i
PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM PROSES PENDAMPINGAN IMAN ANAK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Fransiska Indraniati NIM: 031124002
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii SKRIPSI
PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM PROSES PENDAMPINGAN IMAN ANAK
Oleh:
Fransiska Indraniati NIM: 031124002
Telah disetujui oleh:
Pembimbing
iii SKRIPSI
PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM PROSES PENDAMPINGAN IMAN ANAK
Dipersiapkan dan ditulis oleh Fransiska Indraniati
NIM: 031124002
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 23 Juni 2011
Dan dinyatakan memenuhi syarat
SUSUNAN PANITIA PENGUJI
Nama Tanda Tangan
Ketua :Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J. ... Sekretaris : F.X. Dapiyanta, SFK., M. Pd. ... Angota : 1. F.X. Dapiyanta, SFK., M. Pd. ... 2. Yoseph Kristianto, SFK ... 3. P. Banyu Dewa, H.S., S.Ag, M.Si. ...
Yogyakarta, 23 Juni 2011 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma Dekan,
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada Mama dan Papa
yang telah memberikan dukungan moral, spiritual dan finansial, Adik-adikku, seluruh keluargaku dan seluruh sahabatku
yang selalu memotivasi diriku, serta
v MOTTO
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebut dalam kutipan dan daftar
pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 23 Juni 2011 Penulis,
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Fransiska Indraniati
Nomor Mahasiswa : 031124002
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PERANAN POLA NARATIF EKSPERENSIAL DALAM PROSES
PENDAMPINGAN IMAN ANAK
Berdasarkan perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun pemberian royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal, 23 Juni 2011
Yang menyatakan
viii ABSTRAK
Judul skripsi PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM PROSES PENDAMPINGAN IMAN ANAKdipilih berdasarkan keprihatinan penulis selama menjadi pendamping PIA. Proses dalam Pendampingan Iman Anak (PIA) semakin memprihatinkan, sehingga anak-anak menjadi malas mengikuti kegiatan PIA. Bertitik tolak dari kenyataan ini, skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para pendamping PIA mendapatkan salah satu metode yang efektif dalam pendampingan PIA dengan menggunakan Pola Naratif Eksperiensial.
Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah apa yang dimaksud dengan Pendampingan Iman Anak? Apa yang dimaksud dengan Pola Naratif Eksperiensial? Bagaimanakah peranan Pola Naratif Eksperiensial dalam proses Pendampingan Iman Anak?
ix ABSTRACT
The title of thesis THE ROLE OF EXPERENTIAL NARRATIVE PATTERNS IN THE PROCESS OF FAITH CHILD ASSISTANCE was chosen based on the concern of the researcher during a PIA’s companion. Faith Mentoring Process to Children (PIA) has become increasingly serious, so that children become lazy to follow the activities of PIA. Besed on this fact, this thesis is intended to help a PIA chaperone to get one of the methods that are effective in assisting the PIA using an experiential narrative pattern.
The main issues in this thesis are what is Faith Mentoring to Children is, what a Narrative Pattern experiential, is and what the role of narrative pattern in the experiential process of Faith Mentoring to Children is?
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah Bapa atas berkat dan kasih-Nya yang melimpah, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM PROSES PENDAMPINGAN IMAN ANAK (PIA).
Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan penulis bahwa banya dari anak-anak PIA kurang tertarik mengikuti kegiatan PIA. Permasalahannya dari pihak pendamping kurang bervariasi dalam mengolah bahan dengan menggunakan berbagai metode. Pendamping PIA sudah berusaha memberikan motivasi kepada anak-anak PIA dalam kegiatan PIA. Tetapi pada kenyataannya masih banyak anak-anak-anak-anak peserta PIA tidak memperhatikan ketika pendamping memberikan materi. Menjawab keprihatinan itu, penulis mengusahakan suatu usaha untuk meningkatkan ketertarikan anak untuk ikut kegiatan PIA. Usaha yang dimaksudkan adalah penggunaan metode, Pola Naratif Eksperiensial dalam proses Pendampingan Iman Anak (PIA).
Skripsi ini disusun tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis dengan tulus hati mengucapkan terimakasih kepada:
1. Romo Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J. Sebagai Kaprodi IPPAK yang telah memberikan dukungan dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
xi
pemikiran serta motivasi bagi penulis dalam menuangkan gagasan-gagasan dari awal hingga akhir skripsi ini.
3. Bapak Yoseph Kristianto, SFK, selaku dosen pembimbing akademik yang terus menerus membimbing dan mendampingi penulis dengan penuh kesetiaan dan kesabaran selama menjalani studi di kampus IPPAK Universitas Sanata Dharma
4. Bapak P. Banyu Dewa, H.S., S.Ag, M.Si. Yang telah mendampingi, memberikan perhatian dan dukungan serta meluangkan waktu dengan sabar dan setia sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini pada waktunya.
5. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.
6. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaaan Prodi IPPAK, dan seluruh karyawan yang telah ikut memberi dukungan kepada penulis selama belajar dan dalam penulisan skripsi ini.
7. Seorang sahabat yang tak pernah berhenti memberikan semangat dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini pada waktunya.
xii
9. Teman-teman mahasiswa IPPAK-USD yang telah memberikan motivasi, berbagai pengalaman hidup, berjuang bersama dalam semangat persaudaraan dan kekeluargaan untuk menjadi katekis yang bermutu dan bijaksana.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis sehingga selesainya skripsi ini.
Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman sehingga penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Yogyakarta, 23 Juni 2011 Penulis
xiii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Pembatasan Masalah ... 6
D. Perumusan Masalah ... 6
E. Tujuan Penulisan ... 7
F. Manfaat penulisan ... 7
BAB II PENDAMPINGAN IMAN ANAK ... 9
xiv
1. Arti Pendampingan Pada Umumnya... 9
2. Ciri Khas Pendampingan ... 9
3. Tujuan Pendampingan ... 10
B. Pemahaman Tentang Anak Usia 5-13 Tahun... 10
1. Perkembangan Psikomotorik ... 11
2. Perkembangan Emosi... 13
3. Perkembangan Sosialitas ... 16
4. Perkembangan Moralitas ... 17
C. Iman... 22
1. Pengertian Iman Secara Umum ... 23
2. Pengertian Iman Kristiani ... 23
a. Iman Sebagai Jawaban Manusia Terhadap Wahyu Allah ... 24
b. Iman Sebagai Penyerahan Diri Manusia Kepada Allah... 24
D. Hal Ikhwal Tentang Pendampingan Iman Anak (PIA ... 25
1. Sejarah Pendampingan Iman Anak (PIA) ... 25
2. Kekhasan, Dasar dan Tujuan Pendampingan Iman Anak (PIA ... 29
a. Kekhasan Pendampingan Iman Anak (PIA) ... 29
b. Dasar Pendampingan Iman Anak (PIA) ... 30
1) Dasar Biblis/Kitab Suci ... 31
2) Dasar Dokumen Gereja ... 32
3) Dasar Teologis ... 34
4) Dasar Psikologis ... 34
c. Tujuan Pendampingan Iman Anak (PIA)... 35
xv
a. Santai... 36
1) Gembira ... 36
2) Bebas ... 37
3) Bermain ... 37
b. Mendalam ... 38
1) Berpola Pada Yesus Kristus ... 38
2) Menjemaat ... 39
3) Terbuka ... 39
4. Spiritualitas Pendampingan Iman Anak (PIA) ... 39
a. Kerendahan Hati ... 39
b. Beriman Dewasa ... 40
c. Kristosentris ... 40
d. Keterbukaan ... 40
e. Kerjasama Dan Saling Melengkapi... 41
f. Mencintai Kitab Suci ... 41
BAB III POLA NARATIF EKSPERIENSIAL ... 42
A. Latar Belakang Munculnya Pola Naratif Eksperiensial ... 42
B. Pengertian Pola Naratif Eksperiensial ... 44
C. Tujuan Pola Naratif Eksperiensial... 47
D. Manfaat Pola Naratif Eksperiensial ... 47
E. Bentuk-Bentuk Pola Naratif Eksperiensial... 48
1. Cerita ... 49
a. Cerita Kanonis/Cerita Alkitab ... 49
xvi
c. Cerita Pengalaman/Cerita Kehidupan ... 50
2. Nyanyian ... 51
3. Drama... 52
4. Dongeng ... 55
F. Langkah-Langkah Pola Naratif Eksperiensial ... 57
BAB IV PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM PERKEMBANGAN IMAN ANAK (PIA) ……..…………. 59
A. Cerita Menumbuhkan Daya Imajinasi Anak, Kreativitas dan Kemampuan Berpikir Abstrak ... 59
B. Cerita Mampu Menjalin Hubungan Yang Akrab Antara Anak Dengan Pencerita... 60
C. Cerita Meningkatkan Serta Menunjang Perkembangan Moral Anak .... 62
D. Cerita Bermanfaat Untuk Menanamkan Motivasi dan Proses identifikasi... 63
E. Cerita Berperan Mengembangkan Iman Anak ... 63
F. Persiapan PIA Dengan Menggunakan Metode Cerita ... 75
BAB V PENUTUP ... 75
Kesimpulan ... 75
Saran ... 76
xvii
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan dalam Alkitab Deoterokanonika, Lembaga Biblika Indonesia, 2009.
