• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masa Lalu Dipelihara atau Diselesaikan?

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 127-132)

SEKITAR satu bulan menjelang pemilu presiden 5 Juli 2004, isu mengenai pengerahan pamswakarsa yang melibatkan mantan Panglima TNI yang juga calon presiden Jenderal (Purn) Wiranto ramai dipercakapkan. Beritanya memenuhi ruang-ruang publik, media massa cetak maupun elektronik membahasnya.

Bahkan, mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen secara terbuka menuding keterlibatan mantan Panglima TNI itu dalam pengerahan pamswakarsa, yang menciptakan konflik horizontal antar kelompok masyarakat pada saat pelaksanaan Sidang Istimewa MPR November 1999. Tudingan itu tentu saja dibantah oleh Wiranto maupun tim suksesnya.< p>

Setelah pemilu 5 Juli berlangsung, isu itu hilang. Tak ada lagi diskusi buku. Tak ada lagi peringatan Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Memasuki bulan Juli 2004, isu pun beralih. Sekelompok masyarakat korban penyerbuan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No 58, membuat rangkaian acara sepekan peringatan Kasus 27 Juli. Seorang korban kasus 27 Juli meluncurkan buku. Menjelang peringatan delapan tahun

penyerbuan kantor DPP, kantor yang biasanya tak terawat itu, mulai berbenah.

Panggung didirikan. Spanduk besar dibentangkan. Nara sumber diundang untuk membicarakan masalah praktik kekerasan oleh aparatur negara delapan tahun lalu. Banyak kelompok masyarakat berbicara. Ketua Tim

Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) RO Tambunan meminta agar mantan Kepala Staf Kodam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono dijadikan tersangka Kasus 27 Juli.

Sebaliknya, Tim Pembela Demokrasi dan Keadilan (TPDK) Firman Wijaya justru meminta Mabes Polri memeriksa Megawati Soekarnoputri karena Megawati tahu rencana penyerbuan itu. Sehingga Megawati juga harus diminta bertanggung jawab, karena mendiamkan saja kabar yang diterimanya.

Sebelumnya, isu pembukaan kembali Kasus 27 Juli yang sudah lama tenggelam diungkapkan ke permukaan. Sejumlah nama disebut ikut bertanggung jawab dan akan diadili berkaitan dengan penyerbuan itu. Namun, isu penyidikan itu surut ketika kejaksaan mengembalikan lagi berkas Kasus 27 Juli ke pihak kepolisian.

Besok, Selasa 27 Juli 2004, penyerbuan kantor DPP PDI akan diperingati di bekas Kantor DPP PDI (kini PDI Perjuangan). Sebuah acara yang dimaksudkan untuk mengusik kembali ingatan kolektif masyarakat, mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 27 Juli, delapan tahun lalu.

BAGI aktivis hak asasi manusia, Rachland Nashidik dan Ifdhal Kasim, upaya pengungkapkan kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia masih menjadi fungsi dari kepentingan politik elite. Ketika elite politik membutuhkan isu itu, maka digunakanlah isu untuk kepentingan kekuasaan. Namun, ketika elite politik tidak membutuhkan, isu pelanggaran HAM masa lalu akan selalu ditolak dan dinegasikan.

"Masalah pelanggaran HAM masa lalu hanyalah komoditas politik yang selalu dipermainkan elite," ujar Ifdhal Kasim.

Padahal, menurut Rachland, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu tak boleh menjadi isu musiman. "Para elite politik harus sadar bahwa tanpa ada masa lalu, mungkin mereka tak akan menjadi elite politik," kata Rachland.

Dalam Kasus 27 Juli 1996, Ketua Umum PDI Megawati Soekarnoputri telah menjadi orang nomor satu di republik ini. Mantan Pangdam Jaya Letjen (Purn) Sutiyoso yang selama ini disebut-sebut sebagai orang yang bertanggung jawab dalam kasus itu, didukung Megawati menjadi Gubernur DKI Jakarta, mantan Komandan Satgas PDI Agung Iman Sumanto kini menjadi Ketua DPRD DKI Jakarta.

"Kasus 27 Juli seharusnya menjadi tanggung jawab Megawati untuk menyelesaikannya. Namun, publik tak menangkap keseriusan itu. Paling tidak itu tampak dari dukungan Megawati kepada Sutiyoso," katanya.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 58

Namun, kata Rachland, Megawati kelihatan betul memanfaatkan peringatan peristiwa 27 juli sebagai sebuah isu untuk mengingatkan kembali publik, bahwa ia adalah korban. "Jadi, sebenarnya memang tak ada kesungguhan," kata Rachland.

