• Tidak ada hasil yang ditemukan

2004 Kumpulan Kliping KKR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "2004 Kumpulan Kliping KKR"

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

1

Pansus RUU KKR-04

Kompas, Kamis 19 Februari 2004

Delapan Fraksi Siap Bahas RUU KKR

- F-PDU Menolak

Jakarta, Kompas - Setelah lebih kurang dua bulan melakukan rapat dengar pendapat dengan 45 lembaga, termasuk dengan sejumlah duta besar asing, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya sepakat untuk membahas Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Dalam pengantar musyawarahnya, delapan fraksi menyatakan setuju serta siap membahas RUU KKR bersama-sama dengan pemerintah. Sementara itu, Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (F-PDU) menolak. Hal tersebut mengemuka dalam Rapat Kerja Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR DPR dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra di Gedung DPR/MPR, Rabu (18/2). Rapat dipimpin Ketua Pansus Sidarto Danusubroto didampingi Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar dan Mohamad Sofwan Chudhorie.

Dalam Raker kemarin, F-PDU sendiri tidak hadir. Penolakan F-PDU terhadap pembahasan RUU KKR disampaikan oleh Sidarto selaku Ketua Pansus. "F-PDU pada tanggal 9 Februari 2004 mengirimkan surat yang intinya menolak RUU KKR," ucap Sidarto dalam sidang tanpa menjelaskan dasar pertimbangannya. Sementara itu, delapan fraksi lainnya, meski pandangannya cukup beragam, seluruhnya menyatakan siap membahas RUU tersebut.

Amanat Tap MPR

F-PDIP dalam pemandangan umumnya, misalnya, menegaskan kembali bahwa rekonsiliasi dan

rehabilitasi nasional merupakan amanat Ketetapan MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional dan satu paket dengan pemberlakuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Rekonsiliasi dan rehabilitasi nasional juga merupakan perintah konstitusi kepada segenap penyelenggara negara yang sejalan dengan maksud dan tujuan Perubahan UUD 1945, terutama Pasal 28A-28J tentang Hak Asasi Manusia.

Optimis selesai

Kendati ada satu fraksi yang tidak menyetujui pembahasan RUU KKR, menurut Sidarto dan Akil, pembahasan tetap dilanjutkan. Alasannya, mayoritas fraksi telah menyatakan kesiapannya.

Rapat kerja dengan Menkeh dan HAM untuk pembahasan awal, dijadwalkan diadakan 1 Maret 2004. Sedangkan, Rapat Panitia Kerja mulai diselenggarakan pada masa sidang IV DPR, yaitu setelah Pemilu 2004.

Meski RUU KKR ini sangat kompleks, sementara waktu yang tersedia singkat, Sidarto tetap optimis pembahasan RUU KKR bisa diselesaikan DPR Periode 1999-2004. "Dengan kerja keras, insya Allah, RUU KKR bisa selesai oleh DPR periode ini," ucap Sidarto.

Dia khawatir apabila pembahasan RUU KKR diwariskan kepada DPR periode mendatang, pembahasan akan menjadi lebih berlarut-larut karena harus mulai dari awal lagi. "RUU KKR ini tanggung jawab DPR periode ini," tegasnya.

Sementara itu, animo dari anggota Pansus sendiri terhadap pembahasan RUU KKR sangat rendah. Hal tersebut terlihat dari rendahnya tingkat kehadiran anggota dalam rapat-rapat.

(2)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

2

Kompas, Senin, 08 Maret 2004

Saatnya Mewujudkan Rekonsiliasi Nasional

Jakarta, Kompas - Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengembalikan hak konstitusional anggota Partai Komunis Indonesia menjadi calon anggota legislatif maupun terbentuknya Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang mempersatukan keluarga Tentara Nasional Indonesia, PKI, Darul Islam, dan Komunitas Tionghoa adalah sebuah momentum penting bagi bangsa untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional. Semangat tersebut juga akan mendorong fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). "Terus terang saya angkat topi pada upaya ini. Generasi muda kita itu lebih sadar pentingnya rekonsiliasi. Saya juga menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi," ucap Ketua Panitia Khusus RUU KKR Sidarto Danusubroto, Sabtu (6/3).

Sidarto yang mantan ajudan Presiden Soekarno itu juga berpendapat, Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) dan putusan MK melengkapi usaha rekonsiliasi nasional. Pasalnya, apabila RUU KKR adalah produk hukum, FSAB merupakan spirit yang berkembang di masyarakat.

Sementara Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar mengatakan, proses rekonsiliasi tidak bisa dibentuk secara formal melalui undang-undang semata. Tetapi yang terpenting adalah diupayakan semua elemen masyarakat melakukan pertemuan informal maupun formal. FSAB tanda penting terwujudnya rekonsiliasi.

Masa sidang IV

Pembahasan RUU KKR di DPR itu sendiri ditargetkan selesai dalam masa sidang IV DPR. Pasalnya, apabila pembahasannya dilimpahkan kepada DPR mendatang, dikhawatirkan pembahasan akan menjadi lebih berlarut-larut lagi.

Sementara itu, mengenai arah dari RUU KKR, menurut Sidarto dan Akil, masih terdapat perbedaan pandangan. Ada yang berpendapat, tetap perlu adanya pengungkapan kebenaran, ada juga yang

berpendapat cukup pada penekanan adanya rehabilitasi dan rekonsiliasi. "Tapi mayoritas cenderung pada rehabilitasi dan rekonsiliasi," ucap Sidarto.

Menurut Akil, berkembang juga usulan agar judul RUU KKR diubah menjadi RUU Komisi Rekonsiliasi dan Persatuan. Kata kebenaran dihilangkan dikarenakan dirasakan sangat berat untuk mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya terjadi di masa lalu.

Hentikan pewarisan konflik

(3)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

3

Kompas, Rabu 19 May 2004

Percepat Proses, Pansus KKR langsung Bentuk Panja

(salinan}

Jakarat Kompas – Panitia khusus [Pansus ] Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] mengambil langkah memotong proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi [RUU-KKR] dengan langsung membentuk panitia kerja [Panja]. Langkah-langkah tersebut ditemmpuh karena adanya kekhawatiran pembahasan RUU KKR tidak selesai pada September 2004.

Kesepekatan tersebut dihasilkan dalam Rapat Kerja (Raker) Pansus RUU KKR DPR dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra di Gedung MPR/DPR, Selasa, 18 Mei 2004. Rapat dipimpin oleh Ketua Pansus Sidharta Danusutbroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan [F-PDI-P].

Dalam rapat itu Yusril menyetujui usulan Pansus tersebut. “Pada prinsipnya setuju langsung bentuk Panja dan yang belum disepakati di Raker langsung dibahas di Panja ujarnya.

Sebelumnya, pembahasan persidangan pasal-pasal dilakukan beberapa putaran pada tingkat rapat pleno Pansus yang bersifat terbuka. Dengan adanya keputusan itu, nantinya pembahasan

langsung dibawa ke tingkat forum lebih kecil yaitu Panja yang tertutup.

Sidharta sendiri yang ditemui seusai rapat menolak anggapan bahwa keputusan Pansus yang memotong proses pembahasan didasari tujuan agar membuat pembahasan menjadi tertutup. Langkah tersebut diambil semata-mata karena ketidaktersediaan waktu.

“Undang-undang ini diharapkan bisa diselesaikan selama masa tugas DPR ini. Mitra kerja juga penuh dengan rapat undang-undang lainnya, seperti Undang-Undang Yaysan, Komisi Yudisial dan sebagainya,” jelas Sidharto.

Wakil Ketua Pansus Sofwan Chudorie dari fraksi Kebangkitan Bangsa menegaskan bahwa rapat Pansus harus dihadiri oleh menteri. Sedangkan rapat panja bisa dihadiri oleh pejabat sepesialis di bawah menteri sehingga menjadi lebih leluasa mengatur waktu.

“Dalam keadaan terentu, rapat Panja juga bisa dibuka. Kalau dibuka banyak-banyak kan tidak enak,” kelakar Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar.

Jumlah DIM

Menurut Sidharta, rapat Panja mulai akan diadakan pda 1 Juni 2004 dalam sembilan kali pertemuan.

Berdasarkan persandingan daftar inventarisasi masalah (DIM), pasal yang akan dibahas berjumlah 44 pasal dan terdiri atas 190 butir. Materi yang sudah disepakati dalam rapat Pansus baru berjumlah 19 butir.

(4)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

4

Kompas, Rabu 19 May 2004

Percepat Proses, Pansus KKR Langsung Bentuk Panja

Jakarta, Kompas - Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengambil langkah memotong proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) dengan langsung membentuk Panitia Kerja (Panja). Langkah tersebut ditempuh karena adanya kekhawatiran pembahasan RUU KKR tidak selesai pada September 2004.

Kesepakatan tersebut dihasilkan dalam Rapat Kerja (Raker) Pansus RUU KKR DPR dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra di Gedung MPR/DPR, Selasa (18/5). Rapat dipimpin oleh Ketua Pansus Sidharto Danusubroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dalam rapat itu, Yusril menyetujui usulan Pansus tersebut. "Pada prinsipnya setuju langsung bentuk Panja dan yang belum disepakati di Raker langsung dibahas di Panja," ujarnya.

Sebelumnya, pembahasan persandingan pasal-pasal dilakukan beberapa putaran pada tingkat rapat pleno Pansus yang bersifat terbuka. Dengan adanya keputusan itu, nantinya pembahasan langsung dibawa ke tingkat forum lebih kecil, yaitu Panja yang tertutup.

Sidharto sendiri yang ditemui seusai rapat menolak anggapan bahwa keputusan Pansus yang memotong proses pembahasan didasari tujuan agar membuat pembahasan menjadi tertutup. Langkah tersebut diambil semata-mata karena ketidaktersediaan waktu.

"Undang-undang ini diharapkan bisa diselesaikan selama masa tugas DPR ini. Mitra kerja juga penuh dengan rapat undang-undang lainnya, seperti Undang-Undang Yayasan, Komisi Yudisial dan sebagainya," jelas Sidharto.