B. Singkatan Resmi Dokumen Gereja GE :Gravissimum Educationes
DCG :Directorium Catechisticum Generale. CT :Catechesi Tradendae
DV :Dei Verbum
C. Singkatan-Singkatan Lain
PIA : Pendampingan Iman Anak
No : Nomor
TK : Taman Kanak-Kanak
SD : Sekolah Dasar
SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil judul “Peranan Pola Naratif
Eksperiensial Dalam Proses Pendampingan Iman Anak (PIA)”. Pada bagian
pendahuluan ini, penulis akan menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan judul
skripsi tersebut, yakni: latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan. Untuk lebih jelasnya akan
diuraikan satu per satu.
A. Latar Belakang
Merupakan kewajiban bagi Gereja dalam mewartakan kabar keselamatan
dan suka cita kepada semua orang, seperti yang telah diajarkan Yesus kepada para
rasul “…pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu
yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20), Tugas perutusan ini
merupakan tangung jawab bagi Gereja dalam melaksanakan tugas mengajar yang
telah dilaksanakan sebelumnya oleh para rasul.
Yesus juga pernah bersabda demikian, “Biarlah anak-anak itu, janganlah
menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku…” (Mat 19:14). Yesus sangat
menghendaki agar anak-anak dekat pada-Nya. Gereja juga mengikuti sabda Yesus
dengan mewujudkannya melalui kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA). Kegiatan
ini bertujuan membantu anak-anak semakin mengenal keselamatan dan dapat hidup
sesuai dengan kehendak Allah. Kegiatan yang dilaksanakan dalam Pendampingan
Kitab Suci, mendengarkan cerita, menggambar, permainan, mewarnai gambar,
melipat kertas, perlombaan dan sebagainya. Semua diajarkan untuk membantu anak
menemukan nilai-nilai imannya sendiri.
Pendampingan Iman Anak (PIA) merupakan tanggung jawab seluruh jemaat
beriman. Pendampingan Iman Anak (PIA) merupakan kegiatan rutin yang diadakan
oleh Gereja dan diikuti oleh anak-anak yang berusia antara 5-13 tahun, yang duduk
di bangku sekolah antara Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan tingkat Sekolah
Dasar (SD). Usia anak seperti ini memaparkan masa di mana mereka senang
bermain, bertemu, dan berkumpul bersama teman-temannya. Melalui pengalaman
dalam mendampingi PIA, penulis melihat situasi yang terjadi adalah terkadang
jumlah anak peserta PIA di setiap lingkungan dalam suatu paroki tidak terlalu
banyak, sehingga tidak jarang pelaksanaan PIA dilakukan dengan cara
menggabungkan peserta PIA dari beberapa lingkungan menjadi satu. Selain itu orang
tua kadang tidak mengijinkan anak mengikuti kegiatan PIA karena orang tua
berbeda keyakinan. Sebagian besar anak masih harus diantar dan ditunggu oleh
orang tuanya yang terkadang mendadak ada keperluan lain sehingga tidak dapat
mengantar anak mengikuti kegiatan PIA. Dalam proses pelaksanaan PIA, peserta
aktif menjawab setiap pertanyaan yang diberikan pendamping jika pertanyaan
tersebut dalam bentuk pilihan dan mereka menjawab pertanyaan dengan serempak.
Namun dengan pertanyaan yang membutuhkan pemikiran, tidak semua peserta dapat
menjawab pertanyaan tersebut.
Ada juga anak yang begitu malas mengikuti kegiatan PIA karena bagi
mereka ikut PIA bukanlah suatu hal yang menarik. Mereka lebih memilih untuk
dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang semakin maju serta berbagai
perkembangan teknologi dan informasi yang begitu canggih, sehingga membawa
dampak sangat besar terhadap perkembangan setiap anak. Berbagai alat elektronik
yang ditawarkan seperti hand phone, playstation, komputer, Televisi, radio, dan
sebagainya begitu melekat dan sudah menjadi bagian dari kehidupan setiap anak.
Situasi masyarakat yang beragam, dengan keadaan lingkungan yang kurang
mendukung bagi perkembangan mereka, terkadang membawa dampak negatif bagi
kehidupan mereka. Selain itu bagi anak yang tinggal di dalam keluarga dengan
tingkat perekonomian menengah ke bawah, menuntut kedua orang tua untuk bekerja
keras dalam mencari nafkah. Tentunya hal ini menyebabkan anak berkembang
dengan cara mereka sendiri, sehingga perkembangan iman mereka terkadang kurang
begitu diperhatikan dan tak jarang dari anak-anak kadang tidak mengenal Kristus
secara lebih dekat.
Dalam hal ini peranan orang tua sangat penting dalam memperhatikan serta
mendukung perkembangan iman mereka. Diharapkan orang tua tetap mendampingi
anak-anak mereka untuk selalu pergi ke Gereja, serta rajin mengikuti kegiatan PIA.
Sehingga perkembangan iman mereka lebih terarah.
Anak membutuhkan orang tua dalam membantu mereka untuk semakin
mencintai Kristus secara lebih dekat, sehingga sangat penting sekali pengaruh orang
tua bagi perkembangan iman setiap anak lewat kehidupan doa serta lewat
kegiatan-kegiatan Gereja, dan mendorong anak agar mau terlibat di dalam kegiatan-kegiatan PIA.
Sangat disayangkan apabila kesempatan bagi anak-anak untuk mengenal Kristus
Salah satu faktor lain yang menyebabkan anak menjadi malas ikut kegiatan
PIA adalah dana yang disediakan untuk melaksanakan pendampingan PIA masih
sangat kurang sehingga fasilitas yang dapat digunakan untuk melaksanakan
pendampingan PIA terbatas. Ditambah lagi dari pendamping sendiri kurang memiliki
ketrampilan dalam memberikan materi bagi peserta PIA. Terkadang materi
pendampingan PIA tidak dipersiapkan dengan baik, sehingga proses pendampingan
PIA terasa membosankan. Kebanyakan para pendamping yang terlibat dalam
pendampingan PIA adalah muda-mudi katolik, ada juga sebagian yang sudah
berkeluarga di mana mereka melaksanakan tugas mereka sebagai pendamping PIA
berdasarkan kerelaan untuk memenuhi kebutuhan paroki. Dengan latar belakang
pendidikan dan kemampuan yang berbeda-beda dan banyak juga dari antara para
pedamping PIA yang belum memahami tentang PIA, sehingga dalam melaksanakan
tugas mereka sebagai seorang pendamping PIA, terkadang kurang mempersiapkan
terlebih dahulu sehingga proses pelaksanaan PIA menjadi tidak berkualitas dan
berjalan asal-asalan.
Melihat kenyataan ini, Gereja bertanggungjawab memberikan pembekalan
bagi pendamping PIA untuk memperoleh pengetahuan tentang keterampilan yang
seharusnya dimiliki oleh pendamping PIA seperti keterampilan bermain,
keterampilan bercerita, keterampilan bernyanyi dan keterampilan menggunakan
sarana-sarana seperti teks cerita, gambar, kertas gambar, kertas lipat (Origami),
pensil warna dan sebagainya.
membuat orang menjadi tertarik, menggumulinya dan selanjutnya memutuskan untuk mengajar (Kadarmanto, 2004; 27).
Dengan segala permasalahan yang ada, penulis mencoba memanfaatkan
pendekatan Pola Naratif Eksperiensial, dengan pendekatan Pola Naratif
Eksperiensia, pendampiangan PIA dapat memberikan kegembiraan kepada
anak-anak PIA. Adapun yang dimaksud dengan Pola Naratif Eksperiensial adalah cerita
yang bersifat pengalaman, selain itu Pola Naratif Eksperiensial juga dapat diartikan
sebagai suatu pendekatan yang mengutamakan cerita. Cerita sangat efektif dan begitu
diminati. Karena mendengarkan cerita merupakan suatu hal yang sangat
menyenangkan, sangat disukai berbagai kalangan dari anak-anak sampai orang
dewasa. Dengan mendengarkan cerita, anak diajak untuk berimajinasi serta
membangkitkan daya khayal dan rasa ingin tahu yang mereka miliki untuk
menangkap hal yang positif dari cerita yang disampaikan. Selain itu lewat imajinasi
yang mereka miliki, akan memberikan inspirasi yang menyegarkan. Hal ini
dilakukan, agar anak-anak PIA dibentuk supaya mengenal dan mencintai Kristus
secara lebih dekat dengan cara yang menyenangkan. Selain itu juga dimaksudkan
agar dapat membantu orang tua Kristiani untuk mendampingi serta membina dalam
pertumbuhan dan perkembangaan iman anak-anak mereka. Tentunya hal ini di
harapkan hidup beriman anak menjadi lebih baik dan penghayatan iman anak akan
Yesus Kristus dapat semakin nyata.
