil pertanian yang tidak peka dan jasa-jasa (Soemarno, 2001). Liberalisasi perdagangan di tingkat APEC pun telah menyepakati diwujudkannya perdagangan bebas di wilayah APEC, tahun 2010 untuk anggota maju dan tahun 2020 untuk anggota berkembang yang ditunjang oleh kebebasan arus investasi. Dalam deklarasi tersebut ditekankan pula, pola dasar kemitraan karena keanggotaan APEC yang beranekaragam. Oleh karena itu, selain adanya akses pasar di negara maju pada tahun 2010 yang dapat dimanfaatkan oleh negara berkembang, maka dikembangkan pula kerjasama pengembangan ekonomi yang mencakup kerjasama dalam pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan lnfrastruktur, pengembangan usaha kecil dan menengah, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pelestarian lingkungan (Soemarno,2001).

(37)

15 terus menjadi fokus perhatian dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas (Copeland dan Taylor, 2004). Liang (2006) mengemukakan bahwa isu masalah lingkungan terkait dengan perdagangan sudah dimulai sejak tahun 1970-an dengan riset yang masih bersifat normatif. Riset positif untuk menguji hipotesis tentang kebijakan perdagangan dan dampak pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dipelopori oleh Grossman dan Kruiger pada tahun 1993 di NAFTA dengan mengkaji data dari 58 negara (Antweiler et al., 2001; Liang, 2006). Antweiler et al. (2001) menyebutkan apabila keterbukaan pasar internasional meningkat, baik input maupun outputnya sebesar 1%, tingkat polusi akan menurun sebesar 1% pula akibat diterapkannya teknologi yang lebih ramah lingkungan dalam kegiatan produksinya. Antweiler et al. (2001) juga membedakan dampak lingkungan dan sumber pendapatannya, yaitu pendapatan yang diperoleh dari perdagangan cenderung menurunkan polusi, akan tetapi pendapatan yang diperoleh dari akumulasi modal cenderung meningkatkan polusi; sehingga perdagangan yang lebih bebas cenderung baik untuk lingkungan. Kondisi sebaliknya dikemukakan oleh Vutha dan Jalalain (2008) yang menyebutkan bahwa perdagangan bebas menyebabkan degradasi lingkungan khususnya terjadi di negara-negara berkembang dengan regulasi lingkungan yang longgar tetapi memiliki kapasitas besar untuk mengabsorbsi polusi. Apak (2003) menyebutkan beberapa faktor perdagangan bebas yang berdampak terhadap lingkungan adalah:

a. Efisiensi alokatif. Perdagangan bebas umumnya menggunakan faktor-faktor produksi secara lebih efisien, sehingga penggunaan sumberdaya alam dapat lebih hemat dan ramah lingkungan;

b. Dampak skala kegiatan. Skala kegiatan ekonomi yang mendorong pertumbuhan dan peningkatan pendapatan akan cenderung mengikuti kurva lingkungan Kuznet dimana pada tingkat pendapatan tertentu yang tinggi, maka kebutuhan akan lingkungan yang bersih makin tinggi dan kerusakan lingkungan makin menurun;

(38)

16 d. Penggunaan teknologi. Peningkatan penggunaan inovasi teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan akan menurunkan tingkat pencemaran;

e. Kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk mengadopsi dan menerapkan standar kualitas lingkungan internasional akan mendorong penurunan tingkat kerusakan lingkungan akibat perdagangan bebas. Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan untuk mengetatkan arus barang dan jasa dalam perdagangan bebas yang dianggap membahayakan lingkungan.