Hal serupa disampaikan Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim. "Peringatan Kasus 27 Juli hanyalah komoditas politik untuk kepentingan elite politik memperebutkan kekuasaan, sama sekali bukan dengan semangat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara tuntas," kata Ifdhal.

Padahal, menurut Ifdhal, tanpa ada penyelesaian komprehensif tentang pelanggaran HAM masa lalu, kita akan selalu terjebak pada masa lalu. "Masa lalu seharusnya diselesaikan bukan terus dipelihara semata-mata untuk kepentingan kekuasaan," kata Ifdhal.

Ketua Forum Demokrasi Indonesia Trimedya Panjaitan membantah anggapan bahwa Kasus 27 Juli dipelihara untuk kepentingan elite kekuasaan dan Megawati mendapatkan keuntungan dari kasus itu.

"Kalau kita jujur melihat keadaan, upaya untuk menuntaskan kasus sudah lama dilakukan. Masalah itu tersendat setelah DPR mengubah arah penyidikan menuju penyidikan koneksitas yang tertutup," kata Panjaitan seraya menambahkan, "Pemerintahan Megawati telah berupaya membuka kasus itu. Namun, masalahnya memang tidak mudah."

KASUS 27 Juli 1996 memang tetap menimbulkan pertanyaan yang tak terjawab. Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab dalam praktik kekerasan yang disponsori oleh negara itu?

Pemerintahan otoriter Orde Baru sebagaimana diwakili Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen Syarwan Hamid dalam penjelasannya di depan perwakilan asing, 5 Agustus 1996 mengatakan, Peristiwa 27 Juli 1996

merupakan upaya sekelompok orang untuk menghidupkan kembali faham komunis di Indonesia. Upaya itu dilakukan dengan menggunakan konflik internal di tubuh PDI sebagai "kuda troya".

Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menuding mimbar bebas yang digelar di halaman kantor PDI sebagai embrio makar terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Dalam pertemuan di rumah Soeharto, tanggal 19 Mei 1996, Soeharto meminta pembantu militernya untuk mewaspadai makar itu.

Konstruksi Orde Baru itu kemudian diterjemahkan. Sebanyak 124 orang yang bertahan di dalam gedung diadili dan dijatuhi hukuman. Sejumlah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) diadili dan dijebloskan ke penjara atas tudingan menjadi dalang kerusuhan 27 Juli, meski dalam proses persidangan tuduhan itu tak pernah terbukti. Kebenaran Orde Baru itu telah dicoba direvisi oleh Megawati ketika ia berada di tampuk kekuasaan. Namun, revisi itu tidak signifikan. Pemerintahan Megawati tak mampu mengungkapkan kebenaran substansial atas persekongkolan elite politik militer Orde Baru.

Majelis hakim Pengadilan Koneksitas yang diketuai Rukmini hanya mampu membuktikan seorang terdakwa sipil Jonathan Marpaung dengan hukuman 74 hari. Ia dinyatakan terbukti menipu massa dan ikut melempar batu ke Kantor DPP PDI.

Menurut Ifdhal, jika Kasus 27 Juli mau diletakkan dalam konteks upaya untuk mencari kebenaran, maka pembentukan Pengadilan Koneksitas hanya mau menyelamatkan konstruksi politik Orde Baru.

"Pengadilan Koneksitas terbukti gagal untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih subtansial. Itu tak lepas dari tawar-menawar politik pemerintahan sipil dengan kekuatan politik Orde Baru," kata Ifdhal.

Yang tampak di permukaan adalah saling bantah dan saling tuding antara para pejabat militer. Mantan Pangdam Jaya Sutiyoso saat diperiksa menuding Soeharto yang secara implisit memberikan perintah untuk menghentikan mimbar bebas di Kantor DPP PDI.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 59

Ketika suara di lapangan mengarah kepada keterlibatan mantan Kasdam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono, Gubernur Sutiyoso bereaksi dengan mengatakan, "Yudhoyono tidak terlibat dalam penyerbuan kantor DPP. Sebab sebagai Kasdam pada waktu itu, Yudhoyono tidak bisa mengambil keputusan memerintahkan pengosongan. Tanggung jawab di lapangan ada di tangan saya selaku Pangdam Jaya. Yudhoyono tidak berkapasitas memberi perintah pengosongan." (Kompas, 12 Juni 2004)

Kenyataannya, Pengadilan Koneksitas telah gagal mengungkapkan kebenaran secara menyeluruh, termasuk mengungkap motivasi politik pembantu militer Soeharto pada era Orde Baru untuk menyingkirkan Megawati dari panggung politik nasional.