Dengan cerita juga dapat membantu anak-anak memainkan khayalan
mereka terhadap suatu peristiwa yang sedang didengarnya. Mengingat anak memiliki
rasa ingin tahu yang sangat besar, dengan mendengarkan cerita, anak mendapatkan
pengalaman belajar dan tidak menutup kemungkinan untuk tumbuhnya minat dalam
memanfaatkan Pola Naratif Eksperiensial, anak-anak tidak lagi merasa bahwa
mengikuti PIA merupakan hal yang sangat membosankan.
Bertitik tolak dari apa yang ditemukan di atas, maka penulis mengambil
judul “PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM PROSES
PENDAMPINGAN IMAN ANAK (PIA)”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan
beberapa permasalahan dalam skripsi ini yaitu:
1. Banyak peserta tidak senang ikut PIA.
2. Materi dalam pendampingan PIA tidak didisain secara baik.
3. PIA kurang terorganisasi secara rapi
4. Pendanaan bagi pelaksanaan PIA kurang diperhatikan.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan atas permasalahan-permasalahan tersebut di atas, dan oleh
karena keterbatasan serta luasnya pembahasan, maka pembatasan masalah terfokus
pada ”Pola Naratif Eksperiensial dalam proses pendampingan iman anak”.
D. Perumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Pendampingan Iman Anak (PIA) ?
2. Apa yang dimaksud dengan Pola Naratif Eksperiensial ?
3. Bagaimana peranan Pola Naratif Eksperiensial dalam proses pendampingan
E. Tujuan Penulisan
1. Memaparkan tentang Pendampingan Iman Anak (PIA).
2. Memaparkan tentang Pola Naratif Eksperiensial.
3. Menjelaskan tentang peranan Pola Naratif Eksperiensial dalam pendampingan
PIA.
F. Manfaat Penulisan
Penulisan ini akan bermanfaat secara teoritis maupun praktis di bidang
Pendampingan Iman Anak (PIA).
1. Manfaat secara teoritis:
Skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi mata kuliah Pendampingan Iman
Anak (PIA).
2. Manfaat secara praktis bagi:
a. Pendamping
Pendamping akan mengetahui kekurangan dan kelebihan cara mendampingi
anak-anak peserta Pendampingan Iman Anak (PIA), sehingga akan
meningkatkan kualitas sebagai pendamping PIA.
b. Orang tua
Skripsi ini dapat dijadikan informasi bagi orang tua tentang visi dan misi
Pendampingan Iman Anak (PIA) sehingga orang tua semakin bertanggung jawab
dalam mendidik anak.
c. Gereja
Gereja semakin memberi dukungan dan perhatian dalam pendampingan
d. Penulis
Penulis akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman-pengalaman baru,
khususnya dalam mempelajari tentang peranan Pola Naratif Eksperiensial dalam
BAB II
PENDAMPINGAN IMAN ANAK
A. Pendampingan
Untuk menguraikan tentang pendampingan, penulis akan menjabarkan arti,
ciri khas, tujuan dan bentuk pendampingan pada umumnya.
1. Arti Pendampingan Pada Umumnya
Pendampingan berasal dari kata dasar ”damping”. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata damping mempunyai arti dekat, karib atau akrab. Sedangkan
arti kata ”mendampingi” dalam pendampingan dapat diartikan sebagai ”menyertai
dekat-dekat: istri yang setia selalu terhadap suaminya” (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2005: 234).
Dapat dimengerti sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk menemani
seseorang dari dekat untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu.
Milton Mayerof (1993: 55) memberikan arti pendampingan adalah
”menolong sang lain bertumbuh”. Berdasarkan arti tersebut pendampingan adalah
suatu usaha untuk membantu orang lain agar dapat tumbuh dan mengembangkan
dirinya.
2. Ciri Khas Pendampingan
Dalam hal menolong sang lain untuk bertumbuh, pendamping mempunyai
ciri khas bahwa sang lain merupakan pribadi yang bebas dan berdiri sendiri. Peserta
mentah-mentah apa yang di berikan oleh pendamping. Justru pendamping harus
dapat menciptakan suasana yang menyenangkan yang membuat mereka berada pada
posisi sejajar dengan pendamping artinya tidak ada batasan antara peserta dan
pendamping, hal ini juga sangat menentukan keberhasilan suatu proses
pendampingan. Pendamping merupakan alat yang dapat menolong peserta dalam
mengembangkan potensi mereka, sehingga orang lain tumbuh dan dapat
mengembangkan potensi yang dimilikinya (Milton Mayerof, 1993: 53).
3. Tujuan Pendampingan
Pendampingan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu dan mendorong
seseorang untuk dapat mengembangkan dirinya secara jelas memiliki tujuan
membantu mereka untuk dapat memperoleh pengetahuan, informasi, kecakapan,
sikap, perbuatan, dan prilaku hidup, sehingga dapat menyesuaikan diri melalui hidup
bersama orang lain di dalam masyarakat, bangsa dan dunia (Mangunhardjana, 1986:
26). Tujuan dari pendampingan sangat penting bagi pendamping maupun yang
didampingi, dengan begitu seorang pendamping akan tahu tugasnya dalam
membantu mengembangkan subyek yang didampingi. Artinya tujuan pendampingan
bukan sekedar untuk mengerti tentang teori, tetapi juga dapat menerapkan teori
tersebut dalam perbuatan mereka di lingkungan masyarakat.
B. Pemahaman Tentang Anak Usia 5-13 Tahun
Ketika melihat situasi anak dan dunianya, seorang pendamping dituntut
memahami anak dengan baik sehingga seorang pendamping dapat membantu anak
Secara psikologis, usia antara 5-13 tahun adalah masa peka bagi anak yang
menyebabkan gampang sekali kena pengaruh dari luar bagi perkembangan anak.
Segala sesuatu yang diterima dari luar oleh anak akan di rekam dan tersimpan di
dalam memori bawah sadar anak. Sehingga hal ini sanggat menentukan untuk
perkembangan anak selanjutnya.
Usia anak antara 5-13 tahun adalah usia yang biasa juga dikatakan usia
masa sekolah. Maka dengan usia mereka, pendamping perlu memahami anak-anak
untuk menjawab kebutuhan mereka, pemahaman yang dapat diusahakan meliputi:
1. Perkembangan Psikomotorik
Perkembangan motorik berarti perkembangan pengendalian gerakan
jasmaniah melalui kegiatan pusat urat syaraf dan otak yang terkoordinasi (Hurlock,
1991: 150). Secara fisik anak usia 5-13 tahun sudah dianggap sudah matang untuk
bersekolah dan bergaul bersama teman-temannya. Hal ini dapat dilihat melalui fisik
yang berfungsi dengan baik.
Agar dapat diterima di lingkungan teman sebayanya baik di sekolah maupun
dimasyarakat, anak harus memiliki suatu keterampilan tertentu yang membuat anak
dapat diterima oleh lingkungannya. Salah satunya adalah keterampilan berbicara,
karna dengan berbicara, anak dapat berkomunikasi dengan baik dan menyampaikan
apa yang diinginkan oleh anak. Ciri yang paling terlihat adalah anak senang
menggunakan kata-kata yang tidak biasa atau pantang dan kata-kata rahasia untuk
menarik perhatian, senang bercerita dan dapat mencapai prestasi akademik (Hurlock,
berkomunikasi dengan baik, artinya anak siap didampingi dan bersosialisasi di dalam
lingkungannya.
Keterampilan yang lain yang dibutuhkan anak pada usia sekolah adalah
keterampilan menolong diri sendiri. Bentuk fisik yang semakin sempurna dan kuat
serta mulai berfungsi dengan baik, memungkinkan anak membiasakan diri untuk
menolong dirinya sendiri. Keterampilan tersebut meliputi makan, berpakaian, mandi
dan keperluan lainnya (Hurlock, 1991: 163). Dengan masuknya anak ke dunia
sekolah dan kelompok teman sebaya, mereka dituntut mandiri dan bertanggung
jawab.
Selain memiliki kertampilan menolong diri sendiri anak juga dituntut
memiliki keterampilan membantu orang lain. Untuk menjadi anggota kelompok
sosial baik di dalam keluarga, sekolah dan teman sebaya. Anak harus siap menjadi
anggota yang siap memberi bantuan baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat
pada umumnya, khususnya pada teman sebayanya. Tentunya hal ini mempersiapkan
anak masuk dalam suasana kerja sama, kekeluargaan dan rasa saling membantu.
Keterampilan lain yang harus dimiliki anak pada usia sekolah adalah
keterampilan bermain, anak mulai bergabung bersama teman sebayanya yang
terbentuk dalam kelompok bermain. Maka anak dituntut siap secara fisik dan mental
untuk terlibat dalam permainan kelompok (Hurlock, 1991: 163,322). Anak dituntut
menguasai permainan seperti naik sepeda, berenang, main sepak bola, main sepatu
roda dan lain-lain. Dengan bermain dan bergabung bersama teman-temannya, anak
dapat mengembangkan keterampilan yang membuat anak dapat memasuki hidup
sosial dan memperoleh pengakuan yang pada akhirnya mendorong anak berkembang
Kemampuan anak mengembangkan keterampilan dalam kelompok dapat
membantu anak menyadari hidup serta tanggung jawabnya sebagai bagian dari
keluarga, sekolah dan masyarakat. Dalam kelompok anak memahami bahwa dalam
hidup harus saling membantu, bekerja sama, jujur, disiplin dan saling menghormati.