(39)

17 lingkungan. Titik balik pendapatan per kapita ketika kebutuhan publik akan lingkungan yang lebih baik minimal sebesar US$ 5.000 per kapita per tahun (CEC, 2002) sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Gallageher (2004) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi menimbulkan polusi, tetapi dampak skala (scale effect) ditanggulangi dengan dampak komposisi dan dampak teknis. Dampak komposisi terjadi ketika ekonomi yang telah tumbuh cenderung meningkatkan kegiatan jasa dan mengurangi kegiatan ekonomi yang kurang polusi, sedangkan dampak teknis menunjukkan bahwa dengan meningkatnya pendapatan akan cenderung meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan melalui penggunaan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Dengan demikian kebijakan lingkungan yang lebih kuat dapat diartikan sebagai kebutuhan kelas masyarakat menengah untuk mendapatkan kualitas lingkungan yang lebih baik, sehingga penurunan polusi berkaitan dengan dengan kesejahteraan (CEC, 2002, Gallageher, 2004).

Gambar 2. Hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dengan jumlah emisi pencemar (CEC, 2002)

(40)

18 US$ 5.000 per kapita per tahun, tetapi degradasi lingkungannya tetap tinggi. Hal tersebut dikarenakan kebijakan lingkungan dinilai lebih longgar terhadap industri dan kegiatan ekonomi yang menghasilkan limbah.

Liberalisasi perdagangan dapat memberikan dampak positif atau dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini tergantung pada keunggulan komparatif yang dimiliki, kebijakan-kebijakan perdagangan dan lingkungan yang ada, serta manajemen sumberdaya alam yang dimiliki. Dalam negosiasi perdagangan, koordinasi dan harmonisasi kebijakan lingkungan diantara mitra perdagangan dan lingkungan masih sedikit diperhatikan. Oleh karena itu, mengkaitkan antara pengelolaan lingkungan dengan perdagangan bebas adalah hal yang mendesak untuk dilakukan sebagai upaya melindungi lingkungan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (Vutha dan Jalalain, 2008).

Adanya keterkaitan antara perdagangan dan lingkungan di tingkat global tersebut telah mendorong berkembangnya standarisasi lingkungan. Conference on

Human and Environment oleh PBB pada tahun 1972 di Stockholm telah

melahirkan pemikiran bahwa pembangunan industri yang tidak terkendali akan mempengaruhi kelangsungan dunia usaha. Pemikiran tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan United Nations Environment Program (UNEP) dan World Commission on Environment and Development (WCED). Istilah Sustainable Development (pembangunan berkelanjutan) yang diperkenalkan dalam laporan WCED pada tahun 1987 juga mencakup pengertian bahwa kalangan industri sudah harus mulai mengembangkan sistem pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan secara efektif. Selanjutnya diselenggarakan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro tahun 1992. Menindaklanjuti gagasan tersebut, lnggris mengeluarkan standar pengelolaan lingkungan yang pertama kali di dunia pada tahun 1992, yaitu British Standard (BS) 7750. Komisi Uni Eropa mulai memberlakukan Eco-Management

and Audit Scheme (EMAS) pada 1993. Dengan diberlakukannya EMAS, BS

(41)

19

International Electrotechnical Commission (IEC) membentuk "Strategic Advisory

Group on the Environment" (SAGE) pada bulan Agustus 1991. SAGE

merekomendasikan kepada ISO akan perlunya suatu Technical Committee (TC) yang khusus bertugas untuk mengembangkan suatu seri standar pengelolaan lingkungan yang berlaku secara internasional. Pada tahun 1993, ISO membentuk TC 207 yang khusus bertugas mengembangkan standar pengelolaan lingkungan yang dikenal sebagai ISO seri 14000 dengan mengembangkan standar yang meliputi : Environmental Management System (EMS); Environmental Auditing (EA); Environmental Labelling (EL); Environmental Performance Evaluation (EPE); Life Cycle Analysis (LCA); Term and Definitions (TD).

