TINJAUAN YURIDIS MENGENAI HAK UNTUK MENDAPATKAN REPARASI BAGI KORBAN PENGHILANGAN PAKSA DI MEXICO BERDASARKAN
INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE PROTECTION OF ALL PERSONS FROM ENFORCED DISAPPEARANCE TAHUN 2006
Ridi Avianti
(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) (Email: [email protected])
Aji Wibowo
(Dosen Fakultas Hukum Trisakti) (Email: [email protected])
ABSTRAK
ICPED adalah konvensi yang mengatur mengenai upaya-upaya mencegah, memberantas dan menghukum pelaku tindak pidana praktek penghilangan orang secara paksa, yang bertujuan untuk melindungi setiap orang dari praktek kejahatan penghilangan paksa. setiap negara pihak wajib menjamin dalam sistem hukumnya bahwa korban penghilangan paksa mempunyai hak untuk memperoleh reparasi dan kompensasi yang cepat, adil, dan memadai. Karena korban memiliki hak untuk mengetahui kebenaran mengenai situasi dan keadaan peristiwa penghilangan paksa, perkembangan dan hasil penyelidikan serta nasib orang yang dihilangkan. Reparasi merupakan upaya pemulihan korban pelanggaran HAM kembali ke kondisinya sebelum pelanggaran HAM tersebut terjadi pada dirinya. Mexico merupakan salah satu negara yang meratifikasi konvensi ICPED, namun masih terdapat beberapa kasus mengenai penghlangan paksa yang terjadi di Mexico. Pokok permasalahan skripsi ini adalah bagaimana tanggung jawab negara terhadap korban penghilangan secara paksa dan apakah upaya reparasi yang dilakukan untuk memberikan perlindungan bagi para korban penghilangan di Mexico telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh konvensi ICPED. Tipe penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif. Kesimpulan skripsi ini adalah Mexico sebagai negara yang meratifikasi konvensi ICPED memiliki kewajiban bertanggung jawab untuk memberikan reparasi terhadap korban penghilangan paksa, karena reparasi merupakan salah satu bentuk tanggung jawab negara, dan upaya reparasi yang dilakukan Mexico belum memenuhi standar dari konvensi terkait dengan jaminan non-repetisi karena masih terdapatnya peristiwa pelanggaran HAM yang terdapat di Mexico.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan1 hal tersebut ,merupakan pengertian mengenai Hak Asasi
Manusia (HAM) berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Hak asasi manusia pada dasarnya sudah melekat pada diri seseorang, namun masalah hak asasi manusia masih saja terjadi dan masih menjadi perhatian manusia.
Walaupun HAM secara internasional telah diterima sebagai konsep dasar, pada nyatanya masih terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang tidak sesuai dengan pengertian dari hak asasi manusia itu sendiri. Diberbagai negara juga terdapat banyak pelanggaran hak asasi manusia dan bahkan negara yang seharusnya melindungi dan memajukan HAM, justru seringkali menjadi aktor dibalik terjadinya pelanggaran HAM.2
Penghilangan paksa merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, karena membuat korbannya berada diluar perlindungan hukum dan menyebabkan penderitaan bagi mereka dan keluarga mereka. Tindakan penghilangan paksa merupakan pelanggaran atas aturan-aturan hukum internasional yang menjamin, antara lain hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, hak atas kebebasan dan keamanan pribadi dan hak untuk tidak dikenai penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Tindakan tersebut juga melanggar dan merupakan ancaman serius terhadap hak untuk hidup.3
1Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 1.
2 Al Araf, Perlindungan Terhadap Pembela Hak Asasi Manusia, (Jakarta:Imparsial, 2005) Perpustakaan Universitas Trisakti, h. 3.
3 Amnesty International, “Deklarasi Tentang Perlindungan Bagi Semua Orang Dari Penghilangan Paksa, Pasal 1 (online), tersedia di https://www.amnesty.org>Documents (8 September 2018)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pertama kali mengangkat masalah orang hilang dalam Sidang Majelis Umum pada bulan Desember yang mengeluarkan Resolusi Nomor A/RES/33/173 berintikan keperihatinan atas laporan dari berbagai belahan dunia terkait dengan penghilangan paksa dan meminta Komisi HAM PBB untuk memperhatikan isu tersebut dan mempersiapkan rekomendasi yang tepat.
Tanggal 18 Desember 1992 Majelis Umum PBB mengeluarkan Declaration
on the Protection of All Persons From Enforced Disappearance dalam Resolusi
Nomor A/RES/47/133.4 Deklarasi tersebut bersifat tidak mengikat secara hukum
namun merupakan suatu langkah yang maju yang telah dihasilkan oleh PBB. Penyusunan tersebut dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa belum adanya perangkat hukum untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap setiap orang dari perbuatan penghilangan paksa. Mengingat didalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa setiap orang tidak boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, dihukum secara tidak manusiawi atau dihina, dan tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang karena setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu.