Sikap-sikap tersebut dapat ditekankan dalam Pendampingan Iman Anak (PIA)
dengan menciptakan suasana kerjasama, saling melayani di dalam permainan, diskusi
dan sebagainya. Anak disadarkan pada pengalaman merasakan kehadiran Allah di
dalam suasana kebersamaan tersebut.
2. Perkembangan Emosi
Emosi merupakan unsur yang dimiliki oleh setiap manusia, sehingga
manusia memiliki keinginan untuk berbuat sesuatu serta mempertahankan hidupnya.
Sejak lahir setiap orang memiliki emosi yang ada pada dirinya. Hal ini sudah terlihat
sejak bayi, di mana bayi mampu mengungkapkan emosinya apabila ia lapar, lelah,
dingin dan lainnya lewat ekspresi wajah, tangisan, tidak mau tidur, bahkan sakit.
Tapi ketika bertambahnya usia mulai tampak ekspresi yang berbeda dari emosi
seseorang (Hurlock, 1991: 210-212). Bersamaan dengan itu muncul pula
pengendalian emosi.
Masa kanak-kanak dikenal sebagai masa ingin tahu dan pada akhirnya
mereka dapat meniru apa yang mereka lihat dan mereka dengar, tentunya hal ini
sangat mempengaruhi perkembangan mereka. Perkembangan emosi pada setiap anak
berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, hal ini disebabkan adanya
orang dewasa sangat berbeda sehingga anak-anak memerlukan pendampingan dari
orang dewasa.
Ada beberapa unsur emosi yang terlihat pada usia anak antara 5-13 tahun.
Di mana unsur emosi itu menjadi sarana bagi anak untuk mengungkapkan kehendak
dan keinginannya. Rasa takut adalah salah satu unsur emosi yang nampak pada diri
anak usia ini. Rasa takut dipengaruhi oleh daya khayalan mereka dan fantasi anak. Di
satu sisi anak mendapat masukan yang baik untuk perkembangannya. Namun disisi
lain kesukaan mereka akan cerita-cerita mistis menciptakan perasaan takut dan ngeri.
Perasaan takut ini disebut rasa takut fantasi (Hurlock, 1991: 215-217). Rasa takut
pada anak dapat muncul secara mendadak namun pertambahan usia dan kematangan
pada anak dapat mengatasi keadaan tersebut melalui penyesuaian diri.
Selain dipengaruhi daya fantasi, rasa takut anak dipengaruhi oleh
perkembangan sosialnya. Pengalaman hubungan dengan orang lain dapat
menimbulkan rasa khawatir, rasa canggung, rasa cemas, rasa malu dan juga rasa
takut yang bersifat traumatis yaitu rasa takut yang ditimbulkan oleh suatu
pengalaman pahit dalam diri anak. Berhadapan dengan anak yang memiliki rasa
takut dan traumatis yang berlebih, tentunya seorang pendamping dituntut untuk
bijaksana dalam mendampingi. Pendekatan secara pribadi akan sangat membantu
anak mengembalikan kepercayaan dirinya sehingga perlahan-lahan anak dapat
membuang rasa takut yang dimilikinya.
Unsur emosi lain adalah emosi rasa marah. Di mana ketika anak marah,
merupakan salah satu cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Dalam
pergaulan segari-hari, anak mencoba mencari perhatian dan pengakuan sosial, namun
negatif, maka sebagai protes muncul berbagai ekspresi marah seperti memukul,
menangis ataupun menarik dan mengasingkan diri. Emosi marah setiap anak
berbeda-beda. Menghadapi anak yang kemarahannya berlebih, maka seorang
pendamping dituntut memiliki kesabaran agar anak merasa tidak dimusuhi.
Unsur emosi yang lain adalah rasa cemburu. Rasa cemburu ini muncul dari
ketakutan anak karena merasa akan kehilangan kasih sayang dari orang tuanya ketika
anak mulai melihat perubahan pada sikap orang tua mereka. Orang tua mencoba
membiarkan mereka lepas dari rasa ketergantungan namun terkadang anak
menganggap orang tuanya pilih kasih dan tidak sayang lagi. Rasa cemburu itu
terkadang muncul dari rasa iri terhadap sesuatu hal yang mereka lihat. Pada usia ini
anak cenderung memiliki sifat tamak, mereka ingin memiliki sesuatu yang lebih dari
pada anak yang lainnya khususnya pada anak yang lebih kecil. Sehingga muncul
sikap memusuhi pada anak lain.
Anak juga dapat merasakan kesedihan karena kehilangan sesuatu yang
dicintainya, tentunya hal ini dapat menjadi trauma bagi anak. Namun ingatan anak
akan sesuatu yang berkaitan dengan emosi tidak dapat bertahan lama. Perasaan sedih
yang dialami anak, hendaknya segera diatasi oleh pendamping dengan cara
memberikan perhatian lebih banyak. Sehingga anak akan merasa aman dan bahagia
di masa kanak-kanaknya.
Unsur emosi selanjutnya adalah rasa ingin tahu. Hal ini terlihat dari
banyaknya pertanyaan yang mereka ajukan, terutama ketika mereka melihat hal baru,
aneh dan hebat. Tentunya hal ini membuat anak menjadi lebih kritis dan kreatif.
Hendaknya seorang pendamping mengembangkan sikap kritis, kreatif dan berani
Dunia anak adalah dunia gembira, maka unsur kegembiraan adalah unsur
terbesar dalam emosi anak. Hal ini terlihat dari mudahnya beralih dari perasaan sedih
ke perasaan senang dengan tanpa ada beban. Pertemuan bersama teman sebaya
membawa mereka pada kegembiraan. Di dalam kelompok inilah mereka belajar
bersikap jantan dan sportif (Hurlock, 1991: 215-229). Yaitu belajar memahami
kesusahan dan penderitaan hidup orang lain.
Dari situasi kegembiraan anak tersebut, maka seorang pendamping dituntut
untuk bersikap luwes kreatif dan selalu mengembangkan diri, sehingga dalam
melaksanakan pendampingannya dapat memberikan kebahagiaan bagi anak-anak
yang didampingi.
Unsur emosi lain yang tampak pada anak usia sekolah adalah rasa kasih
sayang. Pemberian rasa kasih sayang pada anak dapat menyingkirkan rasa takut,
kecemburuan dan rasa sedih pada anak. Selain itu dapat membangun emosi yang
positif pada anak seperti: rasa aman, rasa gembira, rasa tenang, rasa damai dan
keberanian. Pemberian rasa kasih sayang ini bisa melalui perhatian dan sikap yang
hangat pada anak.
Rasa kasih sayang pada anak usia ini muncul karena hubungan pribadi,
semakin erat dan hangat hubungan pribadi yang ada, anak semakin merasa disayang.
Maka anak pun akan membalas dengan rasa sayang dan tingkah laku yang positif
seperti mau membantu, menuruti, manja dan sebagainya.
3. Perkembangan Sosialitas
Perkembangan anak pada saat mereka masuk Sekolah Dasar (SD) adalah
anak untuk bergabung menjadi anggota kelompok dan diterima oleh kelompok teman
sebaya makin meningkat. Anak tidak puas lagi bermain sendiri di rumah bersama
orang tua dan saudara-sauradanya. Anak mulai mencari teman sebaya di luar dan
melihat bahwa kelompok teman sebaya sebagai dunianya. Dan kehidupan anak mulai
ditentukan oleh kelompok itu. Pada usia ini anak mulai merasa nyaman bersama
teman-temannya, seringkali mereka mulai meniru kebiasaan teman-teman sebayanya
dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bersama teman sebayanya
biasanya mereka membentuk ”gang” yang bertujuan agar mereka diterima oleh
kelompoknya. Pada usia mereka anak mulai mengerti tentang peraturan, kewajiban
dan konsekuensi-konsekuensi dari tindakannya (Gunarsa, 1978: 96-99). Maka dalam
”gang” inilah mereka menerapkan nilai-nilai tersebut untuk pertama kali.
Lingkungan sosial dan sekolah menjadi tempat bagi anak untuk belajar di
luar lingkungan keluarga, di mana sekolah menjadi tempat mengembangkan
potensi-potensi anak, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri serta mencapai kemandirian
diri (Gunarsa, 1978: 252-258). Semua pengalaman hidup anak dalam hubungannya
dengan orang lain, membantu anak memahami hubungannya dengan Allah. Anak
hadir di tengah orang lain, agar dapat menjalin relasi dan menemukan dirinya.
Pendamping Iman Anak (PIA) dapat membatu anak untuk mengetahui kehadiran
orang lain, kehadiran dunia dan kehadiran Allah.