Soemarno (2001) menyatakan bahwa beberapa pokok pikiran yang mendasari ISO seri 14000 adalah : (a) menyediakan elemen-elemen dari suatu sistem pengelolaan lingkungan yang efektif dan dapat dipadukan dengan persyaratan pengelolaan lainnya; (b) membantu tercapainya tujuan ekonomi dan lingkungan dengan meningkatkan kinerja lingkungan dan menghilangkan serta mencegah terjadinya hambatan dalam perdagangan; (c) tidak dimaksudkan sebagai hambatan perdagangan non-tarif atau untuk mengubah ketentuan--ketentuan hukum yang harus ditaati; (d) dapat diterapkan pada semua tipe dan skala organisasi; (e) agar tujuan dan sasaran lingkungan dapat tercapai maka harus didorong dengan penggunaan Best Practicable Pollution Control Technology

(Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Praktis) dan Best Available

Pollution Control Technology EconomicaIly Achieveable (Teknologi

Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Tersedia). Gang (2004) dan Linde-Rahr (2005) menyebutkan bahwa keterbukaan pasar bebas harus diikuti dengan perangkat kebijakan pengelolaan lingkungan yang sesuai (compatible).

2.2. Kawasan Perdagangan Bebas Batam

(42)

20 terhadap kondisi lingkungan di wilayah tersebut, sehingga pengendalian lingkungan perlu dilakukan dengan mengembangkan kebijakan pengendalian lingkungannya khusus di kawasan perdagangan bebas tersebut.

Kawasan perdagangan bebas atau export processing zone (EPZ) adalah suatu kawasan khusus yang ditetapkan di suatu negara dimana beberapa hambatan perdagangan normal seperti tarif dan kuota dihapuskan serta persyaratan birokrasi diturunkan dengan harapan akan menarik masuknya investasi dan bisnis baru di kawasan tersebut (Wikipedia, 2008). Zone perdagangan bebas dapat digambarkan sebagai pusat pabrikasi tenaga kerja yang intensif yang melibatkan impor dari komponen atau bahan baku serta ekspor dari produk pabrik. Kebanyakan FTZ berada di negara berkembang. Kawasan perdagangan bebas di Amerika Latin dimulai sejak awal dekade dari abad 20. Peraturan perdagangan bebas yang pertama di daerah ini ditetapkan di Uruguay dan Argentina pada tahun 1920-an. Pada tahun 2002, ada 43 juta tenaga kerja di sekitar 3000 FTZ di 116 negara-negara yang memproduksi pakaian, sepatu, sepatu karet, elektronika, dan mainan. Sasaran dasar dari EPZ adalah untuk meningkatkan devisa, mengembangkan industri berorientasi ekspor dan untuk menghasilkan peluang ketenaga-kerjaan (Wikipedia, 2008).

(43)

21 meskipun diberlakukan AFTA, prosedur ekspor impor tetap mengacu pada prosedur bea cukai masing-masing negara anggota. Bagi wilayah yang ditunjuk sebagai FTZ yang memberikan insentif berupa pembebasan bea masuk, PPN dan PPnBM, maka prosedur ekspor dan impor yang harus dilalui menjadi lebih mudah dan cepat, karena tidak perlu melalui pemeriksaan yang berkaitan dengan pemungutan bea masuk, PPN dan PPnBm. Seperti di Batam yang selama ini telah berfungsi sebagai FTZ, prosedur keluar masuk barang dapat dipangkas dari 25 proses menjadi 11 proses (Bagian Pemasaran Otorita Batam, 2001).