Wakil Ketua Pansus Sofwan Chudhorie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa menegaskan bahwa rapat Pansus harus dihadiri oleh menteri. Sedangkan rapat panja bisa dihadiri oleh pejabat spesialis di bawah menteri sehingga menjadi lebih leluasa mengatur waktu.

"Dalam keadaan tertentu, rapat Panja juga bisa dibuka. Kalau dibuka banyak-banyak kan tidak enak," kelakar Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar.

Jumlah DIM

(5)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

5

Kompas, Rabu, 26 Mei 2004

RUU KKR di Tengah Tarikan Kepentingan

SETAHUN sudah, Sumaun Utomo, salah satu korban kemanusiaan 1965, dengan mengiba-iba datang ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pria yang sudah berumur itu memohon agar pemerintah segera mengeluarkan keputusan presiden (keppres) untuk merehabilitasi korban Tragedi Kemanusiaan Tahun 1965.

DIA pesimis, proses rehabilitasi melalui jalur Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) bisa segera terlaksana. Dia tidak yakin, Rancangan Undang-Undang KKR akan selesai satu atau dua tahun. "Inilah kesempatan Presiden dengan hak prerogatifnya untuk mengeluarkan Keppres Rehabilitasi. Mumpung kami sebagai korban hidup dan penanggungjawabnya Soeharto juga masih hidup," ujar Sumaun lirih. Beratnya penderitaan yang dialami korban kemanusiaan 1965 sulit dilukiskan. Mereka banyak yang dihukum tanpa proses pengadilan. Hartanya dirampas. Keturunannya mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Kini, setelah rezim Soeharto berganti dan presiden berganti hampir empat kali, mulai dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, serta Megawati Soekarnoputri, dan sebentar lagi Pemilu Presiden, mereka belum juga mendapatkan rehabilitasi.

Penantian panjang

Apakah kegelisahan Sumaun ini benar-benar akan menjadi penantian tanpa harapan? Yang jelas, hari ini, Rabu (26 Mei 2004), setahun sudah usia RUU KKR. Pada 26 Mei 2003, Presiden Megawati

Soekarnoputri menyerahkan draf RUU KKR ke DPR untuk dibahas.

RUU KKR tersebut tidak mengatur tentang proses penuntutan hukum, tetapi lebih menitikberatkan pengungkapan kebenaran, pemberian kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan memberi amnesti pada pelaku untuk membuka jalan rekonsiliasi.

Pokok pikiran yang melandasi RUU KKR ini adalah bermaksud menelusuri kebenaran serta menegakkan keadilan terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

RUU KKR juga merupakan amanat Ketetapan MPR V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, dan perintah UU No 26/2000. Pasal 27 UU No 26/ 2000 mengamanatkan

"Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi".

Sampai saat ini, RUU KKR itu masih juga samar-samar. Pembahasan rancangan ini di Senayan baru memasuki tahap pembahasan pasal-pasal. Rapat Panitia Kerja untuk membahas pasal secara terperinci baru akan dimulai 1 Juni 2004. Sementara itu, masa kerja DPR tinggal tersisa sekitar empat bulan dan itu pun belum dipotong masa reses dan kesibukan kampanye menghadapi Pemilu Presiden. Materi RUU KKR tidak terlalu banyak dibandingkan dengan RUU lainnya. RUU ini hanya terdiri dari 10 bab dan 44 pasal.

(6)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

6

BERBEDA dengan pembahasan RUU lainnya, perdebatan RUU KKR sudah dimulai dari perdebatan judul. Pemerintah dan sembilan fraksi di DPR memiliki pandangan yang berbeda. TNI/Polri, misalnya, sikapnya jelas. Mereka menghendaki agar RUU ini menonjolkan semangat rekonsiliasi tanpa

pengungkapan kebenaran. F-TNI/Polri menghendaki judul RUU ini diubah menjadi RUU tentang Komisi Rekonsiliasi, bukan RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi seperti diusulkan pemerintah. Fraksi Reformasi sebaliknya. Mereka mengusulkan judul RUU KKR mempertegas aspek

pertanggungjawaban para pelaku. Mereka mengusulkan judul "RUU tentang Komisi Pertanggungjawaban dan Rekonsiliasi".

Ada juga fraksi yang menekankan aspek legalitas formal. Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB), misalnya, mengusulkan agar judulnya disesuaikan dengan Ketetapan MPR V/MPR/2000 yang memerintahkan pembentukan "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional".

Dikarenakan pendapat tersebut tidak mencapai titik temu, akhirnya sementara disepakati untuk tetap memberi judul RUU ini seperti usulan pemerintah tetapi nantinya disesuaikan dengan perkembangan pembahasan yang terjadi.

Padahal, judul mencerminkan isi. Kalau judul saja belum pasti, bagaimana dengan isinya nanti? Pandangan fraksi-fraksi pun masih berbeda-beda tentang definisi korban, pelaku, maupun ganti rugi, seperti kompensasi, amnesti, restitusi, rehabilitasi.

Dalam RUU yang diajukan pemerintah, korban didefinisikan sebagai orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

F-PDIP mengusulkan untuk mempersempit korban, yaitu khusus pada yang mengalami akibat langsung dari pelanggaran HAM berat.

Sementara itu, F-PBB malah meluaskan definisi korban. F-PBB mendefinisikan ahli waris sebagai janda atau duda, dan anak dari korban. Sedangkan untuk yang tidak mempunyai istri, suami, dan anak adalah orang tua atau kakek dan nenek. Bagi yang tidak mempunyai seluruhnya adalah cucu.

F-PBB juga mengusulkan agar pelaku didefinisikan. Pelaku didefinisikan sebagai orang perseorangan, kelompok satuan atau institusi yang melakukan pelanggaran HAM yang berat baik langsung maupun tidak langsung atau orang yang membantu, memberi izin, mentolerir, dan membiarkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat tersebut.

Perbedaan pandangan juga masih terjadi pada rumusan pasal soal ganti rugi. Pendefinisian kompensasi, misalnya, pemerintah mendefinisikannya sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental.

F-PDIP menginginkan agar kompensasi tersebut disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Sementara F-TNI/Polri mengusulkan agar ditegaskan bahwa kompensasi tersebut tidak dinilai secara material. Tujuannya agar pemberian kompensasi ini tidak menjadi preseden dan menimbulkan

(7)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

7

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.

Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak- hak lain. Fraksi Reformasi menghendaki pemulihan tersebut menyangkut pemulihan fisik dan mental.

Terakhir soal amnesti. Pemerintah mengusulkan pengampunan diberikan oleh Presiden selaku Kepala Negara kepada pelaku pelanggaran HAM berat. F-PDIP dan Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia (FKKI) menghendaki agar amnesti itu diberikan Presiden atas saran/usul dari Komisi. Demikian juga soal tugas, fungsi, kedudukan, keanggotaan, dan proses perekrutan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Masing-masing memiliki pandangan yang berbeda tajam. Tarik- menarik kepentingan memang terasa. Materi Daftar Inventarisasi Masalah yang akan dibahas Panitia Khusus RUU KKR berjumlah 190 butir. Mencermati perbedaan pandangan yang terjadi antarfraksi, masih akan membutuhkan waktu panjang. PANSUS sendiri kelihatannya belum menaruh perhatian besar pada RUU KKR ini. Terlihat, dari 50 anggota pansus, hanya beberapa orang saja yang aktif mengikuti rapat. Rapat kerja dengan Menteri Kehakiman dan HAM pekan lalu hanya dihadiri 28 orang dari total 50 anggota. Dari sejumlah itu, yang hadir secara fisik 12 orang, sedangkan 16 orang selebihnya menyatakan izin.

Padahal, seperti diketahui bahwa Sumaun tidak sendirian. Pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh rezim Soeharto sejak tahun 1965-1998 melibatkan jutaan warga. Pelanggaran HAM itu antara lain Peristiwa G30S yang sekarang masih gelap (1965-1975); Penembakan Misterius (tahun 1975-1985); Peristiwa Tanjung Priok, Talang Sari, Haur Koneng, DOM Aceh, Timtim, dan Papua (1985-1995); Kasus 27 Juli 1996, dan Kerusuhan Mei (1995-1998).

(8)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

8

Koran Tempo, Sabtu, 29 Mei 2004

Pansus DPR: Rekonsiliasi Harus Dibarengi Rehabilitasi

JAKARTA --- Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sepakat bahwa rekonsiliasi harus dibarengi dengan rehabilitasi. Sebab, saat ini masih banyak korban yang terbebani dengan masalah politik. Demikian diungkapkan Ketua Pansus KKR, Sidahrto Danusubroto, di gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin. Bersama Wakil Ketua Pansus KKR, Sofwan Chudorie, ia

menceritakan pengalamannya berkunjung ke Afrika Selatan pada 23-27 Mei.

Kunjungan wakil rakyat itu dimaksudkan untuk mempelajari model rekonsiliasi yang dilakukan negara yang pernah dilanda konflik politik apartheid (perbedaan warna kulit) pada 1652-1994 dan selesai saat Nelson Mandela memimpin negeri itu. Mereka bertemu dengan Ketua Human Rights Foundation Yasmin Sooka, Ketua Komnas HAM Afsel Jody Kollapen, dan beberapa anggota parlemen setempat. Dalam pertemuan itu diungkapkan bagaimana negara Afsel mencapai rekonsiliasi itu. "Setelah menjadi presiden, Mandela yang pernah ditahan dan dipenjarakan oleh penguasa kulit putih justru mengajak orang yang pernah menyiksa itu duduk satu meja," kata Sidharto.