POLA penanganan masalah pelanggaran HAM masa lalu yang terus dipolitisasi jelas hanya akan memelihara siklus impunitas. Tanpa ada upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, pada saatnya nanti akan mengganggu konsolidasi demokrasi. Masa lalu akan terus menggelayuti bangsa dan orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu.

Kebengisan dan kekejaman masa lalu memang harus terus disuarakan untuk mencegah kejahatan kebisuan (the crime of silence). Perjuangan masyarakat korban sejatinya adalah perjuangan terhadap upaya pelupaan paksa yang tak kenal henti, yang selalu menjadi ciri sebuah pemerintahan otoriter.

Suara-suara masyarakat korban yang menuntut pengungkapkan kebenaran seyogianya tidak dijadikan komoditas politik untuk semata-mata hanya untuk meraih kursi kekuasaan. Elite yang memanipulasi suara korban untuk kepentingan kekuasaan adalah elite yang mengkhianati suara rakyatnya.

Negara memang harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang diwariskan rezim otoriter Orde Baru. Telah banyak instrumen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Yang belum ada hanyalah niatan tulus untuk mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran, dan korban itu sendiri. (Budiman Tanuredjo)

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 60

Kompas, Selasa 27 Jul. 04

"Memoria Passionis" dan Rekonsiliasi

Oleh Mugiyanto

DI tengah kesibukan menjelang Pemilihan Presiden babak kedua 20 September, seyogyanya kita mengingat satu agenda kebangsaan yang amat mendasar pada masa transisi ini, bagaimana negara menghadapi berbagai bentuk pelanggaran HAM yang begitu masif di masa lalu (how to deal with the past).

Oleh para pemimpin negara, agenda ini sering disederhanakan menjadi rekonsiliasi nasional. Begitu pentingnya rekonsiliasi nasional, sehingga semua calon presiden-termasuk yang sudah tereliminasi-memasukkannya sebagai salah satu agenda utama mereka.

Kini, DPR sedang membahas UU Rekonsiliasi setelah RUU-nya diserahkan pemerintah 26 Mei 2003 lalu. Panitia Khusus (Pansus) DPR yang membahasnya menyebut sebagai RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Dari namanya, komisi yang nanti terbentuk diharapkan bisa mengungkap kebenaran masa lalu, sehingga ke depan bisa tercipta rekonsiliasi nasional.

Sebagai korban peristiwa pelanggaran HAM, penulis tidak keberatan dengan agenda rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi nasional disadari sebagai syarat pembangunan sebuah entitas kebangsaan. Tetapi yang harus disadari, rekonsiliasi nasional adalah sebuah tujuan. Sebagai tujuan ia adalah hasil proses. Tercapai-tidaknya sebuah tujuan, ditentukan proses yang mengarah pada tujuan itu. Dalam proses-proses inilah interaksi, dialog, dan dinamika terjadi di antara entitas yang hendak direkonsiliasikan itu.

Penting, pengungkapan kebenaran

Perkembangan pembahasan RUU KKR yang kini terjadi di DPR, menurut penulis, sudah sampai taraf mengkhawatirkan, karena itu perlu ditanggapi serius. Di Kompas (20/7) disebutkan, ada kecenderungan kuat, judul yang yang semula bernama RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan diubah menjadi RUU Komisi Rekonsiliasi atau RUU Komisi Persatuan Nasional untuk Rekonsiliasi. Lebih jauh disebutkan, unsur TNI di DPR menghendaki penghilangan kata "Kebenaran" dengan alasan agar tercipta suasana rujuk di antara anak bangsa. Bila kebenaran diungkap, rujuk akan kian jauh, karena ada pengadilan. "Mari kita kubur masa lalu dan menuju masa depan," kata anggota Pansus RUU KKR Fraksi TNI, Mayjen TNI Djasri Marin.

Berbeda dengan yang diharapkan anggota Fraksi TNI di DPR, dikhawatirkan akan menjauhkan kita dari tujuan rekonsiliasi nasional sendiri. Yang lebih membahayakan, Fraksi TNI mengajak untuk melupakan sejarah atau kebenaran dengan mengubur masa lalu. Padahal esensi sebuah komisi semacam ini adalah not to forget (tidak untuk melupakan).

Lantas, apa yang salah dengan mengubur masa lalu saat kita hendak melangkah ke depan? Fraksi TNI menilai, mengingat masa lalu sama dengan mengorek luka lama, sehingga dendam akan tumbuh dan berkembang biak. Karena itu rekonsiliasi tak akan terjadi.