Kawasan perdagangan bebas (KPB) atau free trade zone (FTZ) telah berkembang sejak tahun 1934 di Amerika Serikat setelah Undang-Undang tentang KPB di Amerika Serikat disahkan, tetapi baru tahun 1970-an perusahaan-perusahaan merasakan manfaat dari keberadaan KPB tersebut, baik untuk kepentingan ekspor dan impornya (Alavi dan Thompson, 1988). Perusahaan memanfaatkan KPB dalam melakukan kegiatan pengujian, penyortiran, pengemasan kembali, penyimpanan, dan persiapan penjualan barang ke penyalur. Alavi dan Thompsom (1988) lebih lanjut menjelaskan manfaat KPB dalam kegiatan impor dan ekspor barang, yaitu : (a) Di dalam KPB importir dapat menguji dan menyortir barang yang cacat dan rusak, sehingga dapat dikembalikan; (b) Beberapa barang seringkali perlu dirakit sebelum dipasarkan dengan menggunakan beberapa komponen lainnya yang berasal dari dalam negeri atau negara lainnya; (c) Kawasan KPB menjadi pusat distribusi barang sebelum barang diekspor ke luar negeri; (d) Barang domestik yang masuk ke KPB dapat memperoleh status ekspor. Mongelluzzo (2003) menyebutkan bahwa KPB dapat memangkas biaya dan mengetatkan roda suplai barang. Riset Mongelluzo (2003) di Los Angeles menunjukkan bahwa perbandingan total biaya kegiatan ekonomi di kawasan non-KPB dengan KPB masing-masing adalah US$ 11.615.000 dan US$ 10.845.920, sehingga adanya KPB dapat menghemat biaya sebesar US$769.080.

(44)

22 Katz (2000) menyebutkan bahwa adanya pengurangan tarif di KPB akan meningkatkan investasi dalam fasilitas produksi dan arus transportasi lebih besar, sehingga menciptakan resiko terhadap peningkatan : (a) konsumsi air dan polusi yang bersumber dari kegiatan industri dan rumah tangga; (b) polusi udara yang bersumber dari kegiatan industri dan rumah tangga; (c) produksi limbah padat yang berasal dari peningkatan kegiatan produksi dan konsumsi rumah tangga; (d) kehilangan lahan terbuka, termasuk berkurangnya zona resapan air dan habitat satwa liar; (e) ekstraksi sumberdaya alam, termasuk penambangan bahan bakar dan mineral; serta (f) polusi perairan laut dan tekanan terhadap wilayah pesisir.

Kawasan perdagangan bebas pun memiliki daya tarik ekonomi bagi pekerja, sehingga terjadi kenaikan populasi penduduk. Lebih lanjut Katz (2000) menyebutkan bahwa kebijakan penghilangan penghambat perdagangan (trade barriers) di Eropa menjadi penyebab langsung peningkatan kegiatan transportasi, polusi udara dan polusi limbah rumah tangga. Setiap kenaikan 1,5% pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan 10-20% emisi polusi udara di Eropa (Katz, 2000). Namun hasil riset Liang (2006) tentang dampak investasi asing terhadap KPB di Cina menunjukkan bahwa adanya investasi memberikan manfaat terhadap perbaikan lingkungan karena investor tersebut menerapkan teknologi yang lebih efisien sehingga produktifitas lebih tinggi dan penggunaan sumberdaya alam lebih hemat. Perbedaan dampak dari KPB terhadap lingkungan tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah masing-masing dalam penyelenggaraan KPB (Katz, 2000; Liang, 2006). Linde-Rahr (2005) menyebutkan bahwa di tingkat nasional kebijakan lingkungan yang keras (stringent environmental policy) tidak cukup signifikan dalam pemilihan lokasi industri dibandingkan dengan pertimbangan faktor transportasi dan pertumbuhan ekonominya, tetapi di tingkat provinsi kebijakan lingkungan yang keras dapat mengurangi investasi asing.

(45)