4. Perkembangan Moralitas
Seorang anak belum bisa diharapkan dengan sendirinya untuk mengerti
tentang nilai-nilai moral yang berlaku. Mereka juga tidak mengerti akan
kehidupan masyarakat. Maka sangat jelas bahwa dari segi moral anak, adalah suatu
yang berkembang dan kemungkinan besar datang dari orang lain serta lingkungan
sekitar di mana anak tinggal. Tentunya dalam hal ini penghayatan nilai moral dalam
lingkungan keluarga juga sangat mempengaruhi terhadap perkembangan moral anak,
bahkan akan membawa dampak yang sangat besar terhadap anak pada
perkembangan selanjutnya (Hurlock, 1991: 74).
Melihat masa perkembangan anak, moralitas anak mengalami masa
perpindahan dari moralitas kosong menuju moralitas yang berdasar. Pada masa
sebelumnya anak melakukan tindakan moral tanpa mengetahui alasannya yang
menyebabkan anak melakukan tindakan tersebut, selain itu mereka juga lebih bersifat
egosentris. Sifat egosentris ini terlihat jelas dari tujuan menghindari hukuman atau
karena anak ingin mendapat pujian dan hadiah. Namun memasuki usia ini, anak
sedikit demi sedikit sudah mulai memahami adanya nilai-nilai tertentu atas tindakan
yang mereka lakukan. Selai itu mereka mulai memahami akan pentingnya beberapa
peraturan dan akibat dari pelanggaran tersebut. Pendampingan yang baik bagi anak
sangat membantu mengarahkan anak untuk membedakam situasi yang ada, sehingga
dapat diterapkan suatu nilai secara tepat. Artinya moralitas anak mulai bersifat sosial,
di mana anak melakukan tindakan agar anak diakui, bahwa tindakannya benar
sehingga ia dianggap anak yang baik.
Dalam hal ini yang dilakukan seorang pendamping untuk mengajarkan anak
tentang nilai-nilai adalah, bukan dengan paksaan, ancaman, ataupun kekerasan.
Tetapi dengan kasih dan kesabaran untuk membuka hati anak serta mengajarkan
mereka untuk memahami tentang nilai-nilai tersebut. Di sini anak mulai ditantang
anak usia ini memerlukan suatu bentuk teladan dalam bertingkah laku. Dengan kata
lain anak tidak hanya diberi nasehat dan teori tentang moral saja, tetapi dari pihak
pendamping juga perlu menyadari bahwa, tindakan yang di lakukan harus menjadi
teladan bagi anak-anak agar dapat menjadi contoh bagi kehidupan mereka. Maka
seorang pendamping hendaknya, selalu merefleksikan segala perbuatan dan tindakan,
sehingga dapat menjadi teladan yang baik bagi anak-anak (Hurlock, 1991: 78-82).
5. Perkembangan Religiositas
Sifat yang sangat menonjol dari seorang anak adalah bahwa mereka
memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, mereka berkembang melalui sebuah
proses yang terjadi secara bertahap. Pada tahap perkembangan anak usia 5-13 tahun,
anak mulai sadar dan masuk dalam kelompok atau jemaat terdekat. Anak mulai
memiliki semangat yang tinggi untuk mempelajari adat istiadat, kebiasaan, bahasa,
cerita-cerita dari lingkungan di mana dia hidup dan menjadikannya milik pribadi. Hal
ini disebabkan karena anak mulai dapat membedakan dirinya dari kelompok. Cerita
tentang lingkungan dimengerti melalui apa yang dilihatnya. Anak memandang hidup
dengan cara apa yang terlihat olehnya, dan mereka akan sangat terkesan dengan
sesuatu yang indah yang tampak dari permukaannya yang berkilau, bersinar serta
memantulkan cahaya. Allah masih tetap dimengerti secara antropomorf yang
dipandang sebagai raja atas aturan-aturan terhadap tindakan seseorang. Oleh karena
itu maka pada tahap ini, iman bagi anak adalah iman afiliasi, yaitu anak dengan sadar
mulai menggabungkan diri dengan kelompok sosialnya yang terdekat, menerima
cerita-cerita, simbol-simbol, ajaran-ajaran dan mengartikan seperti apa yang telah
pada teman sebayanya. Sesuatu yang baru mulai muncul pada tahap ini, yaitu
kemampuan untuk bercerita mengenai pengalamannya, tapi karena pengalaman ini
sangat terbatas pada pengalaman hidup bersama, maka dapat timbul sikap terlalu
menguasai. Pada tahap perkembangan Mitis-Harafiah, anak memiliki ketertarikan
yang sangat besar terhadap cerita-cerita mitos, cerita bergambar, tokoh-tokoh
pahlawan, tokoh petualangan. Cerita bukan sekedar hiburan tetapi sudah berubah
fungsi menjadi sarana pendidikan dan pembelajaran (Supratiknya, 1995:177-174 ).
Perkembangan iman seorang anak tidak dapat diukur, karena iman adalah
rahasia Allah. Pada kenyataanya iman bersifat pribadi, namun perkembangan iman
anak dapat dilihat melalui tahap-tahap psikologisnya, karena kehidupan agama pada
masa kanak-kanak tampak pada ciri perkembangan kognitif, afektif, dan
psikomotorik (Crapps1993: 14-18).
Ciri agama pada masa kanak-kanak yang pertama adalah “orientasi
egosentris” di mana ciri ini terlihat dari perilaku anak yang selalu berpusat pada diri
sendiri. Dalam kehidupannya anak banyak menuntut agar kebutuhannya dipenuhi
serta menginginkan perhatian dari pihak lain. Hal ini terlihat dari kesediaan anak
untuk menghafal doa yang diajarkan agar memperoleh pujian dan hadiah. Lewat
pengalaman yang ada, mereka mulai memahami gambaran Allah (Crapps1993:
14-18).
Dalam hal ini orang tua merupakan gambaran Allah dalam kehidupan anak
dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Melihat ciri dari orientasi egosentris tersebut,
maka seorang pendamping dapat mengusahakan suasana dan sikap yang dapat
memberikan rasa aman kepada anak, sehingga gambaran Allah dapat terlihat dengan
Ciri kedua agama masa kanak-kanak adalah “kekonkretan antropoformis”.
Ciri ini mau melihat dari pengalaman hidup anak dalam menjalin hubungan relasi
dengan orang lain. Dari pengalaman tersebut, Allah dipahami sebagai manusia biasa
seperti ayah atau kakek mereka yang punya tangan, kaki, bisa marah dan bisa juga
bersikap baik. Maka sosok ayah atau kakek menunjukkan gambaran Allah dalam diri
anak, apabilah seorang ayah atau kakek yang dilihatnya selalu bersikap baik, maka
bagi anak-anak Allah adalah sosok yang penuh kasih dan kebaikan, demikian juga
sebaliknya jika mereka menjadi sesuatu yang menakutkan dan ancaman serta suka
menghukum, maka bagi mereka Allah adalah sosok yang menakutkan, mengancam
dan suka menghukum. Dengan cara tersebut pendamping, khususnya orang tua
mempersiapkan anak sejak dini dengan memperkuat iman mereka akan gambaran
Allah melalui hidup dan tindakan mereka sehari-hari (Crapps1993: 134-135).
Ciri ketiga dari agama pada masa kanak-kanak adalah “eksperimentasi
inisiatif, dan spontanitas”. Ciri ini muncul saat sosialisasi anak mulai berkembang.
Anak usia sekolah mulai bergabung dengan kelompok teman sebayanya maupun
umat sekitar untuk menghayati kebersamaan dan merayakan liturgi (Crapps1993:
134-135).
Saat anak berusia antara sembilan tahun, kebanyakan dari mereka mulai
menyukai cerita serta dongeng, terutama yang berbau mistis dan hebat, kesukan
mereka akan hal tersebut pun mulai menghilang saat mereka memasuki usia tiga
belas tahun. Rasa senang pada mereka akan cerita dan dongeng tersebut merupakan
pengaruh dari hayalan mereka yang besar sehingga hidup agama mereka memiliki
ciri “mistis lateral”. Pengertian mereka akan cerita tersebut membawa mereka pada
pendampingan khusus dalam pemahaman mereka akan iman Kristiani (Crapps1993:
134-135).
Ciri ketiga dari agama masa kanak-kanak yang lain adalah daya fantasi anak
yang berkembang pesat, Ciri ketiga dari agama masa kanak-kanak ini dipengaruhi
oleh rasa ingin tahu yang besar. Hal itu terlihat dari kesenangan mereka melakukan
hal-hal yang muncul secara spontan. Dengan demikian anak mendapatkan
pemahaman yang lebih jelas tentang gambaran Allah ataupun ajaran tentang agama
yang telah mereka dapatkan, sehingga anak pun merasa yakin.
Dengan memahami ketiga ciri agama pada masa kanak-kanak tersebut,
hendaknya menyadarkan mereka yang bertanggung jawab dalam mengembangkan
iman anak, sehingga dapat melaksanakan pendampingan sesuai dengan
perkembangan anak. Selain itu harus ada kesadaran dari pendamping bahwa mereka
bukan hanya menghantar anak-anak, tapi harus ada tindakan yang menjadi teladan
bagi anak-anak, sehingga mereka semakin terbantu dalam memahami dan
menghayati iman mereka.