Tahun 1998 Subkomisi tersebut merampungkan rancangan mengenai Konvesi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, dan menyerahkan pada Komisi HAM proses pembahasan rancangan konvensi pada tingkat antar pemerintah yang dilakukan melalui Intersessional Open-Ended
Working Group di Jenewa tahun 2003 dan disepakati pada tanggal 25 September
2005. Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa disahkan oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 Desember 2006 melalui Resolusi nomor A/RES/61/177. Konvensi ini dimaksudkan untuk mengisi 4 Direktorat Ham Dan Kemanusiaan Direktorat Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Indonesia Dan Proses Ratifikasi Konvensi Internasional Untuk
kekosongan kerangka hukum pada tingkat global untuk mencegah dan menangani praktek-praktek penghilangan paksa yang mungkin terjadi di masa mendatang.
Tanggal 23 Desember 2010 konvensi tersebut berlaku secara efektif setelah 20 negara menyerahkan instrument ratifikasi kepada Sekretariat PBB di New York, maka itu konvensi ini telah menjadi bagian dari hukum internasional yang mengikat dan berlaku pada hari ke 30 setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi atau aksesi negara pihak yang telah meratifikasi konvensi tersebut.5
Dalam Konvensi untuk perlindungan setiap orang dari penghilangan paksa memberikan sarana reparative bagi para korban dan keluarga korban penghilangan paksa.6 Konvensi tersebut mengatur mengenai perlindungan terhadap korban,
keluarga korban serta saksi-saksi atas peristiwa penghilangan paksa dan kewajiban negara dalam hal menjamin setiap orang untuk tidak menjadi subjek penghilangan paksa karena mereka memiliki hak atas reparasi yang dijamin dalam hukum internasional.7
Salah satu negara yang sudah meratifikasi konvensi ICPED adalah Mexico yakni pada tanggal 18 Maret 20088, namun praktik penghilangan paksa masih
terjadi. Hal ini terbukti dari beberapa kasus yang terdapat di beberapa negara yang diantaranya kasus yang terjadi di Meksiko yakni Sergio Rivera Hernandez seorang aktivis lingkungan dan pembela hak tanah masyarakat adat di Sierra Negra Puebla, diculik dan dihilangkan dengan tidak diketahui pada tanggal 23 Agustus 2018.
5 Konvensi Internasional Untuk Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa, Pasal 39 ayat (1).
6 Nalar Politik, “Anti Penghilangan Paksa”(Online), tersedia di https://nalarpolitik.com/anti-penghilangan-paksa-kontras-desak-pemerintah-ratifikasi-konvensi-internasional/ (9 september 2018).
7 Amnesty International, Op.Cit. 8 Treaties.un.org.
Sergio merupakan aktivis lingkungan yang9 menentang proyek hidroelektrik
Minera Autlan. Statusnya kini masih belum ditemukan10
Kasus Ayotzinapa Penghilangan paksa 43 siswa di Iguala, Meksiko, tanggal 26 September 2014.11 Dan kasus Fidencio Gomez Santiz seorang pembela hak
asasi manusia yang hilang pada tanggal 31 Maret 2016 ia terlibat dalam perang melawan kekebalan hukum atas pembunuhan di luar hukum terhadap orang pribumi di Chicapas Fidencio adalah anggota Frente Nacional de Lucha por el
Socialismo-FNLS12 B. Permasalahan
Berdasarkan uraian mengenai latar belakang, dapat diuraikan beberapa pokok permasalahan dari penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana tanggung jawab negara Mexico terhadap korban penghilangan secara paksa berdasarkan International Convention For The Protection Of All
Persons From Enforced Disappearance (ICPED)?
2. Apakah upaya reparasi yang dilakukan untuk memberikan perlindungan bagi para korban penghilangan paksa di Mexico telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh International Convention For The Protection Of All Persons
From Enforced Disappearance (ICPED)?
9 FrontLine Defenders,“Case Disappearance Sergio Rivera Hernandez”, (online) tersedia di https://www.frontlinedefenders.org/en/case/disappearance-sergio-rivera-hernandez (14 September 2018).
10 ibid.