23 diprediksikan akan tercapai setelah 40 tahun dengan asumsi bahwa ada kegiatan ekonomi yang agresif melalui ekspansi ekonomi secara konsisten (Katz, 2000). Setiap negara tentunya memiliki kebijakan yang berbeda terkait dengan penerapan KPB di negaranya. Frankel dan Rose (2002) menyebutkan terdapat dua proposisi yang berkaitan dengan dampak lingkungan dari KPB, yaitu hipotesis pollution haven dan hipotesis Porter. Hipotesis pollution haven umumnya dilakukan oleh negara yang mengadopsi standar lingkungan yang longgar (lax environmental standards) dengan tujuan untuk menarik minat investasi dari perusahaan multinasional yang regulasi pengendalian lingkungan di negara asalnya dilakukan ketat. Hipotesis ini umumnya dilakukan oleh negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang yang memiliki KPB cenderung lebih kotor daripada negara maju yang menerapkan standar kualitas lingkungan lebih tinggi. Misalnya Sarkar (2009) menyoroti perjanjian di kawasan perdagangan bebas antara Amerika Serikat dan Dominika, dimana walaupun dalam perjanjian tersebut dimasukkan aspek lingkungan tetapi investor lebih tertarik menanamkan investasi di Dominika karena upah yang murah dan persyaratan lingkungan yang rendah, sehingga berdampak terhadap menurunnya peluang kerja dan investasi modal di wilayah Amerika Serikat.

Cole dan Fredikkson (2005) menyatakan bahwa hipotesis pollution haven

akan terjadi pada kondisi dimana keterlibatan struktur legislatif dan partisipasi publik rendah. Hipotesis Porter dilakukan dengan menerapkan kebijakan pengaturan lingkungan yang lebih ketat terhadap investor di KPB dengan tujuan untuk mendorong digunakannya inovasi teknologi dalam kegiatan produksi ekonominya yang lebih ramah lingkungan. Dalam hal ini regulasi lingkungan akan mendorong pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih efisien dan lebih produktif, sehingga tekanan terhadap lingkungan dapat dikurangi. Hipotesis

Porter akan efektif dilakukan pada KPB yang kebijakan pengendalian

(46)

24 standar kualitas lingkungan dan sebaliknya dengan makin bersihnya penyelenggaraan pemerintahan maka investasi asing cenderung mendorong peningkatan standar kualitas lingkungan. Dalam hal ini transparansi, demokrasi, dan tata kelola pemerintahan menjadi kunci penataan kebijakan perdagangan bebas yang sinergis dengan pengendalian lingkungan (CEC, 2002).

Integrasi kebijakan lingkungan dan perdagangan bebas masih lemah, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan (Butler, 1992; CEC, 2002). Seale dan Fairchild (1994) menyebutkan bahwa sejumlah kelompok pro lingkungan telah sejak lama meminta pelaksanaan perdagangan internasional dikaitkan dengan regulasi lingkungan, karena kebijakan perdagangan dapat digunakan untuk mempengaruhi negara lain dalam hal perbaikan lingkungan. Upaya untuk mengintegrasikan lingkungan ke dalam pengelolaan KPB dilakukan oleh CEC (2002) dengan meningkatkan partisipasi publik terhadap kegiatan pengembangan KPB. Lebih lanjut CEC (2002) menyebutkan bahwa keterlibatan publik sejak awal KPB penting difasilitasi untuk memantau dampak lingkungan dari perdagangan bebas yang terjadi. Hal ini terkait dengan dijalankannya pemerintahan yang transparan dan demokratis. Keterlibatan publik dalam pemantauan lingkungan KPB penting sebagai legitimasi bagi pengelola kawasan bahwa kegiatannya tidak menurunkan kualitas lingkungan, karena kebijakan lingkungan banyak yang memerlukan komitmen dan dukungan publik (CEC, 2002). Lebih lanjut CEC (2002) menyebutkan bahwa untuk mendorong partisipasi publik terhadap pengendalian lingkungan di KPB yang berada di Amerika Utara telah difasilitasi terbentuknya kelompok penasehat (advisory group) yang beranggotakan pakar dan kelompok pemerhati lingkungan untuk memberikan masukan dan memantau kualitas lingkungan di KPB dan sekitarnya kepada badan pengelola kawasan secara mandiri (independent).