C. Iman
Iman adalah hubungan antara manusia dengan Allah yang menuju pada
keselamatan manusia. Bagi manusia iman menjadi sesuatu yang penting dalam
hidupnya yang dapat menuntun ke arah yang lebih baik, Sehingga dibutuhkan
1. Pengertian Iman Secara Umum
Pada permulaannya Allah telah mewahyukan diri-Nya kepada manusia
pertama lewat sejarah Adam dan Hawa yang terus berkembang lewat perkembangan
sejarah manusia sampai sekarang. Allah mewahyukan diri-Nya dalam alam semesta,
sejarah dan hidup manusia yang menggambarkan kebaikan Allah. Manusia
menanggapi kebaikan Allah yang ditunjukkan dengan kepercayaan akan kebenaran
wahyu tersebut yang sering juga kita sebut dengan iman. Beriman berarti
mengadakan hubungan pribadi dengan Allah lewat tindakan atau perbuatan yang
berasal dari hatinya. Manusia memiliki hubungan relasi dengan Allah bukan hanya
sekedar menerima kebenaran-Nya, akan tetapi menyerahkan hidup secara penuh
(Huijbers, 1985: 76-77).
Jika manusia percaya kepada Allah, maka manusia akan mengikuti
kehendak Allah yang membawanya datang kepada Allah itu sendiri. Kepercayaan
tersebut diyakini akan kehadiran Allah dalam hidup manusia, oleh karena itu
manusia menyadari bahwa Allah adalah sumber ”kebaikan”. Allah telah hadir untuk
manusia, sehingga manusia percaya bahwa tidak mungkin manusia dapat datang
kepada Allah dengan cara menguasai Allah, tetapi hanya dengan menyerahkan diri
seutuhnya pada Allah, maka manusia dapat bertemu Allah secara lebih dekat.
2. Pengertian Iman Kristiani
Iman merupakan jawaban manusia terhadap wahyu Allah, dalam iman
kristiani telah dinyatakan lewat pewahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus, maka
a. Iman Sebagai Jawaban Manusia Terhadap Wahyu Allah
Allah mewahyukan diri-Nya kepada manusia lewat perjalanan sejarah
melalui perantaraan para nabi. Dan setelah berkali-kali mengalami kegagalan,
akhirnya Allah mengutus Putra-Nya (DV: art4).
Allah telah membuktikan kasih-Nya yang begitu besar dengan
melaksanakan janji-Nya melalui wahyu yang telah menjadi sejarah untuk
keselamatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Allah menentukan manusia untuk
datang kepada Allah sebagai jawaban tawaran untuk memperoleh keselamatan dari
Allah. Jawaban manusia tersebut dilaksanakan melalui kepercayaan tentang
kebenaran wahyu Allah dalam diri Yesus Kristus.
Iman diungkapkan, dijalani dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga terbentuk suatu sikap yang lebih baik, lebih adil dan damai. Dengan
demikian terbentuk rasa persaudaraan yang berdasarkan cinta kasih Allah.
b. Iman Sebagai Penyerahan Diri Manusia Kepada Allah
Allah mewahyukan diri-Nya kepada manusia dengan maksud menampakkan
dan membuka Diri-Nya sendiri serta kehendak-Nya untuk menyelamatkan manusia
(DV: art 6). Kebaikan yang telah diberikan Allah kepada umat manusia tampak
dalam diri Yesus Kristus sebagai pemenuhan janji Allah. Yesus Kristus merupakan
pewahyuan Allah yang adalah perantara agar manusia dapat bersatu dengan Allah.
Allah telah begitu baik kepada manusia sehingga rela memberikan Putra tunggal-Nya
untuk menebus dosa manusia, oleh karna itu, manusia wajib membalas kebaikan
kepada Allah (DV: art 4). Hendaknya segala tindakan dan perilaku yang dilakukan
manusia mencerminkan sebagai anak-anak Allah.
Manusia yang dengan suka rela memberikan dirinya kepda Allah sebagai
sebagai pernyataan iman dan kepercayaannya. Konsili Suci sendiri telah menegaskan
arti iman tersebut yang terungkap dalam Dokumen Konsili Vatikan II, yaitu
Dokumen tentang ”Wahyu Ilahi” (DV), art 5 yang berbunyi:
”Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan ”ketaatan iman” (Rom, 16:26; lih. Rom1:5; 2Kor. 10:5-6) demikian manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan, ”ketaatan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan” dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya...”
Dari artikel diatas terlihat dengan jelas bahwa iman menurut agama katolik
memiliki arti yaitu ”persaudaraan yang erat dan mesra antara manusia dengan
Allah”, yang secara jelas tergambar dalam pribadi Yesus Kristus. Dengan
persaudaraan yang erat dan mesra antara manusia dengan Allah tersebut, manusia
dianggap menjadi bagian dari Kerajaan Allah, sehingga manusia dapat merasakan
cinta kasih serta kedamaian dalam kehidupannya.
D. Hal Ikhwal Tentang Pendampingan Iman Anak (PIA)
Yang dimaksud dengan hal ikhwal Pendampingan Iman Anak (PIA) adalah
segala sesuatu pengetahuan menyangkut keberadaan PIA yang terdiri dari.
1. Sejarah Pendampingan Iman Anak (PIA)
PIA merupakan singkatan dari Pendampingan Iman Anak yang juga biasa
disebut Sekolah Minggu. Asal kata Sekolah Minggu berasal dari bahasa Inggris
merupakan hari istirahat dan hari ibadah bagi orang Kristen, sedangkan School
artinya suatu lembaga formal yang menangani soal pendidikan Sunday school dan
merupakan suatu kegiatan yang dihadiri oleh anak-anak dan pelaksanaannya
berlangsung di Gereja dengan bertujuan untuk mengikuti pelajaran agama (Kursus
PIA, 2001: 8).
Sekolah Minggu yang pertama dilakukan oleh Robert Raikes yang lahir di
Inggris pada tanggal 14 September 1735. Dalam kesehariannya Robert suka
menolong orang-orang yang miskin dan berada di penjara, ia mengupayakan dana
untuk menolong orang-orang yang ada di penjara bagi peningkatan kondisi kesehatan
dan perlakuan yang lebih manusiawi serta mengadakan pembinaan bagi mereka
semua yang ada di dalam penjara. Robert melihat bahwa tindak kejahatan yang
terjadi dikarnakan rendahnya pendidikan. Saat itu Sekolah yang tersedia hanya
diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai dana untuk biaya sekolah, sehingga
anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan menjadi liar, bertindak semaunya dan
melakukan tindakan kejahatan. Sedangkan orang tua harus bekerja 6 hari dalam
seminggu, dan hanya memiliki waktu libur pada hari Minggu sehingga perhatian
serta pendidikan bagi anak-anak kurang begitu diperhatikan. melihat kondisi yang
terjadi, Robert merasa prihatin dan mencoba untuk mengumpulkan anak-anak miskin
khususnya bagi mereka yang tidak bersekolah di hari Minggu. Robert
mengumpulkan anak-anak di Gereja dan mengajarkan mereka berbagai hal salah
satunya adalah pelajaran agama, selain itu robert juga mjengajarkan anak-anak
menulis dan membaca. Dengan apa yang dilakukan oleh Robert, Banyak orang
tertarik dan mendukung usahanya. Selain itu Robert juga menggunakan rumahnya
anak-anak itu pada hari Minggu. Sekolah Minggu terus berjalan dan tiga tahun
kemudian di berbagai tempat juga diadakan Sekolah Minggu lain dengan model yang
sama seperti yang dilakukan oleh Robert Raikes. Bertahun-tahun kemudian, kegiatan
ini berkembang menjadi sekolah yang dilakukan setiap hari dengan cuma-cuma bagi
anak-anak yang miskin (Kadarmanto, 2004: 26).
Lewat tradisi yang di laksanakan oleh agama Yahudi, anak-anak yang
berusia 4 tahun sudah mulai dibawa orang tuanya ke Sinagoga untuk belajar dan
beribadah. Karena bagi orang-orang Yahudi pendidikan agama bagi anak-anak
mereka amatlah penting dan harus dimulai sejak dini. Mereka mempersiapkan
anak-anak mereka agar pada usia 5 sampai 6 tahun dapat mengikuti pelajaran agama
mengenai Kitab Suci. Selain itu setiap anak yang sudah lancar berbicara, maka anak
tersebut harus menghafal bagian pertama kalimatShemadari Kitab Ulangan. Bangsa
umat Israel, mengajarkan pendidikan agama untuk anak-anak mereka sedini mungkin
amatlah penting, karna secara religius anak adalah pewaris perjanjian, Taurad dan
tanah perjanjian dari Tuhan. Kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA) pertama kali
pun sudah ada sejak zaman kehidupan Yesus, namun belum bisa disebut sebagai
kegiatan Kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA).
Menurut Ruth S. Kadarmanto, M.A.