Sidharto menjelaskan, ketika komisi rekonsiliasi Afsel terbentuk, sekitar 80 petinggi militer dan polisi datang memenuhi panggilan dan menceritakan kebenaran yang sesungguhnya. Para petinggi militer itu mau datang karena Mandela sebagai presiden sudah memberikan contoh sehingga tidak ada alasan untuk tidak mencontohnya. "Meski secara hukum masalah di sana sudah selesai, dari segi kultur masih harus diselesaikan secara bertahap. Sekarang di sekolah diajarkan masalah HAM, arti diskriminasi, dan lain-lain," ujarnya.

Mengenai kompensasi, menurut Sidharto, Afrika Selatan tidak menerapkan dengan cara ganti rugi berupa uang tapi melalui program berupa pembangunan perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Sementara itu, Sofwan Chudorie menambahkan, setelah melihat dan belajar dari Afsel maka nantinya kemungkinan komisi yang bisa dibentuk di Indonesia harus menghilangkan diskriminasi. Artinya, semua masalah yang merugikan hak-hak warga negaranya harus dipulihkan martabatnya. "Masa lalu itu tetap diungkap kemudian diakui bareng-bareng baru dilakukan rehabilitasi kepada kelompok-kelompok itu. Jadi tidak melalui prosedur formal karena di sini tak ada kebenarannya. Sebab kalau ada kebenarannya kita terikat dengan prosedur formal," ujar dia.

(9)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

9

Kompas, Sabtu 29 Mei 2004

Kebenaran Masa Lalu dan Rekonsiliasi

Oleh Bambang A Sipayung

DALAM pembahasan UU Rekonsiliasi di DPR, muncul diskusi yang patut direnungkan. Fraksi TNI/Polri menghendaki penghilangan kata kebenaran dan lebih menekankan aspek masa depan daripada masa lalu. Djasri Marin, anggota pansus dari Fraksi TNI/Polri mengatakan, "Bila semuanya diungkap jauh dari rujuk karena akan ada pengadilan. Mari kita kubur masa lalu menuju masa depan." Elsam menolak usulan ini dengan alasan, catatan masa lalu berguna bagi pembelajaran demi menghindari pelanggaran HAM di masa depan dan efek penjeraan (Kompas, 24/5). Mengungkap masa lalu diharapkan menjadi proses belajar menyadari kesalahan dan jera untuk melakukannya lagi.

SAYA tertarik memberi catatan dalam diskusi sekitar kebenaran dan masa lalu. Pusat diskusi kebenaran dalam rekonsiliasi ialah apa yang telah terjadi. Ada tarik-menarik antara persepsi kelompok hak asasi manusia dan korban dengan konsepsi para protagonis konflik masa lalu. Bagi kelompok pertama, pengungkapan kebenaran menjadi prasyarat rekonsiliasi. Sebaliknya bagi kelompok terakhir terlalu banyak berkutat dengan masa lalu hanya meningkatkan ketegangan dan mempertajam perpecahan di masyarakat. Dalam konteks seperti inilah kiranya tarik-menarik antara usul penghilangan kata kebenaran dari Fraksi TNI/Polri dan penolakan oleh Elsam bisa diletakkan.

Apakah kebenaran dan masa lalu? Dalam konteks Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di negara-negara Amerika Selatan dan Afrika, kebenaran ingin dipahami sebagai suatu "rekaman masa lalu yang otoritatif". Otoritas itu bisa diupayakan dengan mentransformasi kebenaran menjadi suatu "pengetahuan obyektif". Dalam konteks ini, catatan sejarah mengenai pelanggaran hak asasi manusia direkam dan diajukan sebagai bukti tentang apa yang telah terjadi. Salah satu kritik terhadap pendekatan ini ialah hilangnya

subyektivitas dan konteks individu demi kepentingan obyektif. Hak asasi individu sering dijauhkan dari konteksnya, ditelanjangi makna subyektifnya bagi upaya mendapatkan fakta legal obyektif.

Kritik ini melahirkan gagasan kebenaran sebagai suatu pengakuan. Standar obyektivitas dan legal tidak menjadi paling utama meski perlu. Jennifer J Llwellyn menyebutnya sebagai kebenaran intersubyektivitas yang diperoleh lewat konfrontasi antara pihak-pihak terkait, yaitu antara korban, pelaku kejahatan, dan komunitas. Masing-masing pihak menceritakan "kebenaran" suatu peristiwa menurut versinya. Menurut Howard Zehr, subyektivitas kebenaran seperti ini bagi korban merupakan kesempatan agar penderitaan, rasa sakit, atau mimpi buruk mereka bisa disentuh dan didengarkan, sekaligus memperoleh kembali kontrol atas hidupnya dan mempertahankan haknya. Kendali itu menjadi nyata saat korban menyampaikan maaf dan pengampunan kepada pelaku kekerasan.

MESKI memberi prioritas kepada korban, kebenaran yang melibatkan pengakuan ikut menyentuh pelaku tindak kekerasan. Bagi pelaku tindak kekerasan, pengakuan akan kesalahan atau kekeliruan yang telah terjadi menjadi sumbangan penting dalam proses rekonsiliasi. Sama seperti para korban, rekonsiliasi merupakan undangan kepada pelaku langsung tindak kekerasan untuk mengisahkan apa yang telah dilakukan, menemukan, dan mengakui kekeliruan yang telah terjadi. Pengakuan atas apa yang terjadi, kekeliruan dan kesalahannya, serta permohonan maaf menjadi bagian di mana pelaku tindak kekerasan ikut ambil bagian dalam rekonsiliasi dan membangun hidup bersama.

(10)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

10

Namun, berdasarkan analisis psikologis terhadap tentara, agas (child soldiers), dan pelaku tindak kekerasan lainnya terlihat adanya penderitaan psikis berupa mimpi-mimpi buruk, gejala pengucilan diri, ketakutan, dan depresi akibat pembunuhan, pemerkosaan, atau kekerasan lain yang mereka lakukan. Rekonsiliasi perlu menyentuh pengalaman seperti ini.

Di luar dua aktor langsung ini, ada komunitas yang menjadi lingkup besar kehadiran korban dan pelaku kekerasan. Ketidaktahuan yang melahirkan asumsi negatif terhadap korban maupun pelaku tindak kekerasan sering menjadi sikap kelompok ini. Mereka seakan berdiri sebagai penonton yang cenderung menilai segala sesuatu berdasar kriteria bad guy dan good guy. Menampilkan kisah korban dan pelaku tindak kekerasan adalah upaya menginformasikan yang terjadi secara berimbang. Di sana kisah itu menantang komunitas penonton untuk terlibat reintegrasi korban dan pelaku kejahatan.

Kebenaran dalam proses rekonsiliasi dengan demikian menjadi perjumpaan naratif. Masing-masing pihak diberi ruang kebebasan subyektif untuk berkisah. Perjumpaan naratif seperti ini, selain bernilai sebagai proses penyembuhan sosial, menurut Marcia Byrom Hartwell, juga bernilai sebagai forum publik untuk mengakui penderitaan yang mendalam dan hampir tak terungkapkan akibat rasa kehilangan. Dalam arti ini, perjumpaan naratif menjadi panggung bersama (common platform) bagi martabat dan rasa hormat terhadap pengalaman semua orang.

Sebagai suatu perjumpaan naratif yang melibatkan pengakuan pihak yang terlibat peristiwa kekerasan, masa lalu tentu menjadi bagian integral yang perlu dihormati. Menutupnya atau melupakannya, terutama yang terkait tindak kekerasan, demi alasan suci dan baik seperti masa depan bisa menjadi bom waktu tindak kekerasan berikutnya. Pendapat ini diyakini para penganut teori duka (grievance theory) dalam menjelaskan sebab-sebab kekerasan. Menurut teori ini, tindak kekerasan terjadi akibat represi masa lalu kekerasan. Duka berubah menjadi kepahitan, dendam, dan pembalasan dendam.

MENEMPATKAN problem kebenaran, masa lalu, dan masa depan dalam rekonsiliasi di Indonesia, terutama menantang dan menggugat sikap ksatria para serdadu, entah sebagai institusi dan terutama pribadi untuk berkisah dan mengakui apa yang terjadi. Meneruskan lagu lama bahwa tentara sebagai penyelamat RI kiranya butuh elaborasi masa lalu dan kisah pengakuan mengapa dan bagaimana korban bisa jatuh.

Ini bukan soal mengorek luka lama atau menyalahkan, tetapi keberanian dan sikap ksatria untuk menatap realitas. Tentu akan menarik bila para calon presiden, terutama yang mantan militer, berani berkisah apa yang terjadi pada peristiwa Mei 1998, mengakui apa yang keliru dan bila perlu memohon maaf daripada ramai saling tuding, menampilkan kepahlawanannya dan melancarkan negative campaign kepada pesaingnya.

(11)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

11

Kompas, Senin, 31 Mei 2004

Masih Perlu Belajar Cara Berdamai dari Afrika

Afrika Selatan baru merdeka sepuluh tahun. Indonesia sudah merdeka jauh lebih lama, yaitu lebih dari lima puluh tahun. Namun, Indonesia sepertinya masih harus belajar banyak dari negara itu untuk berdamai dengan masa lalu.< p>

Demikian kesan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) Sidharto Danusubroto dari studi banding ke Afrika Selatan selama empat hari, mulai 23-26 Mei 2004. Mantan ajudan Presiden Soekarno yang juga pernah mengalami karantina politik selama empat tahun di masa rezim Soeharto itu sungguh terkesan dengan kebesaran jiwa Nelson Mandela. "Dia ditahan 27 tahun, dia diperlakukan kasar oleh penjaganya. Akan tetapi, salah satu kebesaran jiwa beliau, penjaga kulit putih yang pernah memperlakukan dia dengan kasar itu, waktu dia terpilih sebagai presiden, duduk dalam satu meja," jelas anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu saat ditemui di Gedung MPR/DPR, Jumat (28/5).

Kebesaran jiwa Nelson Mandela itulah yang mendorong petinggi militer maupun polisi, sekitar 70 orang, bersedia memberikan pengungkapan kebenaran.