(47)

25 Penunjukan dan penetapan beberapa wilayah usaha bonded warehouse di daerah industri Pulau Batam, wilayah di daerah Batu Ampar, dan wilayah di daerah Sekupang bagian barat Pulau Batam ditetapkan lokasi tersebut sebagai bonded warehouse. Adapun perusahaan yang bertindak sebagai bonded warehouse adalah PT. Persero Pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam. Sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1972 tentang bonded warehouse, bonded warehouse adalah suatu sarana institusional dalam bidang perekonomian dan perdagangan yang mempunyai wilayah pengusahaan tertentu dalam daerah pabean Indonesia sebagai suatu tempat untuk menyimpan, menimbun, meletakkan, mengemas, dan atau mengolah barang-barang yang berasal: (a) dari luar daerah pabean tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai, pajak, dan atau pungutan negara lainnya sampai barang-barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor atau tujuan re-ekspor tanpa diolah terlebih dahulu di dalam bonded warehouse, atau (b) dari dalam daerah pabean tanpa terlebih dahulu dikenakan pengutan bea, cukai, pajak, dan atau pungutan negara lainnya sampai barang-barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan ekspor (Ditjen Bea Cukai, 2008).

(48)

26 Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru (Ditjen Bea Cukai, 2008).

Batam selaku kota industri yang terkemuka di Asia Pasifik telah lama memikirkan akibat-akibat yang ditimbulkan globalisasi ekonomi terhadap kinerja pertumbuhan Batam. Sebagai barometer pertumbuhan ekonomi nasional, Batam secara signifikan harus mampu memperbaiki kinerjanya dalam meningkatkan jumlah investasi dan pertumbuhan ekonominya. Salah satu hal yang menjadi isu utama di Batam saat ini setidaknya adalah mengenai penerapan FTZ terhadap Batam. Seperti diketahui, selama ini Batam hanya dijadikan sebagai bonded zone, yang telah mengalami banyak perkembangan, sehingga diperlukan adanya satu perubahan konsep dari bonded menjadi FTZ. Namun sebagian orang ada yang menentang penerapan free trade ini dengan alasan bahwa pasar bebas yang akan diterapkan di ASEAN dengan adanya AFTA akan menjadikan status FTZ Batam menjadi percuma. Alasan yang dikemukakan dengan menghadapkan antara free trade dan AFTA sebenarnya tidak relevan dalam memandang Batam, karena ada perbedaan yang mendasar antara FTZ dan AFTA, walaupun keduanya berarti pasar bebas yang ada di suatu kawasan. Jadi pada dasarnya upaya menjadikan Batam sebagai FTZ tak lain adalah mempertahankan situasi dan kondisi Batam yang ada sekarang ini yang sebenarnya telah menjalankan fungsi-fungsi FTZ.

(Ditjen Bea Cukai, 2008).

(49)

27 Oleh sebab itu, Batam dilukiskan sebagai kawasan yang memenuhi persyaratan yang diperlukan bagi PMA berorientasi ekspor untuk menjalankan aktivitasnya. Motivasi para pengusaha swasta dalam relokasi adalah untuk memperluas pasar bagi produksinya di luar negara asal dan dalam perkembangan selanjutnya, karena persaingan global yang semakin ketat, maka perusahaan tersebut harus merelokasikan usahanya ke negara lain yang dapat memberikan efisiensi ekonomi yang lebih menarik (Ditjen Bea Cukai, 2008)..

(50)

28 Meskipun era globalisasi akan membentuk persaingan pasar internasional yang terbuka, Indonesia harus dapat mempersiapkan diri agar dapat menjadi salah satu pemeran dalam kawasan Asia Pasifik. Dengan pertumbuhan pesat dan keadaan Batam hingga saat ini, prospek Indonesia untuk dapat berkancah dalam dunia internasional semakin besar. Dengan memanfaatkan lokasi yang strategis pada jalur pelayaran yang ramai di Selat Malaka, disertai dengan fasilitas dan infrastruktur serta sumberdaya manusia yang memadai, Batam dapat menjadi pusat ekspor Indonesia. Eksportir-eksportir Indonesia dapat menggunakan momentum free trade zone Batam untuk berinvestasi di Batam, sebagai langkah awal dalam upaya menjangkau pasar dan persaingan global (Abdulah, 2001).

Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa globalisasi ekonomi dan penunjukan Batam sebagai KPB diprediksi akan berdampak terhadap lingkungan di kawasan tersebut. Selama ini walaupun sejak lama kawasan Batam secara de facto merupakan wilayah perdagangan bebas, tetapi pengendalian lingkungannya masih belum efektif.

2.3. Analisis Kebijakan Pengendalian Lingkungan

(51)

29 Regulasi lingkungan memiliki peranan penting terhadap perdagangan bebas karena aspek lingkungan saat ini telah dimasukkan di hampir semua perjanjian perdagangan internasional. Apabila pemerintah setempat tidak mengubah kebijakan pengelolaan lingkungannya, pemerintah setempat akan melanggar ketentuan internasional yang telah disepakati (CEC, 2002).

Adanya masalah (lingkungan) tersebut memerlukan kebijakan untuk mengendalikannya karena kebijakan dibuat untuk mengantisipasi permasalahan yang ada dan timbul di dalam suatu komunitas dan mengatur perilaku anggota masyarakat (publik) dalam aktivitas tertentu. Kebijakan disusun dengan suatu tujuan tertentu untuk memecahkan masalah yang ada, didukung oleh seperangkat keputusan publik, dibuat oleh sekelompok orang yang memiliki otoritas untuk membuat kebijakan, sehingga kebijakan yang ditetapkan seharusnya merefleksikan pilihan-pilihan sosial. Suatu kebijakan direncanakan dan dilaksanakan untuk menjamin bahwa suatu aksi atau kegiatan akan memberikan kontribusi pada beberapa hasil, tujuan atau sasaran yang diharapkan oleh masyarakat. Kebijakan juga merupakan preposisi atas preskripsi (rekomendasi atau resep) dari masalah nyata (real world) di masyarakat. Kebijakan dibuat untuk menjawab pertanyaan : What ought to be done? atas isu atau masalah yang mengemuka dalam perbincangan publik (masyarakat). Menurut Ramdan et al.

(2003), suatu kebijakan memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Kebijakan tidak eksis secara tunggal, tetapi ganda (berantai). Suatu kebijakan terkait dengan kebijakan lainnya. Sebagai contoh kebijakan membuka kembali ekspor kayu bulat diduga meningkatkan kegiatan penjarahan kayu di hutan alam Indonesia, sehingga untuk menjaga hal tersebut berlanjut diperlukan kebijakan lain untuk menekan laju penjarahan tersebut.

b. Keberhasilan suatu kebijakan harus didukung oleh sistem. Buruknya kondisi sistem politik mempengaruhi keberhasilan suatu kebijakan, sehingga perubahan kebijakan harus didukung oleh sistem yang baik. c. Kebijakan mengubah/mempengaruhi sesuatu keadaan yang almost

(52)

30 d. Kebijakan yang baik didukung oleh informasi yang lengkap dan akurat.

Informasi/ data yang tidak lengkap dan akurat menimbulkan

misinterpretation, misperception, dan poor guidelines dalam mengimplementasikan kebijakan.

Proses penyusunan kebijakan tertera pada Gambar 3. Studi analisis kebijakan pada prinsipnya menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut (Dunn, 1999) :

a. Apa hakekat dari permasalahan yang akan dianalisis ?

b. Kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa akibatnya ?

c. Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah ?

d. Alternatif-alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah-masalah, dan hasil-hasil apa yang diharapkan ?