Bagi Yesus anak-anak memiliki nilai yang sama dengan para orang dewasa (Mark, 10:13-16). Yesus justru memanggil anak-anak itu ketika orang dewasa melarang anak-anak datang pada Yesus, dan Ia berkata: ”Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa yang tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil ia tidak akan masuk ke dalamnya”
Mark 10:13-16 menceritakan bahwa Yesus memarahi murid-murid-Nya
cerita mengenai keberadaan Pendampingan Iman Anak (PIA), tetapi Gereja tetap
bertahan selama ± 300 tahun dan menunjukkan bahwa generasi penerus Gereja terus
berlangsung dengan sembunyi-sembunyi dalam melaksanakan Pendampingan Iman
Anak (PIA). Dan setelah perjanjian Milan umat Kristen mulai memperoleh
kebebasan beragama, perhatian terhadap pendidikan iman anak mulai nampak dan
dilaksanakan secara terbuka. Hak dalam mendidika anak dipegang penuh oleh
keluarga sekitar abad pertengahan (VI-XVI). Hal ini dikarnakan keluarga merupakan
tempat pertama dan utama dalam tumbuh dan kembangnya iman anak dalam hal ini
Gereja juga tidak lepas tangan. Pada tahun 1536 Gereja mulai mendirikan
sekolah-sekolah minggu, bahkan kemudian menerbitkan Katekismus Anak-Anak. Tokohnya
ialah St. Petrus Kanisius.
Dengan berkembangnya jaman menyadarkan Gereja untuk tetap
memperhatikan perkembangan iman anak. Dan pada tahun 1905 Paus Pius X dengan
Surat Anjuran Acerbo Nimis meminta perhatian Gereja kepada anak-anak secara
khusus minimal satu jam per minggu. Begitu pentingnya pembinaan iman anak
sampai anjuran ini dipertegas menjadi sebuah syarat untuk menerima Sakramen
Pengampunan. Pada akhir tahun 1981, Paus Yohanes II menulis Surat Anjuran
Keluarga (Familiaris Consortio) menekankan kembali peran orang tua dalam
mendidik iman anak-anaknya (Panduan Calon Pendamping PIA, 2003: 17).
Di Indonesia sendiri pertama-tama dipelopori oleh Gereja Kristen Protestan
dengan nama Sekolah Minggu. Kegiatan ini dilakukan untuk membina iman anak
yang sudah berlangsung sejak sebelum tahun 1965 yaitu sebagai lembaga resmi
seperti sekolah yang lain, peserta juga tidak terbatas pada anak yang belum di baptis.
pelayanan iman bagi anak-anak yang dikenal dengan sebutan Sekolah Minggu,
pertemuan itu terus berlangsung secara rutin sejak tahun 1972.
Sekarang dengan berbagai keadaan yang ada kegiatan PIA dalam Gereja
Katolik telah berkembang di seluruh Indonesia dengan berbagai nama pula: Sekolah
Minggu, Bina Iman Anak, Minggu Gembira, Temu Minggu, Taman Tunas Iman dan
lain-lain (Kursus PIA, 2001: 8).
2. Kekhasan, Dasar dan Tujuan Pendampingan Iman Anak (PIA)
Pendampingan PIA merupakan kegiatan pendampingan iman anak-anak dan
mempunyai beberapa hal yang perlu diperhatikan. Adapun beberapa hal tersebut
dapat dirinci sebagai berikut:
a Kekhasan Pendampingan Iman Anak (PIA)
Anak merupakan pribadi yang memiliki ciri khusus dan tentunya sangat
berbeda dengan orang dewasa. Anak juga merupakan anggota Gereja yang
diselamatkan oleh Allah. Anak menerima rahmat Allah yang adalah iman pada saat
anak dibaptis. ”Maka anak-anak sudah sejak dini harus diajar mengenal Allah serta
berbakti kepada-Nya dan mengasihi sesama, seturut iman yang telah mereka terima
saat di baptis. Di situlah anak-anak menemukan pengalaman pertama masyarakat
manusia yang sehat serta Gereja” (GE, art.3) oleh karena itu meskipun anak masih
kecil, namun mereka memiliki hak yang sama dengan kaum muda untuk
bersama-sama mengembangkan iman. Dalam hal ini maka, gereja mengusahakan dan mulai
mengadakan kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA) yang tentunya dikhususkan
Pendampingan Iman Anak (PIA) adalah salah satu bentuk pendampingan
untuk membimbing dan mengembangkan hidup anak, terutama dalam hidup
beriman. Anak-anak yang mengikuti kegiatan Pendampinga Iman Anak (PIA) pada
umumnya berusia antara 5-13 tahun, yang diikuti oleh anak-anak yang beragama
katolik yang tentunya sudah dibaptis. Pelaksanaan Pendampingan Iman Anak (PIA)
dilakukan di luar kegiatan jam Sekolah, kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada hari
Minggu dengan lama waktu pendampingan antara satu sampai dengan dua jam.
Melalui kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA), anak dibentuk untuk
mengembangkan dirinya, selain itu dalam suasana yang menggembirakan anak juga
dapat belajar menjalin hubungan yang baik dengan teman-teman sebayanya. Satu hal
yang perlu disadari oleh seorang pendamping adalah bahwa pendamping PIA
hanyalah berperan sebagai pembantu orang tua, di mana orang tua merupakan
pendidik utama dan pertama yang bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan
anak mereka. Dengan demikian perlu ada hubungan relasi serta kerja sama yang baik
antara orang tua dan pendamping.
b. Dasar Pendampingan Iman Anak (PIA)
Pendampingan Iman Anak (PIA) adalah suatu bentuk usaha untuk
mengembangkan iman anak, yang pada dasarnya merupakan tanggung jawab orang
tua sebagai pendidik utama dan pertama, tetapi orang tua juga membutuhkan bantuan
dari orang lain untuk mendidik anak-anak mereka. Gereja sendiri melihat bahwa
kehidupan kaum muda dan anak-anak sangat memprihatinkan, hal ini mendorong
Gereja membentuk kelompok untuk memberikan pendampingan iman bagi
Terlaksananya pendampingan iman anak sendiri didasarkan pada perintah
dan beberapa keprihatinan Gereja maupun Kristus sendiri. Dasar-dasar tersebut
antara lain:
1) Dasar Biblis/Kitab Suci
Pendampingan iman anak merupakan cita-cita yang dikehendak Kristus
sendiri yang telah dituliskan dalam kitab suci. Antara lain seperti kita temukan dalam
injil Yoh 21:15-16, yang berbunyi:
”Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: ”Simon anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” jawab Petrus kepada-Nya: ”Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: ”Gembalakanlah domba-domba-Ku”....”
Teks tersebut di atas mau mengatakan suatu permintaan yang Yesus katakan
kepada Petrus sebelum Ia naik ke Surga, untuk menggembalakan umat-Nya agar
tetap setia kepada Kristus Sang Mesias.
Dari apa yang telah diperintahkan Yesus tersebut. Gereja yang di pimpin
oleh Paus meneruskan tugas Petrus, yaitu mengembalakan umat beriman Kristiani
melalui berbagai karya pastoral. Dan salah satu karya tersebut adalah katekese, yaitu
pewartaan tentang kabar gembira bagi semua orang agar mendapatkan keselamatan
yang datang dari pada Allah sendiri.
Pendampingan Iman Anak (PIA) merupakan salah satu karya katekese yang
diperuntukkan bagi anak-anak, agar anak-anak mengalami perkembangan dalam
imannya. Gereja secara khusus memberi perhatian bagi perkembangan iman
anak-anak, karena hal ini sesuai dengan kehendak Kristus sendiri yang juga tertulis di
”Maka datanglah orang-orang membawa anak-anaknya yang kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka. Melihat itu murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus memanggil mereka dan berkata: ”Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu: sesungguhnya barang siapa tidak menyambut Kerejaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk kedalamnya”
Dalam teks tersebut di atas mengungkapkan sikap Yesus terhadap
anak-anak. Yesus mencintai anak-anak, sehingga Ia membiarkan anak-anak datang
pada-Nya. Begitu istimewanya anak-anak di hadapan Yesus bahkan Yesus menganggap
mereka sebagai empunya Kerajaan Allah. Perhatian yang diberikan Yesus terhadap
anak-anak seperti inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan pendampingan iman
anak (PIA) sebagai suatu kegiatan yang memang diperuntukkan bagi anak-anak
untuk membina dan mengembangkan iman mereka. Dengan kata lain teks ini
mengajak kita sebagai umat beriman untuk memperhatikan khususnya
perkembangan iman bagi anak-anak.
2) Dasar Dokumen Gereja
Pendampingan Iman Anak (PIA) merupakan salah satu cara Gereja untuk
mengembangkan iman anak yang merupakan bentuk keprihatinan Gereja bagi
perkembangan iman anak-anak. Dalam dokumen-dokumen Gereja ditegaskan
pentingnya pendampingan iman bagi anak-anak, hal tersebut dapat kita temukan
dalam Ajaran Gereja tentang Pendidikan Kristen dalam Dokumen Konsili Vatikan II.
Dalam dokumen itu dinyatakan:
Konsili Vatikan mengungkapkan keprihatinan Gereja terhadap kehidupan
mengalami perubahan. Sehingga anak-anak dan kaum muda dapat belajar
menghargai dan mendengar suara hatinya. Dalam hal ini umat Kristen diajak untuk
bersama-sama memberikan perhatian kepada mereka supaya anak-anak menerima
pendidikan serta pengajaran yang pantas.