Wakil Ketua Pansus Sofwan Chudhorie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa menangkap kesan sama. Sofwan yang di era Orde Baru pernah sempat keluar masuk tahanan dan dicekal sekitar sepuluh tahun karena dianggap "menghina" Soeharto itu juga mengakui bahwa tidak mudah menumbuhkan semangat rekonsiliasi di Indonesia. "Kalau bangsa Afrika Selatan itu senang berdamai, kita ini kelihatannya senangnya bermusuhan," ucapnya berkelakar.

Dalam kunjungannya tersebut, pimpinan Pansus RUU KKR sempat mengunjungi Musium Apartheid di kawasan Gold Reef City, Johannesburg; berdialog dengan Ketua Human Rights Foundation Afrika Selatan Yasmin Sooka yang juga mantan anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC); Ketua Komnas HAM Afsel Jody Kollapen; serta anggota Parlemen Afrika Selatan.

RUU KKR itu sendiri sudah dimasukkan oleh pemerintah ke DPR lebih kurang satu tahun lalu. Beberapa waktu lalu, Pansus sudah mengundang banyak lembaga untuk mendapatkan masukan. Direncanakan, mulai 1 Juni 2004 ini akan diadakan pembahasan intensif di tingkat panitia kerja. Akan tetapi, sayangnya, pembahasan RUU ini berlangsung tertutup.

Berdasarkan persandingan daftar inventarisasi masalah (DIM), setiap fraksi masih memiliki pandangan yang berbeda-beda. Ada yang menghendaki rekonsiliasi dilakukan tanpa pengungkapan kebenaran, ada yang berpendapat pengungkapan kebenaran sebagai keharusan. Fraksi-fraksi juga masih berbeda pendapat dalam banyak hal, mulai dari judul RUU, definisi korban, pelaku, amnesti, rehabilitasi, restitusi, maupun proses seleksi anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Kendati masih banyak perbedaan pandangan, menurut Sidharto dan Sofwan, sudah ada kesepakatan target minimum bahwa rekonsiliasi harus disertai rehabilitasi. Semangat rekonsiliasi ini adalah menghapuskan diskriminasi dalam politik.

(12)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

12

(13)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

13

Sinar Harapan, Senin, 31 Mei 2004

RUU KKR Digarap Amatir

JAKARTA – Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) sudah memasuki usia satu tahun pada tanggal 26 Mei 2004. Namun

pembahasan mengenai RUU KKR ini mengalami perdebatan yang panas, baik di dalam maupun di luar gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Di luar gedung, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan korban pelanggaran HAM meneriakkan pentingnya kebenaran dengan cara meluruskan sejarah untuk menuju rekonsiliasi. Sementara di dalam gedung, tarik menarik kepentingan politik antar fraksi sangat kentara dalam setiap pembahasan sejak dari judul hingga isi.

Tak pelak, penanganan RUU KKR yang merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Ketetapan MPR V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional ini, dinilai beberapa kalangan telah digarap secara amatir.

Dengan alasan ketersediaan waktu, Rapat Kerja (Raker) Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR dengan Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia (Menkeham) Yusril Ihza Mahendra, Selasa (18/5)

mengambil langkah memotong proses pembahasan RUU KKR dengan langsung membentuk Panitia Kerja (Panja). Rapat ini akan dimulai pada esok (1/6) dan direncanakan akan dilakukan dalam sembilan kali pertemuan. Pasal yang akan dibahas berjumlah 44 pasal dan terdiri atas 190 butir. Materi yang sudah disepakati dalam rapat Pansus baru berjumlah 19 butir.

Draf RUU KKR yang diserahkan Presiden Megawati pada 26 Mei 2003 ke DPR tidak mengatur tentang proses penuntutan hukum, tetapi lebih menitikberatkan pada pengungkapan kebenaran, pemberian kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan memberi amnesti pada pelaku untuk membuka jalan rekonsiliasi.

Namun demikian, hingga kini pembahasan RUU KKR masih belum jelas. Rapat Panitia Kerja untuk membahas pasal secara terperinci baru akan dimulai 1 Juni 2004. Sedangkan, masa kerja DPR tinggal tersisa sekitar empat bulan. Materi RUU KKR hanya terdiri dari 10 bab dan 44 pasal.

Debat Judul

Sebelumnya, perdebatan alot sudah dimulai dari penentuan judul. Pemerintah dan sembilan fraksi di DPR memiliki pandangan yang berbeda. Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB) misalnya, mengusulkan agar judulnya disesuaikan dengan Ketetapan MPR V/MPR/2000 yang memerintahkan pembentukan "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional".

Fraksi TNI/Polri secara tegas menghendaki perubahan Judul. Fraksi ini mengusulkan agar RUU ini menonjolkan semangat rekonsiliasi dan meminggirkan pengungkapkan kebenaran.

Di sisi lain, Fraksi Reformasi mengusulkan judul RUU KKR dipertegas lebih pada aspek

pertanggungjawaban para pelaku. Mereka mengusulkan RUU KKR diberi judul “RUU tentang Komisi Pertanggungjawaban dan Rekonsiliasi".

Karena tidak mendapatkan titik temu, akhirnya judul RUU ini untuk sementara tetap disepakati seperti usulan pemerintah. Perdebatan lebih sengit terjadi dalam pembahasan tentang isi. Pandangan fraksi-fraksi berbeda-beda tentang definisi korban, pelaku, maupun ganti rugi.

Dalam draf yang diajukan pemerintah, korban didefinisikan sebagai orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Menanggapi hal itu, F-PBB malah meluaskan definisi korban. F-PBB mendefinisikan ahli waris sebagai janda atau duda, dan anak dari korban. Untuk yang tidak mempunyai istri, suami, dan anak ahli warisnya adalah orang tua atau kakek dan nenek, bagi yang tidak mempunyai seluruhnya adalah cucu.

(14)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

14

tersebut.

Berbeda dengan FPBB, F-PDIP justru mengusulkan mempersempit pendefinisian korban yang khusus mengalami akibat langsung dari pelanggaran HAM berat. Berkaitan dengan rehabilitasi yang menyangkut kehormatan, jabatan, nama baik Fraksi Reformasi menghendaki pemulihan tersebut menyangkut

pemulihan fisik dan mental. Soal amnesti, pemerintah mengusulkan pengampunan diberikan oleh Presiden selaku Kepala Negara kepada pelaku pelanggaran HAM berat.

Pansus sendiri dalam menangani RUU ini dinilai amatir. Menurut data Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (Elsam), dari 50 anggota pansus, hanya beberapa orang saja yang hadir dalam beberapa kali sidang. Jika RUU KKR ini digarap secara amatir maka dikhawatirkan bangsa ini tidak akan pernah belajar atas kesalahan yang terjadi di masa lalu.

Padahal seperti yang dikatakan Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan, sebuah bangsa tanpa ingatan sosial adalah sebuah bangsa tanpa masa depan.

(15)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

15

Kompas, Selasa, 20 Juli 2004

Pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Titik Beratkan

Rekonsiliasi

Jakarta, Kompas - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) ternyata sudah semakin mengerucut pada penekanan aspek rekonsiliasi, bukan pengungkapan kebenaran.

Ada kecenderungan kuat, judul RUU yang semula bernama RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diubah menjadi RUU Komisi Rekonsiliasi atau RUU Komisi Persatuan Nasional untuk Rekonsiliasi. "Judulnya kemungkinan diubah. Titik beratnya pada persatuan nasional, rekonsiliasi nasional. Ini wacana yang berkembang," papar Ketua Pansus RUU KKR Sidharto Danusubroto, Minggu (18/7).

Menurut politisi senior dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, tidak ada RUU yang sempurna. Setiap pembahasan RUU tidak lepas dari kompromi politik. "Bahwa nanti ada penyempurnaan kembali oleh DPR hasil pemilu, itu lain soal. Yang utama, para korban pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu tidak lagi mengalami diskriminasi politik. Masa masalah itu tidak selesai-selesai," ucapnya. Ditanya apakah langkah itu juga diambil terkait kemungkinan terjadinya pergantian pemerintahan seusai pemilu, Sidharto enggan berkomentar. "Wah, soal itu saya tidak mau komentar ya. Saya tidak mau berandai-andai. Kita positive thinking sajalah," ucap mantan ajudan Bung Karno itu.

Pada rapat kerja dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sekitar April 2004, unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI) di DPR menghendaki agar judul RUU KKR diubah menjadi RUU Komisi Rekonsiliasi. Kata kebenaran dihilangkan dengan alasan agar tercipta suasana yang rujuk di antara anak bangsa. Fokus dari RUU KKR diharapkan juga menekankan aspek masa depan, bukan masa lalu. "Kalau semuanya diungkap, jauh dari rujuk karena akan ada pengadilan. Mari kita kubur masa lalu dan menuju masa depan," kata anggota Pansus dari Fraksi TNI, Mayjen TNI Djasri Marin, saat itu.

Tarik usulan

Pembahasan RUU KKR itu sepertinya dipercepat mengingat masa tugas DPR akan segera berakhir 30 September 2004. Tidak seperti biasanya, seluruh fraksi sepakat menarik puluhan usulan penyempurnaan pasal-pasal, mulai dari butir Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ke-93 hingga DIM terakhir, yaitu nomor 190. Mereka sepakat sepenuhnya menerima usulan pemerintah karena beranggapan hanya bersifat perubahan redaksional.

Pembahasan yang masih belum tuntas, jelas Sidharto, tinggal tersisa tiga persoalan. Pertama, menyangkut jumlah anggota komisi. Berkembang usulan, jumlah anggota komisi ditambah menjadi 27 orang. Dalam RUU KKR usulan pemerintah dicantumkan 15 orang.

(16)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

16

Kompas, Selasa 03 Agustus 2004

Batas Waktu Pengungkapan Masa Lalu Masih Jadi Perdebatan

Jakarta, Kompas - Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat masih menyisakan perdebatan mengenai batas waktu pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu, keanggotaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta masa kerja KKR. Namun demikian, perdebatan substansial tersebut diyakini bisa diselesaikan oleh DPR periode 1999-2004.