Masalah dapat timbul sebagai bentuk ketidakpuasan individu atau sekelompok masyarakat terhadap kebijakan yang ada (status quo policy). Masalah dan isu (issue) adalah dua istilah yang dalam prakteknya sering dipertukarkan satu dengan lainnya. Cubbage, et al. (1993) menyatakan bahwa isu menggambarkan lebih dari suatu debat atau kontroversi terhadap situasi tertentu. Terdapat banyak masalah dalam pengelolaan lingkungan, namun hanya sedikit yang dapat dijadikan sebagai isu penting. Isu juga merupakan masalah yang dipertimbangkan dan diperdebatkan oleh publik serta dipandang sebagai hasil gabungan dari kejadian-kejadian dan aksi kelompok masyarakat. Masalah yang dapat dijadikan isu memiliki beberapa ciri, yaitu :

a. Memiliki konflik yang potensial atau konflik sedang berlangsung. b. Memiliki potensi untuk suatu perubahan dalam rencana pengelolaan. c. Memiliki pengaruh terhadap alokasi sumberdaya.

d. Berhubungan dengan kondisi di suatu tempat dan waktu saat ini. e. Dapat dirumuskan dalam bentuk sebuah pertanyaan

f. Dapat diverifikasi melalui keterlibatan publik.

Kebanyakan masalah yang ditemukan dalam pengelolaan lingkungan merupakan masalah yang rumit atau kompleks. Keputusan melibatkan banyak

(53)

31 Gambar 3. Proses pembuatan kebijakan (Cubbage, et al.1993)

tinggi menjadikan karakteristik utama yang muncul adalah konflik diantara tujuan-tujuan yang saling bersaing. Cubbage et al. (1993) menjelaskan pertentangan atau konflik yang sering timbul ketika menetapkan suatu tujuan, yaitu :

FORMASI MASALAH Masalah atau diterima dan adanya kebutuhan untuk membuat aksi

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Kebijakan diimpelemtasikan oleh instansi/badan pemerintah yang sesuai, termasuk di dalamnya

pengawasan legislatif dan peran yudikatif AGENDA KEBIJAKAN

Kebutuhan dikenali dan masalah ditempatkan sebagai agenda untuk aksi

FORMULASI KEBIJAKAN Bagian-bagian aksi yang dapat diterima dikembangkan

sesuai dengan masalah

ADOPSI KEBIJAKAN Kebijakan diseleksi untuk

mengatasi masalah dan dibuat sebagai pernyataan kebijakan ( policy statement )

EVALUASI KEBIJAKAN Determinasi informal atau formal dari efektifitas kebijakan

yang dibuat, menyarankan perbaikan kebijakan yang

harus dipertimbangkan

Perubahan yang diharapkan dari perbaikan dalam kebi-jakan yang dikenali dan diformulasikan

Gambar

Gambar  3. Proses pembuatan kebijakan (Cubbage, et al.1993)
Gambar  6.  Hirarki kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam.
Tabel  8. Perkembangan status Batam (1968-2007)
Tabel 8  (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

3.2 Jaminan Syarikat Kewangan yang dikeluarkan oleh syarikat-syarikat kewangan berlesen di bawah Akta Bank dan Institusi Kewangan 1989 yang beroperasi di Malaysia;

PEMBELAJARAN IPA TERPADU PENCEMARAN LINGKUNGAN DENGAN ARGUMENT-DRIVEN INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERARGUMENTASI ILMIAH DAN RASA INGIN TAHU.

POLA PEMBERIAN MAKAN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA PENDERITAINFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) DI PUSKESMAS TANJUNG TIRAMKABUPATEN BATUBARA.

Dalam web ini akan membahas mengenai Studio Musik Veteran Musik Studio yang nantinya diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna dan bermanfaat bagi pengunjung situs ini.

[r]

Oleh karena itu penulis mencoba untuk membuat aplikasi chating yang dapat digunakan pada hanphone.. Aplikasi chating adalah fasilitas untuk melakukan chat via GPRS antara

[r]

Untuk menghasilkan permainan ini untuk memperoleh data atau keterangan yang diperlukan suatu metode yaitu: pengumpulan data, perancangan aplikasi kemudian mempersiapkan hardware