Dokumen ini berisikan tentang ajakan Gereja kepada mereka yang
bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak dan kaum muda untuk
mengusahakan dengan berbagai macam cara dan sarana dalam mendampingi
anak-anak dan kaum muda.
Dalam pedoman umum katekese (DCG art. 79) menegaskan bahwa masa
kanak-kanak merupakan masa dimana mereka pertama kali masuk dalam lingkungan
sekolah dan masyarakat. Sehingga anak perlu mendapatkan pendampingan secara
khusus bagi perkembangan iman mereka. Keluarga merupakan tempat pertama untuk
memperkenalkan anak dengan Allah sehingga memunculkan kesadaran anak akan
hidup beriman dan menggereja.
Pada masa sekolah, anak mulai bersikap kritis terhadap sesuatu yang baru,
maka katekese yang harusnya diberikan hendaknya menyesuaikan dengan
perkembangan mereka, sehingga anak berkembang secara seimbang. Anak dalam
hidup beriman mencoba mempertanggungjawabkan imannya seperti orang dewasa
(DCG, 1971: art 79), maka dalam Pendampingan Iman Anak (PIA), seorang
pendamping perlu memiliki sikap yang menjadi teladan bagi kehidupan anak yang
3) Dasar Teologis
Pendampingan Iman Anak (PIA) dalam Gereja Katolik selain didasari pada
perintahYesus yang juga terdapat di dalam injil, juga didasarkan pada ajaran-ajaran
gereja yang mendasari iman Kristiani. Secara dogmatis iman Kristiani mengakui
bahwa beriman merupakan hubungan relasi secara pribadi dengan Allah. Relasi
pribadi tersebut merupakan tanggapan manusia terhadap wahyu Allah yang telah
dilaksanakan oleh Allah sendiri lewat sejarah. Karya pewahyuan Allah ini diwujud
nyatakan melalui Pribadi Yesus yang menjelma menjadi manusia sebagai pemenuhan
janji Allah kepada umat-Nya (DV, 1993: art 4).
Dalam hal ini Gereja bertanggung jawab bagi pelaksanaan Pendampingan
Iman Anak (PIA). Secara dokmatis gereja dalam iman Kristiani diakui sebagai tubuh
mistik Kristus. Kristus hadir untuk menebus dan menyelamatkan manusia sehingga
manusia dapat bersatu dengan Bapa.
Ajaran agama Kristiani memberikan kebebasan dalam menjalankan hidup
beriman. Hal tersebut mendasari proses kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA)
dengan didampingi oleh seorang pendamping yang berperan sebagai penolong dan
pendorong bagi anak untuk mengembangkan iman mereka. Karena pada
kenyataannya, seorang anak membutuhkan seorang pendamping yang berperan
sebagai pengganti orang tua untuk mendampingi mereka dalam mengembangkan
iman dan kepribadiannya.
4) Dasar Psikologis
Masa kanak-kanak adalah masa di mana mereka mulai dibentuk
hal-hal baru yang datang dari luar, dengan gampang dapat mempengaruhi kehidupan
mereka. Namun disisi lain anak belum cukup kuat dan mandiri, anak masih perlu
didampingi oleh seseorang yang sudah dewasa untuk mengembangkan diri dan
mencapai kedewasaannya. Dalam hal ini seorang pendamping dituntut memiliki
kesabaran serta mampu melaksanakan pendampingan yang mempunyai ciri khas,
sehingga anak dengan senang hati mau dibimbing dan menghormati seorang
pendamping karna kewibawaannya (Hurlock, 1991: 25).
c. Tujuan Pendampingan Iman Anak (PIA)
Pendampingan Iman Anak (PIA) merupakan suatu kegiatan yang ada dalam
Gereja Katolik sebagai yang merupakan bentuk katekese yang diperuntukkan bagi
anak-anak, karena dalam Pendampingan Iman Anak (PIA) ditumuhkan pengertian
tentang misteri Kristus dalam cahaya firman Allah (CT,1979: art. 20). Agar iman
setiap anak semakin berkembang dan membentuk kepribadian yang mencerminkan
sebagai anak-anak Allah.
Tujuan PIA adalah agar anak-anak memiliki sikap iman Kristiani dan
bangga atas iman mereka, memiliki wawasan yang luas akan iman sesuai umur
mereka sehingga mereka dapat mengungkapkan dan mewujudkan imannya itu dalam
hidup sehari-hari sesuai umur mereka pula (Kursus PIA, 2001: 9).
Tujuan Pendampingan Iman Anak (PIA) adalah pembinaan iman anak
dalam rangka membantu orang tua Kristiani dalam usaha menciptakan dan
membimbing anak-anak yang sedang berkembang menuju kedewasaan dalam iman
mempunyai sikap baru dan bertingkah laku sesuai dengan imannya (Goretti, 1999:
17).
3. Ciri Khas Pendampingan Iman Anak (PIA)
Peserta Pendampingan Iman Anak (PIA) biasanya berusia antara 5-13 tahun
(TK-SLTP Kelas I). Kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA) ini mempunyai ciri
khusus yang berbeda dari sekolah formal. Perbedaan ini lebih cenderung pada
suasana yang diciptakan dalam kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA). Oleh
karena itu seorang Pendamping PIA perlu memperhatikan ciri-ciri yang khas yaitu:
Santai-Santai – Mendalam.
a. Santai
1) Gembira
Kegembiraan adalah ciri dari pendampingan PIA dan kegembiraan sangat
identik dengan anak-anak, dimana ada anak-anak maka disitu ada suasana gembira.
Anak-anak dapat merasakan kegembiraan bila mereka berkumpul bersama
teman-temannya, maka kegembiraan ini tidak boleh diabaikan dalam pendampingan, agar
kegiatan tersebut tidak ditinggalkan oleh peserta Pendampingan Iman Anak PIA.
Maka seorang pendamping PIA hendaknya dapat menciptakan suasana gembira.
Seorang pendamping yang memiliki pribadi yang menarik akan dapat membawa
suasana gembira bagi anak-anak peserta PIA sehingga anak-anak dapat merasakan
kegembiraan itu. Suasana hati dan pribadi pendamping serta acara yang menarik
yang disajikan dalam pendampingan PIA akan sangat membantu untuk menimbulkan
2) Bebas
Dalam pelaksanaan Pendampingan Iman Anak (PIA) bersifat bebas. Bebas
yang dimaksut bukan berarti anak-anak menjadi bebas tanpa kendali dan melakukan
apa saja yang mereka mau lakukan, akan tetapi anak-anak dapat secara bebas ikut
kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA) tanpa merasa ada paksaan ataupun ikatan
yang memaksa dalam kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA). Kegiatan
Pendampingan Iman Anak (PIA) ingin menjauhkan anak-anak dari rasa terpaksa dan
takut seperti absen, tes, nilai dan sanksi dalam pendampingan Iman Anak (PIA).
Justru dengan kemauan yang muncul secara bebas dari anak Pendampingan Iman
Anak (PIA) dapat berjalan terarah pada tujuannya yaitu membina iman anak.
Kehadiran anak dalam Pendampingan Iman Anak (PIA) harus dirasakan oleh setiap
anak, karena senang dan rindu untuk berjumpa dan berkumpul bersama taman-teman
yang ada di dalam Pendampinga Iman Anak (PIA). Pendamping PIA juga perlu
menciptakan suasana kasih yang penuh persaudaraan agar anak-anak selalu ingin
hadir dalam pertemuan Pendampingan Iman Anak (PIA) sehingga kebebasan tercipta
dalam Pendampingan Iman Anak (Goretti, 1999: 19).
3) Bermain
Menurut Prof. Dr. Conny R. Semiawan
Kegiatan bermain tidak dapat dipisahkan dari anak-anak. Anak usia 5-13
tahun masih senang bermain-main. Karena dengan bermain akan meningkatkan
kreatifitas dan memperluas wawasan anak. Ada kepuasan yang mereka rasakan lewat
bermain. Oleh karena itu dalam Pendampingan Iman Anak (PIA) permainan yang
mengembirakan harus ada. Dengan bermain dan melalui suatu bentuk permainan
yang menggembirakan, anak dapat berkembang kebutuhannya baik sosial, emosional
dan identitas dirinya (Goretti, 1999: 19).
b. Mendalam
1). Berpola Pada Yesus Kristus
Yesus Kristus merupakan pusat kehidupan bagi orang Kristiani. Oleh karna
itu dalam usaha pembinaan iman dan pengembangan iman harus bersumber
pada-Nya. Artinya kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA) sebagai kegiatan bina iman
anak haruslah dilaksanakan atas dasar Yesus Kristus dan mengajak semua anak yang
didampingi untuk semakin beriman kepada-Nya, untuk mengenal Yesus semakin
dalam dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya (Kursus PIA, 2001:12).
2). Menjemaat
Beriman merupakan hubungan yang terjalin secara pribadi antara manusia
dengan Allah, pada kenyataannya hidup beriman tidak mungkin dilaksanakan
seorang diri, karena iman akan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bersama
orang lain. Yang artinya seseorang perlu menggabungkan diri dengan kelompok