Hal itu dikemukakan Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar kepada Kompas di Jakarta, Senin (2/8). Politisi dari Partai Golkar ini mengatakan, Panja kembali akan melakukan rapat pembahasan pada masa reses, yakni 9-12 Agustus 2004.

Sementara Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim mendesak DPR agar menyelesaikan pembahasan RUU KKR dalam periode sekarang ini. "RUU KKR sudah dibahas cukup lama sehingga kalau ditunda pada DPR hasil Pemilu 2004, akan dihadapkan pada realitas politik yang berbeda," kata Ifdhal selain RUU KKR adalah perintah Ketetapan MPR No V/MPR/2000.

Akil merasa yakin DPR mampu menyelesaikan pembahasan RUU KKR. "Ini perintah Tap MPR dan juga UU No 26/2000 mensyaratkan pembentukan RUU KKR, selain RUU KKR ini telah lama berada di DPR," kata Akil.

Mengenai judul RUU, Akil mengatakan judul memang belum disepakati, tapi ia yakin judulnya tetap RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Soal waktu

Dalam draf pemerintah, pemerintah tidak memberikan batasan sampai tahun berapa KKR berwenang untuk mengungkapkan kebenaran atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM pada masa lalu. Dalam perdebatan di Panja DPR, kata Akil, berkembang pemikiran perlu adanya pembatasan hingga tahun tertentu. "Ada yang mengusulkan sejak tahun 1945 tapi ada juga yang mengusulkan sejak tahun 1965 atau 1967. Itu belum diputuskan," kata Akil.

Menurut Ifdhal, RUU KKR perlu memberikan batas waktu yang jelas, sampai tahun berapa KKR bisa melakukan penyelidikan. "Kalau saya mengusulkan sejak 1965 hingga 2000, karena pada masa itulah masih terjadi perdebatan di masyarakat," katanya.

Sedang mengenai masa kerja Komisi, Akil mengatakan, dalam draf awal yang diusulkan pemerintah, masa kerja KKR adalah tiga tahun dan bisa diperpanjang lagi selama dua tahun. Namun, arus besar di Panja DPR menghendaki masa kerja KKR adalah lima tahun dan bisa diperpanjang dua tahun.

Soal kewenangan

Akil menjelaskan, KKR yang sedang dibahas DPR ini akan mempunyai tiga subkomisi yakni Sub-Komisi Penyelidikan dan Klarifikasi, Sub-Komisi Rekomendasi Amnesti, dan Sub-Komisi Rehabilitasi, Restitusi, dan Kompensasi.

(17)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

17

Sub-Komisi Penyelidikan akan melakukan investigasi terhadap kasus pelanggaran HAM berat tersebut, termasuk mencari siapa pelaku dan siapa yang telah menjadi korban dari kasus tersebut. Dalam Sub-Komisi Penyelidikan maka anggota subkomisi akan memastikan secara persis siapa yang telah menjadi korban dan siapa yang menjadi pelaku, termasuk kemungkinan untuk melakukan rekonsiliasi.

Menurut Akil, rekonsiliasi bisa dilakukan jika pelaku mengakui perbuatannya dan korban mau

memberikan maaf. "Jika korban dan pelaku setuju rekonsiliasi maka rekonsiliasi. Sebaliknya, jika sepakat maka kasusnya akan diserahkan ke pengadilan," katanya.

(18)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

18

Nasional

Pemerintah Minta DPR Menunda Pembahasan RUU KKR

Selasa, 10 Agustus 2004 | 13:22 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah melalui Departemen Kehakiman dan HAM dianggap tidak serius dalam menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-undang Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran (KKR). Hal itu terungkap lewat surat yang dikirim Direktur Jenderal Peraturan Perundanga-undangan, Abdul Gani Abdullah tertanggal 5 Agustus 2004 lalu.

Dalam surat yang berkop Departemen Kehakiman dan HAM RI, Direktorat Jenderal Peraturan Perundanga-undangan bernomor O.UM.01.10-258 itu, diungkapkan rencana rapat konsinyering yang dijadwalkan tanggal 9 hingga 11 Agustus 2004 dibatalkan.

Abdul Gani dalam suratnya menyatakan pembatalan rapat itu karena, setelah dilakukan pengecekan anggaran yang ada di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, tidak ada lagi dana untuk rapat itu. Baik dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum maupun Dirjen Perlindungan HAM. Oleh sebab itu, ia meminta agar rapat bisa dilaksanakan di gedung DPR/MPR saja.

Rapat konsinyering biasanya dilaksanakan di luar gedung DPR. Rapat konsinyering itu biasanya digelar kala masa reses. Rapat biasanya diselenggarakan di hotel.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) KKR, Akil Mochtar, menyatakan

kekecewaannya. Sebab, menurut dia, anggaran untuk setiap pembahasan RUU itu sudah dialokasikan anggaran lewat APBN. Padahal DPR sudah bertekad agar RUU KKR ini selesai sebelum keanggotaan DPR periode 2004 ini habis. "Alokasi tidak adanya dana itu sangat mengada-ada. Ini UU yang sangat penting bagi bangsa," kata Akil.

Menurut dia, kemauan pemerintah untuk membahasa RUU itu pada persidangan mendatang itu jelas tidak akan selesai. Sebab, kata dia, DPR baru akan bersidang lagi pada 16 Agustus hingga 30 September. Artinya, hanya tersisa waktu 1,5 bulan. "Dengan sisa waktu 1,5 bulan itu ya jelas tidak akan cukup," ujar politikus Partai Golkar ini.

(19)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

19

Kompas, Selasa 10 Agustus 2004

Beralasan Tak Ada Dana, Pemerintah Batalkan "Konsinyering" RUU

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Jakarta, Kompas - Pembahasan Rancangan Undang- Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau RUU KKR bakal tertunda. Depkeh dan HAM membatalkan rencana konsinyering kedua RUU KKR yang semula direncanakan akan berlangsung tiga hari, mulai Senin (9/8) kemarin, dengan alasan tidak ada dana lagi.

Istilah konsinyering biasa digunakan oleh DPR dan pemerintah untuk rapat-rapat pembahasan RUU yang diadakan di luar Gedung DPR/MPR dan dilakukan secara intensif.

Pembatalan tersebut tertuang dalam Surat Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Depkeh dan HAM) tertanggal 5 Agustus 2004 kepada Pimpinan Panitia Kerja (Panja) RUU KKR DPR. Surat ditandatangani Dirjen Peraturan Perundang-undangan Abdul Gani Abdullah. "...setelah kami lakukan pengecekan anggaran yang ada pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, ternyata tidak ada lagi dana untuk itu," demikian tertulis dalam surat tersebut.

Ketua Panja RUU KKR Akil Mochtar menyesalkan sikap Depkeh dan HAM tersebut. "Kelihatannya Menkeh dan HAM tidak serius menyelesaikan RUU ini," katanya.

Akil menilai sikap pemerintah tersebut terkesan mengesampingkan pembahasan RUU KKR. RUU ini bukan prioritas, tetapi dibahas apabila ada sisa anggaran. "RUU KKR itu ibarat asobah. Dalam hukum Islam, asobah itu ahli waris setelah ahli waris utama dan pengganti. Dia dapat warisan kalau ada sisa," jelasnya.

Padahal, RUU KKR merupakan RUU yang penting untuk kemajuan bangsa ke depan. Tanpa UU ini bangsa Indonesia akan terus terjebak pada suasana saling caci maki tanpa akhir. Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia, Satya Arinanto, berpendapat, RUU KKR merupakan RUU yang termasuk urgen diselesaikan oleh DPR dan Pemerintah sebelum terbentuknya pemerintahan baru pada tanggal 20 Oktober 2004.

"Di berbagai negara, lembaga semacam KKR ini telah menjadi semacam solusi penting untuk menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran HAM masa lalu, terutama dalam era transisi menuju demokrasi," jelasnya.

(20)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

20

Media Indonesia, Selasa, 10 Agustus 2004

Pembahasan RUU KKR Dihentikan

JAKARTA (Media): Departemen Kehakiman (Depkeh) dan HAM menghentikan konsenyering ke-2 atau pembahasan RUU di luar masa kerja DPR atau selama masa reses Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Demikian pernyataan Wakil Ketua Pansus RUU KKR M Akil Mochtar kepada pers di Jakarta, kemarin. Akil juga menyesalkan keputusan Depkeh dan HAM tersebut.

Berdasarkan surat Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Depkeh dan HAM Abdul Gani Abdullah No I.UM.01.10-228, tertanggal 5 Agustus 2004, kepada pimpinan Panitia Kerja (Panja) RUU KKR, alasan penghentian konsenyering ke-2 ini karena Ditjen Peraturan Perundang-Undangan sudah kehabisan anggaran.

"Setelah kami lakukan pengecekan anggaran yang ada di Ditjen Perundang-undangan, ternyata tidak ada lagi anggaran untuk itu. Demikian juga setelah dilakukan koordinasi dengan Ditjen Administrasi Hukum Umum dan Dirjen Perlindungan HAM sebagai pendukung pembahasan RUU KKR, ternyata juga tidak tersedia dana untuk kegiatan tersebut," kata Abdul Gani dalam suratnya ke Panja RUU KKR.

Wakil Ketua Pansus RUU KKR M Akil Mochtar merasa heran dengan pembatalan konsenyering karena alasan teknis itu. Padahal, setiap pembahasan RUU antara DPR dan pemerintah, anggarannya diambil dari APBN.

"Padahal, kita tahu bahwa setiap RUU yang dibahas pemerintah bersama DPR itu, alokasi anggarannya langsung dari APBN," tegas Wakil Ketua Pansus RUU KKR M Akil Mochtar di Gedung DPR/MPR, Jakarta, kemarin.

Menurut kesepakatan antara Panja RUU KKR dan Dirjen Peraturan Perundang-undangan dan Dirjen Perlindungan HAM, konsenyering RUU KKR di tingkat Panja ini akan dilaksanakan tanggal 9-11 Agustus 2004. Dengan pembatalan itu, pembahasan lanjutan terpaksa dilakukan setelah pembukaan masa sidang DPR 16 Agustus mendatang.

