• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUU KKR Di Tengah Tarikan Kepentingan

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 112-115)

Setahun sudah, Sumaun Utomo, salah satu korban kemanusiaan 1965, dengan mengiba-iba datang ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pria yang sudah berumur itu memohon agar pemerintah segera mengeluarkan keputusan presiden (Keppres) untuk merehabilitasi korban Tragedi Kemanusiaan Tahun 1965. Dia pesimis, proses rehabilitasi melalui jalur Komisi Kebenaran dan Rekonsliasi (KKR) bisa segera terlaksana. Dia juga tidak yakin, Rancangan Undang-Undang KKR akan selesai satu atau dua tahun. “Inilah kesempatan Presiden dengan hak prerogratifnya untuk mengeluarkan Keppres Rehabilitasi. Mumpung kami sebagai korban masih hidup dan penanggungjawabnnya Soeharto juga masih hidup,” ujar Sumaun lirih.

Beratnya penderitaan yang dialami korban kemanusiaan 1965 sulit dilukiskan. Mereka banyak yang dihukum tanpa proses pengadilan. Hartanya dirampas. Keturunannya mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Kini, setelah rezim Soeharto berganti dan presiden berganti hampir empat kali, mulai dari BJ Habibie, Abdurahman Wahid, serta Megawati Soekarnoputri , dan sebentar lagi Pemilu Presiden, mereka belum juga mendapatkan rehabilitasi.

Penantian Panjang

Apakah kegelisahan Sumaun ini benar-benar akan menjadi penantian tanpa harapan? Yang jelas, hari ini, Rabu (26 Mei 2004), setahun sudah usia RUU KKR. Pada 26 Mei 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri

menyerahkan draf RUU KKR ke DPR untuk dibahas.

RUU KKR tesebut idak mengatur tentang proses penuntutan hukum, tetapi lebih menitikberatkan pengungkapan kebenaran, pemberian kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan memberi amnesti pada pelaku untuk membuka jalan rekonsiliasi.

Pokok pikiran yang melandasi RUU KKR ini adalah bermaksud menelusuri kebenaran serta menegakkan keadilan terhadap kasus pelangaran HAM yang tejadi sebelum berlakunya Undang-Undang (UU) nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

RUU KKR juga merupakan amanat ketetapan MPR V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, dan perintah UU No. 26/2000. Pasal 27 UU No. 26/2000 mengamanatkan “Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Sampai saat ini, RUU KKR itu masih juga samar-samar. Pembahasan rancangan ini di Senayan baru memasuki tahap pembahasan pasal-pasal. Rapat Panitia Kerja untuk membahas pasal secara terperinci baru akan dimulai 1 Juni 2004. Sementara itu, masa kerja DPR tinggal tersisa sekitar empat bulan dan itu pun belum dipotong masa reses dan kesibukan kampanye menghadapi Pemilu Presiden. Materi RUU KKR tidak terlalu banyak

dibandingkan dengan RUU lainnya. RUU ini hanya terdiri dari 10 bab dan 44 pasal.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU KKR Sidharto Danusubroto dan Wakil Ketua Pansus RUU KKR Sofwan Chudorie sendiri optimis RUU KKR dapat diselesaikan sebelum masa kerja DPR 1999-2004 berakhir. Kendati demikian, kalalau mencermati persandingan pandangan fraksi terhadap pasal yang diajukan pemerintah pembahasan kemungkinan besar akan berjalan alot.

Berbeda dengan pembahasan RUU lainnya, perdebatan RUU KKR sudah dimulai dari perdebatan judul. Pemerintah dan sembilan Fraksi di DPR memiliki pandangan yang berbeda,. TNI/Polri, misalnya, sikapnya jelas. Mereka menghendaki agar RUU ini menonjolkan semangat rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran F-RNI/Polri menghendaki judul RUU ini diubah menjadi RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi seperti diusulakn pemerintah.

Fraksi Reformasi sebaliknya mereka mengusulkan judul RUU KKR mempertegas aspek pertanggungjawaban para pelaku. Mereka mengusulkan judul “RUU Tentang Komisi pertangungjawaban dan Rekonsiliasi”.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 43

Ada juga fraksi yang menekankan aspek legalitas formal. Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB), misalnya mengusulkan agar judulnya disesuaikan dengan Ketetapan MPR V/MPR/200 yang memeritahkkan pembentukan “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional”.