11 Amnesty,” Mexico Gobierno Insiste En Ocultar La Verdad Sobre Ayotzinapa” (online) tersedia di: https://www.amnesty.org/en/latest/news/2018/07/mexico-gobierno-insiste-en-ocultar-la-verdad-sobre-ayotzinapa
12 FrontLine Defenders,”Case Violation Enforced Disappearance” (Online), tersedia di: https://www.frontlinedefenders.org/en/case/violation/enforced-disappearance (14 September 2018).
C. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan studi kepustakaan dengan meneliti bahan-bahan berupa buku-buku atau literatur-literatur, maupun perjanjian internasional dan/atau konvesi yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini seperti Deklerasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Decleration Of Human
Rights), Hukum Umum Tentang Penghilangan Paksa (The General Law On Disappearances) , Dan Konvensi Internasional Untuk Perlindungan Semua Orang
Dari Penghilangan Paksa (International Convention For The Protection Of All
Persons From Enforced Disappearance). 13
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu memberikan gambaran dan menganalisa secara cermat, lengkap dan sistematis. Skripsi ini akan memberi gambaran ketentuan-ketentuan dalam instrumen International Convention For The
Protection Of All Persons From Enforced Disappearance (ICPED) yang berkaitan
dengan kasus yang akan dianalisa yaitu pemulihan terhadap korban penghilangan paksa berdasarkan International Convention For The Protection Of All Persons
From Enforced Disappearance (ICPED).14
Data yang digunakan adalah data sekunder, data yang diperoleh dari suatu sumber yang sudah dikumpulkan terlebih dahulu oleh para pihak lainnya yang dapat berupa buku-buku, literatur-literatur, undang-undang atau perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang berhubungan dengan objek yang diteliti.15
Dalam penulisan karya ilmiah skripsi ini, pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (studi dokumen), dimana penulis memperoleh data dari beberapa buku, peraturan perundang-undangan yang terkait, hasil-hasil karya ilmiah, melakukan kunjungan ke beberapa perpustakaan seperti perpustakaan Universitas
13 Universitas Trisakti, Pedoman Peyusunan Skripsi Fakultas Hukum Trisakti 2018-2019 Jakarta, h.24.
14Ibid.
Trisakti, perpustakaan Nasional, perpustakaan UI, perpustakaan Kementerian Luar Negeri, serta mengakses data melalui internet.16
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif sesuai dengan sifat penelitian secara deskriptif. Dari hasil penelitian yang terkumpul, maka data tersebut diklasifikasi dan diolah untuk kemudian dianalisis. Hasil penelitian tersebut dikualifikasikan menjadi data yang menggunakan analisis kualitatif.17 Cara penarikan kesimpulan yang digunakan
dalam penulisan karya ilmiah ini adalah metode deduktif, yaitu metode menarik kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dilapangan yang bersifat umum yaitu berdasarkan analisis terhadap masalah sosial hukum yang dihadapi dalam masyarakat dan akan dihubungkan dengan peraturan undang-undang terkait.18
II. PEMBAHASAN
A. Analisis Tanggung Jawab Negara Berdasarkan Konvensi ICPED Terhadap Korban Penghilangan Paksa
Penghilangan paksa termasuk jenis pelanggaran HAM karena menempatkan korban berada di luar perlindungan hukum. Dalam beberapa instrument hukum internasional dijelaskan bahwa terdapat hak reparasi yang dimiliki oleh korban dari suatu pelanggaran HAM seperti penghilangan paksa. Hak reparasi tersebut terdapat dalam pasal 8 DUHAM, pasal 31 Draft ILC, pasal 24 ayat (4) dan (5) ICPED, dan pasal 9 ayat (5) ICCPR, dalam pasal-pasal tersebut menjelaskan mengenai hak reparasi yang diperoleh korban dari pelanggaran HAM.
16 Universitas Trisakti, Pedoman Penyusunan Skripsi Fakultas Hukum 2018-2019, Contoh Karya Ilmiah Yang Dipublikasi.
17 Ibid. 18 Ibid.
Peristiwa penghilangan paksa yang terjadi di Mexico seperti yang diuraikan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM, yang dikategorikan sebagai suatu tindak penyiksaan bagi korban dan keluarga korban. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 2 Konvensi ICPED yakni:19
“penghilangan paksa adalah penangkapan, penahanan, penculikan, atau
bentuk perampasan kebebasan lain yang dilakukan oleh aparat negara, atau oleh orang atau kelompok orang yang bertindak dengan kewenangan, dukungan atau persetujuan dari negara, dengan disertai penyangkalan untuk mengakui adanya perampasan kebebasan atau penyembunyian nasib atau keberadaan orang yang hilang, sehingga menempatkan orang-orang tersebut berada di luar perlindungan hukum.”