Akil menjelaskan konsenyering RUU KKR itu dilakukan dalam rangka mengejar agar RUU ini selesai dibahas dan disahkan pada masa sidang mendatang. Dengan dibatalkannya konsenyering RUU KKR ini, diperkirakan RUU ini tidak akan tuntas diselesaikan oleh DPR periode sekarang.

"Masa kerja DPR setelah dibuka tanggal 16 Agustus mendatang hanya sekitar 20 hari. Rentang waktu itu sangat singkat sekali dan diperkirakan sulit untuk menuntaskan RUU ini dengan masa kerja 20 hari tersebut," tegas Akil.

Pembatalan konsenyering RUU KKR oleh Depkeh dan HAM tersebut, menurut Akil, merupakan indikasi bahwa institusi itu tidak serius untuk menyelesaikan RUU tersebut. Sikap tersebut sekaligus sebagai cerminan bahwa institusi-institusi pemerintah hanya bersemangat kalau diajak membahas RUU yang terkait dengan kewenangan dan kekuasaan mereka.

(21)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

21

Akil menjelaskan tidak ada yang perlu ditakutkan dengan substansi RUU KKR ini. Apalagi dalam RUU tersebut, rekonsiliasi hanya dapat dilakukan bila kedua belah pihak menyepakatinya. Kalau tidak disepakati oleh kedua belah pihak, dapat ditempuh jalur pengadilan HAM Ad Hoc.

"Jadi, jangan apriori dulu. Pembahasan terhadap RUU ini kita lakukan secara terbuka. Misi dari RUU ini adalah bagaimana persoalan-persoalan konflik yang terjadi akibat pelanggaran HAM berat, dapat diselesaikan dan tidak menyimpan masalah lagi di masa yang akan datang," tegas Akil.

Karena itu, selaku Wakil Ketua Pansus RUU KKR, Akil mengaku sangat kecewa dan menyesalkan adanya surat pembatalan dari Dirjen Perundang-undangan itu.

(22)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

22

Hukum Online, [10/8/04]

Hakim Harus Arif Memutuskan Pemberian Kompensasi

Kejaksaan Agung, Komnas HAM dan Departemen Keuangan sudah pernah mengadakan pertemuan membahas kemungkinan pemberian kompensasi kepada korban tragedi Tanjungpriok. Tapi masih terkendala masalah parameter kompensasi dan siapa saja korban yang berhak.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menilai tuntutan jaksa dalam tiga berkas terakhir kasus pelanggaran HAM berat Tanjungpriok sudah mengalami kemajuan. Sebab, dalam berkas atas nama terdakwa Sutrisno Mascung Cs, Pranowo dan Sriyanto, jaksa sudah mencantumkan atau melampirkan tuntutan pembayaran reparasi kepada korban. Reparasi dapat berarti kompensasi, restitusi atau rehabilitasi.

Namun Direktur Eksekutif Elsam Ifdhal Kasim berpendapat hakim harus bersikap arif dalam menentukan pemberian kompensasi kepada keluarga korban. Selain karena ukuran atau parameter perhitungannya belum jelas, masih ada perbedaan pendapat tentang siapa saja yang berhak mendapatkan kompensasi tersebut.

Sebelumnya, Direktur Penanganan Pelanggaran HAM Kejaksaan Agung I Ketut Murtika menyatakan bahwa hanya mereka yang tidak islah yang akan mendapatkan pemberian kompensasi. Sebab, yang pro islah sudah memperoleh sejumlah dana dari orang-orang yang namanya tersangkut kasus Tanjungpriok. Sikap Kejaksaan Agung itu kemudian dituangkan jaksa dalam berkas tuntutannya. Jaksa hanya mencantumkan nama 15 orang korban Tanjungpriok yang meminta kopmpensasi, yaitu mereka yang selama ini dikenal menentang islah. Belakangan, kelompok yang pro islah pun mengajukan permohonan yang sama.

Di sinilah pentingnya sikap arif dari majelis hakim yang menyidangkan perkara Tanjungpriok. “Islah atau tidak, mereka sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi,” tandas Ifdhal di Jakarta, Senin (9/8) siang. Kalaupun pro islah tidak layak lagi mendapatkan adalah jika majelis memutuskan pembayaran restitusi (dari korban), bukan dalam bentuk kompensasi (dari pemerintah).

Amiruddin al-Rahab, rekan Ifdhal di Elsam, berpendapat senada. Jika hakim memilah-milah hanya memberikan kompensasi kepada kelompok tertentu, justru bisa menimbulkan konflik horisontal di antara sesama korban tragedi Tanjungpriok.

Perhitungan

Sampai saat ini, yang berpotensi menjadi masalah adalah cara perhitungan pembayaran kompensasi. Sebab, belum ada preseden yang bisa menjadi acuan bagi majelis hakim. Kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, misalnya, tak satu pun yang menyinggung masalah reparasi kepada korban.

Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002, yang selama ini menjadi payung hukum pemberian reparasi, tidak menjelaskan secara rinci bagaimana perhitungan dan apa parameter pemberian kompensasi kepada korban.

Dalam kaitan ini, lembaga pemerhati masalah hak asasi manusia, Kontras, sudah mengajukan sebuah usulan ke Kejaksaan Agung dan PN Jakarta Pusat pada akhir Juni lalu. Dalam suratnya, Kontras

mengajukan dua ukuran, yaitu harga emas pada saat kejadian dan 6 persen per tahun. Kedua parameter ini mengacu pada yurispudensi Mahkamah Agung tahun 1969 dan 1987.

Namun, tampaknya usulan Kontras itu pun belum final. Indikasinya, Kejaksaan Agung masih

(23)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

23

Tanjungpriok, termasuk parameter dan tata cara perhitungan pembayaran kompensasi (kalau diputuskan hakim).

(24)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

24

Republika, Selasa 10 Agustus 2004

Tak Ada Anggaran, Menkeh Minta Pembahasan RUU KKR Ditunda.

Jakarta, Anggota Pansus RUU tentang KKR (Komisi Kebenaran dan RekonsiliasiP) terpaksa membatalkan pembahasan menyusul munculnya surat mendadak Depkeh dan HAM yang meminta konsenyering tahap kedua tidak melanjutkan. Alasannya, karena tidak ada lagi anggara, sehingga pembahsan dilaksanakan di Gedung DPR RI, padahal anggota DPR kini tengah memasuki masa reses. Diterbitkannya surat tertanggal 5 Agustus 2004 di tandatangani dirjen Peraturan Perundang-undangan, Abdul Gani Abdullah itu tentu saja membingungkan anggota Pansus KKR. Karena hasil rapat Panja terakhir sebelum masa reses pemerintah sudah sepakat konsinyering tahap kedua digelar 9-11 Agustus. Tetapi menjelang pembahasan malah muncul surat dari Dirjen Perundang-undangan. Isinya mengatakan setelah mengecek anggaran yang ada di Ditjen Peraturan Perundang-undangan Ditjen Administrasi Hukum Umum dna Ditjen Perlindungan HAM, ternyata tidak tersedia dana untuk kegiatna konsinyering. Wakil Ketua Pansus KKR, Akil Michtar, menilai kehadiran surat tersebut membuktikan tidak ada keseriusan dari Depkeh dan HAM untuk menyuelesaiakn pembahsan RUU KKR. Apalagi pembatalan ini hanya karena masalah dana, berarti anggaran yang disediakan untuk pembedaan RUU KKR hanya anggaran sisa.

“Kalau begini caranya, bagaimana RUU bisa kelar? Pemerintah serius atau tidak membahasa RUU KKR. Jangan mentang-mentang RUU ini tidak terkait denagn kekuasaan pemerintahan, sehingga

pembahasannya seenak-enak saja,” ujar Akil Mochtar, di Jakarta, kemarin (9/8).

Anggota Komisi II ini membandingkan pembahasan RUU KKR denagn RUU yang terakit dengan kepentingan kekuasaan seperti RUU tentnag TNI, RUU tentang Kejaksaan, dan RUU tentang kepolisian. RUU yang terkiat dengan kekuasaan, pemabasannya, kata dia kdilakukan secara maratahon dan

pemerintah sangat antusias dan anggarannya pun optimal. “Tapi kalau RUU KKR yang jauh dari kepentingan kekuasaan pasati dinomor duakan,” tambahnya.

(25)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

25

Kompas, Rabu 11 Aug. 04

Pemerintah dan DPR Sama-sama Mengecewakan

Jakarta, Kompas - Berbagai pihak mengecam ketidakseriusan pemerintah maupun anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi DPR terkait dengan keputusan pemerintah untuk membatalkan konsinyering pembahasan RUU KKR dengan alasan tidak adanya dana. Menurut mantan Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Asmara Nababan, Selasa (10/8), tindakan seperti itu mencerminkan di satu sisi pemerintah tidak bersikap serius menyelesaikan pembahasan RUU tersebut, sementara di sisi lain menunjukkan sikap dan tindakan DPR yang mengecewakan.

"DPR kan tidak perlu didanai lagi karena mereka sudah disediakan bangunan (Gedung DPR/MPR) untuk bersidang. Buat apalagi mereka tergantung uang saku. Jangan hanya mau bersidang jika ada uang saku, yang benar sajalah. Honor mereka kan sudah sedemikian besar, kenapa tidak mau berkorban sedikit. Tidak usah bersidang di Puncak atau di hotel. Cukup di Senayan," ujar Asmara.

Asmara menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) itu sudah sangat berlarut-larut, sementara seharusnya masalah itu sudah diselesaikan dengan memanfaatkan momen transisi saat ini. Jika pembahasannya diundur lagi, hal itu akan makin membuat penyelesaian masalah menjadi berlarut-larut.

Tunda saja

Lebih lanjut, walau mengaku sama-sama kecewa dengan sikap pemerintah dan DPR terkait dengan pembahasan RUU KKR, Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid menilai, pembahasan masalah itu memang akan lebih baik jika ditunda hingga pemerintah dan DPR periode mendatang.

"Pembatalan itu mencerminkan pemerintah memang sejak awal tidak mempersiapkan konsep pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi secara matang, baik secara substansi-seperti posisi keberadaan KKR dan pengadilan yang tidak komplementatif-maupun soal peluang diberikannya amnesti bagi pelaku pelanggaran HAM berat," ujar Usman.

Adapun persoalan substantif tadi, kata Usman, masih ditambah lagi dengan persoalan lain, seperti masalah teknis dan pendanaan. Maka, tidak alasan bagi DPR untuk memaksakan mengesahkan RUU KKR karena pastinya pemerintah memang tidak mempersiapkan konsepsi RUU tersebut secara matang.

"Kami menginginkan RUU KKR ditarik kembali karena secara substansi hanya mengedepankan aspek persatuan dan rekonsiliasi tanpa mementingkan aspek lain seperti hak-hak korban untuk mengetahui kebenaran peristiwa yang dialaminya maupun untuk memperoleh keadilan, baik keadilan hukum maupun keadilan dalam arti pemulihan hak-hak mereka seperti semula," ujar Usman.

Ketua Panitia Kerja (Panja) Akil Mochtar yang dihubungi Kompas mengatakan, setelah berita ketiadaan dana itu mencuat, dia bertemu dengan Dirjen Perundang-undangan Abdul Gani Abdullah hari Selasa. Dalam pertemuan itu akhirnya disepakati rapat Panja untuk menyelesaikan pembahasan RUU KKR diteruskan hari Jumat (13/8) di Gedung DPR.

(26)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

26

Kompas, Jumat, 13 Agustus 2004

RUU KKR Momentum bagi Megawati

Nelson Mandela, saat dilantik menjadi Presiden Afrika Selatan, dengan besar hati memberi tempat duduk dalam satu meja kepada sipir kulit putih yang sempat mengencinginya ketika di penjara. Dia juga meminta petinggi militer dan polisi untuk meminta maaf kepada rakyat Afrika Selatan atas tindakan yang

diskriminatif.

MEGAWATI yang sejak usia sekolah mendapat perlakuan diskriminatif dari rezim Orde Baru merasakan pengalaman tidak kalah pahit. Karena itu, ketika Megawati menjadi presiden dan mengangkat sejumlah menteri dan kepala daerah dari kalangan tentara, hal ini harus dilihat sebagai semangat memelopori rekonsiliasi.

Mayor Jenderal (Pol) Purn Sidarto Danusubroto yang juga Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) melihat figur Megawati sebagai simbol rekonsiliasi. Sidarto yang sempat menjadi ajudan Bung Karno sejak tahun 1967-1968 tahu banyak tentang pengalaman pahit yang pernah dirasakan Megawati saat itu dan kebesaran jiwanya.

Atas dasar itu, dia juga meyakini bahwa Megawati memiliki tugas besar untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional. "Megawati adalah simbol semangat rekonsiliasi," ucapnya.

Pembahasan RUU KKR sendiri adalah momentumnya. Apabila pembahasan RUU KKR tertunda, rekonsiliasi bangsa juga semakin lama tertunda. Pemerintah dan DPR harus kembali menyiapkan RUU dari awal. Semakin banyak juga warga eks tahanan politik dan narapidana politik yang menderita karena mendapat perlakuan diskriminatif.

Saat ini, RUU KKR masih terus digodok antara pemerintah dan DPR. Pembahasannya sudah sampai pada tingkat rapat panitia kerja.

Hari Jumat (13/8) ini, pemerintah dan DPR akan bersama-sama membahas kembali secara intensif. Langkah tersebut terpaksa dilakukan untuk mengejar waktu. Pasalnya, 30 September 2004 mendatang, masa kerja DPR periode 1999-2004 akan berakhir.

Masa jabatan Presiden Megawati sendiri akan berakhir 20 Oktober 2004, terkecuali dia terpilih kembali sebagai Presiden 2004-2009 dalam pemilu presiden putaran kedua, 20 September 2004.

"Jadi, akan tergantung pada political will pemerintah berkuasa berikutnya," kata Akil Mochtar, Wakil Ketua Pansus RUU KKR dari Partai Golkar.

MENCERMATI materi pembahasan, memang tidak mudah bagi DPR dan pemerintah untuk menyelesaikannya. Selain terjadi banyak perbedaan pandangan antar-fraksi, terlihat ada perbedaan mencolok antara politisi sipil dan militer.

Sejak Rapat Pansus hari pertama, 10 Mei 2004 lalu, Fraksi TNI/Polri sudah mengusulkan agar RUU ini diberi nama RUU Komisi Rekonsiliasi. Sementara itu, mayoritas fraksi tetap menghendaki nama RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Setelah pembahasan berjalan tiga bulan, soal judul pun belum kunjung selesai.

(27)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

27

Pada intinya, F-PDIP dan fraksi lain menghendaki adanya pengungkapan kebenaran untuk

mewujudkan rekonsiliasi, sedangkan F-TNI menekankan pada rekonsiliasi. "Kita sangat setuju adanya KKR. Yang masih menjadi perbedaan bahwa kita menghendaki ada sesuatu rekonsiliasi tetapi masih seperti ada peradilan. Jadi, ada pembantaian dalam tanda kutip sehingga ada pengungkapan kebenaran segala macam," kata Ketua Fraksi TNI/Polri Posma Lumban Tobing.

F-TNI/Polri berpandangan pengungkapan kebenaran justru dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan baru.

Sementara itu, di luar Senayan, perdebatan soal RUU KKR cukup ramai, termasuk di kalangan korban. Mereka mendesak DPR agar memiliki niat sungguh-sungguh melakukan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.

Mencermati berbagai masukan selama rapat dengar pendapat umum, terlihat ada yang setuju RUU KKR dibahas serta dituntaskan dan ada yang menolak karena lebih banyak menguntungkan pelaku daripada korban.

Keluarga Korban Tanjung Priok, Kerusuhan Mei 1998, Tri Sakti, dan Semanggi I-II adalah yang menilai RUU KKR mengandung pasal-pasal yang merugikan korban.

Pasal yang diambil sebagai contoh adalah Bab IX Pasal 42. Pasal itu berbunyi: "Pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM ad hoc."

Menurut pendapat mereka, kedudukan KKR seharusnya berposisi komplementer atau saling melengkapi. Dengan demikian, penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat oleh KKR adalah materi penyelidikan yang bisa dilimpahkan ke pengadilan HAM.

Sementara itu, Koordinator Forum Koordinasi Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban peristiwa 1965 Witaryono S Reksoprodjo, dalam RDPU Pansus RUU KKR 19 November 2003, lebih menghendaki segera dilaksanakan rehabilitasi umum bagi para korban peristiwa 1965.

Rehabilitasi umum itu adalah dihapuskannya segala peraturan dan perundang-undangan yang

mendiskriminasikan secara politik, sosial, dan ekonomi para korban peristiwa 1965, memulihkan hak-hak sipil dan kewarganegaraan. Karena itu, dia juga mengharapkan Pansus RUU KKR dapat

merekomendasikan kepada Presiden agar menerbitkan keputusan presiden.

"Setelah diberikannya rehabilitasi umum, para korban peristiwa 1965 pun akan lebih siap untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan berikutnya, seperti pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan dalam kerangka rekonsiliasi bagi kepentingan bangsa yang lebih luas," ucapnya saat itu.

Witaryono sendiri merupakan bagian dari korban peristiwa 1965. Dia adalah putra dari Ir Setiadi Reksoprodjo, mantan Menteri Listrik dan Ketenagakerjaan RI dalam Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, seorang pendukung Bung Karno yang ditahan selama 12 tahun tanpa melalui pengadilan.

Hak prerogatif presiden untuk menerbitkan surat keputusan rehabilitasi itu, menurut Witaryono, dijamin dalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945.

(28)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

28

arah penyelesaian hukum dan pemberian rehabilitasi umum bagi korban rezim Orde Baru, khususnya korban peristiwa 1965.

Mereka juga mengacu pada surat DPR No KS.02/2947/DPR-RI/2003 tertanggal 25 Juli 2003 yang juga meminta Presiden menindaklanjuti surat MA. Demikian pula dengan surat dari Komisi Nasional Hak- hak Asasi Manusia No 147/TUA/VIII/2003 tanggal 25 Agustus 2003, meminta Presiden segera memberikan rehabilitasi bagi korban peristiwa 1965 berdasarkan Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen. Psikolog dan Pemimpin Yayasan Kirti Mahayana Nani Nurachman Soetojo, putri dari Almarhum Mayor Jenderal Anumerta Soetojo Siswomihardjo yang gugur dalam peristiwa 1965 sebagai Pahlawan Revolusi, memberi saran lain.

Menurutnya, rekonsiliasi harus berlandaskan pada saling tukar pengalaman secara terbuka dan jujur. Tidak ada satu pihak pun yang dapat merasa memiliki kebenaran mutlak.

RUU KKR pun harus memberi ruang bagi terciptanya kemanusiaan atas dasar etika keadilan dan etika kepedulian. "Bangsa harus mencari cara mendidik warganya untuk menerima kesalahan dan kebanggaan masa lalunya sebagai suatu realitas bersama. Ignorance dapat menjadi ancaman yang lebih besar bagi ketahanan dan kelangsungan hidup bangsa," jelasnya.

Dia juga mengingatkan, RUU KKR jangan sampai menjadi sarana penyelesaian masalah bangsa secara simtomatis, tetapi bisa menemukan akar masalah.

KENDATI demikian, sepertinya berbagai persoalan itu belum sempat dibahas secara mendalam di Pansus. Terbukti, tanpa perdebatan panjang, fraksi-fraksi dengan begitu saja menarik puluhan usulan DIM dan setuju dengan usulan pemerintah. Sebuah fenomena "gerak cepat" yang jarang terjadi dalam pembahasan UU.