Dikarenakan pendapat tersebut tidak mencapai titik temu, akhirnya sementara disepakati untuk tetap memberi judul RUU ini seperti usulan pemerintah tetap nantinya disesuaikan dengan perkembangan pembahasan yang terjadi.

Padahal, judul mencerminkan isi. Kalau judul saja belum pasti, bagaimana dengan isinya nanti? Pandangan fraksi-fraksi pun masih berbeda-beda tentang devinisi korban, pelaku, maupun ganti rugi, seperti kompensasi, amnesti, restitusi, rehabilitasi.

Dalam RUU yang diajukan pemerintah, korban didefinisikan sebagai orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelangaran hak asasi menusia yang berat.

F-FDIP mengusulkan untuk mempersempit korban, yaitu khusus pada yang menglami akibat langsung dari pelanggaran HAM berat.

Sementara itu, F-PBB malah meluaskan devinisi korban F-BBB mendefinisikan ahli waris sebagai janda atau duda, dan anak dari korban. Sedangkan untuk yang tidak mempunyai isteri, suami, dan anak adalah orang tua atau kakek dan nenek. Bagi yang tidak mempunyai seluruhnya adalah cucu.

F-PBB juga mengusulkan agar pelaku didefinisikan sebagai orang perseroangan, kelompok satuan atau institusi yang melakukan pelanggaran HAM yang berat baik langsung maupun tidak langsung atau orang yang

membantu, memberi izin, mentolerir, dan membiarkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat tersebut. Perbedaan pandangan juga masih terjadi pada rumusan pasal soal ganti rugi. Pendefinsian kompensasi, misalnya, pemerintah mendefinsikannya sebagai ganti rugi yang diberikan oleh negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli peristiwa untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental.

F-PDIP menginginkan agar koompensasi tersebut disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Sementara F-TNI/Polri mengusulkan agar ditegaskan bahwa kompensasi tersebut tidak dinilai secara material. Tujuannya agar pemberian kompnensasi ini tidak menjaid preseden dan menimbulkan permasalahan baru. Sebaliknya, F-PBB justru menekankan kesetaraan nilai kompensasi yang diberikan dengan penderitaan korban.

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga ke pada korban atua keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.

Rehabilitasi adslah pemulihan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain. Fraksi Reformasi menghendaki pemulihan tersebut menyangkut pemulihan fisik dan mental. Terakhir soal amnesti. Pemerintah mengusulkan pengampunan diberikan oleh Presiden selaku Kepala Negara kepada pelaku pelanggaran HAM berat. F-PDIP dan Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia (FKKI) menghendaki agar amnesti itu diberikan Preiden atas saran/usul dari Komisi. Demikian juga soal tugas, fungsi, kedudukan, keanggotaan, dan proses perekrutan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Masing-masing memiliki pandangan yang berbeda tajam. Tarik-menarik kepentingan memang terasa.

Materi daftar inventarisasi Masalah yang akan dibahas Panitia Khusus RUU KKR berjumlah 190 butir. Mencermati perbedana pandangan yang terjadi antarfraksi, masih akan membutuhkan waktu panjang. Pansus sendiri kelihatannya belum menaruh perhatian besar pada RUU KKR ini. Terlihat, dari 50 angota pansus, hanya beberapa orang saja yang aktif mengikuti rapat. Rapat kerja dengan Menteri Kehakiman dan HAM pekan lalu hanya dihadiri 28 orang dari total 50 anggota. Dari sejumlah itu, yang hadir secara fisik 12 orang, sedangkan 16 orang selebihnya menyatakan izin.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 44

Padahal, seperti diketahui bahwa Sumaun tidak sendirian. Pelanggarna HAM yang diduga dilakukan oleh rezim Soeharto sejak tahun 1965 – 1998 melibatkan jutaan warga. Pelanggaran HAM itu antara lain Peristiwa G30S yang sekarang masih gelap (1965 – 1975); Penembakan Misterius (tahun 1975-1985); Peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Haur Koneng, DOM Aceh, Timtim, dan Papua (1985 -1995); Kasus 27 Juli 1996, dan kerusuhan Mei (1995 – 1998).

Padahal, seperti dikutip Bambang A Sipayung dari Jenifeer Llewelyn dalam artikelnya di Kompas, rekonsiliasi harus memberi prioritas pada penderitaan korban. Tanpa memperhatikan korban, rekonsiliasi bagai

menggantang asap. (Sutta Dharmasaputra).

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 45

Republika, Kamis, 27 Mei 2004

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 112-115)