Berkaitan dengan adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia di Mexico terkait penghilangan orang secara paksa menimbulkan suatu kewajiban negara untuk bertanggung jawab terhadap para korban penghilangan paksa. Penghilangan paksa merupakan salah satu pelanggaran terhadap hak asasi manusia, karena tidak seorangpun boleh dihilangkan secara paksa. Atas pelanggaran terkait hak asasi manusia tersebut timbul suatu kewajiban negara untuk melakukan upaya pemulihan atau reparasi bagi korbannya.
“Tanggung jawab negara timbul bila adanya pelanggaran terhadap suatu
kewajiban internasional untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, baik berdasarkan perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional.”20
19 Konvensi Internasional Untuk Perlindungaan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa, Pasal 2.
20 Pasal 38 Satauta ICJ mengutip dari Aulia Arifah Rachmah, “ Analisis Yuridis Terhadap Pelanggaran Hak Terbebas Dari Penyikssaan (Freedom From Torture) Berdasarkan Convention Against Toture And Another Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment 1984 (Studi Kasus: Kasus Penyiksaan Oleh Pemerintah Korea Utara Terhadap Warga Negaranya Yang Membelot Ke China)”, (Skripsi Strata Satu Dalam Ilmu Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 2016), h. 66
Negara bertanggung jawab terkait dengan pelanggaran HAM, karena negara merupakan international person yang menjadi pihak perjanjian terkait dengan hak asasi manusia dengan segala wewenang dan tanggung jawab yang melekat pada perjanjian tersebut, serta adanya keterlibatan institusi negara atau aparat negara yang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
“Negara dapat memikul suatu tanggung jawab yang timbul dari tindakan-tindakan atau kelalaian-kelalaian pejabat atau organ-organ lain, negara yang terikat telah memermudah dilakukannya tindakan ultra vires atau telah melanggar suatu kewajiban hukum internasional, seperti kewajiban negara untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah terulangnya kembali tindakan tersebut.”21
Sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1 Draft ILC 2001 tanggung jawab negara timbul bila adanya tindakan yang salah secara internasional yang melibatkan negara sebagai pihak yang berkewajiban untuk bertanggung jawab terkait dengan hak asasi manusia. Menurut Malcom N Shaw tanggung jawab negara timbul manakala terdapat tindakan tidak sah yang menyebabkan kerugian dan dilakukan oleh negara.
Bentuk dari tanggung jawab negara diatur dalam pasal 29-34 Draft ILC yang diantaranya ada restitution, compensation, satisfaction, interest, dan
contribution to the injury, selain dalam Draft ILC 2001. hak korban atas
pemulihan atau reparasi juga dijamin dalam DUHAM pasal 8 dan ICCPR pasal 9, selain itu terdapat juga di dalam Konvensi ICPED pasal 24 ayat (4) menyatakan bahwa setiap negara wajib menjamin dalam sistem hukumnya bahwa korban mempunyai hak untuk memperoleh reparasi dan kompensasi yang cepat, adil dan memadai.
Negara bertanggung jawab atas pelanggaran HAM karena adanya penyalagunaan kekuasaan yang dilakukan oleh institusi negara, karenanya akan
menimbulkan tanggung jawab negara untuk melakukan upaya pemulihan atau reparasi.
Reparasi merupakan upaya pemulihan korban pelanggaran HAM kembali ke kondisi sebelum terjadi pelanggraan terhadap dirinya dan merupakan salah satu bentuk tanggung jawab negara jika ada pelanggaran HAM. Mekanisme HAM juga sudah mengakui pentingnya hak korban atas pemulihan atau reparasi. Mengingat reparasi merupakan suatu hal yang penting maka Komisi HAM PBB membuat Basic Principle and Guidelines on The Right to A Remedy and
Reparation, merupakan prinsip dasar mengenai hak reparasi bagi korban
pelanggaran HAM, yang didalamnya juga menjelaskan kewajiban negara untuk menghormati, memastikan dan menerapkan hukum hak asasi manusia.
Dalam basic principle tersebut dijelaskan bahwa reparasi harus sebanding dengan beratnya pelangaran dan juga kerugian yang diderita oleh korban. Negara harus menetapkan program nasional untuk reparasi dan bantuan lain terkait dengan reparasi dengan menyediakan undang-undang nasional mereka dan mekanisme yang efektif untuk penegakan putusan terkait reparasi yang diterima korban.
Sesuai dengan hukum nasional dan internasional dengan mempertimbangkan keadaan para korban pelanggaran HAM sesuai dengan beratnya pelanggaran, diberikan reparasi penuh dan efektif yang mencakup restitusi, kompensasi, reabilitasi, kepuasan dan jaminan non-pengulangan.
