• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdamai dengan Masa Lalu

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 107-110)

Rekonsiliasi sejati mengekspose kekejaman, kekerasan, kepedihan, kebejatan, dan kebenaran. Bahkan terkadang dapat memperburuk keadaan. Ini adalah suatu perbuatan yang berisiko, meskipun begitu pada akhirnya akan bermanfaat karena pada akhirnya akan ada pemulihan nyata setelah menyelesaikan situasi yang sebenarnya. Rekonsiliasi yang palsu hanya dapat menghasilkan pemulihan yang palsu.

- Uskup Desmond Mpilo Tutu, dalam Buku Tiada Masa Depan Tanpa Pengampunan (1999)

ISU rekonsiliasi kembali bergema menjelang Pemilu Presiden 5 Juli 2004. Para kandidat calon presiden dan wakil presiden dalam bahasa mereka masing-masing menawarkan isu rekonsiliasi dan bagaimana berdamai dengan masa lalu. Calon presiden dari Partai Golkar, Jenderal (Purn) Wiranto, mengajak masyarakat tidak terjebak dengan masa lalu. Calon wapres Salahuddin Wahid menggemakan isu perlunya rekonsiliasi nasional. WIRANTO, mantan Panglima ABRI di masa akhir kekuasaan Jenderal Besar Soeharto, mengemukakan, "Kalau kita selalu terjebak pada masa lalu tanpa bisa menyelesaikan secara tuntas dan ikhlas, kita tak bisa

menyelesaikan itu semua dengan cara lebih arif dan lebih bijak, tanpa menimbulkan masalah baru," kata Wiranto, Rabu (12/5) malam.

Sayang, Wiranto tak mengelaborasi bagaimana masalah masa lalu diselesaikan dengan cara lebih arif dan bijak, tanpa menimbulkan masalah baru. Sebagaimana kandidat presiden lain, tak ada perspektif komprehensif dan konkret soal bagaimana masa lalu harus dikelola, lalu digunakan untuk menata masa depan lebih baik. Apakah penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu itu penting? Tulisan Karlina Supeli berjudul Warisan Para Korban (Kompas, 26 Juli 2003), mungkin bisa memberi jawaban. Ia mengutip ucapan Tocqueville (1805-1859) dalam Democracy in America, "Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, manusia mengelana di tengah kabut". Kemudian, ia meneruskan, "Tak satu pun lenyap hanya karena menjadi masa lalu; kalender hanyalah pagar yang kita paksakan pada waktu; ingatan selalu menyelamatkan masa lalu yang digelapkan; adalah tugas para saksi untuk menghidupkan masa lalu yang belum selesai, untuk melahirkan masa depan".

Sejarawan Taufik Abdullah yang memberi pengantar pada buku Wiranto Bersaksi di Tengah Badai (2003) dengan mengutip seorang teoretikus, "Masa lalu", katanya, "adalah negeri asing". Siapa tahu "di sana di negeri asing itu" terletak sumber ketidakberesan yang kini dirasakan. Kalau perjalanan ke masa lalu seperti juga ke negeri asing, bisa dilakukan, bukankah unsur-unsur yang menyebabkan ketidakberesan itu diperbaki, agar yang terjadi "di sini" baik-baik saja.

Dengan cara pandang seperti itu, masa lalu tak mungkin dilupakan begitu saja. Bagaimana mengelola masa lalu akan sangat menentukan bagaimana kita menata masa depan. Seperti kata Taufik Abdullah, dengan melakukan perjalanan ke masa lalu, mungkin kita bisa menemukan ketidakberesan yang kini terjadi dan mungkin masih akan sering terjadi.

Kasus kontemporer ketika anggota Polri menyerbu Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar beberapa waktu lalu, bagaimana anggota Polri memperlakukan mahasiswa mungkin bisa memberi gambaran bahwa kita gagal belajar dari masa lalu. Kita dan masyarakat diam saja ketika pelanggaran HAM Abepura, saat Polri menyisir mahasiswa dan menyebabkan sejumlah mahasiswa menjadi korban. Tak ada sebuah koreksi lebih keras untuk memberikan kesadaran baru bahwa cara seperti itu keliru. Baru, sekarang digelar pengadilan atas anggota Polri dalam kasus pelanggaran HAM Abepura.

LAHIRNYA pemerintahan baru pada pemilu 5 Juli 2004 adalah momentum baru untuk mengelola masa lalu. Dengan sistem pemilihan presiden secara langsung, para kandidat mempunyai popular mandate yang sangat kuat kalau memang ada kesadaran untuk melakukan perjalanan ke negeri asing yang bernama masa lalu. Adakah harapan atau kehendak kandidat presiden untuk menyelesaikan masa lalu. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim yang banyak mempelajari bagaimana negara lain

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 38

menyelesaikan masa lalu, menilai tidak ada kandidat yang punya platform dan program komprehensif untuk menyelesaikan masa lalu.

Menurut Ifdhal, pasangan Wiranto-Salahuddin memang mengedepankan aspek rekonsiliasi yang diproyeksikan untuk menata masa depan. Rekonsiliasi seperti itu tak akan memberi dimensi keadilan bagi korban. Wiranto-Salahuddin mengambil kebijakan yang mengarah pada promosi HAM, bukan perlindungan HAM.