(29)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

29

Kompas, Sabtu 21 Aug. 04

Kesepakatan Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Pengungkapan Pelanggaran HAM sejak Tahun 1945

[sesuai judul di veb]

Kesepakatan Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

KKR Berwenang Ungkap Pelanggaran HAM 1945-2000

[Sesuai judul di Koran]

Jakarta, Kompas - Setelah berdebat sekian lama, Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau RUU KKR akhirnya sepakat menentukan bahwa batas waktu kasus pelanggaran hak asasi manusia yang akan ditangani oleh komisi ini adalah semenjak 17 Agustus 1945. Pansus juga bersepakat menamakan RUU ini sebagai RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, bukan Komisi Rekonsiliasi. Namun, Pansus belum memasukkan definisi pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam RUU tersebut. Sebaliknya, definisi korban dicantumkan dalam rancangan.

Jika substansi RUU tersebut tak berubah lagi, Komisi diberi kewenangan untuk mengungkapkan pelanggaran HAM sejak 17 Agustus 1945 hingga diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yakni selama 55 tahun.

Dengan adanya kesepakatan batas waktu kasus, menurut Wakil Ketua Pansus RUU KKR Sofwan Chudhorie, akan banyak kasus pelanggaran HAM yang bisa ditangani komisi ini bila terbentuk nantinya. "Mulai dari peristiwa Republik Maluku Selatan, pemberontakan PRRI/ Permesta, DI/TII, Organisasi Papua Merdeka, peristiwa Lampung, Tanjung Priok, ninja Banyuwangi, dan banyak kasus lagi," kata Sofwan sebelum Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KKR di Gedung DPR/MPR, Kamis (19/8). Tidak menyulitkan

Meski jumlah kasus pelanggaran HAM yang diungkap sejak 1945, Sofwan yakin, itu tidak akan menyulitkan kerja komisi. Pasalnya, dalam RUU telah ditetapkan filternya. Penyaringnya adalah kasus tersebut harus memiliki bukti, ada korban, dan dirasakan berpengaruh pada disintegrasi bangsa. Penetapan tahun 1945 itu sendiri disepakati Pansus karena dianggap sebagai awal dari berdirinya negara.

Mengenai tidak adanya definisi pelaku dalam rancangan, Wakil Ketua RUU KKR Akil Mochtar membantah bahwa hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan pelaku ketimbang korban. Dia berpendapat, jika pelaku didefinisikan justru akan menimbulkan konsekuensi dan membatasi pengungkapan kebenaran. "Kalau nomenklatur pelaku ditetapkan dalam RUU, pasti akan menimbulkan konsekuensi," ucapnya.

Ia berpendapat, dengan tidak adanya definisi, pelaku pelanggaran HAM di masa lalu akan terungkap dengan sendirinya, dikarenakan dalam RUU KKR dimungkinkan terjadinya pengungkapan kebenaran oleh korban. "Dengan pengungkapan kebenaran, diam-diam, pelaku akan muncul dengan sendirinya," jelasnya.

(30)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

30

Mengenai keanggotaan komisi, Panja RUU KKR telah menyepakati berjumlah 21 orang. Mereka terdiri atas satu ketua, dua wakil ketua, dan 18 anggota.

Keanggotaan komisi terbagi menjadi tiga subkomisi. Pertama, subkomisi penyelidikan dan klarifikasi (sembilan orang). Kedua, subkomisi rehabilitasi, restitusi, kompensasi (lima orang). Ketiga, subkomisi pertimbangan dan amnesti (empat orang). Keanggotaan komisi ini dipilih sebuah tim seleksi yang terdiri atas lima orang, dua dari pemerintah dan tiga ditentukan DPR. Kendati demikian, proses pemilihan tim seleksi belum dibahas Panja. "Kita baru menyepakati bahwa jumlah anggota tim seleksi yang berasal dari DPR harus lebih besar dari pemerintah," kata Sofwan.

Mengenai prosedur seleksi anggota komisi, Panja juga belum memutuskan. Namun, Panja sudah menyepakati bahwa keanggotaan komisi berasal dari non partisan.

Sementara itu, mengenai masa kerja komisi, Akil menjelaskan, Panja telah menyepakati selama tiga tahun. Namun, apabila dalam waktu tiga tahun belum terselesaikan maka komisi dapat memperpanjang masa kerja menjadi dua tahun. Apabila waktu tersebut belum juga terselesaikan, komisi dapat memperpanjang kembali masa kerja sampai dua tahun berikutnya.

Atas dasar itu, Akil yakin bahwa meski pengungkapan pelanggaran HAM yang diatur dalam RUU ini mulai dari tahun 1945, komisi ini akan dapat menyelesaikan tugas pada waktunya.

(31)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

31

Hukum Online, [23/8/04]

Seluruh Pasal RUU KKR Rampung Dibahas

Mimpi untuk menelusuri kebenaran sejarah agaknya akan terwujud. Sebab, pembahasan Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) sudah selesai dibahas untuk kemudian dilanjutkan ke tim perumus.

Menurut Wakil Ketua Pansus, Akil Mochtar, RUU yang akan mengungkap kebenaran sejarah Indonesia tersebut sudah hampir rampung. “Semua pasal sudah selesai dibahas,” ujar Akil kepada hukumonline

(23/08).

Untuk itu, Akil optimis RUU KKR sangat mungkin disahkan sebelum masa kerja DPR berakhir. Hal-hal yang sempat menjadi perdebatan seperti nama RUU, jumlah anggota komisi maupun masalah waktu sudah selesai dibahas. Nama yang disepakati untuk RUU tersebut adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Optimisme Akil senada dengan pandangan Ifdhal Kasim Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Menurut Ifdhal, RUU KKR harus selesai sebelum masa kerja DPR berakhir. Ifdhal pun menganggap sudah tidak ada lagi hal-hal yang krusial dalam RUU tersebut yang harus diperdebatkan.

Ifdhal menambahkan RUU tersebut penting karena sebagai proses transisi politik Indonesia untuk mengungkapkan kebenaran. Apabila RUU tersebut dilaksanakan maka tahun 2005 merupakan masa persiapan bagi pemerintah untuk mensosialisasikan RUU KKR tersebut.

Menurutnya, proses sosialisasi RUU KKR adalah bagian skala prioritas yang tak kalah. Proses yang menjadi kewajiban pemerintah harus memberikan informasi tentang keberadaan RUU KKR kepada kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi korban.

“Saat ini sudah banyak masyarakat korban yang mendirikan organisasi-organisasi,” jelas Ifdhal di sela-sela peluncuran buku “Demi Kebenaran” di Jakarta, Senin (23/8). Untuk itu, tugas pemerintahlah yang harus mencari kebenaran dari masyarakat yang selama ini dirugikan oleh suatu rezim tertentu.

Berjalan lambat

Walaupun RUU KKR direncanakan akan selesai sebelum masa jabatan DPR berakhir, namun Ifdhal melihat perjalanan penanganan HAM di Indonesia masih lambat. “Jalannya (penegakan HAM-red) seperti siput,” tegas Ifdhal.

Menurutnya, penegakan HAM maupun upaya rekonsiliasi justru dilakukan di tingkat masyarakat tanpa campur tangan pemerintah. Contohnya saja rekonsiliasi antara Nahdathul Ulama (NU) dengan orang-orang yang terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Sedangkan, aksi pemerintah baru di tingkat pengadilan HAM saja.

Dalam RUU KKR tersebut telah dibatasi untuk menelusuri peristiwa-peristiwa mulai dari 17 Agustus 1945 sampai dengan tahun 2000. Runutan sejarah yang nantinya harus diselidiki KKR bukanlah hal yang sedikit. Ifdhal mengingatkan ada banyak pelanggaran HAM selama rezim orde baru berkuasa. Tak kalah pentingnya adalah menelusuri kebenaran dari peristiwa Gerakan 30 September 1965.

(32)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

32

Kompas, Senin 23 Aug. 04

Pansus KKR Perlu Rumuskan Kriteria Kasus

Jakarta, Kompas - Batas waktu kasus pelanggaran hak asasi manusia yang akan ditangani Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi cukup panjang, yaitu sejak 17 Agustus 1945 sampai terbitnya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Guna menghindari penumpukan kasus, kriteria kasus perlu dirumuskan dalam UU.

Demikian sejarawan Asvi Warman Adam menanggapi pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi (KKR) yang kini digodok DPR bersama pemerintah. "Dengan kriteria yang jelas tidak berarti seluruh kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak Indonesia merdeka sampai tahun 2000 harus

diperiksa," katanya.

Kriteria yang dimaksud antara lain adalah relevansi kasus dengan pelanggaran HAM berat atau signifikansi kasus dengan besarnya jumlah korban. Selain itu, baik pelaku maupun korban harus warga negara Indonesia.

Ia mencontohkan, pelanggaran HAM oleh Westerling tahun 1946 di Sulawesi Selatan yang diduga menghilangkan 40.000 jiwa tidak masuk kategori kasus yang harus diperiksa KKR karena dilakukan warga asing. "Kasus ini mungkin bisa diperiksa, tetapi bukan oleh KKR," ujarnya. Dengan kriteria yang jelas, Asvi menduga kasus

Referensi

Dokumen terkait

Luas daerah segitiga ABC pada gambar di samping

Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas Tinggi Sekolah Dasar se-Gugus IV Kecamatan Pengasih Tahun Ajaran 2011/2012..

Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan yang telah diberikan oleh Menteri sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan telah memenuhi seluruh kewajiban yang

Kunci dan pembahasan soal ini bisa dilihat di www.zenius.net dengan memasukkan kode 2187 ke menu

• Landasan dasar Kewirausahaan diajarkan di Perguruan Tinggi:.

dalam bentuk tiga dimensi (3D) yang bertujuan untuk menyampaikan informasi ruang. secara menyeluruh dan

Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik, Editor: Joshita Djajadisastra.. Jakarta: Penerbit

Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat.. Peraturan Mentri Kesehatan