Restituti terkait reparasi yakni memulihkan korban ke situasi semula sebelum pelanggaran hak asasi manusia terjadi, yakni seperti pemulihan kebebasan, kenikmatan hak asasi manusia, kembali ke tempat tinggal dan pemulihan pekerjaan, serta pengembalian property. Kompensasi berkaitan dengan nilai ekonomis. Rehabilitasi sendiri berkaitan dengan perawatan medis dan psikologis kepada korban. Kepuasan terkait reparasi yakni dengan
pengungkapan kebenaran secara terbuka, elakukan pencarian terkait identitas para korban, permintaan maaf kepada publik termasuk pengakuan fakta terkait dengan kasus pelanggaran HAM. Yang terakhir yakni adanya jaminan non-repetisi yang berkontribusi terhadap pencegahan terulang kembalinya peristiwa tersebut.
“Berdasarkan konferensi dunia tentang Hak Asasi manusia menegaskan kembali komitmen serius semua negara untuk memenuhi kewajiban mereka untuk mempromosikan penghormatan universal serta ketaatan dan perlindungan dari semua HAM dan kebebasan dasar atau fundamental bagi semua orang sesuai dengan piagam PBB, instrument lain yang berkaitan dengan HAM, atau hukum internasional.”22
Terkait dengan reparasi terhadap korban penghilangan paksa, terdapat Konvensi ICPED yang ditetapkan untuk mencegah terjadinya peristiwa pelanggaran HAM terkait dengan penghilagan paksa. Konvensi ini sendiri mengatur mengenai hak-hak para korban untuk memperoleh keadilan dan pemulihan. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 24 ayat (2) Konvensi ICPED yakni setiap korban memiliki hak untuk mengetahui mengenai kebenaran dan keadaan peristiwa penghilangan paksa.
Reparasi terhadap korban penghilangan paksa diatur dalam Konvensi ICPED pasal 24 ayat (4) dan (5) yang menyatakan bahwa setiap korban penghilangan paksa mempunyai hak untuk memperoleh reparasi dan kompensai yang cepat, adil, dan memadai serta bentuk-bentuk reparasi sebagai bentuk dari tanggung jawab negara terhadap para korban penghilangan paksa yang dianataranya ada restitusi, rehabilitasi, pemuasan dan jaminan non-repetisi. Selain dalam bentuk peraturan perundang-undangan konvensi ICPED juga terdapat komite terkait dengan penghilangan paksa yang dibentuk untuk menjalankan fungsi yang ditetapkan dalam konvensi tersebut. Komite tersebut meminta negara pihak
22 Hamid Awaludin, HAM Politik,Hukum, Kemunafikan Internasional (Jakarta, PT Kompas Media Nusantara, 2012), h.154 Perpus UI
yang meratifikasi Konvensi ICPED untuk menginformasikan mengenai situasi korban yang dicari dalam jangka waktu yang ditentukan oleh komite. Konvensi ICPED sendiri dapat memperkuat sistem hukum nasional negara yang meratifikasi dalam memberikan jaminan perlindungan dan penyelesaian yang efektif bagi korban penghilangan paksa.
Salah satu negara yang sudah meratifikasi Konvensi ICPED adalah Mexico yakni pada tanggal 18 Maret 2018, namun praktek-praktek penghilangan paksa masih terjadi di Mexico. Sebagai negara yang meratifikasi Konvensi ICPED maka Mexico memiliki tanggung jawab terhadap para korban penghilangan paksa, mengingat Mexico telah menjadi pihak dari Konvensi ICPED yang merupakan salah satu perjanjian internasional terkait dengan HAM yang didalamnya melekat wewenang dan tanggung jawab sebagai negara pihak dari Konvensi.
Sebagaimana terdapat dalam pasal 24 ayat (4) dan (5) Konvensi ICPED tanggung jawab negara terhadap korban penghilangan paksa dilakukan dengan reparasi dan kompensasi yang adil, cepat dan memadai. Bentuk tanggung jawab Mexico sebagai negara pihak dari Konvensi ICPED diatur dalam undang-undang nasional Mexico dalam Pasal 137 The General Law On Disappearance yang didalamnya menyebutkan mengenai hak-hak para korban yang diantaranya adanya hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk mengetahui kebenaran, reparasi, dan jaminan non-repetisi. Bentuk dari reparasi yang ditetapkan undang-undang tersebut terdapat dalam pasal 151 The General Law
On Disappearance yang mencakup kepuasan yakni dengan membuat monumen
atau memory place, permintaan maaf dari negara dan pihak yang terlibat, serta pemulihan dan jaminan non-repetisi. Dan dalam undang-undang nasional Mexico tersebut juga diatur mengenai komite yang menangani korban penghilangan paksa.