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, menurut Ifdhal, mungkin akan mengembangkan perspektif berbeda. Jika benar Yudhoyono mengadopsi platform Nurcholish Madjid, rekonsiliasi yang dikedepankan tidak mengarah kepada pemberian blanket amnesty. Rekonsiliasi model Nurcholish tetap mempersyaratkan

pengungkapan kebenaran dan penghukuman.

Pasangan-pasangan lain, menurut Ifdhal, belum bisa dibaca bagaimana akan mengelola masa lalu. Dalam platform partai masalah penegakan HAM, partai memasukkannya dalam bagian penegakan hukum dalam bahasa normatif, misalnya dengan mendukung ratifikasi konvensi PBB soal HAM.

Dalam penelusuran Kompas, program Partai Demokrat tentang penyelesaian masa lalu- jika ini akan digunakan sebagai platform Yudhoyono jika menjadi presiden-lebih konkret dan jelas. Partai ini mengedepankan

rekonsiliasi dengan syarat, (1) adanya pengakuan bersalah dari mereka yang merasa bersalah, (2) pemberian pengampunan, (3) ke depan tidak boleh ada lagi yang melakukan kesalahan. Partai Demokrat merujuk pada rekonsiliasi Afrika Selatan dan Korea Selatan (Partai-partai Politik Indonesia Ideologi dan Program, hal 187). Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam program partainya sebenarnya lebih tegas. Partai itu akan mendorong dan memelopori penuntasan kasus pelanggaran HAM secara hukum, bukan oleh lembaga politik. Apakah PKB akan konsisten dengan platform itu, masih harus ditunggu. Namun, bagaimana platform partai itu masih valid kalau kita melihat bersandingnya Salahuddin dengan Wiranto dan kemungkinan PKB akan berkoalisi dengan Golkar.

Bara Hasibuan yang gagal menjadi anggota DPR mengatakan, dengan melihat track record dan platform partai, masa lalu tetap akan menjadi sejarah gelap bangsa. Hampir tak mungkin ada mengungkap kasus masa lalu. "Bagaimana mau menyelesaikan masa lalu kalau elite politik yang bertarung adalah bagian dari masa lalu yang harus diselesaikan".

Bagi Hasibuan, masalahnya bukan hanya platform yang mungkin bisa dibuatkan para ahli. "Namun kita harus jeli melihat, sepanjang karier sang tokoh kapan mereka menegakkan HAM. Misalnya, Hamzah Haz, Megawati, Wiranto. Sepanjang karier mereka, apa yang telah mereka lakukan," katanya.

Jika dalam posisinya sebagai Presiden, Wapres, Panglima ABRI, tak ada komitmen menegakkan HAM dan menyelesaikan masa lalu, bagaimana rakyat percaya dengan janji-janji yang diucapkan. Terlepas dari kelemahan dan tiadanya platform para kandidat, masalah masa lalu harus diupayakan untuk diselesaikan. Penyelesaian masalah masa lalu merupakan titik penting agar bangsa ini tak terus dibayangi kekelaman masa lalu. "Masa lalu yang terus terbawa ke masa kini akan sangat melelahkan," katanya.

Bagi dia rekonsiliasi adalah sebuah hal penting untuk membangun kebersamaan sebagai bangsa. "Namun ingat, no reconciliation without truth. Kebenaran harus ada," katanya.

Proses rekonsiliasi sejati adalah mengekspose kekejaman, kata Uskup Desmond Tutu yang pernah memimpin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Setelah tahapan itu dilewati, maka akan dicapai pemulihan nyata. Rekonsiliasi yang palsu hanya akan menghasilkan pemulihan palsu.

Menjadi tugas kandidat presiden yang mendapat mandat rakyat pada pemilu 5 Juli 2004 untuk menyelesaikan masa lalu. Sebuah rezim yang mampu menyelesaikan masa lalu akan memperoleh legitimasi baru.

Di banyak negara yang sedang menjalani transisi demokrasi, memang masalah itu menjadi perdebatan besar. Sebagaimana dikatakan Lawrence Whitehead, "Kalau kejahatan-kejahatan besar tidak diselidiki dan pelakunya tidak dihukum, tidak akan ada pertumbuhan keyakinan terhadap kejujuran secara nyata, tidak akan ada penanaman norma-norma demokrasi dalam masyarakat; dan karenanya tidak terjadi konsolidasi yang

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 39

sebenarnya." Namun, yang dikatakan Whitehead itu mendapat tanggapan balik dari Presiden Uruguay Sanguinetti. "Mana yang lebih adil, mengonsolidasikan perdamaian di suatu negeri, di mana hak-hak asasi manusia terjamin pada masa kini atau mencari keadilan ke masa lampau yang bisa membahayakan perdamaian." Itulah dilema yang harus dicari jalan keluarnya oleh sang presiden terpilih. (Budiman Tanuredjo)

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 40

Suara Pembaruan, Kamis 21 Mei 2004

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 107-110)