Sebaliknya, penulis menganggap, mengingat dan mengetahui masa lalu membuat kita bisa belajar dan memetik hikmah dari yang baik dan buruk. Sesuatu yang buruk di masa lalu akan menjadi peringatan agar tidak terulang di masa kini dan mendatang. Ingatan akan masa lalu yang buruk dan hitam, yang penuh derita (memoria passionis) akan menjadikan manusia berusaha menghindarinya.

Dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu, pesan-pesan yang muncul dari memoria passionis tidak hanya dirasakan korban, tetapi juga pelaku dan masyarakat luas. Dalam hal ini, ingatan akan kebenaran masa lalu adalah pendidikan publik yang akan memberi sumbangan pada pengetahuan masyarakat tentang penderitaan korban dan membantu menggerakkan masyarakat mencegah peristiwa serupa terjadi di masa depan (Douglas Casses, Paul van Zyl dan Priscilla Hayner; 2000).

Penulis menganggap, ketidaktahuan kelompok korban akan kebenaran masa lalu yang hitam, akan menumbuhkan rasa dendam membabi buta kepada mereka yang dianggap sebagai pelaku. Sebaliknya, saat kebenaran terungkap, segala sesuatu yang sebelumnya dinilai secara semena-mena dan membabi buta menjadi jernih. Rasa keadilan bagi korban (yang secara negatif disebut dendam), menjadi tanggung jawab peradilan.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 61

Kebenaran bagi korban

Sejak RUU KKR dibahas di DPR pertengahan 2003, berbagai lembaga HAM mengkritisinya sebagai kurang relevan, karena tidak adanya syarat-syarat politik yang mendukung. Mereka khawatir RUU KKR tidak bisa mengungkap kebenaran dan memberi keadilan bagi korban.

Bahkan kelompok korban pelanggaran berat HAM yang tergabung dalam Solidaritas Kesatuan Korban Pelanggaran HAM (SKKP-HAM) yang merupakan kesatuan korban peristiwa 1965/1966, Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, Penculikan 1997/1998, Trisakti-Semanggi I dan II, korban peristiwa Mei 1998 menyatakan menolak RUU KKR karena dinilai menjadi alat impunitas pelanggar HAM. Pernyataan itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus DPR, November 2003.

Menariksekali apa yang selama ini disuarakan para orangtua yang kehilangan anaknya dalam hiruk-pikuk politik. Dalam film Batas Panggung; Kepada Para Pelaku, sebuah film dokumenter tentang kasus penghilangan paksa di Indonesia yang diproduksi Offstream bersama Kontras, Paimin, orangtua Suyat yang hilang diambil penculiknya di Solo awal 1998 berkali kali mengatakan "Karep kulo niku, yen ijih yo ning ngendi, yen wis mati, kuburane yo ing ngendi, ben ora semumpel ing ati" (Saya inginkan, kalau memang-anak saya-masih ada di mana, tetapi kalau sudah mati kuburannya di mana. Biar tidak mengganjal di hati).

Kebenaran, sekali lagi adalah tuntutan utama orangtua korban seperti Paimin. Bukan untuk mendendam, tetapi untuk ketenangan, sehingga bisa melanjutkan hidup yang masih panjang.

Nyawa rekonsiliasi

Salah satu alasan Fraksi TNI menolak pengungkapan kebenaran adalah untuk menghindari pengadilan. Dalam pergaulan internasional pun dikenal tiga hak korban yang telah dirumuskan secara komprehensif oleh Theo van Boven, meliputi hak atas kebenaran (the rights to truth), hak atas keadilan (the rights to justice) dan hak atas pemulihan (the rights to reparation), terdiri atas rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi. Pengingkaran atas hak-hak korban hanya akan menjadikan rekonsiliasi nasional yang hendak dicapai menjadi rekonsiliasi yang dipaksakan, rekonsiliasi tanpa nyawa.

Ketika kita sadar, agenda rekonsiliasi nasional adalah agenda kebangsaan yang menentukan jalan hidup bangsa, pengerjaannya pun harus dengan pertimbangan kebangsaan. Pansus DPR menargetkan RUU KKR disahkan menjadi UU sebelum masa tugas mereka berakhir 30 September 2004. Dengan alasan itu, seluruh fraksi DPR setuju menarik puluhan usulan penyempurnaan pasal-pasal dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Terlihat DPR mengerjakan urusan kebangsaan secara pragmatis dan mengejar target.

Memoria passionis, ingatan akan penderitaan sama sekali tidak masuk pertimbangan DPR. Bagi mereka, sebagaimana dikatakan Ketua Pansus, Sidharto Danusobroto, setiap UU adalah hasil kompromi politik. Mugiyanto Korban penculikan 1998, Ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia)

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 62

Kompas, Sabtu, 31 Juli 2004

Ifdhal Kasim:

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 127-132)