B. Analisis Upaya Yang Dilakukan Oleh Pemerintah Mexico dalam Memberikan Hak atas Reparasi Bagi Korban Penghilangan Paksa
Sebagai negara yang meratifikasi Konvensi ICPED telah melakukan upaya dalam memenuhi, menjamin dan melindungi korban dengan menyetujui dan mengesahkan The General Law in Disappearance sebagai undang-undang nasional Mexico terkait menghadapi krisis penghilangan paksa di Mexico pada tanggal 17 Oktober 2017. Hak-hak para korban diakui dalam undang-undang ini yang akan membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk memberikan hak reparasi kepada korban dan perawatan yang komperhensif bagi korban dan keluarga.
Sebagai negara pihak Konvensi ICPED Mexico memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab terkait pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang terjadi di negaranya sebagaimana yang tertera dalam Pasal 24 ayat (4) dan (5) Konvensi ICPED. Dalam Pasal 24 ayat (4) Konvensi ICPED menyebutkan bahwa setiap negara wajib menjamin dalam hukum nasionalnya bahwa korban penghilangan paksa memperoleh reparasi dan kompensasi yang adil, cepat dan memadai. Dalam memenuhi kewajibannya terkait dengan reparasi dan kompensasi Mexico telah menjalankan kewajibannya melalui CEAV yang merupakan komite eksekutif terkait dengan reparasi bagi korban penghilangan paksa. CEAV bertujuan untuk menjamin, memperomosikan dan melindungi hak-hak korban kejahatan dan pelanggaran HAM, terutama hak untuk bantuan, perlindungan, perhatian, kebenaran, keadilan dan reparasi komperhensif. 23
CEAV memberikan dana bantuan dan reparasi komperhensif yang mendukung para korban pelanggaran HAM, juga dalam bentuk dukungan
pendidikan, ekonomi dan pembangunan untuk mengatasi status korban, serta langkah-langkah perhatian khusus untuk menjamin kebenaran dan keadilan.24
Pembayaran dilakukan dalam mata uang nasional dan CEAV menentukan biaya jumlah bantuan dan kompensasi yang sesuai. Kompensasi tambahan untuk korban kejahatan federal mencapai 500 (five hundred) jumlah upah minimum di Mexico, sementara dana untuk dukungan, bantuan, dan perhatian bagi korban kejahatan federal dan korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh otoritas federal jumlah dananya akan disahkan oleh Pleno CEAV. 25
Namun komisi tersebut hanya memberikan dana sekitar US $ 1,9 (33 juta peso),dari 1,28 miliar peso hanya 3 persen yang diberikan kepada korban.26
Selain CEAV, Mexico juga membentuk Komisi Pencarian Nasional (CND) dalam negeri terkait penghilangan paksa, yang dibentuk oleh Presiden Pena Nieto untuk membentuk tim penyelidik dalam mencari para korban penghilangan paksa dan mengidentifikasi para korbannya dengan melakukan mengivenstigasi menyeluruh melalui pembentukan kantor kejaksaan khusus.
Berdasarkan analisis dari kasus tersebut, Mexico melalui CEAV telah berusaha melakukan upaya reparasi dalam bentuk kompensasi yang diberikan dalam nominal uang kepada keluarga korban dari kasus Ayotzinapa, kompensasi terkait reparasi juga diberikan kepada keluarga Sergio melalui sepupu dari walikota Zoquitlan. Mexico telah berupaya memenuhi kewajiban sebagai negara pihak dari konvensi ICPED dengan meberikan kompensasi 24 Ernesto Acosta Zocalo “Emite CEAV Lineamientos del Fondo” (online) tersedia di https://www.zocalo.com.mx/new_site/articulo/emite-ceav-lineamientos-del-fondo diakses pada tanggal 1 Februari 2019
25 Secretaria De Relaciones Extriores “Guidelines Of The Executive Committee For Attention
Of Victims For The Operation Of The Support, Assistance And Comprehensive Reparation Fund And Adopted” (online) tersedia di: https://embamex.sre.gob.mx>boletin5 dalam bentuk PDF
26 Mexico News Daily “Compensation Paid To Iguala Victims Family” (Online) tersedia di: https://mexicodaily.com/news/compensation-paid-iguala-victims-family/
terkait upaya reparasi terhadap korban penghilangan paksa, serta dengan melakukan penyelidikan terkait keberadaan keluarga korban, sebagaimana terdapat dalam pasal 24 ayat (4) Konvensi ICPED terkait dengan reparasi dalam bentuk kompensasi yang diberikan.
Selain dalam bentuk kompensasi, Konvensi ICPED mengatur bentuk lain dari reparasi yang diberikan kepada korban seperti yang terdapat dalam Pasal 24 ayat (5) Konvensi ICPED yang diantaranya terdapat restitusi, rehabilitasi, kepuasan dan jaminan non-repetisi. Dalam The General Law on
Disappearance juga disebutkan mengenai bentuk lain dari reparasi yang akan
diberikan kepada korban penghilangan paksa seperti yang terdapat dalam Pasal 151 The General Law On Disappearance yang terdapat kepuasan dan jaminan non pengulangan. Seperti yang dijelaskan bentuk dari kepuasan yang dimaksud dalam Pasal 151 tersebut yakni dengan membuat monumen atau memory place bagi korban penghilangan paksa, adanya permintaan maaf dari negara dan pihak yang terlibat serta pemulihan dan jaminan-non repetisi.
Berdasarkan analisis kasus dari Ayotzinapa, Sergio dan Fidencio. Mexico tidak membuat monumen atau memory place bagi para korban penghilangan paksa, namun adanya permintaan maaf yang dilakukan Mexico melalui komite CEAV terhadap korban dari kasus Ayotzinapa, sedangkan untuk kasus Fidencio dan Sergio tidak adanya permintaan maaf yang dilakukan Mexico melalui komite tersebut. Terkait dengan upaya pemulihan dan jaminan non-pengulangan terkait dengan kasus-kasus tersebut belum ada upaya yang dilakukan oleh Mexico melalui komite yang dibentuk baik CND maupun CEAV, karena masih banyaknya laporan mengenai kasus penghilangan paksa. Pasal 151 The General Law On Disappearance dapat dikatakan telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Pasal 24 ayat (5) Konvensi ICPED, namun dalam menerapkan pelaksanaan kasus tersebut dapat dikatakan belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh Pasal 24 ayat (5) Konvensi ICPED huruf d jaminan non-repetisi. Jaminan non-repetisi yakni tidak berulangnya
peristiwa yang sama terkait dengan pelanggaran yang dilakukan, dan berdasarkan analisis kasus di Mexico serta laporan yang diberikan oleh CND hingga saat ini masih terdapat kasus pelanggaran HAM terkait dengan penghilangan orang secara paksa. Jika adanya pelanggaran HAM dan sebagaimana dijamin dalam beberapa instrumen internasional dalam memberikan tanggung jawab sebagai kewajiban negara dalam memberikan perlindungan kepada warga negaranya dan berdasarkan standar yang terdapat dalam Konvensi ICPED dengan menjamin adanya penegakan hukum, reparasi, ketidakberulangan lagi peristiwa pelanggaran HAM tersebut, serta perbaikan sistem aturan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran.
III. PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang sudah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, penulis memiliki kesimpulan sebagai berikut:
1. Negara memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab memberikan jaminan hak asasi manusia kepada warga negaranya. Dalam kaitannya dengan penghilangan paksa hal tersebut merupakan kewajiban negara karena adanya suatu pelanggaran HAM. Negara memiliki tanggung jawab bila adanya pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional baik berdasarkan perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional karena negara merupakan pihak yang memiliki kekuasan dan sebagai pemangku tanggung jawab, sebab pelanggaran HAM berbeda dari pelanggran hukum biasanya karena adanya peran dari institusi negara yang ikut terlibat terkait dengan pelanggaran HAM. Mexico telah meratifikasi konvensi ICPED pada tanggal 18 Maret 2008 memiliki kewajiban untuk melindungi, menghormati dan menjamin hak-hak para korban terkait dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berkenaan dengan penghilangan paksa sebagaimana disebutkan dalam pasal 24 ayat (4) dan ayat (5)
konvensi ICPED. Dalam pasal tersebut dijelaskan mengenai hak para korban untuk mendapatkan reparasi dan kompensasi yang cepat, adil, dan memadai serta bentuk-bentuk dari reparasi sebagai bentuk dari tanggung jawab negara terhadap korban penghilangan paksa. Bentuk reparasi yang diberikan oleh Mexico terhadap korban penghilangan paksa yakni dalam bentuk kompensasi.
2. Upaya reparasi yang dilakukan Mexico sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi ICPED dan dibuat kedalam undang-undang nasional Mexico yang tedapat dalam Pasal 151 The General Law On Disappearance yakni dengan pemulihan dan jaminan non-repetisi secara undang-undang Mexico telah memenuhi standar yang terdapat dalam Pasal 24 ayat (5) Konvensi ICPED, namun dalam penerapannya Mexico belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh Pasal 24 ayat (5) huruf d Konvensi ICPED mengenai jaminan non-repetisi. Jaminan non-repetisi sendiri mengatur mengenai tidak berulangnya kembali peristiwa pelanggaran HAM. Berkaitan dengan kasus yang dianalisis tersebut masih terulang kembalinya peristiwa pelanggaran HAM yang tekait dengan penghilangan paksa. B. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan oleh penulis berkaitan dengan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bahwa sebaiknya dalam memenuhi kewajiban dalam bertanggung jawab dalam menangani kasus penghilangan paksa tersebut Mexico mau bekerjasama dengan Komite Penghilangan Paksa dan Komisi PBB terkait HAM terkait upaya reparasi yang terbaik bagi korban penghilangan paksa. serta keterbukaan hasil dari penyelidikan yang dilakukan oleh Mexico melalui komite yang didirikan oleh Presiden Mexico.
2. Sebaiknya dalam memberikan reparasi terkait korban penghilangan paksa, terutama terkait kompensasi yang diberikan harus dipastikan bahwa para
korban atau keluarga dari korban menerima ganti kerugian yang ditetapkan oleh undang-undang terkait reparasi dalam bentuk kompensasi tersebut. Dan jika keluarga menolak kompensasi tersebut diadakan perundingan apa yang terbaik diantara para pihak.
3. Untuk Indonesia sendiri sebagai negara yang memiliki kasus serupa dengan Mexico ada baiknya untuk ikut meratifikasi Konvensi ICPED tersebut agar menjamin hak-hak dari korban penghilangan paksa dan menjamin hak-hak dari keluarga korban penghilangan paksa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku- Buku
Al Araf, Perlindungan Terhadap Pembela Hak Asasi Manusia, (Jakarta:Imparsial, 2005) Perpustakaan Universitas Trisakti
Direktorat Ham Dan Kemanusiaan Direktorat Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Indonesia Dan Proses Ratifikasi Konvensi Internasional Untuk
Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa
Hamid Awaludin, HAM Politik,Hukum, Kemunafikan Internasional (Jakarta, PT Kompas Media Nusantara, 2012)
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum
Universitas Trisakti, Pedoman Penyusunan Skripsi Fakultas Hukum 2018-2019, Contoh Karya Ilmiah Yang Dipublikasi.
Universitas Trisakti, Pedoman Peyusunan Skripsi Fakultas Hukum Trisakti 2018-2019 Jakarta,
WEBSITE ONLINE
Amnesty International, “Deklarasi Tentang Perlindungan Bagi Semua Orang Dari Penghilangan Paksa, Pasal 1 (online), tersedia di https://www.amnesty.org>Documents
Amnesty,” Mexico Gobierno Insiste En Ocultar La Verdad Sobre Ayotzinapa” (online) tersedia di: https://www.amnesty.org/en/latest/news/2018/07/mexico-gobierno-insiste-en-ocultar-la-verdad-sobre-ayotzinapa
Ernesto Acosta Zocalo “Emite CEAV Lineamientos del Fondo” (online) tersedia di https://www.zocalo.com.mx/new_site/articulo/emite-ceav-lineamientos-del-fondo
FrontLine Defenders,“Case Disappearance Sergio Rivera Hernandez”, (online) tersedia di https://www.frontlinedefenders.org/en/case/disappearance-sergio-rivera-hernandez
FrontLine Defenders,”Case Violation Enforced Disappearance” (Online), tersedia di: https://www.frontlinedefenders.org/en/case/violation/enforced-disappearance
Mexico News Daily “Compensation Paid To Iguala Victims Family” (Online) tersedia di: https://mexicodaily.com/news/compensation-paid-iguala-victims-family/
Nalar Politik, “Anti Penghilangan Paksa”(Online), tersedia di https://nalarpolitik.com/anti-penghilangan-paksa-kontras-desak-pemerintah-ratifikasi-konvensi-internasional/
Secretaria De Relaciones Extriores “Guidelines Of The Executive Committee For
Attention Of Victims For The Operation Of The Support, Assistance And Comprehensive Reparation Fund And Adopted” (online) tersedia di: https://embamex.sre.gob.mx>boletin5
Treaties.un.org.
SKRIPSI
Aulia Arifah Rachmah, “ Analisis Yuridis Terhadap Pelanggaran Hak Terbebas Dari Penyikssaan (Freedom From Torture) Berdasarkan Convention Against Toture And Another Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment 1984 (Studi Kasus: Kasus Penyiksaan Oleh Pemerintah Korea Utara Terhadap Warga Negaranya Yang Membelot Ke China)”, (Skripsi Strata Satu Dalam Ilmu Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 2016)
INSTRUMENT INERNASIONAL Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Konvensi Internasional Untuk Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa